Tag: Bandoeng Vooruit

M.A.J. Kelling dan Rumah Wijde Blik di Kromhoutweg

Oleh: Aditya Wijaya

Rumah Wijde Blik (Arsip Komunitas Aleut, 2001)

Rumah dalam foto di atas ini terletak di sudut antara Jalan Dayang Sumbi dan Taman Sari, Kota Bandung. Rumah ini ada di pertigaan dan dapat terlihat jelas jika sedang berkendara karena lokasinya yang strategis.

Jika kita melihat foto lama rumah, di atas pintu masuk tertulis “Wijde Blik”. Saya mencoba mencari arti dari kata Wijde Blik melalui Chatgpt. Wijde Blik diterjemahkan menjadi “Pandangan Luas” atau “Perspektif Luas”.

Rasanya arti kata Wijde Blik mencerminkan saat kita memandang rumah ini. Rumah yang luas, dalam sudut pandang orang yang melihatnya.

Rumah Wijde Blik dimiliki oleh Martin Amandus Jonathan Kelling. Bangunannya dirancang oleh arsitek J.C.J. Piso yang memiliki nama lengkap Jelle Carel Johannes Piso. Dalam buku Arsitektur di Nusantara yang disusun oleh Obbe Norbruis, termuat sebuah iklan dari dari arsitek J.C.J. Piso.

Iklan Arsitek J.C.J. Piso (Arsitektur di Nusantara)

Rumah Modern di Hindia Belanda

Dalam sebuah artikel berjudul “De Modernne Indische Woning”  di majalah Tropisch Nederland Edisi No. 6, 13 Juli 1928 yang dijelaskan secara rinci deskripsi rumah ini. Dari judulnya, dapat diterka isi bahasannya adalah gambaran mengenai model atau tipe rumah modern di Hindia Belanda. Artikel ini ditulis oleh sang pemilik rumah, M.A.J. Kelling. Dia adalah adik dari Ernst Gerard Oscar Kelling yang namanya tertulis pada prasasti pendirian rumah sebagai peletak batu pertama dalam pembangunan rumah Wijde Blik. Terpahat juga tanggalnya, yaitu 2 Maret 1927.

Rumah Wijde Blik (majalah Tropisch Nederland)
Prasasti peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Ernst Gerard Oscar Kelling (Arsip Komunitas Aleut 2011)

Berikut ini deskripsi rumah Wijde Blik yang dijelaskan dalam artikel:

Dari luar, rumah tinggal ini terlihat seperti sebuah atap dengan empat dinding putih, di mana terdapat beberapa pintu dan jendela. Di dalamnya terdapat beberapa ruangan persegi dengan dinding putih. Ada teras depan yang terbuka dan teras belakang yang terbuka juga. Teras ini dihubungkan dengan koridor beratap besi yang menuju ke “bangunan tambahan” atau bisa juga disebut “bangunan luar”.

Yang dimaksud dengan “bangunan tambahan” adalah deretan kamar-kamar kecil, tempat dapur, kamar mandi, WC, gudang dan kamar-kamar untuk pelayan. Perabotan sepenuhnya selaras dengan dinding-dinding putih yang kaku. Di teras depan biasanya terdapat “set kursi” yang elegan, sebuah meja kecil dengan daun marmer dan empat kursi goyang yang diatur simetris, dikelilingi beberapa pot berisi pohon palem atau begonia di atas dudukan.

Ruang belajar di rumah Wijde Blik. Semua furnitur yang terlihat di ruangan ini dibuat di Hindia Belanda oleh arsitek furnitur Jac Rietdijk. (Tropisch Nederland)

Teras belakang yang biasanya menjadi ruang makan dan ruang keluarga sekaligus, dilengkapi dengan meja persegi panjang dengan enam kursi. Sebuah lemari dengan pintu kawat hijau (untuk menyimpan makanan, roti, mentega, dll.) serta bufet coklat tua, semuanya dibuat oleh seorang Tionghoa. Di kamar tidur terdapat tempat tidur besi dengan kelambu (tirai nyamuk), lemari linen, meja cuci dengan baskom dan kendi, dan tentu saja sebuah “meja kecil”, karena terlalu jauh untuk pergi ke bangunan tambahan di malam hari. Kamar tamu dan jika ada kamar anak-anak, sama dalam hal perabotan. Jika ada ruangan yang tersisa, ruangan itu diberi nama ruang besar “kantor”, yaitu ruang kerja tuan rumah. Di sana ada meja tulis sederhana dengan kursi putar, sebuah rak buku dan sebuah kursi rotan.

Hiasan untuk dinding terdapat beberapa gambar berwarna, gravur baja, dan rak-rak berisi tanaman hias. Penerangan terdiri dari lampu dinding gantung minyak tanah, kadang-kadang lampu gasolin (dengan atau tanpa tekanan), gas penerangan dan pada tahun-tahun berikutnya listrik.

Dari tulisan di atas, terbaca M.A.J. Kelling sedang menyampaikan sebuah gambaran mengenai gaya rumah Indis modern berdasarkan rumahnya yang baru dibangun di Kromhoutweg.

Ruang Penerimaan. Furnitur yang Anda lihat di foto ini, tanpa kecuali, seluruhnya dibuat di Hindia Belanda oleh pedagang furnitur Fa. Jac. Rietdijk. Lukisan menggambarkan pemandangan alam Hindia Belanda yaitu Teluk Sabang (Tropisch Nederland)

M.A.J. Kelling

M.A.J. Kelling menjabat sebagai sekretaris bendahara dari Bandoeng Vooruit. Dia juga menulis satu artikel mengenai “Sejarah Bandung” di majalah Mooi Bandoeng yang sering dijadikan rujukan bagi tulisan populer kesejarahan Kota Bandung. Selain menjabat di Bandoeng Vooruit ia juga menjadi administratur Middenstandsvereeniging (Asosiasi Usaha Kecil). Setelah masa revolusi ia menjabat sebagai Secretary of the Vereeniging van Belanghebbenden bij Onroerende Zaken (sekretaris Asosiasi Pemangku Kepentingan Real Estate). Kelling juga menulis beberapa buku bertemakan hotel, wisata, kebersihan, perbankan dlsb.

Selain itu, Kelling menjadi redaktur di majalah kereta api bernama “Java Expres” yang diterbitkan Staatsspoorwegen beralamatkan di Kromhoutweg No. 8. Jika melihat kepemilikan Wijde Blik saat ini yang dimiliki oleh PT. KAI, bisa saja informasi ini menjadi sebab kenapa rumah tersebut bisa dimiliki oleh KAI. Selain itu, berdasarkan buku Telefoongids Bandoeng (Preanger) 1936, beberapa rumah lain di Kromhoutweg juga ternyata dihuni oleh pegawai dan staf perkeretaapian.

Rumah Wijde Blik pernah dipugar pada tahun 2010 dan diberi nama Graha Parahyangan. Rencananya akan dijadikan museum dan galeri kereta api. ***

Catatan: *Tulisan ini mengandung persepsi dan pendapat pribadi penulis.

Pembunuhan Sadis oleh Sekretaris Bandoeng Vooruit

Oleh Irfan Pradana

Belakangan ini waktu saya di Komunitas Aleut sedang banyak saya gunakan untuk mengulik informasi tentang Bandoeng Vooruit. Perkumpulan ini didirikan tahun 1925 dengan tujuan utama untuk memajukan kota Bandung, khususnya di bidang pariwisata.

Untuk menambah dayanya, sejak 1933 Bandoeng Vooruit menerbitkan majalah bulanan bernama Mooi Bandoeng. Melalui majalah ini Bandoeng Vooruit menginformasikan seluruh programnya kepada publik. Tidak hanya itu, selain memuat berbagai artikel promosi wisata serta trivia yang menarik, majalah ini juga membuat banyak sekali liputan mengenai keadaan kota Bandung, perkembangannya, serta berbagai aktivitas warganya.

Lewat arsip majalah Mooi Bandoeng ini juga saya mendapatkan beragam informasi unik yang bisa memantik ide untuk melakukan riset kecil-kecilan. Salah satu yang dapat saya catat adalah jejak apotek swasta pertama di Kota Bandung yang berawal dari sepotong informasi dari Mooi Bandoeng. Artikelnya bisa dibaca di sini.

Beberapa waktu lalu saat tengah asyik bergumul dengan kata kunci “Bandoeng Vooruit”, saya menemukan berita menghebohkan. Ternyata, di balik sepak terjangnya dalam mengembangkan sektor pariwisata, Bandoeng Vooruit juga tak lepas dari skandal dan kontroversi. Berikut ini adalah salah satu yang sangat menarik perhatian saya.

Continue reading

Peresmian Jalan Bandung – Kawah Papandayan (Jalan Tertinggi di Insulinde)

Oleh: Aditya Wijaya

Titik tertinggi jalan Bandung – Kawah Papandayan (Algemeen Handelsblad)

Beberapa waktu lalu seorang rekan di Aleut melontarkan sebuah pertanyaan terkait nama tempat di Gunung Papandayan. Dia menanyakan arti nama Ghober Hoet. Kemudian seorang rekan lainnya mencoba menjawab bahwa Ghober Hoet kemungkinan besar merupakan Bahasa Belanda di masa lalu tetapi cara penulisannya saat ini kemungkinan salah. Jika diartikan ke Bahasa Indonesia, Hoet atau Hut artinya Pondok.

Pertanyaan ini lama tersimpan di kepala saya. Hingga akhirnya terjawab dengan tak sengaja setelah selesai kegiatan Momotoran Aleut ke Perkebunan Sedep akhir Januari lalu. Sekembalinya dari Momotoran, saya mencoba mencari informasi mengenai jalan antara Bandung – Sedep – Papandayan yang dibuat oleh Bandoeng Vooruit. Hal ini biasa saya lakukan setelah melakukan Momotoran, kurang lebih untuk menambal informasi yang tidak didapatkan atau luput selama Momotoran.

Jalan menuju Kawah Papandayan dengan melewati Santosa – Sedep – Negla – Cileuleuy diresmikan pada akhir Desember 1935. Peresmian ini dihadiri oleh Residen Tydeman, Walikota Bandung saat itu J.M. Wesselink, Kepala Kepolisian Verspoor, hampir semua administratur perusahaan perkebunan terdekat, perwakilan Direksi Sedep, para-Regent dari Garut dan Cianjur, pihak-pihak yang berkepentingan dari industri hotel dan pariwisata, Salomons dari Aneta, dan lain sebagainya.

Barisan mobil yang memanjang tiba di Sedep sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Mereka disambut hangat oleh keluarga Bertling. Musik marching band ikut menyemarakkan suasana dengan lagu-lagu ceria. Setelah menikmati secangkir kopi dan kue, mereka melanjutkan perjalanan melintasi kebun teh menuju ke kawah.

Ada sedikit kendala saat mobil dari Residen Tydeman yang memimpin rombongan mengalami kerusakan. Akibatnya mobil tersebut harus berjalan dengan sangat pelan bahkan untuk di area yang datar. Ini menyebabkan sebagian besar mobil rombongan kehabisan air sehingga ketika jalan mulai menanjak, sebagian besar mobil mengalami overheat. Terjadilah keterlambatan dan banyak mobil yang harus ditinggalkan di pinggir jalan. Para penumpangnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kawah.

Jawaharlal Nehru bersama Soekarno saat mengunjungi Kawah Papandayan pada tanggal 9 Juni 1950 (Antara)

Akhirnya tibalah mereka di pinggir kawah, di tempat sebuah monumen didirikan untuk mengenang peristiwa penting ini. Pertama-tama, W. H. Hoogland, Ketua Bandoeng Vooruit, berbicara kepada para hadirin sebagai berikut:

Continue reading

Di Sana… di Negla (Bagian 2/2)

Oleh Guriang

(Bagian Pertama)

Ketika Jerman masuk ke Bloemendal pada bulan September 1944 dan menganggap wilayah itu sebagai daerah Kamp, Carla dan Marga pun harus mengungsi ke Overveen, sementara ibu mereka dirawat di rumah sakit setelah operasi fibroid dan sedang mengidap trombosis paru. Carla kemudian tinggal terpisah walaupun masih tetap di Overveen, kemudian bersama pacarnya, Theo Brans, mengungsi ke Marlot, di pinggiran Den Haag. Singkatnya, Carla, Marga, dan ibunya mengalami masa-masa yang sangat berat akibat perang.

Karel membalas surat itu dengan kabar yang kurang beratnya, di antaranya menyebutkan beberapa nama yang meninggal di kamp: van Rhijn (Malabar), Vol Z (Wanasari), van Dincklage (Arjasari), Heimer (Purbasari), Brants (Lodaya), Bertling (Sedep), van Gogh (Sinagar), Harmsen (Negla), dll.

Karel bercerita bahwa saat Jepang masuk ke Negla, mereka merangsek ke dalam rumah dengan bayonet terhunus dan mengambili senjata, kamera, dan barang-barang lain. Pada bulan November 1942, Karel dipanggil ke Bandung dan ditahan di kamp. Satu per satu pengusaha perkebunan masuk dan ditahan. Bulan Januari 1943, Karel dibawa kembali ke Negla dan diberi tugas sebagai juru tulis serta menyiapkan ekstrak kina dalam jumlah besar.  Saat itu Negla dikelola oleh eorang pemuda Jepang di Sedep. Tak lama kemudian, Karel kembali dibawa ke tahanan di Bandung.

Selain Karel, Artz yang mengelola Kebun Gambung pun dikembalikanke posisinya dan setelah itu kembali diinternir lagi. Sepertinya pada waktu itu tentara Jepang memerlukan orang-orang tertentu untuk tetap melanjutkan bekerja sementara waktu pada bidang-bidang tertentu.

Pengalaman Karel dalam kamp dimulai di Hotel Istana, Bandung, sejak 22 November 1942 sampai 15 Januari 1943. Lalu kembali ke Negla sampai Desember 1943, kemudian ditahan kembali di Depot Batalyon-1 Bandung. Pada bulan Februari 1944 dipindahkan ke Kamp IV Batalyon-9 Cimahi sampai dengan 15 Agustus 1945. Walaupun saat itu statusnya sudah bebas, namun ada perintah dari militer Sekutu agar para tahanan untuk sementara tetap tinggal di tempat. Selanjutnya ia pindah ke Batalyon 15 Bandung dan baru keluar bebas dan ditempatkan di Lombokstraat 25A pada 10 Februari 1946.

Karel Kerkhoven di Lombokstraat 25A. Foto tahun 1946.
Continue reading

Bandoeng Vooruit dan Komunitas Baheula di Bandung

Repost

bandoeng vooruit 1

Sebagai kota pendidikan, sepanjang tahun Bandung diserbu pendatang baru dari berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Akibatnya angkatan muda di Bandung sangat banyak jumlahnya. Sebagian dari angkatan muda ini berkelompok sesuai minatnya masing2, membentuk komunitas2, tak heran bila saat ini Bandung menjadi gudangnya komunitas. Mulai dari komunitas yang sekadar berkumpul dan menyalurkan hobi sampai komunitas belajar yang serius bisa ditemukan di sini.

Sebagian di antara komunitas2 ini punya perhatian khusus terhadap kota Bandung. Cara dan fokus perhatian setiap kelompok ini bisa berbeda-beda tetapi umumnya bertujuan untuk mengapresiasi kehidupan Kota Bandung. Pernyataan yang muncul juga beragam; betapa senangnya tinggal di Bandung; betapa banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan demi kenyamanan tinggal di Kota Bandung; betapa banyaknya persoalan yang harus dihadapi masyarakat akibat pengelolaan resmi yang tidak memuaskan, dst dst.

Continue reading

Pangeran Paribatra di Bandung

Pada bagian ini, saya kembali lagi ke buku Wisata Bumi Cekungan Bandung seperti yang sudah saya kutip dalam tulisan sebelumnya. Pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

“Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.”

Di sebelah utara Bandung ada satu tempat yang dinamai Bunderan Siam (biasa dibaca Siem). Lokasi ini persisnya berada di perpotongan antara Jl. Cipaganti dengan Jl. Lamping (sekarang ditempati oleh pom bensin). Bunderan Siam memang cukup unik, selain namanya yang mengingatkan kepada kerajaan Thailand yang memang bernama lama Siam, juga karena di situ dahulu terdapat sebuah taman yang sangat indah.

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑