Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Indonesia-Jakarta-Mangga-Besar-Perumahan-di-atas-kali-2-6-1200-2R

Apa asyiknya jalan-jalan di kota sendiri?

Pertanyaan itu muncul dari mulut seorang teman lama saat kami bertemu beberapa hari lalu. Tentu, dia, teman saya itu, melontarkan pertanyaan tersebut bukan tanpa sebab.

Jalan-jalan yang kerap kali saya lakukan akhir-akhir ini menjadi alasan timbulnya pertanyaan teman saya tadi. Jalan-jalan yang saya maksud adalah jalan-jalan menyusuri Kota Bandung. Kadang bersama kawan-kawan satu komunitas, tapi tak jarang juga saya melakukannya sendiri.

Dalam jalan-jalan itu, sesekali saya memostingnya di Instagram. Sebagai manusia milenial yang enggak mau ketinggalan zaman hal ini menjadi sangat penting. Bukan apa-apa, ini perihal eksistensi.

Nah, karena saya dan teman saya itu terpisah jarak dan waktu (kami hanya berkomunikasi lewat sosial media), saya yakin pertanyaan itu muncul dikarenakan postingan saya di Instagram. Dalam suasana santai yang ditemani berbagai minuman dan makanan, malam itu saya bercerita panjang lebar. Tak melulu soal pacar (yakali punya), tapi juga soal kegiatan masing-masing belakangan ini.

Berkaitan dengan pertanyaan yang dilontarkan teman saya tadi, saya berkoar ke sana-kemari dan mulai menjelaskan mengapa saya kini mulai suka jalan-jalan, terutama jalan-jalan di kota tempat saya tinggal. Dan ini, saya kira tentu saja tak pantas disebut traveling. Apalagi disama-samakan dengan Jebraw. Itu loh host jalan-jalan men yang riweuh itu.

***

Jalan-jalan di kota sendiri merupakan sesuatu yang mudah sekaligus susah. Mudah karena bisa dilakukan kapan saja, dan baiknya, kita bisa lebih mengenal kota sendiri bersama masyarakatnya dari dekat. Mengapa? Karena di situlah sehari-hari kita hidup dan bernapas. Di kota sendirilah kita sehari-hari bergelut dengan kenyataan yang enggak selamanya indah dan menyenangkan.

Tapi ya susah juga deng, apalagi rasa mager selalu mendominasi. Ntar-ntar lagi deh… Lebih-lebih bulan Ramadan kaya gini, selain malas, jalan-jalan di bulan Ramadan berpotensi cepat haus dan banyaknya godaan yang berujung pada godin.

Padahal Ramadan adalah bulan yang banyak dirindukan oleh orang-orang. Eh tapi tunggu dulu, itu kan cuma di seminggu pertama, nah minggu-minggu selanjutnya rindu kamu akan berpaling ke Lebaran, kan? Hmmm… Kalau inget ini saya jadi pengen copotin spanduk bertuliskan “Selamat Datang ya Ramadan, Kami Rindu Padamu” lalu menggantinya dengan spanduk pecel lele.

Sebelum rindu pada Ramadan ini berakhir, saya berusaha makin memperbanyak amalan jalan-jalan. Bukan, bukan jalan-jalan nyari hotel buat bukber (buka bersama) dengan all you can eat-nya. Saya lagi semangat buat “motret” kehidupan warga kota Bandung (tempat saya tinggal) di saat Ramadan.

Ada perbedaan yang mencolok ketika suasana Bandung pada bulan-bulan biasa dan suasana Bandung di kala Ramadan. Dimulai dari kebiasaan yang berubah, sampai ramai dan bejibunnya orang-orang di titik-titik tertentu.

Salah satu pemicu yang membuat saya ingin lebih dekat dengan Bandung saat Ramadan adalah beberapa buku yang menceritakan bagaimana situasi Bandung Tempo Dulu di waktu Ramadan. Saya jadi enggak cuma pandai membayangkan wajah gebetan, tapi juga mulai pengen bayangin bagaimana situasi dan kondisi kota—yang katanya diciptakan Tuhan saat sedang tersenyum ini.

Sehari-hari saya sering berkendara dibanding jalan-jalan. Motor butut saya menjadi sahabat dalam menjalani hari-hari. Ke mana-mana pake motor, jangankan ke tempat jauh, ke minimarket yang hanya berjarak 100 meter saja saya mah pake motor, walaupun selalu ngenes karena suka ada tukang parkir gaib. Iya tukang parkir gaib, yang saat parkir nggak ada, pas mau caw tiba-tiba keluar dari pengungsiannya. Malesin, eh tapi lebih males jalan kaki sih.

Nah, beberapa hari lalu rasa semangat untuk ngabuburit di pusat kota itu muncul. Ramadan Di Priangan (Tempo Doeloe) karya Haryoto Kunto saya jinjing sebagai referensi saja. Selebihnya jalan-jalan ngabuburit kali ini lebih mengenalkan saya ke tempat-tempat yang jarang saya lirik saat saya berkendara.

Efeknya tentu saja timbul rasa memiliki, membuat rasa sayang ini enggak hanya berlaku pada gebetan tapi juga pada kota tempat saya berasal.

Nah, berhubungan dengan mulai mendekatinya masa mudik (masa di mana orang-orang akan kembali ke kampung halamannya), saya jadi punya keberanian untuk ngasih wejangan buat kamu-kamu yang akan pulang. Agar nanti, saat kamu berada di kampung halamanmu, cumbulah kotamu. Dia, kota asalmu itu pantas mendapatkan cumbuan dan belaian darimu.

Dekap dia dengan lembut sebagaimana kamu mendekap keluargamu nanti, meski sebentar. Karena saya yakin, pada dasarnya kamu akan selalu rindu dengan kotamu.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya kutip tiga paragraf dari sampul belakang buku Titik Nol-nya Agustinus Wibowo. Buku tebal yang mempunyai 500-an halaman lebih ini kiranya mengisahkan makna pulang.

Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukan puncak.

Juga terpukau pesona kata “jauh”, si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.

Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.

Selamat bercumbu dengan kotamu!

***

Tautan asli: https://blogakay.wordpress.com/2017/06/23/cumbulah-kotamu-meski-hanya-sebentar/