Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Farly Mochamad
Sabtu pagi ini, saya ikut rombongan Komunitas Aleut yang mengadakan Ngaleut Momotoran sebagai bagian dari Kelas Menulis untuk para peserta Aleut Program Development (APD) Angkatan 2020. Yang menjadi tujuan adalah kawasan Pangalengan dan Ciwidey.
Pagi-pagi sekali seluruh peserta sudah berkumpul di Sekretariat Aleut di Jalan Pasirluyu. Yang berangkat dari sini ada dua belas orang menggunakan enam motor. Nanti di Banjaran, akan bergabung dua rekan lagi dari Cilampeni dan Ciwidey. Sebelum berangkat, ada briefing dulu, berbagi tugas dalam perjalanan. Jadi, nanti akan ada leader sebagai penunjuk jalan, dan sweeper, yang paling belakang, sebagai pemantau rombongan agar tidak terpencar selama perjalanan. Sementara di bagian tengah, rombongan diberikan nomor urut agar dapat selalu memantau rekan di depan atau di belakangnya sesuai nomor urut.
Di Banjaran, formasi sedikit berubah sesuai dengan arahan sebelumnya, karena ada dua motor yang akan bermasalah bila berboncengan di jalanan menanjak atau rusak.
Kawasan Pangalengan di Bandung Selatan termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung. Kawasan ini sudah sejak lama dikenal karena keindahan alamnya. Jaraknya dari Bandung lebih kurang 47 kilometer dan lebih dari setengahnya merupakan jalur jalan di kawasan pergunungan.
Secara umum Pangalengan dikenal sebagai kawasan perkebunan, pertanian, dan peternakan. Semuanya sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Perkebunan di wilayah Pangalengan sekarang dikelola oleh pemerintah melalui PTPN VIII, sedangkan hasil peternakan, di antaranya, susu, dikelola oleh Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pangalengan (KPBS).
Sejak pertemuan hari Kamis sebelumnya, kami sudah dibekali agar nanti di sepanjang perjalanan tidak hanya mengonsumsi pemandangan saja, tapi juga harus mencari berbagai informasi dan pengalaman yang nantinya dapat kami bagikan lagi kepada orang-orang lain. Jadi, perjalanan ini bukan perjalanan wisata, melainkan bagian dari pembelajaran, apalagi setiap peserta diberi tugas membuat tulisan dengan tema berbeda-beda.
Dalam perjalanan kami sempat berhenti sebentar untuk menyimak beberapa informasi tentang arah dan keberadaan dua kompleks gunung yang pagi itu terlihat cukup jelas. Tampak indah dari tempat kami berhenti. Di sebelah kanan jalan ada Gunung Tilu dan di sebelah kiri jalan adalah Gunung Malabar. Dijelaskan juga wilayah-wilayah yang ada di balik kedua gunung itu. Katanya buat panduan untuk mengenal arah bila kapan-kapan nyasar dalam perjalanan.
Di belokan yang ada plang Perkebunan Kertamanah ternyata ada jalan baru. Leader di depan berhenti sebentar untuk bertanya kepada penjaga warung soal jalan baru tersebut. Ternyata di dalamnya ada satu kampung, namanya Bojongwaru dan jalan yang terlihat sudah dibeton itu baru sampai ke kampung itu saja, belum bisa tembus ke arah lain.
Memasuki wilayah Kertamanah, pemandangan menghijau oleh perkebunan teh dan kopi. Iring-iringan motor terlihat asyik, ada yang fokus ngobrol berdua saja, ada juga yang sepertinya sedang menceritakan sesuatu, terlihat dari gerak tangan yang menunjuk ke sana-sini.

Ketika memasuki suatu perkampungan, iringan motor berbelok ke arah sebuah lapangan. Ternyata tujuan kami adalah tugu yang ada di belakangnya. Tugu dengan taman kecil ini dikelilingi oleh beberapa bangunan bergaya lama, ada jajaran rumah bedeng, lapangan tenis, dan sekolah PAUD. Di sini Pa Alex, salah satu anggota Aleut lama, bercerita tentang latar belakang keberadaan tugu yang ternyata didirikan untuk memperingati 100 Tahun Penanaman Kina di wilayah ini, wilayah Cinyiruan.
Selanjutnya, kami mampir ke suatu tempat yang sekarang dikenal dengan beberapa sebutan, antaranya, Rumah Ibu, Rumah Belanda, dan Rumah Pengabdi Setan. Ternyata bukan rumah-rumah tua yang jadi horror ini yang jadi fokus kunjungan ini, melainkan rangkaian pergunungan yang ada di sebelah kiri kami, yaitu Gunung Windu, Gunung Wayang, dan Gunung Bedil. Di lereng gunung yang di tengah, terlihat asap tebal mengepul ke atas. Ternyata itu adalah sumber panas bumi yang diolah sebagai pembangkit tenaga listrik.
Dari sini, rombongan Aleut menarik gas ke lokasi Penelitian Teh dan Kina. Di sini hanya ada beberapa bangunan, tampak seperti sebuah rumah tinggal, sebuah kantor, beberapa rumah lain di ujung jalan, dan mungkin juga sebuah gudang. Di tengahnya ada seperti tugu dengan tulisan Chinchona. Untuk sampai ke tempat ini, sepertinya leader sedikit bingung, karena katanya suasananya sudah banyak sekali berubah sejak terakhir mendatangi tempat itu, bahkan jalur jalan yang katanya dulu seperti hutan kecil, banyak pohon besar, sekarang sudah tidak ada lagi.

Ada yang menarik perhatian ketika kami sampai di tugu chinchona ini, yaitu ada tiga anak kecil sedang memanjat sebuah pohon untuk mengambil sarang burung di atasnya. Tentu saja kami agak kaget karena tiba-tiba dari atas pohon ada seorang anak turun sambil membawa dua buah sarang burung, salah satunya ada sebutir telur di dalamnya. Rupanya anak ini sudah ada di atas sebelum kami tiba di tempat itu.
Berikutnya, kami menuju Perkebunan Malabar. Sebelum memasuki gerbang, kami mampir dulu ke sebuah warung untuk membeli bekal makan siang. Ternyata kami harus antre karena ada beberapa pekerja perkebunan yang juga sedang membeli nasi bungkus untuk dibawa ke tempat mereka bekerja. Melihat dari penampilan fisiknya, sepertinya warung ini dikelola oleh seorang Arab yang lancar berbicara bahasa Sunda.
Lalu kami tiba di lokasi makam Bosscha. Suasana di sekitar makam ini sangat menyegarkan, perkebunan teh yang begitu luas menghampar hijau di depan kami. Di kejauhan tampak rangkaian Gunung Windu-Wayang-Bedil yang sudah kami lewati tadi di Kertamanah. Di belakang kami, suasananya cukup kontras karena mirip dengan suasana di dalam hutan. Banyak pohon besar, tua, dan menjulang tinggi.
Lalu kami masuk ke kompleks makam, sekitar 20 meter dari pintu masuk. Di depan makam ada tugu berbentuk piagam berisi informasi peran dan jasa Bosscha dalam sejarah perkembangan Kota Bandung. Mang Alex, juga salah satu penjaga makam, memberikan sedikit informasi baik tentang makam itu, maupun tentang tokoh Bosscha.
Keluar dari makam, ternyata kami harus memasuki kawasan yang seperti hutan tadi. Ternyata tempat ini disebut sebagai leuleuweungan atau hutan-hutanan, alias hutan kecil yang dulu merupakan salah satu lokasi favorit Bosscha di masa hidupnya. Jalan di dalam hutan kecil adalah jalan setapak dari tanah yang lebarnya hanya cukup untuk jalan satu motor saja. Setelah itu masuk lingkungan terbuka, yaitu perkebunan teh.
Ternyata jalan setapak tadi adalah jalan potong untuk menuju ke sebuah peninggalan Bosscha lainnya, yaitu sebuah sekolah tingkat dasar yang terbuat dari kayu dan bilik yang kondisinya saat ini rusak parah. Beberapa bagian bilik sudah rusak, sedangkan atap-atapnya berlubang-lubang cukup besar, malah susunannya sudah tidak beraturan. Ketika tiba di bangunan bekas sekolah ini, gerimis mulai turun, dan saat kami berkeliling mengamati sekitar, hujan malah turun dengan derasnya.
Kami bersepakat makan siang di teras sekolah ini saja sambil bertukar cerita pengalaman perjalanan yang baru saja dilalui. Di sini Rani bercerita tentang sekolah yang dahulu namanya Vevoloog Malabar ini. Sekolah ini didirikan oleh Bosscha pada tahun 1901 untuk anak-anak para pekerja di Perkebunan Malabar. Karena bolak-balik mengalami kerusakan, akhirnya di belakang sekolah ini dibangun gedung baru dan namanya menjadi SDN Malabar 04.

Seru sekali makan bersama di sini sambil huhujanan. Yang agak mengganggu adalah keberadaan lalat yang lumayan banyak. Konon lalat-lalat itu berasal dari kawasan ladang yang memang ada di seberang sekolah ini. Hujan semakin deras, obrolan pun semakin asyik.
Tak berapa lama, hujan berhenti, dan disusul dengan kabut tebal yang turun dengan cepat. Jarak pandangan tiba-tiba menjadi pendek karena tebalnya kabut. Kami tidak bisa terlalu lama menunggu hujan, karena masih ada banyak tempat yang akan kami kunjungi dalam perjalanan ini. Kami pun bergegas ke lokasi berikutnya, rumah Bosscha.
Di rumah Bosscha kami disambut satpam penjaga, lalu diarahkan untuk memarkir kendaraan dengan rapi di halaman belakang. Teman-teman pun menyebar, ada yang ngobrol di ruang duduk sambil menjaga barang-barang, ada yang melaksanakan ibadah, ada yang keliling melihat-lihat rumah antik ini, dan ada juga yang eksplorasi agak jauh ke luar area rumah Bosscha untuk melihat lebih banyak.

Dari rumah Bosscha, tujuan berikutnya adalah ke Situ Cileunca melewati jalur tidak biasa, yaitu Perkebunan Pasirmalang, sambil mampir sebentar ke lokasi tanaman-tanaman teh dari Assam, India, yang dibiarkan menjadi tinggi, bahkan sampai tujuh meter. Di bagian ini kami berkendara di bawah hujan yang semakin deras saja. Walaupun begitu, kami sempatkan mampir berfoto di Pabrik Teh Pasirmalang yang didirikan pada tahun 1881. Jalanan di sini agak lebih kecil dan sepi, kadang seperti di ketinggian, kadang seperti melewati hutan, lalu masuk permukiman dengan jalan kecil seperti gang sampai akhirnya keluar ke jalan besar tidak jauh dari Situ Cileunca.

Ketika kami berhenti di sebuah warung di sisi Situ Cileunca, hujan masih turun dengan derasnya. Di sini kami beristirahat sejenak sambil memesan makan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuh yang sudah kedinginan sejak di rumah Bosscha tadi. Katanya sih ini warung favoritnya Aleut dan selalu mampir setiap kali melewati kawasan ini. Pesanan pun berdatangan, ada mi intan dengan cengek, kopi, teh, dan susu panas, gorengan yang juga panas, dan berbagai makanan ringan lainnya. Pemandangan ke Situ Cileunca dari warung ini memang terlihat indah. Sambil menikmati semua suasana ini kami bertukar obrolan seru seputar perjalanan yang baru dilalui.
Di sini juga kami ditawari oleh Bang Ridwan, apakah perjalanan seharian itu sudah cukup dan mau langsung ambil jalan singkat untuk pulang, atau masih mau menambah petualangan? Ternyata hampir semua peserta sepakat untuk menambah petualangan hari ini. Bang Ridwan menawarkan perjalanan pulang dengan memotong lereng Gunung Tilu dan keluar nanti di Gambung, lalu masuk jalur Ciwidey-Soreang.
Cerita belum langsung seru, karena persis ketika akan berangkat, motornya Pahepi ternyata bocor bannya. Untungnya ada bengkel tidak jauh dari tempat kami istirahat ini. Di bawah hujan kami semua menunggu tukang bengkel memperbaikin ban motor Pahepi, tentu saja sambil jajan-jajan lagi. Adegan menunggu ini juga diisi dengan berbagai sesi foto yang unik-unik dan obrolan sekenanya saja daripada harus menyerah dan resah karena menunggu.
Setelah motor Pahepi beres dikerjakan, kami segera beriringan lagi, menuju Gunung Tilu. Pertama mendengarnya, rasanya biasa saja. Rasa mulai tidak biasa ketika suasana perkebunan yang sudah gelap berganti menjadi lebih pekat dan jalanan kecil dipenuhi bayangan pohon-pohon besar di salah satu sisinya. Ya, sebagian jalur ini ternyata merupakan hutan lebat. Belakangan, setelah kami semua keluar dari jalur itu dan berhenti di sebuah toko, barulah berbagai cerita menyeramkan diceritakan oleh beberapa rekan yang memang mengetahui kisahnya. Jadi terbayang lagi perjalanan yang barusan saja kami lewati: jalan kecil di tengah hutan yang pekat sambil terus-terusan diguyur oleh hujan…
Kami tidak lama berhenti di toko ini, hanya sekadar untuk buang air kecil dan membeli beberapa minuman karena persediaan sudah habis. Selanjutnya adalah perjalanan pulang dengan rute: Sadu – Banjaran – Baleendah – Dayeuhkolot – Bandung.
Dalam perjalanan pulang saya merenung lagi: Dramatika perjalanan selalu ada, tidak akan ada yang sempurna. Tertinggal dan tersesat sudahlah wajar, yang penting ada kebersamaan yang kuat agar kami bisa tetap saling mendukung dan membantu. Kecanggihan teknologi smartphone juga cukup membantu kami untuk selalu dapat bersatu kembali. Tanpa dramatika perjalanan, maka tidak akan ada hal yang manis untuk diceritakan kembali nanti.
Suara bising semakin keras, keasrian sudah tidak ada lagi, apa lagi pemandangan hijau, luasnya perkebunan teh pun sudah tidak ada lagi, kota ya kota, tidak ada ketenangan lagi, kecuali larut malam.

***
Leave a Reply