Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)
“Mantan adalah seseorang istimewa yang diciptakan Tuhan untuk mengambil uangmu, dan memberimu kenangan buruk sebagai gantinya.”
Oke, semoga sedikit joke tentang mantan barusan bisa menjadi pembuka yang menarik untuk tulisan agak serius berikut. Seperti diketahui, ada sebuah kutipan indah yang menyebutkan jika “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Tidak salah memang. Bandung dikaruniai berbagai anugerah dari Tuhan: pemandangan yang indah, kesuburan tanah, iklim yang sejuk, air yang jernih, serta wanita-wanita yang luar biasa cantik. Tapi tentu saja berbarengan dari anugerah tersebut terdapat tanggung jawab yang besar dari masyarakat untuk menjaganya. Ketika pemandangan yang indah terhalangi oleh gedung-gedung tinggi, tanah yang subur hanya ditanami beton, air yang jernih hanya mengalir ke apartemen, tampaknya Tuhan akan menyesal memberikan segala anugerah itu ke Bandung. Untung saja masih ada wanita-wanita cantik, tapi itu pun banyak direbut oleh orang luar Bandung!
Bersiaplah untuk kehilangan seluruh pesona Bandung di masa depan apabila masyarakat dan pemimpin Bandung saat ini gagal merencanakan tata ruang ideal ke depannya. Mengapa perencanaan begitu penting? Karena inilah yang menjadi visi Bandung di masa depan. Apa yang direncanakan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan, namun apabila perencanaan sudah dilakukan dengan buruk, maka kenyataannya akan jauh lebih buruk. Sebelum membicarakan perencanaan Bandung terbaru yang mengecewakan, sebagai bahan perbandingan, berikut akan dibahas sekilas sejarah perencanaan kota Bandung dari zaman kolonial.
Perencanaan Kota Kolonial
Pada awal didirikannya Bandung pada tahun 1811 di lokasi alun-alun sekarang, belum dikenal konsep tata kota yang baik. Hingga awal abad 20, bisa dibilang bahkan tidak ada perencanaan yang dibuat untuk mengantisipasi perkembangan Bandung yang masih berbentuk “desa” itu. Contoh terbaik dalam hal ini bisa ditemukan di kawasan “Kota Lama” Bandung yang sekarang menjadi pusat kota, di mana kantor-kantor pemerintah, swasta, pemukiman, pertokoan, pasar, dan kampung hingga pemakaman bisa ditemukan pada satu kawasan itu.
Seiring dengan perkembangan Bandung menjadi “pusat perkebunan” di akhir abad-19, pengaturan zonasi kota masih mengadaptasi konsep pembagian ras kolonial. Kelompok ras Pribumi, Tionghoa, Arab, dan Belanda mendiami kawasan tertentu, walau tidak diterapkan seketat kota kolonial lainnya.
Tidak ada kata terlambat! Setelah menjadi gemeente (kotapraja) tahun 1906, baru sekitar sepuluh tahun kemudian pemerintah kota menyadari pentingnya keberadaan suatu perencanaan. Utamanya setelah Thomas Karsten memperkenalkan konsep perencanaan kota ke Nusantara pada awal abad-20. Karena kawasan alun-alun dan sekitarnya sudah terlanjur pabaliut sulit ditata kembali, perencanaan kota lebih ditujukan pada kawasan pengembangan kota ke bagian utara – yang dibatasi oleh rel kereta api.
Seiring wacana pengangkatan Bandung sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, pada tahun 1917 dimulailah pengkajian rencana perluasan Bandung. Beberapa kajian awal dibuat oleh “Commissie voor de Beoordeeling van de Uitbreidingsplannen der Gemeente Bandoeng” (Komisi Untuk Penilaian Terhadap Rancangan Pemekaran Gemeente Bandung) yang dikepalai oleh Tuan E.H. Karsten (bukan Ir. Thomas Karsten). Dilanjutkan dengan penggunaan jasa arsitek swasta “AIA” yang dipimpin Ghijsels untuk membuat rancangan tata kota Bandung.
Entah kenapa kerja sama antara pemkot Bandung dan AIA tidak berlanjut. Namun yang pasti peta perencanaan buatan AIA tetap digunakan sebagai panduan tata Kota Bandung oleh Pemkot Bandung. Lewat tangan besi Walikota Bandung, perencanaan itu mendasari pembangunan fisik Kota Bandung khususnya di bagian utara. Sebagai buktinya, sekarang kita masih bisa menyusuri jalanan di Bandung utara dan mengamati sisa-sisa pembangunan era kolonial yang serius: villa-villa kolonial yang indah, trotoar yang besar, taman-taman yang magnificat, saluran air yang baik, jalur hijau, jalan-jalan yang lebar, dan banyak lagi. Semua itu demi menciptakan lingkungan yang ideal bagi warga Bandung (khususnya orang Eropa).
Perlu diketahui bahwa istilah-istilah “Parijs van Java”, “Tuinstad” (Kota Taman), “Garden of Allah”, tidak ditujukan untuk Bandung secara keseluruhan, melainkan hanya merujuk pada kawasan Bandung Utara saja. Bagaimana mungkin misalnya kawasan Tegalega yang sejak dulu kurang mendapatkan perhatian bisa disebut sebagai “Garden of Allah”? Sekarang ini jangan juga mengumbar Bandung sebagai “Parijs van Java” sebelum melihat kondisi lingkungan Pasar Baru atau Ciroyom. Bisa malu kita. Julukan “Tuinstad” bahkan seringkali diartikan sebagai kota dengan banyak taman, seperti yang sedang giat dijalankan pemkot sekarang. Padahal, dalam bahasa Belanda, taman-taman yang menjadi landmark kota disebut dengan “Park” bukan “Tuin”. “Tuin” sendiri adalah halaman/taman rumah. Julukan “Tuinstad” diperoleh Bandung karena rumah-rumah villa di bagian utara Bandung memiliki taman-taman/halaman rumah yang indah, semarak dengan bunga.
Supaya bisa mudah menata kota (dan tidak terganggu oleh pengusaha hitam dan spekulan), Pemkot Bandung membentuk Dinas Pembangunan Kota (Dienst Van Het Grondbedrijf) yang tugasnya mengatur pembangunan kota. Beda dengan Distarcip sekarang, Dinas Pembangunan jaman kolonial terlebih dahulu membeli seluruh tanah yang akan dibangun. Selanjutnya dinas yang awalnya dipimpin tuan Hetjas itu bertugas menyediakan persil-persil bangunan dan berbagai kelengkapannya seperti penyediaan lahan, pembuatan jalan, pengairan, dan sarana kota lainnya berdasarkan perencanaan tata kota yang telah disusun. Berbeda dengan pemerintah sekarang yang seringkali menyerahkan pada swasta untuk melakukan pembangunan fisik, lewat pengerjaan proyek yang dilakukan pemerintah sendiri lewat Dinas Pembangunan Kota, pemerintah bisa meminimalisir pengeluaran dan di sisi lain menciptakan hasil yang maksimal. Seperti diketahui, berbeda dengan swasta yang bekerja hanya untuk mendapatkan profit, pengerjaan proyek pembangunan kota oleh instansi pemerintah kota memiliki keuntungan di antaranya :
- Mengawal percepatan pembangunan Bandung serta menciptakan lapangan kerja;
- Menghindari spekulasi harga tanah;
- Menjaga harga tanah tetap rendah;
- Menyelesaikan pekerjaan jalan dan sarana kota lainnya yang membutuhkan keahlian teknik khusus serta menjaganya agar tetap higienis;
- Menjaga dan membuat kota Bandung yang hebat, indah, dan sehat;
- Tidak membebani pembayar pajak;
Seperti diketahui, pembangunan kota yang dilakukan Dinas Pembangunan Kota terbilang sangat sukses karena konsistensinya terhadap perencanaan tata ruang kota yang telah disusun. Dalam dokumen perencanaan tata kota saat itu, Bandung dibagi dalam 11 distrik (plan) yang memiliki karakteristik tertentu, contohnya:
Plan I atau disebut sebagai distrik Kebon – Djamboe, terletak di bagian timur kawasan Nusantara (Archipelwijk). Ditujukan untuk diisi bangunan besar yang kebanyakan digunakan instansi militer, serta kompleks bangunan kecil yang terletak di Cihapit.
Plan II berlokasi di utara Riouwstraat dan timur Dagoweg. Ditujukan untuk pusat pemerintahan. Di sana terdapat Gedung Gouvernementsbedrijven (Gedung Sate) dan bangunan departemen lain sebagai titik pusatnya.
Plan III dan VIII – Berlokasi di barat Dagoweg, sepanjang lembah Cikapundung. Ditujukan untuk menjadi pemukiman elit, dengan lingkungan yang sunyi dan memiliki pemandangan yang sangat indah.
Plan VII – Berlokasi di utara Plan V (Jalan Padasuka – Cihampelas – Cipaganti), ditujukan untuk perumahan villa (landhuizen). Setiap persilnya memiliki luas antara 1000 – 3000 M2 . Diatur juga bahwa pemilik dilarang membangun rumah lain dalam satu persil untuk menjaga keindahan lingkungan.
Plan IX – Berlokasi di bagian timur Dagoweg, sekitar Cikapayang, atau sebelah utara dari Plan II. Pada kawasan ini tersedia sedikit persil, bervariasi antara 600 – 1000 M2 yang ditujukan untuk didiami pejabat-pejabat pemerintahan di Bandung.
Plan XI – Dikarenakan Pemerintah Kota Bandung terbilang sangat ketat dalam membatasi pembangunan industri atau perusahaan di kawasan pemukiman di Bandung. Untuk itu disediakan kawasan khusus untuk tujuan industri, yaitu pada kawasan Plan XI yang terletak di selatan Grootepostweg Timur atau sekarang daerah Cicadas, Kebonwaru, Kiaracondong dll.
Intinya, pembangunan Bandung pada zaman kolonial bisa berjalan baik berkat disiplin yang kuat Walikota serta Dinas Pembangunan Kota (Dienst Van Het Grondbedrijf). Pada zaman kolonial, jangan harap bisa menemukan pom bensin di tengah-tengah kawasan pemukiman (seperti di Jl. Dago dan Riau) atau menemukan gedung-gedung pencakar langit di tengah pemukiman. Peraturan pembangunan diterapkan sangat ketat. Sayangnya pemerintah Kota Bandung pasca kemerdekaan tampaknya tidak mampu meneruskan pembangunan yang terencana tersebut, sehingga banyak pelanggaran tata ruang dilakukan tanpa pertanggungjawaban.
Perencanaan Kota Terbaru.
Sekarang kita kembali ke zaman sekarang dan melihat perencanaan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Bandung dalam dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). Pada dasarnya RDTR harus dibuat mengacu kepada RTRW yang lebih tinggi. Namun perhatikanlah perbandingan berikut:
Sekilas ada beberapa perbedaan. Tapi yang paling mencolok dalam RDTR (yang harusnya mengacu ke RTRW) adalah banyaknya area berwarna merah yang artinya kawasan tersebut diperuntukan untuk kepentingan komersial. Bahkan kawasan berwarna merah dalam RDTR itu tampak mewarnai seluruh jalan utama yang ada di Bandung. Suatu mimpi buruk bagi mereka yang menyadari dampaknya. Antara lain:
Bandung Kota Kembang akan menjadi Bandung Kota Kemang. Bagi mereka yang pernah mengunjungi kawasan Kemang di Jakarta pasti bisa membayangkan keadaan di sana. Jalanan yang kiri-kanannya diisi berbagai usaha kuliner dan lainnya. Kemacetan sudah menjadi hal biasa di sana. Dengan “merahnya” jalanan Bandung dalam perencanaan. Bukan hal aneh apabila di masa depan nanti tidak akan bisa ditemukan rumah tinggal yang asri dengan halamannya yang indah di pinggiran jalan utama Bandung. Semuanya toko, restoran, café, ruko, kantor, apartemen, dan usaha lainnya. Saat itulah Bandung tidak lagi menjadi “Parijs van Java” melainkan “Little Jakarta”.
Naiknya harga tanah secara gila-gilaan. Bagaikan petir di siang bolong, mereka yang tinggal di kawasan berwarna merah tersebut akan dikagetkan dengan tagihan PBB yang melonjak tinggi. Walau nilai asetnya bertambah, Pada akhirnya para pensiunan dan pemilik rumah-rumah indah yang tidak mampu membayar PBB terpaksa menjual tanahnya kepada investor yang ingin memanfaatkan sepetak tanah itu dengan maksimal – dibangunlah bangunan-bangunan vertikal pencakar langit yang menghalangi pemandangan gunung-gunung indah di seputaran Bandung. Nantinya, jangan harap juga bisa tinggal di sekitaran kawasan “merah” itu kecuali anda berdompet tebal. Bagi mereka yang kemampuan finansialnya pas-pasan, silakan tinggal di pinggiran Bandung, di apartemen atau rumah susun. Bandung itu mahal bung!
Ibaratnya jalan-jalan utama berwarna merah itu adalah urat nadi dalam tubuh. Keberadaan bangunan-bangunan komersial di pinggirannya adalah layaknya lemak-lemak yang menghalangi kelancaran peredaran darah. Tanpa pembangunan transportasi massal, bisa dipastikan kota Bandung akan mengalami “stroke” – kemacetan parah. Untungnya warga Bandung sudah mulai bisa menikmati kemacetan sehingga index of happiness tetap tinggi.
Bagi penikmat keindahan bangunan heritage, saat ini mungkin menjadi kesempatan terakhir untuk mengabadikan keberadaan heritage di jalur berwarna merah tersebut. Saat ini saja bisa dilihat banyak bangunan heritage sudah ditutupi pagar seng – tanda kematian bangunan tersebut. Bisa saja seseorang mengatakan bangunan heritage itu sebagai peninggalan “mantan” yang tidak perlu dilindungi. Untuk apa mempertahankan sebuah bangunan tua yang tidak bernilai ekonomi apabila sebuah hotel/cafe bisa didirikan di sana. Tapi perlu diingat bahwa bangunan heritage menjadi bagian dari identitas Bandung yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa heritage tersebut Bandung hanyalah sebuah kota yang kering, tanpa ciri khas, tanpa jejak sejarah…
***
Pertanyaan-pertanyaan akan terlintas di pikiran kita. Mengapa perencanaan itu begitu buruk ? Siapa yang membuatnya ? Bukankah masyarakat harusnya dilibatkan ? Pada prinsipnya pembuat rencana itu adalah Pemerintah Kota, menggunakan jasa konsultan yang pastinya merupakan para ahli dengan kemampuannya tidak diragukan lagi. Jadi jangan sok tahu mengatakan perencanaan ini buruk, memangnya kompetensi anda apa ? (jawaban yang menohok). Masyarakat tentunya sudah dilibatkan, bukankah investor dan pemodal itu masyarakat juga ?
Pertanyaan terakhir. Walikota Bandung kan bagus banget, kenapa bisa mengesahkan perencanaan ini ? Well anak muda… Janganlah terlalu naif.. Walikota Bandung sekarang memang terbilang sangat piawai dalam mengelola kota. No doubt lah. Namun perlu diketahui bahwa sebaik-baiknya pemimpin kota Bandung, masih ada kekuatan lain yang melebihi kekuasaannya. Selain dipengaruhi kualitas legislatif yang meragukan. Ada invisible hand yang senantiasa menjaga beberapa permasalahan kota agar tetap tidak tersentuh perubahan. Kekuatan inilah yang mendorong pembuatan perencanaan tadi.
Lalu kita bisa apa ? Mari kita menyibukkan diri kita dengan masalah kejombloan dan mantan saja. Buat apa mikir yang berat-berat… Saya tutup tulisan ini dengan kesimpulan “Tidak selamanya mantan itu buruk…”.