Oleh Deuis Raniarti

Tak biasanya aku terbangun pagi sekali, aku melongok ke luar. Sudah ramai orang berjalan berbondong-bondong. Hari ini ada memang ada kegiatan besar, penganugrahan Ridder in de Orde van Oranje-Nassau yang akan diterima oleh administratur perkebunan Kertamanah. Aku pun bergegas, ingin segera bergabung dengan orang-orang. Aku berjalan perlahan, tatapanku tak hanya ke depan. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, laki-laki dan perempuan Belanda berpakaian dengan mode fashion terkini. Orang sepertiku juga sama, memakai pakaian terbaik yang mereka punya untuk menghadiri perayaan yang megah ini.

Kulihat beberapa pekerja sibuk menerima banyak telegram untuk tuannya, pekerja yang lain sibuk menata kiriman karangan bunga yang terus berdatangan, dan di bagian lain terlihat tumpukan bingkisan hadiah untuk Sang Tuan.

Kuhampiri Sang Tuan yang sedang berbahagia, “Halo tuan, perkenalkan, saya Rani, dari masa depan.” Ia terkejut. “Dari masa depan? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku menjawab “Aku hanya ingin turut mengucapkan selamat atas pencapaianmu, terima kasih atas kerja kerasmu selama berpuluh tahun di sini.” Ia yang menerima ratusan ucapan selamat pada hari itu membalas ucapanku dengan senyuman. “Bagaimana kau mengenalku?” Ia tampak keheranan. “Tentu saja aku kenal, siapa yang tak kenal pada administratur yang sukses ini? Lihat saja ke depan sana, apa karangan bunga itu tak cukup membuatku paham?” Ia pun tertawa. “Tuan Jongkindt, apa kau tidak akan bertanya padaku tentang apa yang akan terjadi di masa depan?” tanyaku, “Hahaha, tidak. Biarkan ia terjadi seperti yang seharusnya. Aku akan menjalani kehidupanku seperti biasanya.” Balasnya. “Baiklah, kalau begitu aku harus kembali. Sampai bertemu lagi.

90 tahun kemudian…

Pagi itu sekelompok orang bermotor menuju Kertamanah, menembus kabut tebal di jalan Pangalengan yang berkelok-kelok, pendek-pendek. Cuaca saat itu tak menentu, kadang hujan kadang tiba-tiba panas. Sepanjang perjalanan terlihat rumah-rumah bedeng yang sederhana berjajar rapi, ukurannya tidak terlalu besar, di tengahnya terdapat sekat yang memisahkan rumah menjadi dua bagian, masing-masing bagian itu dihuni oleh satu keluarga. Atapnya unik, mengerucut ke atas, dan melebar ke bawah. Kupandangi beberapa kali, rumah yang biasanya terlihat hitam putih dalam arsip kini memunculkan warnanya.

Foto 1 Rumah Bedeng di Perkebunan Kertamanah. Jalannya sudah ditinggikan sehingga posisi rumah berada di bawah jalan. Komunitas Aleut, 2024.

Kami tiba pukul sepuluh di kediaman Jongkindt Coninck semasa ia menjadi administratur di Kertamanah. Lokasinya sekitar 400 meter dari Lapangan Cinyiruan. Rumahnya tidak langsung terlihat dari jalan, perlu menanjak sedikit ke sebelah kiri. Area rumahnya cukup luas. Bangunannya pun cukup besar. Bagian bawah dindingnya menggunakan bahan campuran batu kali, agak khas untuk rumah-rumah lama. Atapnya sepertinya sudah berganti.

Continue reading