Mengunjungi Jejak Dipati Ukur – Episode Kesekian

Dalam obrolan sehari-hari di Komunitas Aleut ada banyak sekali topik yang dibahas berulang-ulang, seakan tidak pernah ada habisnya. Selain soal sejarah Bandung secara umum, biasanya juga tentang permuseuman, percagarbudayaan, kampung-kampung, kuliner tempo dulu, atau tokoh-tokoh masa lalu, baik dari kalangan pribumi ataupun bangsa lain. Salah satu yang sangat sering dibicarakan adalah tokoh Dipati Ukur. Kebetulan pula beberapa hari lalu, salah seorang rekan kami yang sedang menumpang ojek online mendapatkan pertanyaan tiba-tiba dari drivernya, “Ai Dipati Ukur teh nyaan aya?”

Dalam disertasinya yang dibukukan oleh penerbit Pustaka Jaya tahun 1982 dengan judul Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah Sunda, Dr. E. Suhardi Ekadjati menuturkan bahwa Ceritera Dipati Ukur melukiskan peristiwa yang sungguh-sungguh pernah terjadi pada awal abad ke-17 Masehi. Kesaksian-kesaksian orang-orang Belanda pada waktu terjadinya peristiwa yang berupa catatan harian Kompeni (dagh register) dan catatan serta kesaksian-kesaksian lainnya yang didapatkan di daerah Bandung, membuktikan hal tersebut.

Ceritera Dipati Ukur

Selanjutnya, Pak Ekadjati menuliskan bahwa bahwa sepengetahuannya, orang yang pertama kali mencatat dan menerbitkan Ceritera Dipati Ukur adalah Salomon Muller dan P. van Oort. Ketika sedang mengadakan perjalanan di wilayah Cililin, mereka mendapatkan kisah Dipati Ukur itu dari seorang tua penduduk Cililin. Catatan itu kemudian diterbitkan dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1836, halaman 97-106.

Salomon Muller dan P. van Oort adalah anggota Des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sedang melakukan perjalanan penelitian dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan di Hindia Belanda. Pada tanggal 15 Januari 1833 mereka tiba di Cililin dan dua hari berikutnya mendaki Gunung Lumbung untuk menyaksikan peninggalan purbakala dan tempat persembunyian Dalem Dipati Ukur dengan diantar oleh beberapa orang warga lokal. Ketika berada di puncak gunung itulah mereka mendapatkan ceritera tentang Dipati Ukur dari salah seorang tua pengantar mereka.

Dalam buku yang sama, Pak Ekadjati menyebutkan banyak nama tokoh lain yang berperan dalam pemilikan naskah, penulisan, penerjemahan, atau pengarsipan Ceritera Dipati Ukur. Dua di antara banyak tokoh itu adalah K.F. Holle, seorang administratur perkebunan teh di Cikajang, Garut, dan P. de Roo de la Faille, yang juga pernah melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Priangan ketika berstatus sebagai calon kontrolir di afdeeling Cicalengka.

K.F. Holle menulis sebuah karangan dengan judul Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-regentschappen yang dimuat dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen XVII, 1869, halaman 316-367. Holle menerjemahkan dua naskah yang masing-masing didapat dari pinjaman ke Bupati Sumedang, Pangeran Suria Kusumah Adinata, dan Bupati Sukapura, R.A. Wira Adegdaha (Dalem Bogor). Tulisannya ini dikerjakan di Perkebunan Waspada dan selesai pada tanggal 12 Desember 1867.

P. de Roo de la Faille menyinggung kisah Dipati Ukur dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1895, Preanger Schetsen. Kisah ini merupakan olahan dari berbagai bahan yang dikumpulkannya selama melakukan kunjungan di daerah Priangan dalam fungsinya sebagai calon kontrolir afdeeling Cicalengka. Dalam salah satu perjalanannya, Faille menemukan dan melaporkan keberadaan peninggalan-peninggalan Dipati Ukur kepada Pejabat Ketua Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, J.A. van der Chijs, melalui surat bertanggal 21 Mei 1894.

Paboentelan

Dalam bukunya, la Faille menyebut sebuah daerah bernama Paboentelan yang terletak di perbatasan distrik Cipeujeuh dan Banjaran (sekarang menjadi bagian Kecamatan Pacet). Di sini la Faille mencatat keberadaan sebuah makam kecil, pohon beringin yang tinggi, sebidang tanah berbentuk persegi yang diberi pagar bambu, sebuah lingga batu, sebuah batu bundar, dan beberapa batang pohon paku haji.

Selanjutnya, Pak Ekajati yang berkunjung ke lokasi Pabuntelan bersama rombongan mahasiswa Jurusan Sejarah Unpad tanggal 17 Oktober 1976, menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di tempat itu sekarang sudah rusak sama sekali sehingga hampir tidak ada sisanya sama sekali. Sebagian besar kerusakan itu disebabkan oleh penduduk setempat dengan alasan soal kepercayaan dan ekonomi. Yang dirusak itu antara lain termasuk sejumlah naskah.

Tentu masih banyak tokoh lain, naskah lain, dan cerita latar lain yang dituliskan oleh Pak Ekadjati dalam bukunya, sila saja dibaca lebih lengkapnya dalam buku yang judulnya sudah disebutkan tadi di atas. Di sini kami hanya mengutip beberapa saja sebagai bahan bacaan awal sebelum melakukan kegiatan-kegiatan Ngaleut atau momotoran. Begitu pula ketika kami momotoran minggu lalu dengan tujuan mengunjungi beberapa lokasi yang berhubungan dengan Ceritera Dipati Ukur.

Momotoran Jejak Dipati Ukur

Ini bukanlah kegiatan atau perjalanan pertama kami yang berhubungan dengan Dipati Ukur, karena angkatan-angkatan sebelumnya juga sudah melakukannya, dan bisa jadi dengan variasi perjalanan dan tujuan (lokasi kunjungan) yang berbeda. Kali ini pun, tidak semua tempat dapat kami kunjungi dalam sekali jalan, mungkin lain waktu dapat kami lanjutkan atau dilanjutkan oleh rekan-rekan Aleut angkatan berikutnya.

Buku Pak Ekadjati paling sedikit menyebutkan ada delapan lokasi berbeda yang semuanya dipercayai sebagai makam Dipati Ukur, yaitu Astana Luhur (Pameungpeuk), Gunung Geulis (Ciparay), di tepi Sungai Ci Tarum di Desa Manggahang, Gunung Sadu (Soreang), Pabuntelan (Pacet), Astana Handap (Banjaran), Gunung Tikukur (Desa Manggahang), dan Pasir Luhur (Ujungberung). Nah, ke beberapa lokasi itulah tujuan momotoran kami hari ini.

Astana Luhur (Reza)

Hari ini, 23 Januari 2022, kami sudah siapkan rute momotoran ke beberapa lokasi yang sebagian besar memiliki kaitan dengan tokoh Dipati Ukur, sisanya, adalah lokasi-lokasi yang sengaja kami datangi karena kebetulan berada di jalur jalan yang kami lalui. Rute perjalanan hari ini juga menyambung beberapa kegiatan Ngaleut sebelumnya yang memang berhubungan dengan kisah para Leluhur Bandung.

Lokasi pertama adalah Astana Luhur di Pameungpeuk, Banjaran. Di atas sudah disebutkan bahwa salah satu tempat yang diduga atau dipercayai sebagai lokasi makam Dipati Ukur adalah di Astana Luhur. Seorang rekan sempat menyangka bahwa nama astana itu sama pengertiannya dengan istana dalam bahasa Indonesia. Sangkaan ini meleset, karena astana dalam bahasa Sunda berarti kuburan, ya lumayan jadi kejutan saat tiba di lokasi.

Dari Jalan Raya Banjaran, kami masuk ke ruas jalan dengan nama Jalan Dipati Ukur. Setiba di Astana Luhur, kami mencari kuncen atau juru kunci makam, tentunya untuk minta izin dan ngobrol sekalian mengumpulkan cerita yang ingin kami ketahui.

Oh, kuncen Makam Agung mah ka handap weh a, di totogan ke belok kiri, terus lurus weh sampe mentok jalan, di ditu bumi kuncenna,” tunjuk seorang warga yang tidak sempat saya tanyakan namanya. Hanya saya dan Manglexxx mendatangi rumah yang ditunjuk, kawan-kawan lain menunggu di sekitaran Astana Luhur.

Jalan menuju rumah kuncen cukup sempit, di sisi kiri ada selokan dan di sisi kanannya ada gawir yang tak terlalu dalam. Setelah sampai di ujung jalan, saya melihat satu kompleks kecil yang dipagari. di dalamnya terdapat rumah kayu yang di sekitarnya ada kandang ayam, dua kolam ikan, dan rumah lainnya. Rumah kayu itulah milik Pak Kuncen. Namun saat kami bertanya, Pak Kuncen sedang keluar. Kami menitipkan pesan dan kembali menunggu di Astana Luhur.

Nama Astana Luhur sebetulnya bukan nama wilayah di sini, melainkan nama sebuah kompleks kuburan. Di tengah perkuburan itu ada satu blok makam terpisah dan berpagar kayu. Nah, di situah terletak makam Dipati Ukur seperti yang disebutkan di atas.

Di atas pintu masuknya ada plakat bertuliskan “Pasarean Eyang Adipati Ukur Agung.” Di sebelah kiri dari pintu masuk, ada tiga makam yang posisinya lebih tinggi dan sudah dipasangi serta dialasi dengan keramik. Di bawahnya ada tiga makam yang hanya ditandai dengan batu saja. Saya menduga salah satu makam yang ada di sebelah kiri dan diberi pagar kayu lagi adalah makam Dipati Ukur.

Selain itu, masih ada makam-makam lainnya yang terdapat di sekitar kompleks makam Dipati Ukur. Di sana juga terdapat sebuah tajug kecil dan di atasnya terdapat plakat yang bertuliskan “Tajug Paniisan Astana Luhur”.

Pasarean Eyang Dipati Ukur. Foto: Reza Khoerul Iman.

Sampurasun,” ucap seseorang dari luar pagar makam Dipati Ukur. Ternyata itu adalah Pak Kuncen. Kami pun bersalaman dan saling berkenalan diri. Rupanya kuncen tersebut masih mengingat wajah Manglexxx, yang sebelumnya pernah ke sini dengan rekan Aleut yang lain.

Ketika saya bertanya yang mana makam Dipati Ukur, kuncen menjelaskan jika di antara makam yang dikeramik, makam yang di tengahlah makam Dipati Ukur. Sementara di sisi kanannya itu istrinya dan sebelah kirinya itu adalah salah satu pengikutnya.

Jauh lebih dalam Pak Kuncen menceritakan banyak hal yang bersangkutan dengan Dipati Ukur dan kompleks makam itu. Tidak mudah mengikuti alur pembicaraannya, tidak banyak pula yang dapat saya mengerti dari apa-apa yang dijelaskannya. Tak berapa lama, ada seseorang yang menghampiri kami, dan ternyata beliau anak Pak Kuncen yang seorang ustad. Kami pun melanjutkan obrolan di dalam tajug. Tanpa disangka, obrolan di dalam tajug tersebut akhirnya mengantarkan kami untuk berdoa bersama.

Meskipun kami tak paham bagaimana alurnya, kami tetap mengikuti apa yang dilakukan Pak Kuncen dan anaknya sampai selesai. Selepas beres, kami pun pamit untuk pergi ke tempat selanjutnya.

Situs Bumi Alit Kabuyutan (Inas)

Situs Bumi Alit Kabuyutan merupakan tempat yang kami singgahi setelah dari Astana Luhur. Sebenarnya tempat ini tidak ada kaitan langsung dengan cerita Dipati Ukur, namun kami sengaja mampir sembari melewati jalur ke tempat  yang akan kami tuju berikutnya yaitu Pabuntelan.

Situs ini terletak di Jalan Raya Arjasari KM 1.5 Desa Batukarut. Menurut papan informasi yang berada di depan situs, Situs Bumi Alit Kabuyutan menyimpan beberapa peninggalan dari leluhur Desa Lebakwangi dan Desa Batukarut, yaitu Embah Manggung Jaya Dikusumah. Embah Manggung Jaya Dikusumah dipercaya sebagai leluhur yang berasal dari Kerajaan Galuh. Selain itu, di situs ini juga terdapat peninggalan berupa Gamelan Embah Bandong yang terdiri dari dua buah goong, bonang, rincik, saron, kecrek, beri, dan peralatan lainnya.

Saat kami tiba, pintu gerbang depan situs ini tampak terkunci. Reza mencari rumah kuncen atau penjaga situs. Tak lama, Reza pun kembali dan memberitahu kami bahwa kami dapat memasuki area situs melalui pintu samping. Setelah masuk, kami bertemu dengan Pak Ahim yang kebetulan sedang berada di pendopo di area situs. Pak Ahim meminta kami untuk mengisi daftar tamu terlebih dahulu. Setelah mengisi daftar tamu, kami mengeksplor area sekitar situs.

Dari pengamatan saya, terdapat dua bangunan utama di situs ini yaitu Bumi Alit dan Bale Panglawungan. Kedua bangunan ini memiliki fungsi yang berbeda. Bumi Alit, yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi rumah kecil, merupakan sebuah bangunan rumah lama yang saat ini digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka peninggalan Embah Manggung Jaya Dikusumah. Menurut Pak Ahim, bentuk Bumi Alit memiliki filosofi tersendiri. Bangunan berwarna putih yang didominasi oleh material bambu ini tampak sederhana. Hal tersebut juga dapat dilihat dari bagian bangunan yang tidak memiliki ventilasi berupa jendela, hanya terdapat satu buah pintu saja. Selain itu, bangunan ini tidak pernah diubah bentuknya. Hanya saja ketika terdapat kerusakan pada bagian bangunan, dilakukan renovasi tanpa mengubah bentuk aslinya.

Untuk dapat melihat benda-benda pusaka yang terdapat di dalam Bumi Alit tidak dapat sembarangan. Benda-benda pusaka tersebut baru akan dikeluarkan dari tempat penyimpanannya pada setiap tanggal 12 Mulud. Lain halnya dengan Gamelan Embah Bandong yang disimpan di rumah Juru Simpen yang letaknya tidak jauh dari Situs Bumi Alit Kabuyutan. Karena keterbatasan waktu, kami tidak mampir ke rumah Juru Simpen.

Berbeda dengan Bumi Alit, Bale Panglawungan merupakan sebuah pendopo yang baru dibangun tahun 2010 dari bantuan Pemprov Jabar. Pendopo ini digunakan untuk tempat berkumpul dan bermusyawarah lembaga adat setempat. Selain itu, menurut Pak Ahim, di pendopo ini banyak warga yang setiap hari Senin dan Kamis datang untuk melakukan Tawasul. Di pendopo ini juga terdapat Perpustakaan Sasaka Waruga Pustaka serta Inventaris Sasaka Waruga Pustaka.

Bumi Alit di Situs Bumi Alit Kabuyutan Lebakwangi, Batukarut. Foto: Aditya Wijaya.

Pabuntelan (Adit)

Nama Pabuntelan mungkin sudah hilang secara administratif, warga sekitar pun lebih familiar menyebut wilayah ini dengan sebutan Cipatat, Cikatul, Tenjonagara, dan Mekar Jaya. Namun Pabuntelan merupakan tempat penting di masa lalu, karena pernah menjadi ibu kota Tatar Ukur.

Mencari letak pasti Pabuntelan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Hari ini kami jadinya momotoran ke tempat yang sebenarnya kita tidak tahu lokasi pastinya, dan ini juga sih yang sering membedakan momotoran di Aleut dan momotoran di tempat lain.

Berbekal informasi dari perjalanan Aleut beberapa tahun lalu, akhirnya kami kembali mencari Pabuntelan. Informasi pertama dalam momotoran kali ini kami dapatkan dari sebuah artikel yang dibuat tahun 2011 berjudul “Situs Pabuntelan”. Informasi mengenai Pabuntelan dijelaskan dengan gambaran “Pohon beringin kembar besar itu tegak kokoh berdiri di ketinggian bukit penuh semak alang-alang. Kiri kanannya lebak-lebak menghijau hamparan sawah. Sebongkah batu kali menancap tanah di kaki pohon ki meong yang akarnya belit-membelit”.

Lokasi yang diduga Pabuntelan. Foto: Ariyono Wahyu Widjajadi

Dalam artikel ini juga terdapat sebuah foto lokasi Pabuntelan. Foto tersebut memperlihatkan sebuah pohon beringin besar dan ada kolam air di sebelah kirinya. Dengan melihat foto ini kami menduga bahwa lokasi Pabuntelan berada dekat pohon beringin dan kolam air. Adanya teknologi satelit dari google maps mempermudah pencarian lokasi Pabuntelan. Kami cari lokasi yang terdapat kolam air di sekitar Tenjonagara dan Cikatul (dua nama ini didapat dari momotoran Aleut sebelumnya). Akhirnya kami menandai lokasi yang kami duga Pabuntelan di sekitar Cikatul dengan pertimbangan adanya kolam air meski pun gambar satelit yang kami dapati tidak jelas.

Akhirnya kami sampai di Cikatul, lokasi yang kami duga Pabuntelan. Saat itu hujan deras sekali, kami harus menyimpan motor di pinggir jalan dan menuju lokasi tersebut dengan berjalan kaki. Jalan menuju lokasi hanyalah jalan setapak penuh tanah merah yang berlumpur karena hujan. Hanya terdapat beberapa rumah yang jaraknya berjauhan dan sekumpulan pohon bambu. Tidak ada tanda-tanda adanya pohon beringin besar dan kolam air.

Untunglah ada beberapa pemuda yang sedang berteduh karena hujan, akhirnya kami menanyakan terkait kolam air dan pohon beringin besar. Mereka menjawab “teu aya balong sareng tangkal caringin di dieu mah”, kami pun memperlihatkan foto yang diduga Pabuntelan.  “Ohh ieu.., mun di dieu mah nu aya balong teh di Babakan deukeut TPU sareng Saninten deukeut Pasar Maruyung. Tapi ieu mah asa Saninten soalna di Babakan mah teu aya caringin. Sok cobi tanya we Saninten ka urang pasar,” sahut mereka.

Setelah mendapat informasi ini kami bergegas menuju Saninten, untuk patokannya berada di belakang Pasar Maruyung. Cukup sulit menemukan Saninten ini, kami harus bolak balik menanyakan kepada warga sekitar mengenai Saninten karena letaknya masuk ke dalam gang-gang kecil pemukiman warga. Motor kami parkirkan di lapangan kecil belakang pasar karena akses menuju Saninten hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Tak lebih dari lima menit berjalan, sebuah pohon beringin besar tampak terlihat. Jauh di depan pohon terdapat aliran sungai dan tanah lapang yang dipenuhi semak liar. Jika kita bandingkan dengan foto di dalam artikel “Situs Pabuntelan” rasanya berbeda. Tak ada kolam air yang dekat dengan pohon beringin. Informasi yang disajikan dalam artikel menyebutkan bahwa pohon beringin itu kembar sedangkan yang kami lihat di Saninten ini hanya satu pohon beringin besar saja.

Lokasi Saninten, terlihat pohon beringin besar. Foto: Aditya Wijaya

Kami pun balik kanan menuju parkiran, saat itu hanya Adit dan Reza yang menuju Saninten. Di Parkiran Mang Alexxx sedang berbincang dengan warga, menanyakan lokasi Pabuntelan. Warga tersebut memberitahu bahwa lokasi Pabuntelan dekat dengan Kampung Cipatat arah ke Curug Roda. Informasi ini sama dengan informasi yang didapat dari perjalanan Aleut beberapa tahun yang lalu saat mencari bekas ibu kota Tatar Ukur, informasi ini bisa kita baca dalam website Aleut yaitu https://komunitasaleut.com/2017/07/07/mencari-pusat-pemerintahan-ukur/.

Ya sudah deh apa boleh buat kita meluncur ke Pabuntelan (Pabuntelan yang Aleut kunjungi beberapa tahun lalu). Untuk menuju Pabuntelan mudahnya sih cari di Google Maps lokasi wisata Curug Roda. Sebelum Curug Roda ada pemukiman yaitu Kampung Cipatat tak jauh dari kampung ini kita akan melihat sebuah pohon beringin kembar.

Setibanya di sini kami bertemu dengan dua orang warga Cipatat yang sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja sebagai penyadap pohon pinus. Kepada mereka kami bertanya tentang letak pasti Pabuntelan itu. Kang Alo, salah satu dari dua warga itu menjelaskan “Pabuntelan mah di lembah sawah ieu (sawah sebelah barat dari pohon beringin), ceuk kolot baheula di dieu aya kampung ngan ayeuna tos ngaralih ka Cipatat, katingal tuh aya tilas pondasi masjid. Sabenerna mah di sekitar caringin ieu teh makam, tutunjuk ge awon di dideu mah. Manuk ge sok arambruk lamun ngaliwatan caringin ieu. Di lembah sawah eta (lokasi Pabuntelan), aya mata air nu manfaatna kangge adu kekuatan supaya kuat lamun bade gelut atawa tanding.”

Bertemu Kang Alo dan temannya. Foto: Inas QA

Rasa-rasanya inilah lokasi Pabuntelan yang juga sudah pernah dikunjungi oleh kawan-kawan angkatan terdahulu di Komunitas Aleut. Informasi lain dari buku yang ditulis oleh P. de Roo de la Faille berjudul “Preanger Schetsen” (1890) mengatakan bahwa “Jangan menjelajah di sini kecuali di bawah pengawalan atau penjagaan seorang lelaki tua yang memiliki surat pengangkatan yang ditulis dalam bahasa Jawa. Surat ini berbahan kertas kasar yang sudah agak abu-abu dan bersegel lilin merah kecil dengan nama Bupati Bandung ‘Tommonggong Anggaredja’. Surat ini mereka gulung dalam tabung bambu tipis”.

Betapa pentingnya wilayah Pabuntelan ini di masa lalu sampai harus memiliki penjagaan yang langsung ditugaskan oleh Bupati Bandung saat itu. Tapi sayang sekarang lokasi ini hanyalah sebuah lahan tidak terurus dan sampah-sampah berserakan disekitarnya. Setelah eksplorasi di sini, kami tidak menemukan adanya sebuah lingga batu ataupun batu bundar seperti yang dijelaskan dalam buku “Preanger Schetsen,” hanya saja ada beberapa batu yang kami duga bekas makam tua.

Beringin kembar di Pabuntelan. Foto: Aditya Wijaya

Culanagara – Rani

Lokasi terakhir yang kami datangi hari ini kembali berhubungan erat dengan kisah Dipati Ukur, yaitu salah satu lokasi yang dipercayai sebagai salah satu makam Dipati Ukur, Bukit Cula. Lokasi makam terakhir ini sebenarnya tidak disebutkan dalam disertasi Pak E. Suhardi Ekadjati yang dibukukan dengan judul “Ceritera Dipati Ukur” (Pustaka Jaya, 1982), melainkan berasal dari cerita rakyat atau folklore yang beredar saja, terutama dari seorang tokoh masyarakat bernama Endang Tarsa atau sering disebut Abah Umar.

Kisah dari Abah Umar ini kami dapatkan dari satu salinan digital tanpa keterangan sumber, tetapi informasi yang relatif sama kami temukan juga dalam sebuah tulisan berjudul “Dipati Ukur dan Jejak Peninggalannya di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung 1627-1633” karya Lasmiyati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat yang dimuat dalam e-Jurnal Patanjala – Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Edisi ke-8 (2016).

Singkatnya, ketika Mataram terus memburu, Dipati Ukur menjadikan Bukit Cula sebagai salah satu lokasi pertahanannya. Di sini Dipati Ukur menanggalkan pakaian kadaleman-nya, termasuk meninggalkan pusaka sejenis kujang yang disebut duhung dan bernama Culanagara yang merupakan warisan dari Raja Pajajaran terakhir, Sang Nusia Mulya, sebagai amanat untuk menjaga wibawa Pajajaran. Pakaian dan benda pusaka ini disimpan di dalam galian tanah di suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai Situs Culanagara. Sampai sekarang di sekitar Bukit Cula masih banyak nama tempat yang terasa kuno, seperti Ramogiling, Kadaleman, Astana Gede, Pasarean Eyang Sakti, Sindang Reureuh, dst. Semua nama-nama tempat ini memiliki kaitan cerita dengan kiprah Dipati Ukur. Wilayah ini sekarang termasuk ke dalam wilayah Desa Gunungleutik, Kecamatan Ciparay.

Saat kami berkunjung ke Situs Culanagara ini ternyata kami menyaksikan begitu banyak sampah berserakan di sekitar situs. Apalagi sampah bekas kemasan obat batuk, sangat sangat banyak berceceran di sana-sini, kalo dikumpulkan, mungkin bisa dapat lebih dari satu kantong keresek besar. Menurut seorang rekan yang sudah berkali-kali mengunjungi tempat ini, ya sudah lama di lokasi situs ini selalu terlihat sampah berserakan begitu saja, seperti yang tidak diurus dan tidak terlalu dipedulikan keberadaannya.

Selain sebuah tugu, di lokasi ini juga ada sebuah papan bertuliskan “Kawasan Culanagara.” Menurut informasi yang tertera di papan, kawasan ini merupakan kadaleman tempat petilasan markas perjuangan gerilya Dipati Ukur yang terletak di kaki gunung Bukit Cula sekitar abad ke-17. Adapun Culanagara adalah sebuah benda pusaka serupa duhung yang terselip di balik pakaian kebesaran Dipati Ukur yang merupakan warisan terakhir dari Raja Pajajaran Prabu Suryakencana.

Membaca informasi di atas itu rasanya tempat ini sangat layak untuk mendapat perhatian lebih karena memiliki nilai penting di masa lalu, dan juga bisa menjadi kebanggan tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain. Apalagi situs ini termasuk Cagar Budaya, sudah selayaknya mendapat perawatan lebih. Tapi ya begtulah adanya yang kami lihat hari ini…

Situs Culanagara. Foto: Komunitas Aleut.

Culanagara menjadi titik terakhir perjalanan kami, tidak banyak yang diceritakan di tempat ini, karena memang hanya akan mampir saja. Mungkin lain waktu bisa explore lebih lama, mendengarkan berbagai kisah sejarah di tempat ini, dan mengunjungi berbagai tempat lainnya di sekitar Culanagara seperti yang juga dilakukan oleh rekan-rekan kami terdahulu. ***

1 Comment

  1. Dadang Anwar

    Saha kuncen makam Dipati ukur di astana luhur teh kang namina ??

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑