Catatan Ngaleut Imlek – Part 3 : Sejarah Singkat Orang Tionghoa di Bandung

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Image

Entah kapan tepatnya orang-orang Tionghoa pertama kali membentuk komunitas di Bandung. Namun tampaknya baru terjadi di awal abad 19 karena sebelumnya VOC melalui keputusan tanggal 6 April 1764 menutup Priangan dari para pendatang, utamanya orang Tionghoa. Larangan tersebut dikeluarkan untuk melindungi usaha monopoli Kompeni dari gangguan saudagar-saudagar Tionghoa.  Dalam praktiknya, Peraturan yang diterapkan VOC sulit dijalankan mengingat keterbatasan tenaga mereka untuk mengawasi mobilitas penduduk di Priangan, namun berdasarkan suatu laporan pernah disebutkan bahwa pada tahun 1754, seorang Tionghoa diasingkan ke Ceylon karena kedapatan berada di Bandung.

Peraturan-peraturan yang membatasi gerak-gerik orang Tionghoa di Jawa  itu didasari peristiwa pemberontakan tahun 1740 di Batavia, yang mendorong Kompeni untuk menyusun kebijakan wijkenstelsel , yaitu kebijakan yang  mengatur penempatan orang-orang Timur Asing pada suatu perkampungan khusus dengan batas-batas tertentu. Kebijakan ini disertai dengan dikeluarkannya Passenstelsel yang mewajibkan orang Tionghoa untuk membawa surat ijin khusus apabila ingin keluar dari batas wilayahnya. Kebijakan yang terakhir ini hanya berlangsung efektif hingga tahun 1830.

Kemungkinan besar gelombang pertama kedatangan orang Tionghoa ke Bandung baru dimulai ketika Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan Besluit van den Zomermaand tahun 1810,  yang mengatur penempatan orang-orang Tionghoa di perkampungan di Cianjur, Bandung, Parakanmuncang dan Sumedang. Melalui keputusan tersebut Daendels sengaja membentuk simpul-simpul pemukiman Tionghoa untuk menggenjot aktifitas pertanian dan perekonomian di kawasan. Berdasarkan aturan tersebut, pemukim Tionghoa diperbolehkan untuk menanam tembakau, nila, katun dan kacang di lahan-lahan yang tidak cocok ditanami padiInisiatif  Daendels tersebut dalam perjalanannya kurang diminati kalangan Tionghoa  karena mereka lebih suka tinggal di dekat Batavia dibandingkan di kawasan Priangan yang masih sepi dan liar. Menanggapi itu, Daendels bahkan memindahkan paksa orang-orang Tionghoa Cirebon ke Priangan.

Walau Belanda berusaha menerapkan peraturan yang ketat terhadap orang-orang Tionghoa, namun tampaknya peraturan ini diberlakukan secara lebih longgar di Bandung, yang selama paruh pertama abad-19 masih sangat sedikit memiliki penduduk Tionghoa. Menurut data yang dikumpulkan P. Bleeker tahun 1845,  pada tahun tersebut tercatat ada 13 orang Cina di distrik Bandung dan 15 orang di Distrik Ujungberung Kulon. Jumlah tersebut akan mengalami kenaikan signifikan ketika Belanda mulai membuka Priangan untuk orang Tionghoa di tahun pertengahan abad 19.

Setelan khas Tionghoa untuk Pedagang

Selama berpuluh tahun, kaum Tionghoa di Bandung berhasil membentuk komunitas dan mengoptimalkan peran mereka di bidang ekonomi. Kebanyakan dari orang Tionghoa di Bandung bergelut dalam usaha perdagangan barang dan jasa seperti pengrajin kayu, tukang cukur, tukang potong hewan, jasa pemborong bangunan, dll. Kemahiran mereka dalam bidang pertukangan juga memberi bagian besar kepada mereka untuk berperan dalam pembangunan jalur kereta api di Priangan di akhir abad-19.

Kalangan Tionghoa pendatang baru kebanyakan berprofesi sebagai pedagang atau pekerja kereta api lebih memilih untuk tinggal di sekitar kawasan stasiun kereta api dan pasar baru. Lambat laun konsentrasi tersebut akan membentuk kawasan pecinan (Chineese wijk). Namun berbeda dengan kawasan Pecinan di kota-kota Hindia Belanda lainnya, batas-batas kawasan pecinan Bandung tidak terlalu jelas. Beberapa orang Tionghoa bahkan diketahui pernah tinggal di luar area Pecinan.

Pasar Baru Bandoeng

Berdasarkan aturan lama VOC, komunitas-komunitas etnis tertentu diharuskan memiliki pemimpin atau koordinator sendiri yang diangkat atas persetujuan Belanda. Mereka diberi gelar yang menyerupai pangkat militer, antara lain Mayor, Kapten, dan Letnan. Mereka ini biasanya dipilih berdasarkan tinggkat kekayaan atau pengaruh yang dimiliki atas masyarakatnya. Khusus untuk komunitas Tionghoa di Bandung sendiri hanya dipimpin oleh seorang Letnan, yang tugasnya lebih ditujukan untuk memudahkan kontrol Belanda atas kegiatan masyarakat Tionghoa di bidang perdagangan dan pertukangan

Letnan Tionghoa  Pertama di Bandung bernama Oey Bouw Hoen, yang diangkat pada tanggal 2 Maret 1881. Setelah setahun menjabat, pada tanggal 2 Maret 1882 ia digantikan oleh Chen Hailong yang juga dikenal sebagai Tan Hai Liong atau Chen Haishe. Tan Hai Liong merupakan salah satu dari 85 perintis pembangunan kelenteng Hiap Thian Kiong / Xietian Gong. Anaknya yang bernama Tan Joen Liong atau Chen Yunlong (1859-1917) kemudian menggantikannya pada tahun 1888. Ia kemudian mendapat promosi untuk menjadi kapten di akhir abad 19. Oleh karena itu tidak aneh apabila pada makamnya di Cikadut tertulis pangkatnya adalah sebagai ‘Kapiten Titulair Der Chineezen’. Selain itu menurut Haryoto Kunto, terdapat pula asisten Letnan yang disebut wijkmaster. Pada tahun 1914, jabatan tersebut diisi oleh Tan Nyim Coy dan Thung Pek Koey, masing-masing mengepalai distrik Citepus dan Suniaraja. Jabatan Letnan kemudian dihilangkan karena setelah Bandung mendapat gelar Gemeente, peran koordinator golongan Cina  diambil alih oleh anggota dewan kota yang bernama Loa Boeng Eng. Para tahun 1941, dari 27 orang dewan kota terdapat tiga orang perwakilan Tionghoa.

Hilangnya posisi pimpinan kaum Tionghoa juga dipengaruhi semakin kaburnya batas-batas Pecinan. Perkembangan ini terjadi terutama ketika Pemerintah Kota Bandung mempercayakan Ir. Thomas Karsten untuk merancang rencana perluasan kota Bandung tahun 1930 dengan sebutan Uitbreidingsplan Stadsgemeente Bandoeng atau singkatnya dikenal sebagai “Karsten Plan”. Karsten yang telah terpengaruh pemikiran liberal mempercayai bahwa tata kota yang efektif harus lebih menekankan pembagian kota berdasarkan fungsi ekonomi kawasan alih-alih berdasarkan unsur rasial. Sejak itu orang Tionghoa kaya bisa memiliki kediaman di kawasan elit Eropa seperti di daerah Dago dan Cipaganti. Status sosial mereka pun mengalami peningkatan dibanding sebelumnya.

Pemakaman Cikadut

Politik diskrimasi Belanda bagaimanapun telah menciptakan atmosfir kecurigaan antara kaum Pribumi dan Tionghoa. Eskalasi kecemburuan sosial kalangan Pribumi terhadap kaum Tionghoa ini akan meletus menjelang kedatangan Jepang ke Nusantara. Dalam bagian selanjutnya akan dibahas perkembangan pertentangan antara kaum Tionghoa dan Pribumi di Bandung…

Bersambung ke Part 4…

 Image

Iklan

Catatan Ngaleut Imlek – Part 2 : Keunikan Cap Go Meh Tempo Doeloe

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Image

Masih dalam rangka ngebahas Imlek, ada beberapa hal menarik yang khas terjadi seiring diadakannya perayaan tersebut di masa lalu. Salah satunya adalah tradisi memberi ikan Bandeng kepada pihak mertua. Semakin besar  ikan bandeng yang diberikan seorang calon menantu kepada mertuanya,maka semakin tinggi derajatnya di hadapan sang mertua.  Sebaliknya barang siapa yang gagal mempersembahkan ikan bandeng ke mertua menjelang Cap Go Meh, jangan harap bisa direstui sebagai menantu. Tradisi ini masih ditemukan di kalangan Tionghoa yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Oleh karena itu, jaman dahulu tidak aneh apabila harga ikan bandeng melonjak puluhan kali lipat setiap kali menjelang Cap Go Meh.

Selain tradisi memberi Bandeng kepada mertua tersebut, ada juga kebiasaan lain berupa memelihara ikan di bulan Sin Cia (Bulan pertama tahun baru). Oleh karena itu tidak aneh apabila biasa ditemukan penjual-penjual ikan di sekitaran Kelenteng selama bulan tersebut. Konon memelihara ikan sejak dimulainya bulan Sin Cia bisa mempermudah datangnya rezeki.

Menurut orang-orang Tionghoa, pesta Cap Go Meh dianggap sebagai upaya membuang sial yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya dan pengharapan bagi kemajuan usaha di tahun berikutnya. Oleh karena itulah seringkali pesta Cap Go Meh diadakan secara sangat meriah. Kemeriahan tersebut seringkali dilakukan dengan cara melakukan iring-iringan massa yang disertai berbagai tetabuhan musik yang disebut “Tanji”. Tanji adalah alat musik berupa terompet yang diiringi tetabuhan yang biasanya dimainkan orang pribumi. Musik tanji dimainkan berulang-ulang menemani iring-iringan yang saling berjoget ria. Banyak pula peserta iring-iringan ini yang berjoget sambil meminum arak, karena konon semakin mabuk akan semakin mendapat kehormatan. Iring-iringan ini biasanya dikawal pemuda-pemuda yang membawa tali tambang untuk membatasi rombongan. Siapapun yang memasuki batas tali tambang ini diwajibkan untuk ikut berjoget… Nah ternyata kebanyakan orang yang ikut berjoget itu orang-orang kita sendiri…

 Image

Para peserta iring-iringan tersebut biasanya bukan orang-orang biasa melainkan para pemuda Tionghoa terpelajar yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencari jodoh. Sudah merupakan aturan bahwa setiap pemuda dalam iring-iringan tersebut bisa bebas untuk mencolek perempaun di sana, sedangkan si perempuan tidak boleh marah. Para pemuda tidak sungkan mencolek dan menggoda walaupun sang perempuan didampingi orang tuanya. Bahkan dalam kesempatan ini sang pemuda boleh langsung melamar sang perempuan. Bagi pemuda yang sudah cukup modal, ia bisa mendatangi kediaman sang perempuan di malam hari Cap Go Meh, menayakan langsung kesediaan sang perempuan dan izin orang tuanya. Biasanya pemuda yang melamar di malam Cap Go Meh ini jarang menemui kegagalan. Konon jodoh yang didapat para hari Cap Go Meh lagi-lagi bisa mendatangkan keuntungan buat usaha.

Nah asal muasal kebiasaan unik sudah berasal dari kejadian di Tiongkok jaman dulu. Kala itu para perawan sangat dilarang untuk keluar rumah. Mereka baru bisa, bahkan harus keluar rumah baru apabila diadakan perayaan Cap Go Meh. Oleh karena itulah, di Tiongkok saat itu hanya ada dua kesempatan bagi seorang laki-laki untuk bisa mempersunting perempuan. Pertama apabila mereka sudah dijodohkan oleh kedua pihak orang tua sejak kecil. Kedua adalah apabila berjodoh di kala pesta Cap Go Meh. Artinya apabila seorang perawan tidak dijodohkan dengan siapapun sejak kecilnya, dia harus menunggu Cap Go Meh untuk mendapatkan jodoh. Apabila di saat itu tidak ada yang berminat terhadapnya, terpaksa pula dia harus menunggu hingga Cap Go Meh tahun berikutnya…

Ada lagi yang unik di malam perayaan Cap Go Meh tempo doeloe, yaitu mendadak lakunya pedagang tongkat rotan. Tongkat rotan ini biasa digunakan pemuda-pemuda “cunihin”  yang menggunakannya dengan cara membalik tongkat, bagian yang melengkung  lantas dikaitkan untuk menarik ikat pinggang cewek-cewek atau untuk menyingkap rok mereka… hehehe…

Iring-iringan ini biasanya dilakukan hingga 50 kali balikan mengelilingi kawasan Pecinan. Suasana kebersamaan begitu kental karena para pesertanya bukan hanya terdiri dari orang Tionghoa, orang pribumi hingga bangsa keturunan arab pun ikut ulubiung di dalamnya. Bubarnya iring-iringan ini biasanya baru terjadi apabila pesertanya sudah kelelahan.

Nah, kemeriahan Cap Go Meh ini sudah lama sekali tidak terjadi karena pemerintah orde baru melarang segala kegiatan berbau tradisi Tionghoa. Beruntunglah kini kemeriahan tersebut masih bisa kita temui kembali, namun sayangnya beberapa tradisi seperti yang dikisahkan di atas tampaknya sudah tidak lagi dilakukan generasi saat ini.  Tapi tak apalah, yang penting kemeriahan Imlek masih tetap ada, serta menjadi bagian dari kekayaan budaya kita. Kung Hua Sin Shi !

Bersambung ke bagian 3…

Gambarnya kurang jelas, tapi ini adalah suasana pemandangan di Situ Aksan tempo doeloe ketika Imlek. Entah apa sebabnya orang-orang Tionghoa Bandung kala itu memilih Situ Aksan sebagai tempat berekreasi…