Oleh: Nurul Fatimah (@fatnurulll)
Baterai sudah full charged. Memori card sudah diformat. Setengah tujuh masih dua menit lagi. Tapi di luar, motor sudah menderu. Siap dikebut sepagi itu.
Kami bertemu di Solontongan. Di sebuah kedai di ujung pertigaan. Sudah sekian orang duduk berbincang sambil menunggu yang lain datang. Pagi itu, setelah sehari sebelumnya Bandung diguyur hujan, kami akan melancong ke Padalarang.
Dan…Inilah ngaleut. Bersama 20 motor, kami menuju Sanghyang Heuleut.
Kau perlu tau, kawan. Banyak hal yang perlu disiapkan sebelum memutuskan datang. Berpakaianlah senyaman mungkin. Nyaman untuk mendaki. Nyaman untuk menerjang arus. Nyaman untuk merangkak. Bersiaplah untuk terjembab, terjatuh, terpeleset. Setidaknya kau harus ikhlas untuk lecet.
Gemuruh arus sungai Citarum lah yang pertama menyapa. Mata ini bahagia. Sungguh. Melihat sungai dengan debit yang deras, dengan bibir sungai yang masih berbatu cadas. Kamipun mulai menapak lebih jauh. Masuk ke kawasan rerimbunan pohon dan semak. Jalan tanah yang semalaman terguyur hujan. Sesekali menanjak. Sesekali melompat. Sesekali memanjat.
Sebuah goa menganga di bawah tebing. Papan penanda menyebutnya “Sanghyang Poek”. Goa dengan panjang sekitar 400m itu gelap dan licin. Penuh stalaktit dan stalakmit. Beberapa masih meneteskan air tanda proses pembentukan masih berlangsung. Bentuknya bermacam. Tebayang waktu yang dibutuhkan bagi air untuk menetes dan membentuk satu gugusan bebatuan baru. Tak hanya meruncing, beberapa bahkan berkilau. Membuat kami pasrah terpukau.
Mulut goa di ujung lainnya membawa kami ke jalur yang lebih ganas. Berjalan melawan arus sungai dengan hamparan bebatuan yang makin edan. Beberapa sisi bahkan tajam. Sesekali kami berhenti. Mengambil nafas untuk bekal melangkah lagi. Atau mengulurkan tangan untuk memberi kekuatan. Atau menjabat erat untuk menyalurkan semangat. Entahlah, yang pasti kami tetap melawan arus.
Mata ini sudah banyak merekam. Tapi kamera di tangan masih bungkam. Diafragma didiamkan menganga. Hanya sesekali saja telunjuk ini menyentuh rana. Padahal tepat di depan mata, seorang kawan terpeleset. Sungguh indah ketika karenanya, air menjadi terciprat. Muka penuh sebalnya akhirnya mengumpat. Harusnya dalam rima ini aku tuliskan “keparat!”. Tapi apa daya, hanya “anjiiiiirrrrr” yang kawan itu ingat. Menyedihkan, karena semua itu terlewat.
Bukan tak beralasan kamera itu hanya dibiarkan menggantung di leher. Bahkan setelahnya ia sempurna masuk kembali dalam tas. Medan terlalu keras! Sudah beberapa kali ayunannya terantuk batu. Mengguratkan sedikit tanda di sebelah lensa. Masih untung bukan tercemplung. Hanya tergores. Ter-go-res. Oke cukup.
Dalam dunia per-foto-an, momen menarik bisa dikejar, ditunggu, atau bahkan diciptakan. Tapi kau tahu kawan, yang spontan itu lebih memuaskan. Ada masa dimana kita bahagia karena dapat mengungkap sebuah cerita. Terlebih mengabadikan apa yang orang lain tak punya kenangannya. Tak lihat, tak dengar, dan tak rasa. Kepuasan yang sebagian orang menyebutnya “berbangga”. Padahal yang semacam itu hanya soal waktu yang berkompromi dengan keberuntungan. Bukan teknik atau jenis kamera yang digunakan.
Dan…
Pada titik itu aku dilema!
Inginnya menangkap peristiwa. Tapi apadaya semua hanya mungkin direkam mata.
Ya, biarkan saja lah. Toh perjalanan sudah terlalu mainstream untuk selalu diabadikan. Biar sesekali otak yang bekerja. Sibuk menyimpan kenangannya. (NF)
Tautan asli: http://fathimahnurul.blogspot.co.id/2016/08/dilema-si-pemain-rana.html
Leave a Reply