Tag: Locale Techniek

Pembukaan Masjid Cipaganti, 27 Januari 1934

Oleh: Aditya Wijaya

Masjid Besar Cipaganti di tahun 1933-1934 (Locale Techniek)

Siapa sih Bandoenger yang tidak mengenal Jaarbeurs? Jaarbeurs alias Pameran Dagang Tahunan di Kota Bandung itu, pada tahun 1933, sudah menginjak edisi ke-14.  Kegiatan pameran dagang ini sudah sangat kasohor sejak pertama diselenggarakan pada tahun 1920.

Sudah menjadi kebiasaan, panitia Jaarbeurs akan mengundang seluruh awak media untuk mengikuti sebuah tur sebagai bagian dari kegiatan ini. Tur ini dimaksudkan untuk melihat stan-stan yang dihadirkan di Jaarbeurs. Tur ini dipandu dengan cara menyenangkan oleh Bapak H. Ph. Chr. Hoetjer, Ketua Dewan Pengawas Jaarbeurs.

Tur dimulai dari gedung utama. Di sana terlihat pameran hadiah-hadiah yang ditujukan untuk para pemenang lotre Jaarbeurs, di antaranya ada dua buah mobil yang bagus, sepeda motor, dan beberapa kulkas.

Ruang-ruang di Jaarbeurs tahun ini diisi juga oleh stan Technical Handelmij. Sementara stan lainnya oleh De Rooy, lalu ada produsen produk-produk terbaru dalam bidang sanitasi, lampu, perlengkapan listrik, dan peralatan rumah tangga.

Sementara itu, ada sebuah stan dengan judul De Inheemsche Nijverheid atau Industri Pribumi. Stan ini mengambil tempat yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu memasuki stan ini di Gedung C, perhatian langsung tertuju pada fasad masjid baru di Cipaganti yang layak untuk diperhatikan secara mendetail.

Kesan umum para awak media setelah mengikuti tur mengatakan bahwa Dewan Direksi Jaarbeurs berhasil membuat area-area di Jaarbeurs terlihat lebih ceria dan menarik, meskipun dengan catatan masih banyaknya tempat yang kosong. Hiasan untuk berbagai fasilitas hiburan menawarkan aspek yang sangat istimewa, akan sangat berkontribusi pada jumlah kunjungan yang lebih sering dan menciptakan suasana yang intim.

Peresmian Masjid

Hari Sabtu, 27 Januari 1934 pada pukul 10 pagi, dilaksanakan peresmian masjid baru di Cipaganti. Peresmian ini dilakukan oleh Kepala Penghulu R. H. Abdul Kadir. Pembangunan masjid dimulai pada bulan November 1932 dan desainnya telah dipamerkan pada Pameran Tahunan Jaarbeurs tahun 1933. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan masjid ini adalah sekitar 11 ribu gulden.

Di antara para tamu yang hadir, terlihat: Residen Bandoeng, Bapak M. F. Tydeman; Wali Kota Bandoeng, Ir. J. E. A. von Wolzogen Kühr; Asisten-residen Sonnevelt dan Velthuizen; Bapak E. Gobee, Penasehat Urusan Pribumi; Patih Bandoeng; Kepala Penyelidik Politik H. H. Albreghs; perancang masjid Prof. C. P. Wolff Schoemaker; para wali kota, Ir. H. Biezeveld, Tjen Djin Tjong, dan Ating Atma di Nata; Kolonel H. P.  Chr. Hoetjer; Ir. Coumans; dan Bapak Anggabrata, sebagai pembangun Masjid.

Setelah semua hadirin duduk di pendopo yang disiapkan di sebelah Masjid, patih mengambil kesempatan untuk menyambut semua tamu. Kemudian diserahkan kepada Bapak Anggbarata, yang menjelaskan tentang pembangunan tempat ibadah ini, lalu menyerahkannya kepada Kepala Penghulu.

Dalam bagian “Pedagang Indonesia” pada daftar alamat di Bandung tahun 1941 tertera nama Anggabrata sebagai Bouw en Grondbejrif dengan alamat Gr. Lengkong 64 (Delpher)

Selanjutnya, Kepala Penghulu, R. H. Abdul Kadir, menyambut semua tamu. Beliau berbicara tentang pembangunan Masjid. Sejumlah orang Eropa dan berbagai perusahaan Eropa telah berkontribusi pada pembangunan tempat ibadah ini. Dia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan bantuan untuk menyelesaikan rumah sakral yang berharga bagi umat Islam ini.

Kemudian Prof. Wolff Schoemaker, sebagai perancang masjid berbicara kepada para hadirin dalam bahasa Sunda dan memberikan penjelasan singkat tentang proses pembangunannya.

Setelah pidato-pidato ini selesai, dibuka kesempatan bagi para tamu untuk mengunjungi masjid, para tamu Eropa diminta oleh kepala penghulu untuk melepas sepatu mereka. Hampir semua tamu memanfaatkan kesempatan tersebut.

Masjid Cipaganti

Masjid Baru Cipaganti di Nijlandweg Bandung saat itu dipandang sebagai sesuatu yang aneh, tapi juga cantik. Masjid ini didesain oleh seorang arsitek yang sudah sangat dikenal namanya, terutama di Kota Bandung, yaitu Prof. C. P. Kemal Wolff Schoemaker, dengan Anggabrata sebagai kontraktornya. Pendirian masjid dilakukan dengan keterbatasan dan persediaan biaya yang sangat sedikit. Dengan pertolongan Bupati Bandung saat itu, dipergunakanlah banyak hasil karya seni pribumi. Terlebih yang menarik perhatian adalah hiasan dari ubin berbahan tanah yang dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung. Selain itu ada juga hiasan berbahan besi, sementara semua bagian kayunya dibuat oleh murid-murid pribumi dari Gemeentelijke Ambachtsschool.

Kiri: Lampu utama masjid buatan Laboratorium Keramik di Bandung. Kanan: Mihrab menghadap kiblat, tempat Imam memimpin shalat.
Terlihat mihrab tempat Imam shalat (Locale Techniek)
Terlihat arah luar masjid dari gapura pintu masuk (Locale Techniek)

Jika kita masuk lebih dalam ke ruangan masjid, akan terlihat sebuah lampu berukuran besar. Lampu ini tergantung di bagian tengah masjid dengan rancangan Islam. Mangkuk di bagian bawah lampu mempunyai bagian yang tengah-tengahnya terbuat dari albash dengan hiasan berupa huruf-huruf kaligrafi Arab. Lampu ini juga memiliki 25 titik penerangan terhias dengan plat-plat berbahan kuningan, dengan tulisan beberapa lafal Al-Quran. Lampu ini dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung.

Dasar plengkung masjid berbentuk bangunan persegi dengan hiasan pita yang lurus. Semuanya ini mendapatkan lapisan dari ubin glasuur berwarna hijau, memberikan rupa yang cantik, terutama karena warna ubin glasuur hijau mendekati warna tembaga. Di pinggirannya tertulis lafal Al-Quran.

Sinar matahari dapat masuk dari arah selatan melalui rangkaian jendela yang memiliki kaca berwarna. Di kanan kiri masjid terdapat dua tempat untuk mengambil wudhu. Tempat wudhu ini berbentuk bangun pojok segi delapan dengan lapisan tegel glasuur.

Tujuh buah pancuran dipasang sekeliling tempat wudhu. Pancuran di sebelah barat sengaja tidak dipasang, hal ini bertujuan agar orang yang mengambil wudhu jangan sampai menyingkur arah kiblat.

Tempat berwudhu (Locale Techniek)
Tampak depan masjid (Locale Techniek)

Itulah gambaran singkat kondisi Masjid Cipaganti pada saat awal pembukaannya. Saat ini jika rekan-rekan berkunjung ke Masjid Cipaganti, masih dapat merasakan keaslian pada bagian utama masjid yang belum banyak berubah. Lampu utama masih seperti aslinya dan beberapa hiasan yang menempel juga rasanya masih sesuai aslinya buatan Laboratorium Keramik di Bandung.

Sumber:

1. Majalah Locale Techniek Maret 1934

2. Koran De Koerier 24 Juni 1933

3. Koran De Koerier 26 Januari 1934

4. Koran De Koerier 27 Januari 1934

5. Koran Het Nieuws Van Den Dag 29 Januari 1934

***

Makam Pandu atau Makam Eropa Baru (De Nieuwe Europeesche Begraafplaats) di Bandung

Oleh: Aditya Wijaya

Pintu masuk Makam Pandu, terlihat relief dan tiang tinggi dengan lentera kaca di atasnya (Locale Techniek)

Belakangan ini saya sering sekali mengunjungi Makam Pandu, kunjungan ini dalam rangka melakukan inventarisasi makam-makam tua di sana. Satu demi satu makam saya coba arsipkan baik foto, inskripsi, serta lokasinya.

Inventarisasi ini mengharuskan saya untuk berkeliling dari ujung ke ujung kompleks makam. Sedikit banyak saya menjadi tahu kondisi terkininya. Penuh dan sesak adalah dua kata kunci kondisi Makam Pandu saat ini. Untuk sekadar berjalan saja menyusuri makam-makam di sana rasanya sangat sulit. Saya terkadang harus loncat ke sana sini melewati makam-makam. Terkadang juga harus berhenti hanya demi mencari jalan yang sedikit nyaman. Tidak banyak jalur jalan yang jelas di antara makam-makam, selain jalur jalan setapak utama, bahkan sepertinya sebagian jalur jalan ini pun sudah terisi oleh makam-makam.

Ukuran makam yang bervariasi, dengan atap makam yang tinggi membuat beberapa kali kepala saya terbentur, lumayan sakit sih, soalnya bahan makam terbuat dari bebatuan kasar. Selain itu, bahan batu kasar ini bisa membuat pakaian tergores, dan paling parah hingga sobek. Tak jarang sesekali bagian tubuh terkena goresan batu makam hingga mendapatkan luka kecil.

Kondisi Makam Pandu sekarang ini membuat saya penasaran, bagaimana sih perjalanan Makam Pandu dari awal pembangunan hingga kondisinya seperti sekarang? Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya saya menyimpan satu artikel dari sebuah majalah “Locale Techniek” yang ditulis A. Poldervaart.

Kita putar mundur waktu ke warsa 1930-an. Saat itu kompleks makam orang Eropa di Bandung terletak di Jalan Pajajaran. Karena pertumbuhan Kota Bandung yang semakin cepat, makam ini dengan segera di kelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Hal ini menyebabkan biaya yang sangat mahal jika orang ingin menambah lahan untuk permakaman, sementara luas areanya tidak dapat ditambah lagi. Oleh karena itu maka direncanakan secara bertahap untuk menutup makam ini dan membuka kompleks permakaman baru.

Tidak semua lahan dapat digunakan untuk membuat makam baru, harus memilih tanah yang relatif datar, dapat meresap dan mengalirkan air dengan baik, tidak mendapat kiriman atau banjir air dari tempat yang lebih tinggi, dan tanahnya tidak terbuat dari lempung atau lapisan tanah yang keras.

Dalam memilih lokasi untuk makam baru, harus diperhatikan juga kemungkinan bertambahnya luas kota, jangan sampai lokasi baru ini kelak menahan perluasan kota. Sebab orang-orang juga tidak merasa senang tinggal dalam rumah yang letaknya berdekatan dengan kompleks makam.

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka dipilihlah sebuah lahan yang dianggap cocok untuk makam baru tersebut. Lokasinya ada di barat laut kota, dekat dengan lapangan udara Andir yang secara alami akan membatasi dan menghalangi ekspansi permukiman ke arah itu. Di lokasi baru ini juga terdapat saluran irigasi (jalur pipa Leuwilimus) yang terletak di sepanjang sisi utara makam. Saluran irigasi ini bertugas mengumpulkan dan mengalirkan semua air permukaan.

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑