Tag: Menitip Mati

Catatan Momotoran Sumedang: Dari Cijeruk sampai Gunung Puyuh. 13-04-2024.

Oleh Irfan Pradana Putra

Hari ini, Sabtu, 13 April 2024, kami melakukan kegiatan momotoran pendek saja ke daerah Sumedang. Salah satu tujuan awalnya adalah ingin melihat keramaian suasana arus balik setelah lebaran, tapi ternyata sejak berangkat dari Bandung, sama sekali tidak terlihat kepadatan kendaraan di jalur utama Bandung-Sumedang. Hanya di Cibiru saja ada sedikit kepadatan, selebihnya dapat dikatakan hampir kosong melompok. Semua jalur jalan nyaris lengang. Berikut ini adalah catatan perjalanannya.

Kami berangkat sekitar pukul 08.00 dan langsung menuju ke lokasi pertama di Cinunuk, yaitu lokasi sebuah pin di google maps dengan keterangan “Makam Ki Darman”. Tapi setelah tiba di lokasi, ternyata tidak ada makam di situ, hanya satu area bekas kantor pemerintah yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Pagar depan terkunci. Di sebelah kiri ada sebuah plang khas pemerintahan yang kurang jelas terbaca dari tempat kami berdiri. Ke belakang, masih ada halaman. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan makam di sini. Lalu, kenapa ada orang yang nge-pin lokasi ini sebagai lokasi makam Ki Darman? Salah pin?

Setelah menelusuri riwayat dalang Partasuwanda melalui cerita dari putranya, Mumun Partasuwanda, yang sudah ditulis di  sini , kami mendapatkan beberapa nama tokoh yang mengawali keberadaan seni wayang golek di Jawa Barat. Di antaranya dalang Dipaguna Permana yang didatangkan oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah II (memerintah 1794-1829), lalu Ki Darman, Ki Rumiang, dan Ki Surasungging, yang didatangkan pada masa Bupati Bandung Wiranatakusumah III (memerintah 1829-1846). Semua tokoh tersebut di atas berasal dari Tegal.

Dari empat nama di atas, Dipaguna dan Ki Rumiang yang berprofesi sebagai dalang, sedangkan Ki Darman adalah seorang pembuat wayang, dan Ki Surasungging pembuat alat musik. Yang memelopori pertunjukan wayang dengan bahasa Sunda adalah murid dari Ki Rumiang, yaitu dalang Anting.

Setelah melihat ada pin dengan tag Makam Ki Darman di google map, tentu saja kami merasa perlu untuk mendatanginya dengan harapan bisa melanjutkan potongan-potongan cerita tentang awal perkembangan seni wayang golek di Jawa Barat. Sayangnya, pin itu tidak diletakkan pada posisi yang tepat, sehingga kami tidak menemukannya.

Di sebrang jalan tempat kami kebingungan mencari lokasi yang disebut sebagai Makam Ki Darman itu ada sebuah rumah tua yang letaknya menjorok ke dalam dan di depannya punya jalan masuk sendiri. Di bagian dalam ada beberapa rumah. Kami ke sana mencoba bertanya. Ternyata keluarga ini dari kalangan ulama dan masih berkerabat dengan Hoofd Penghoeloe  Hasan Mustapa . Mereka menunjukkan lokasi makam yang letaknya lebih jauh ke dalam dari lokasi pin yang kami datangi. Untuk ke sana, harus ambil jalan memutar melewati Jalan Pandanwangi. Kalau masuk lebih jauh, bisa ketemu kampus UPI Cibiru.

Tidak terlalu jauh dari mulut jalan, agak menjorok di sebelah kiri jalan sudah terlihat keberadaan kompleks makam. Tidak terlalu besar. Kami masuk melalui jalan tanah lalu parkir di sebuah blok makam kecil yang berpagar dan terpisah dari makam-makam lainnya. Kami menemui seorang bapak yang tinggal di area makam itu. Ternyata beliau sama sekali tidak tahu soal Ki Darman, malah menunjukkan sebuah makam lain yang tidak terurus yang disebutnya sebagai makam Ki Takrim, yang juga seorang dalang dan cukup sering didatangi orang-orang dari jauh untuk berziarah. Nama Ki Takrim tidak ada dalam list kami, tapi si bapak mengatakan bahwa tokoh itu juga termasuk dari kalangan perintis wayang golek.

Makam Ki Dalang Takrim yang sudah tertutup oleh rimbunan tanaman dan alang-alang

Update: Beberapa hari kemudian baru kami temukan informasi yang lebih meyakinkan soal lokasi makam Ki Darman ini, yaitu di Kampung Babakan Sukamulnya RT.03/13, Cinunuk, Cileunyi. Sementara ini kami belum ke sana, mungkin dalam waktu dekat ini.

Continue reading

Momotoran Sumedang 15-04-2024

Oleh Irfan Pradana

Fear of Missing Out atau orang-orang biasa menyebutnya dengan singkatan FOMO adalah sebuah perasaan takut atau cemas “tertinggal” dalam melakukan aktivitas tertentu. Biasanya perasaan ini timbul karena ketinggalan info atau tren.

Mungkin perasaan inilah yang melatarbelakangi kegiatan Momotoran kali ini. Saya, setidaknya, kerap melewatkan momen libur lebaran dari tahun-tahun dengan hanya berdiam diri di rumah. Malas, macet, dan panas, kira-kira itu saja alasan klasiknya. Apalagi saya lahir dan besar di kota Bandung hingga saat ini. Tidak punya kampung halaman di pedesaan atau tempat jauh, jadi tidak pernah merasakan momen mudik lebaran. Sebab itu jadi semakin banyak pula alasan saya untuk berdiam di rumah.

Tapi lebaran tahun ini rasanya berbeda. Saya terkena gejala FOMO, rasanya ingin seperti orang lain, ikut dalam hingar bingar libur lebaran, pelesiran, dan bermacet ria di jalanan. Oleh karena itu saat kawan di Aleut mengajak Momotoran, tanpa banyak pertimbangan, saya langsung mengiyakan. Ya, hitung-hitung main sambil belajar pengalaman baru.

Makam Dalang Ki Darman, Dalang Takrim, dan Maestro Pop Sunda Kosaman Djaja.

Kapan hari kami sempat bergumul cukup intens dengan arsip-arsip sejarah wayang golek. Kegiatan ini merupakan bagian dari Kelas Literasi Aleut. Waktu itu saya dan kawan-kawan berkesempatan mewawancarai anak dari Umar Partasuwanda, salah seorang dalang wayang golek angkatan awal.

Berangkat dari sana akhirnya mencari-cari literatur terkait wayang golek dan menemukan nama seorang tokoh lain yang disebut-sebut sebagai pionir wayang golek di tatar Priangan. Namanya, Ki Darman.

Ki Darman adalah seorang pembuat wayang yang berasal dari Tegal. Pada abad 19 ia diminta untuk membuat wayang dari kayu oleh Dalem Karanganyar atau Wiranata Koesoemah III. Dari sinilah awal mula wayang golek mulai dibuat, dipentaskan, dan terus berkembang luas ke seluruh wilayah priangan.

Informasi mengenai makam Ki Darman kami dapatkan setelah mencari-cari informasi di internet. Di sana disebutkan bahwa Ki Darman bergiat dan menghabiskan hidupnya di sekitar Cibiru dan Cinunuk Kabupaten Bandung. Ditambah lagi terdapat informasi terkait wayang khas Cibiruan.

Informasi semakin mengerucut karena di Google Maps terdapat sebuah lokasi bernama “Makam Ki Darman”. Titiknya berada di Cinunuk, antara Cibiru dan Cileunyi Kabupaten Bandung. Berbekal informasi inilah kami jadikan titik tersebut sebagai destinasi pertama.

Sangat sulit mencari lokasi persisnya. Halaman Google Street View menunjukkan sebuah gerbang besi, namun saat kami di sana, gerbangnya dikunci rantai dan gembok. Seperti sudah lama tidak pernah dibuka. Kami bertanya kepada warga sekitar, sayang tidak ada satu pun yang tahu.

Mereka menganjurkan kami untuk memutar ke jalan belakang karena di sana ada area pemakaman. Bisa jadi di sanalah makam Ki Darman katanya.

Setelah mengikuti anjuran tersebut, kami tiba di sebuah petak pemakaman. Kira-kira jumlah makam di sana ada puluhan. Terlalu sedikit untuk disebut tempat pemakaman umum. Lebih cocok sebagai kompleks makam keluarga.

Kami langsung menemui juru kuncinya  menanyakan makam Ki Darman. Ia menggelengkan  kepalanya. “Aya gé Pak Dama di dieu mah, teu aya nu namina Darman. Sanés dalang deuih anjeunna (Dama) mah.” terang sang kuncen. “Dalang mah ieu tah, Dalang Takrim. Sok seueur anu ka dieu ti pegiat wayang.” Tangannya menunjuk ke makam yang sudah tak berbentuk karena ditumbuhi rumput liar sampai setinggi orang dewasa.

Makam Ki Takrim yang sudah tertutupin rimbunan tanaman dan alang-alang.

Kami segera mencari nama Dalang Takrim di laman pencarian. Benar, ada seorang dalang kondang bernama Takrim di Cibiru. Menurut kuncen, makam dalang Takrim sering didatangi peziarah dari lingkung seni pewayangan.

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑