oleh Insan Bagus Raharja/Komunitas Aleut

Minggu, 14 Januari 2024 saya berkesempatan menjadi bagian dari ekpedisi Komunitas Aleut untuk menelusuri jejak sejarah di sekitaran Tegallega, Bandung. Dari sekian banyak tempat yang kami telusuri, Jalan Belakang Pakgede menjadi tempat yang paling memantik rasa penasaran saya. Meski ukuran jalannya sama saja dengan gang-gang lain di komplek kebanyakan, tapi tempat ini pernah jadi bagian penting dalam perjalanan sejarah beberapa tokoh Islam modernis-konservatif yang sampai sekarang memiliki kedudukan terhormat dalam sejarah pergerakan Islam. Dua dari mereka adalah Hassan Bandung dan Muhammad Natsir.

Bagian belakang lokasi Kantor Pegadaian Negeri. Jalan kecil di belakang kantor ini sekarang bernama Jalan Belakang Pakgade. Foto: Google Maps

Ajip Rosidi dalam buku Muhammad Natsir; Sebuah Biografi (Girimukti Pasaka, 1990) menuturkan bahwa, Pakgade dulunya adalah kos-kosan kelas pekerja dengan latar belakang yang beragam. Mulai dari para pedagang di sekitar Pasar Baru, para pegawai kelas menengah pemerintah Belanda, hingga guru agama seperti Hassan Bandung. Buku itu juga mencatat bahwa di sinilah salah satu tokoh Persis itu menggembleng Natsir tentang keislaman

Situasi jalan ini sekarang sepi, langka terlihat keberadaan orang, baik warga setempat ataupun yang sekadar lewat. Sepertinya tidak banyak rumah juga, hanya ada area parkir luas dengan gedung bertingkat, gudang-gudang penampungan kardus atau rongsok lainnya, sebuah halaman beratap yang cukup besar, entah bekas bengkel atau halaman parkir, seorang ibu warung di Gang Sutur menyebutnya garasi. Halaman kosong dengan fungsi garasi seperti ini terlihat yang paling banyak mengisi ruas Jalan Belakang Pakgade sekarang. Di ujung jalan, dekat Gang Kote, barulah ada beberapa rumah di sisi kiri dan kanan jalan, rasanya hanya ada belasan rumah.

Untuk masuk ke Jalan Belakang Pakgade, kami masuk dari selatan lewat Gang Sutur yang sempit. Bagian kiri jalan ini diisi oleh warung nasi, lalu ada portal yang dijaga oleh seseorang bapak dan ia akan membukanya bila ada mobil yang lewat. Setelah itu ada sebuah rumah bergaya lama di sisi kiri jalan, bukan gaya kolonial, sepertinya dari masa setelah kemerdekaan. Di sisi kanan adalah belokan masuk ke Jalan Belakang Pakgade dari sisi barat. Lalu ada satu rumah di kanan dan di seberangnya sepertinya bekas gedung perkantoran. Entah masih aktif atau tidak, karena tidak terlihat ada tanda-tanda keaktifan dari luar.

Bagian awal Jalan Belakang Pakgade dari arah Gang Sutur. Foto: Aditya Wijaya.

Selanjutnya, di sisi kiri ada tembok yang cukup tinggi dan di dalamnya ada halaman parkir yang luas. Pada satu sisi halaman ini ada gedung bertingkat dengan tangga-tangga besi zigzag sampai ke bagian atas bangunan. Sepertinya ini bagian belakangnya. Di sisi kanan, ada sebuah rumah tua sederhana tanpa pagar dengan halaman yang juga cukup luas. Di dalamnya ada gerobak nasi rames, tapi tidak ada tanda warung, mungkin hanya tempat penitipan gerobak saja.

Di sisi timur rumah tua ini ada gudang besar tertutup seng bertambal-tambal dan di depannya bertumpuk-tumpuk karung goni yang terisi penuh. Saya tidak tahu apa isi karung goni ini. Di depan pintu seng yang terbuka ada sebuah gerobak dorong yang penuh terisi oleh kardus. Saat melirik ke bagian dalam gudang seng ini, ternyata memang banyak tumpukan kardus di dalam, sepertinya memang gudang penampungan kardus bekas yang nantinya akan dijual lagi ke pabrik atau penampung berikutnya.

Menempel di sisi timur gudang ini adalah bangunan yang sama sekali tertutup, mestinya ini rumah tinggal pemilik gudang, tapi memang tidak terlihat seperti rumah tinggal umumnya, dari depan terlihat lebih mirip garasi besar yang tertutup. Di sebelahnya lagi ada gardu listrik, kemudian garasi dengan atap dan pagar dengan ukuran yang cukup besar. Nah, setelah garasi ini barulah terdapat rumah-rumah berderet sampai ke Gang Kote.

Sebagian rumah masih dalam bentuk lama, sebagian lagi sudah berubah bentuk menjadi rumah modern dan bertingkat. Semua rumah modern ini umumnya berpagar cukup tinggi sehingga tidak bisa melihat bagian depannya. Rumah terakhir di sisi selatan adalah sebuah rumah tua yang masih cukup baik kondisinya. Ada tanda nomor 1 di bagian atas pintunya. Bagian bawah rumah ini tembok yang bagian luarnya pakai adukan pasir. Lantai terasnya pakai ubin berbahan batu. Bagian atas rumah pakai bahan kayu dan dari depan terbagi menjadi beberapa jendela dan pintu persis ada di bagian tengah.

Jalan Belakang Pakgade dekat ujung Gang Kote. Pemandangan ke arat Barat. Foto: Google Maps.

Saya mengurutkan bangunan-bangunan yang ada di jalan ini sebenarnya karena ini mengetahui rumah mana kira-kira yang dahulu pernah ditempati oleh Hassan Bandung. Rumah-rumah kos yang diceritakan Ajip Rosidi dalam buku M. Natsir itu sepertinya sudah tidak ada juga. Ibu warung di Gang Sutur tadi sempat cerita bahwa halaman parkir luar dengan tembok tinggi yang sekarang digunakan oleh sebuah bank swasta itu dulunya adalah kantor pegadaian yang cukup besar dan menghadap ke Jalan Cibadak. Di bagian belakang kantor ini, artinya yang menghadap ke Jalan Pakgade sekarang, memang pernah ada rumah kos-kosan.

Sampul buku M. Natsir; Sebuah Biografi dan salah satu halamannya yang memuat cerita tentang Jalan Pakgade. Repro Komunitas Aleut.

“Gang itu sendiri dinamakan Gang Belakang Pakgade, karena dahulu terletak di belakang Pegadaian Negeri yang berdiri di pinggir Jalan Raya. Meskipun entah sudah sejak bila Pegadaian Negeri itu dipindahkan dari sana, dan yang terdapat di bekas tempatnya hanya deretan toko-toko belaka, namun nama gang tersebut tetap juga tidak berubah. Dalam percakapan sehari-hari orang biasanya menyingkatnya dengan menyebut Gang Pakgade saja.

Di kiri kanan gang yang boleh dikatakan pendek itu, terdapat rumah-rumah sederhana, sebagian setengah batu, sebagian lagi dari kayu dengan dinding anyaman bambu, yang dihuni oleh orang-orang “bebas”, yaitu para pedagang dan para pengusaha kecil, tukang-tukang, walaupun ada juga pegawai rendah pemerintah atau buruh perusahaan swasta yang tinggal di situ. Letaknya yang masih di lingkungan pasar (Pasar Baru dan Pasar Babatan letaknya tak jauh di seberang utara Jalan Raya), turut memberi warna terhadap orang-orang yang menjadi penghuninya.”

Saya kembali teringat pada gambaran dalam buku biografi M. Natsir itu. Mungkin dahulu kawasan ini ramai sekali. Ada banyak pegawai toko atau kantor yang indekos, banyak pedagang lalu lalang, atau penduduk yang sedang mengurus gadaian-gadaiannya. Sementara di sebuah tempat kos di tengah keramaian itu, ada dua tokoh Bandung yang sedang asyik diskusi soal-soal agama.

“Di Gang Belakang P’akgade juga yang tinggal bukan hanya orang Sunda saja. Di sana ada orang Palembang, ada orang Jawa dan ada juga orang Keling. Hanya Cina tidak ada. Pada masa itu Cina terutama hanya tinggal di sekitar jalan Pacinan saja yang letaknya tak jauh dai:i Pasar Baru, karena pemerintah Hindia Belanda tidak membolehkan orang Cina tinggal di pemukiman pribumi. Mereka hidup dalam lingkungan khusus dan mempunyai pemiinpin sendiri yang dipilih dari antara sesamanya.

Meskipun kelihatannya Gang Belakang Pakgade tersebut tak ada bedanya dengan puluhan gang lainnya di kota Bandung seperti Gang Durman, Gang Kasmin, Gang Alipin, Gang Pangampaan dan lain-lain, namun Gang Belakang Pakgade itu pemah menjadi terkenal di seluruh Indonesia, bahkan juga sampai di Singapura dan Malaya, karena dari salah sebuah rumah sederhana yang terletak di gang itu disebarkan gagasan memurnikan Islam dengan semboyan: Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membersihkan Islam dari khurafat dan bid’ah yang mengotorinya melalui sebuah majalah yang bernama Pembela Islam yang diterbitkan oleh Komite Pembela Islam.”

Komite Pembela Islam yang disebut di atas itu didirikan di Bandung pada bulan Ramadhan 1347 (Maret 18929) oleh sejumlah Muslimin, terutama dari lingkungan Persatuan Islam. Salah satu rencana dalam gerakan komite ini adalah menerbitkan majalah, yaitu Pembela Islam. Ketua Pertamanya adalah Haji Zamzam, dengan wakilnya Haji Mahmud. Duduk sebagai Penasihat adalah A. Hassan yang tulisan-tulisannya kelak banyak dimuat dalam majalah itu. Beliau juga pengisi utama tanya-jawab seputar agama, terutama yang bersangkutan dengan fikih, dalam sebuah ruang tetap yang bernama “Medan Su’al Jawab”.

Majalah Pembela Islam terbit pertama kali pada bulan Oktober 1929. Pada halaman depan majalah itu tercantum jelas Redactie dan Administratie, Gang Pakgade Bandung. Menurut Ajip Rosidi, alamat ini adalah juga tempat percetakan majalah tersebut, dengan kata lain, dicetak di rumahnya A. Hassan. Kelak, alamat cetak ini pindah ke Jalan Pangeran Sumedang.

Cerita tentang Pembela Islam, A. Hassan, dan M. Natsir, bisa berpanjang-panjang untuk dituliskan, termasuk kemudian interaksinya dengan PNI dan Soekarno. Biarlah itu untuk mengisi tulisan lain saja. Saya masih hendak kembali pada lingkungan Jalan Belakang Pakgade sekarang ini. Sunyi. Tanpa aktivitas warga yang menarik untuk diperhatikan. Paling tidak, ini kesan saya saat lewat. Entahlah di hari-hari lain. Rasa-rasanya agak aneh, jejak tokoh sekaliber Natsir yang pernah menjadi Ketua Masyumi dan Perdana Menteri republik ini, terasing dari peta perkembangan zaman. Apalagi jika mengingat, jejaknya berada tepat di sekitaran Tegallega yang notabene berada di tengah kota dan pusat pergerakan islam moderenis-konservatif menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah modern Kota Bandung. ***