Oleh: Komunitas Aleut

Judul di atas ini bukanlah judul kegiatan Ngaleut atau Momotoran kami kali ini, melainkan mengacu pada sebuah buku yang ditulis oleh P. De Roo de la Faille, diterbitkan oleh G. Kolff & Co, di Batavia tahun 1895. Sudah lama sekali, 128 tahun yang lalu. Pada colofonnya, tertera keterangan Niet in den Handel alias tidak tersedia secara komersial atau ya kira-kira tidak untuk dijual. Kami juga tidak memiliki buku ini secara fisiknya, hanya berupa dokumen digital yang kami dapatkan dari lembaga penyedia dokumen-dokumen lama melalui internet.

Beberapa waktu belakangan ini kami secara random saja selalu membahas isi buku ini, terutama yang berhubungan dengan nama-nama tempat yang disebutkan di dalamnya. Satu per satu tempat-tempat itu kami kunjungi dengan bermotor, tidak dengan perencanaan yang serius atau dengan kegiatan yang intensif juga, tetapi lebih karena kebetulan saja ada beberapa kali kegiatan kami, yang berhubungan dan kebetulan lagi, berdekatan dengan nama-nama tempat tersebut.

Begitu juga Minggu kemarin, 8 Oktober 2023, kami ingin menyelesaikan catatan kami tentang nama Tegal Padung yang disebutkan dalam buku itu, bahkan dijadikan sebagai lokasi acuan dalam salah satu bab-nya: Beberapa peninggalan purbakala di plateau Tegal Padoeng dan di desa Paboentelan. Sepertinya nama ini pernah penting di masa lalu:

“Tersembunyi di antara dua gunung, Malabar dan Rakutak, di kaki Gunung Windu, pada ketinggian 5000 kaki berdiri plateau kecil, Tegal Padung.”

Sebelumnya, kami sudah beberapa kali menelusuri nama ini, dengan bekal peta-peta lama, ke lokasi mulai dari Tjikembang, Lodaja, dan di sekitar perkebunan Kertasari sekarang. Sudah kami dapatkan sejumlah gambaran dan kami datangi nama-nama tempat lama yang ternyata masih hidup sampai sekarang, di antaranya Tjikembang, Lodaja, dan Argasari, serta nama-nama sudah menjadi samar saat ini, seperti Tjibitoeng, Paboentelan, atau Tegal Padoeng.

Sebelum berangkat, kami sebetulnya sudah memiliki informasi yang lebih akurat tentang Tegal Padoeng, namun seperti biasa, dalam perjalanan selalu ada saja hal-hal menarik lainnya yang tanpa terduga nyelonong begitu saja sehingga mengalihkan tujuan utama. Dan itulah yang terjadi pagi hari kemarin.

RUMBIA

Kertasari masih cukup jauh saat kami berbelok mencari sebuah tempat dengan nama Rumbia. Nama ini disebutkan sekilas saja dalam buku La Faille tersebut, bahkan hanya dalam bentuk catatan kaki. Tertulis di situ cerita tentang penemuan lonceng-lonceng kuil, tempat dan jejak-jejak pemujaan di sebuah dusun di gunung. Ternyata, setelah masuk ke sebuah kampung kecil yang terletak di sebuah lembah, kami temukan nama itu, Rumbia. Nama yang sudah bertahan cukup lama di sini.

Kami ikut-ikutan mencari jejak kekunoan di kampung ini, blusukan, hingga akhirnya tiba di kompleks perkuburan warga dan menemukan banyak makam tua, sebagian besar menggunakan batu alam sebagai nisan dan tanpa nama, sebagian terlihat tidak teratur posisinya, dan umumnya tertutup oleh daun-daun bambu yang sudah kering dan bertumpuk tebal. Pada satu sisi area perkuburan ada bekas bakaran yang tidak terlalu luas. Ada batang pohon besar yang rubuh dan sebagian sudah menjadi arang, rupanya ada yang membuka ruang untuk beberapa makam keramat di bawahnya: makam-makam panjang dan sebuah batu datar yang konon biasa digunakan sebagai tempat duduk atau bersila oleh para pertapa atau mereka yang datang dari jauh untuk berziarah.

Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.

MATA AIR CIBANGELANG

Selain ke perkuburan, kami juga ke sebuah mata air yang juga dikeramatkan dan menjadi andalan warga di sini untuk kebutuhan air minumnya. Menurut aturannya, atau paling tidak menurut seorang bapak yang kami temui, sebelum dan sesudah berkunjung ke perkuburan ini, orang sebaiknya membasuh wajah dulu di mata air ini. Kami turut melakukannya. Menurut seorang ibu yang membuka warung di pinggir kampung, air itu bisa langsung diminum. Kami mengisi botol minuman kosong dengan air dari mata air ini. Seorang warga kampung mengisi botol galonnya sampai penuh dan mengangkatnya menuju rumahnya melalui jalanan setapak yang menanjak.

Rumah-rumah di sini terlihat cukup baik, rapi, dan bersih. Ada beberapa kolam yang juga cukup bersih. Pemandangan terbuka ke arah Gunung Malabar. Di sisi barat kampung mengalir sungai Citarum. Alirannya tidak terlalu besar, tapi deras, mengelilingi kampung. Pemandangan ke arah barat semua serba hijau, ladang dan sawah berteras-teras di seberang sungai. Sedangkan pemandangan ke arah timur sama sekali berlawanan, coklat, gersang, pemandangan tanah dan ladang-ladang kering.

PUNDEN BERUNDAK??

Ibu warung bercerita tentang sebuah bukit tempatnya berladang, lokasinya di belakang rumah. Awalnya kami pikir dekat, setelah mencoba menapaki tanah bertingkat di belakang rumah itu, kami sadar, itu mah bukan “di belakang” tapi bukit di seberang sana. Tapi, kami ke sana juga, dengan cara orang kota. Motor dipaksakan menapaki jalan beton yang sempit dan sangat menanjak ke arah Gunung Rakutak. Lebar jalan yang hanya cukup untuk satu ban motor tanpa pijakan buat kaki di kiri-kanannya. Harus ekstra hati-hati menapakinya kalau tidak mau jatuh tikusruk ke alang-alang dan gawir di sebelah kiri atau jatuh membentur teras-teras batu di sebelah kanan.

Sampai di atas, kami merasakan sesuatu yang berbeda. Sepertinya susunan batuan ini bukan seperti terasering ladang yang biasanya. Susunannya rapi, dan tinggi setiap dindingnya terlalu tinggi untuk terasering, malah di bagian bawah ada yang hampir dua meter tingginya. Kami susuri susunan dinding batu ini, melingkar dari utara ke barat, lalu selatan. Di bagian selatan tidak ada lagi dinding batu ini, selain di bagian teras tertingginya.

Ukuran batuan yang digunakan untuk menyusun teras ini banyak yang besar, terlalu besar dibanding teras-teras sejenis yang pernah kami lihat digunakan untuk membuat teras-teras ladang. Selain itu, ya ketinggian dinding teras yang rasanya akan sangat menyulitkan bila fungsinya untuk ladang. Kami mencoba mengambil jarak agar dapat membuat foto dengan bingkai yang lebih lebar, tapi gagal karena sempitnya teras, sehingga agak sulit mendapatkan gambaran lebih luas melalui foto.

Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.

Kami menduga-duga, jangan-jangan susunan batuan ini buatan manusia tempo dulu untuk keperluan lain, untuk pemujaan di masa lalu? Mungkin sebuah punden berundak? Tentu tidak mudah menjawabnya karena terbatasnya pengetahuan kami di bidang ini, jadi hanya sebanyaknya saja membuat foto dan video menggunakan handphone untuk nanti kami tanyakan kepada yang lebih paham soal ini.

TEGAL PADUNG

Siang semakin terik dan kami harus lanjutkan perjalanan, mencari Tegal Padung. Mampir makan siang sebentar di sebuah kedai kayu kekinian yang didirikan di seberang lapangan Kertasarie. Pemandangannya, Gunung Rakutak dan kawan-kawannya yang puncak-puncaknya terlihat berbaris ke belakang. Entah ada berapa banyak puncakan di depan kami, hanya sebagian kecil saja yang pernah kami kunjungi atau lewati dalam perjalanan momotoran kami selama ini.

Jalan utama ke dalam Kertasarie ternyata ditutup. Kami memutar agak jauh lewat Kampung Lodaya, lalu masuk jalanan hancur lebur dengan batu-batu besar dan debu tanah merah yang sangat tebal. Menempuh jalan separah ini benar-benar di luar dugaan, masker putih pun cepat berwarna. Sekian belas menit menempuh jalanan brutal ini, lalu belok kanan, masuk ke jalanan tanah yang sempit di antara pohon-pohon teh yang rapat, debu masih sama tebalnya. Di ujung, jalan menjadi lebih lebar dan debu berkurang. sedikit lebih teduh. Dan tibalah kami di satu titik yang merupakan lokasi lama Tegal Padoeng, sesuai dengan titik lokasi pada peta lama yang jadi panduan kami.

Dari sini kami berjalan kaki menyusuri jalan kebun, jalanan menurun dan bertangga-tangga sampai ke dasarnya. Seperti bekas aliran sungai yang cukup lebar, atau mungkin juga dataran biasa bentukan alam, karena kami tidak melihat adanya batuan yang biasanya banyak ditemukan di aliran sungai. Di bagian tengahnya ada galian baru, seperti pendalaman aliran yang sebelumnya sudah ada. Ada sedikit genangan air, tidak mengalir, dan permukaannya seperti ada bekas karat, memerah.

Kami berjalan sampai ke seberang, lalu ada tangga-tangga tanah lagi dan di atasnya kembali pohon-pohon teh yang rapat dan cukup teduh karena ada banyak pohonan tinggi di sini. Di sisi lain dari tempat ini, sebelah timur, adalah lokasi perkuburan lama dari masa hidupnya Tegal Padoeng. Mungkin sudah tidak ada sisa apa-apa di situ. Melalui google earth yang terlihat hanya tanah merah, tidak ada tanaman apa-apa di lokasi itu. Lain waktu kami akan lewati tempat itu sambil berkunjung ke sebuah perkebunan lain yang cukup terkenal namanya.

Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.

LODAYA

Dari Tegal Padoeng, kami beranjak menempuh jalur jalan yang berbeda untuk menuju jalur jalan utama antara Kertasarie-Malabar. Lalu kembali ke Lodaya untuk mengunjungi beberapa rumah perkebunan tua di sana. Rumah-rumah ini masih sangat jelas menampilkan bentuk lamanya, mungkin sudah ada perbaikan di sana-sini sesuai dengan usianya, tapi secara umum terlihat masih utuh. Dari bentuk bangunannya, rumah-rumah ini sepertinya belum berdiri pada masa La Faille membuat catatan untuk bukunya. Dan memang tidak disebut juga dalam catatannya itu.

Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.
Foto: Komunitas Aleut.

Sebelum hari terlalu sore kami memutar haluan kembali ke arah kami datang, tapi kali ini kami mencoba sebuah jalan baru di sebelah barat, melalui Kampung Cihalimun dan keluar dekat Argasari. Rencana awalnya masih ada dua-tiga tempat lagi yang akan kami datangi, tapi badan sudah terlalu lelah akibat naik-naik bukit di bawah teriknya matahari pada awal perjalanan tadi. Sisa rencana kami simpan dulu untuk perjalanan berikutnya saja.

***