Category: Momotoran (Page 3 of 6)

Senyum Terkembang di Subang: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1)

Oleh: Irfan Pradana Putra

Pagi ini bener-bener telat bangun, padahal harusnya saya sudah berada di sekretariat Komunitas Aleut untuk mengikuti kegiatan Momotoran ke wilayah Subang. Dengan kecepatan turbo saya mandi oray, mengontak kawan-kawan menanyakan posisi untuk segera saya susul. Dengan kecepatan yang lebih tinggi saya memacu motor mengejar kawan-kawan yang sudah berada di daerah Dago, itu pun sedikit terpotong waktunya karena harus mengisi bensin dulu.

Tidak ada tanda-tanda kawan-kawan akan berhenti menunggu, jadi saya kejar titik pemberhentian pertama saja, di sekitar Maribaya. Saya mengambil jalan menuju kawasan Dago Giri lalu berbelok ke arah jalan Dalem Wangi, yang ujungnya mengarah ke kawasan Maribaya. Akhirnya saya bertemu rombongan juga, di sebuah kampung bernama Wangunharja, di atas Maribaya. Di sini langsung menyimak cerita-cerita seputar Maribaya dan Patahan Lembang yang terbentang di depan kami.

MARIBAYA

Sehari sebelum Momotoran hari ini, kami mendiskusikan dulu rute perjalanan yang akan ditempuh. Titik pertama yang akan kami kunjungi adalah Maribaya. Saya baru tahu kalau Maribaya dulu pernah begitu masyhur, hingga dijadikan judul dan tema sebuah lagu oleh kelompok musik The Cats dari Belanda pada tahun 1973. Setahun sebelumnya band ini tampil konser di Jakarta, dan di sela jadwalnya, mereka sempat mengunjungi Tangkubanparahu dan Maribaya di Lembang. Maribaya rupanya meninggalkan kesan manis bagi band ini:

The beauty of the place just stole my heart

I had never seen a paradise before

Maribaya ternyata sudah terkenal lama sebelum kedatangan band The Cats itu. Pada masa Hindia Belanda, kawasan ini sudah jadi salah satu tujuan wisata favorit, terutama karena keberadaan air terjun dan pemandian air panasnya. Richard dan Sheila Bennett dalam buku Bandung and Beyond yang terbit pada tahun 1980 menggambarkan Maribaya sebagai kawasan perkampungan yang indah. Richard dan Sheila juga menganjurkan agar tidak mengunjungi Maribaya di hari Minggu, sebab – menurut keduanya – setiap hari Minggu Maribaya akan sangat padat, bahkan mereka menyebut setengah penduduk Indonesia saat itu akan memadati Maribaya 🙂 

Meski begitu, sepanjang perjalanan melewati Maribaya hari ini saya tidak merasakan apa yang Richard dan Sheila itu tuliskan. Beberapa objek wisata di Maribaya tampak sepi. Jalanannya pun lengang, padahal saat itu hari Minggu. Zaman sudah berubah, semakin banyak pula pilihan tempat wisata. 

Zaman sekarang, tempat wisata biasa ramai dan padat saat awal buka, media sosial membuat orang penasaran untuk segera berkunjung, tapi tak lama kemudian jadi sepi, ditinggalkan, orang beralih ke tempat wisata yang lebih baru lagi. Begitu seterusnya. Tak heran di mana-mana bisa kita lihat puing-puing tempat wisata yang sudah tidak laku lagi karena tren berubah dengan cepat.

Kawan-kawan menepi sebentar untuk mengamati bentangan Patahan Lembang. Foto: Komunitas Aleut.

PATAHAN LEMBANG

Continue reading

Jagarnaek, Tenger Agoeng, dan Makam Tenger Agoeng

Oleh: Aditya Wijaya

Tengger Agoeng dalam peta karya Junghuhn 1855. Wikicommons.

Hari Minggu, 27 Agustus 2023.

Keramaian kota perlahan menghilang berganti kesunyian dan ketenangan setelah kami melewati Kampung Jagarnaek. Dua sepeda motor perlahan melaju ke utara, melewati jalanan berbatu kerikil dengan tanah merah yang gersang. Di saat seperti itu, saya serasa mengendarai motor dalam kompetisi balap trail; ban motor melibas tanah merah yang gersang, menghasilkan kepulan debu tebal.

Di kanan kiri jalan terhampar perkebunan teh Jagarnaek. Konturnya tidak seperti di kawasan Bandung Selatan yang berbukit-bukit. Di Jagarnaek semuanya terlihat datar meski ada satu dua perbukitan kecil. Rasanya lingkungan di kawasan Jagarnaek tidak banyak berubah, masih seperti dua abad yang lalu. Saya langsung teringat sebuah tv series berjudul “1883,” berlatar tahun 1883, membayangkan bagaimana kehidupan yang terjadi dua abad lalu di Jagarnaek.

Jagarnaek saat ini merupakan kampung yang terletak di Desa Cisaat, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Jagarnaek ini termasuk bagian dari kawasan perkebunan P&T Lands atau Pamanoekan & Tjassem kepunyaannya keluarga Hofland. Ada yang menarik dengan penamaan Jagarnaek; rasanya nama ini memiliki hubungan penting dengan Peter William Hofland yang dilahirkan di Jaggernaikpoeram, India. Dahulu Jaggernaikpoeram – atau saat ini Kakinada – Andhra Pradesh, India, merupakan kota pelabuhan perdagangan penting saat Inggris dan VOC berkuasa.

Jaggernaikpoeram di India. Wikipedia.
Continue reading

Ngaleut Pertama: Terengah-engah di Citengah, Sumedang

Irfan Pradana

Setelah tertunda 10 tahun, akhirnya saya berkesempatan untuk mengikuti perjalanan Komunitas Aleut. Saya mengenal Komunitas Aleut dari cuitan Zen RS (Pemred Narasinews) sekitar tahun 2013. Kala itu saya sedang gemar membaca tulisan tentang sepakbola yang disajikan oleh Pandit Football, media sepakbola yang juga digawangi oleh Zen RS.

Salah satu rubrik yang paling saya gemari di Pandit Football adalah rubrik sejarah. Rubrik itu menampilkan sepakbola dan kaitannya dengan sejarah. Jenis artikel yang paling menarik minat baca saya saya adalah artikel yang mengupas pertautan antara sepakbola dengan sejarah, khususnya ekonomi politik, baik nasional maupun internasional. Berkat Pandit Football saya menemukan cara yang asyik untuk mengenal peristiwa-peristiwa sejarah.

Usai melihat cuitan Zen tentang Komunitas Aleut, saya mulai membaca tulisan-tulisan di komunitasaleut.com. Perkenalan dengan Komunitas Aleut semakin menambah keinginan saya untuk mengulik sudut pandang baru dalam mempelajari sekaligus menikmati sejarah.

Waktu berlalu, sebab satu dan lain hal saya selalu gagal mengikuti perjalanan Aleut. Urusan kampus dan pekerjaan menyita banyak waktu saya kala itu hingga tak pernah mendapat kesempatan turut serta dalam kegiatan Aleut. Seingat saya, saya hanya satu kali saja pernah hadir di acara diskusi Aleut di Kedai Preanger. Sayangnya saya pun lupa apa tema diskusi saat itu.

Bertahun-tahun tidak lagi berinteraksi dengan Aleut, akhirnya di hari Minggu, 15 Oktober 2023, saya memiliki privilese waktu luang yang bisa saya manfaatkan untuk ikut Ngaleut. Semalam sebelumnya secara mendadak saya menghubungi Rani, salah satu koordinator Komunitas Aleut, guna menanyakan sekaligus meminta izin untuk mengikuti kegiatan Aleut. Syukurlah memang dasar rejeki saya, Rani mengiyakan dan langsung memberi saya info mengenai jadwal serta lokasi titik kumpul untuk keberangkatan esok hari.

Tujuan utama dari perjalanan hari itu adalah sebagai rangkaian kegiatan menyusuri jejak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat. Rute yang akan kami jalani antara lain Malangbong-Cibugel-Perkebunan Teh Margawindu-Citengah.

Continue reading

Catatan Perjalanan Momotoran Malangbong-Sumedang Lewat Margawindu

Oleh: Fikri M Pamungkas

Minggu ini saya mengikuti kegiatan momotoran bersama komunitas Aleut yang  ke empat kalinya. Saat ikut kegiatan momotoran biasanya selalu membawa motor Honda Astrea Prima 1990, meskipun hanya motor tua, kata kebanyakan orang sih motor tua itu klasik, makin tua makin asik. Tapi untuk momotoran kali ini disarankan oleh teman-teman agar tidak membawa motor itu, selain karena akan terlalu banyak yang bawa motor juga karena diberitahu bahwa nanti akan melewati jalur perjalanan yang terjal.

Cuaca pagi ini cerah. Setelah persiapan dari sekretariat Komunitas Aleut, dimulailah perjalanan kami menuju Malangbong. Awal perjalanan lancar-lancar saja tidak ketemu macet, lain dengan biasanya area Bandung bagian timur, dari Cibiru-Cileunyi sampai Rancaekek, yang terkenal dengan kemacetannya. Di Pom Bensin Rancaekek saya berhenti sejenak, menunggu teman-teman lain yang mengisi bensin, sambil menelepon salah satu teman yang terpisah dari rombongan. Untungnya tidak jauh dari sana kami bertemu kembali dan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan begitu lancar sampai melewati Limbangan dan rombongan memutuskan untuk beristirahat sejenak meluruskan kaki dan punggung. Memesan minuman, kopi, dan makan gorengan dengan cabe, menjadi pilihan yang tepat, rasanya begitu nikmat. Sembari makan kami banyak mengobrol dan bercerita mengenai tujuan momotoran kali ini, yaitu ke warung Bu Farida, istrinya Pak Sardjono (alm), anaknya SM Kartosuwiryo. Lalu akan ke makamnya Rd Dewi Siti Kalsum, istri SM Kartosuwiryo, dan tentunya mengenal sejarah peristiwa DI/TII di Jawa Barat, khususnya di jalur yang kami lewati. Setelah selesai istirahat, kami melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalur memotong. Tak jauh dari masjid Al-Barokah Malangbong ada belokan ke arah kiri berupa turunan, lalu melewati pemukimanan warga, kemudian sedikit menanjak sampai akhirnya di sebuah turunan lagi sudah terhampar pemandangan sawah yang begitu gersang. Cuaca terasa sangat panas dan jalanan penuh debu.

Foto: @DeuisRaniarti

Akhrinya sampai juga di warung Bu Farida, lokasinya di Kampung Bojong, Mekarasih, Kecamatan Malangbong. Tak lama, Bu Farida keluar dari dalam rumahnya, lalu bertanya-tanya mengenai keadaan sekarang, karena Komunitas Aleut sebelumnya memang pernah mampir ke sini, sehingga Bu Farida masih ingat.

Saya baru pertama kali kesana bertemu dengan beliau, sangat baik dan ramah. Dengan ramahnya beliau mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumahnya dan ditawarkan untuk mengobrol dengan putrinya. “Neng mangga bilih bade nyarios sareng pun anak da kaleresan nuju aya di bumi, ujar Bu Farida, kepada teh Rani.

Continue reading

Momotoran Panas ke Malangbong-Cibugel-Margawindu-Citengah

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Suara keyboard terdengar renyah saat saya mengetikkankan “Donovan’s Greatest Hits” di kolom pencarian Youtube. Rangkaian lagu dari Donovan ini akan menemani saya menulis kisah ini dan mungkin lagu-lagu lainnya yang akan menemani para pembaca.

Ini adalah catatan perjalanan momotoran Aleut yang kali ini terasa berbeda, pasalnya tema Momotoran Malangbong-Cibugel-Margawindu amat saya nantikan. Obrolan, diskusi, dan bacaan, menjadi bekal penting agar saat berkunjung ke suatu tempat bisa menjiwai, memaknai, dan membayangkan apa yang sudah terjadi di masa lalu, dan dampaknya di masa depan.

Tepat pukul delapan pagi di Hari Minggu dari Sekretariat Komunitas Aleut di Sri Elok, lima sepeda motor memacu kendaraannya ke arah timur. Langit biru dengan sedikit awan serta panas sinar matahari menemani perjalanan ini. Keadaan jalanan penuh debu dan sesekali kerikil kecil masuk ke mata, menyelusup melewati helm dan kaca mata.

Saat itu jalanan provinsi yang kami lewati sangat lengang. Beberapa perubahan kondisi lingkungan sangat terasa, khususnya di sekitar Cileunyi-Cicalengka. Maklum, ada jalur tol baru ke arah Sumedang yang nantinya akan dibangun juga jalur tol ke arah selatan. Jalanan ini sudah sering saya lalui, dari kecil saya terbiasa melakukan perjalanan dari Bandung ke arah selatan untuk berkunjung ke kampungnya Bapak. Jadi saya dapat merasakan perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.

Nagreg-Limbangan-Lewo dilalui dengan was-was. Di jalur ini masih ada beberapa truk-truk besar yang jalannya lambat dan memaksa saya harus segera mendahului. Jika terus bermotor di belakang truk tersebut seringkali dikentuti dengan kepulan asap berbau solar dan suara bising tidak menyenangkan. Menyalip di jalur ini butuh konsentrasi penuh karena di sisi berlawanan banyak bis-bis cepat serta jalur yang berkelok-kelok dan lumayan menanjak.

Ada dua tempat yang sering saya dan keluarga jadikan tempat beristirahat. Pertama, Rumah Makan Tahu Sumedang sebelum Limbangan dan kedua, Pom Bensin yang ada air panasnya di Ciawi. Tetapi dengan Aleut ada satu tempat lain, yaitu warung di Lewo, rekomendasi seorang rekan dan sekarang dijadikan tempat langganan untuk beristirahat. Kami beristirahat di warung ini, lumayan untuk mengganjal perut kosong. Ada gorengan dengan bermacam variasi ditambah leupeut jika tidak kesiangan datangnya. Jika ingin makan berat juga ada beberapa menu makan seperti ayam goreng, timbel, dan lainnya.

Foto: @DeuisRaniarti

Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Malangbong, persisnya ke Kampung Bojong. Tak jauh dari warung tempat istirahat tadi, kami belok ke arah Desa Cibunar. Jalanan ke arah desa sedikit rusak tapi bisa dilalui dengan mudah. Di kiri-kanan jalan sawah-sawah yang telah panen terlihat berwarna putih, sangat kering, sementara batang-batang bambu pun tak mau kalah menampakkan kekeringan dan gersang.

Continue reading

Kisah Rob Aernout di Jayagiri

Oleh: Aditya Wijaya

Perkenalan saya dengan Aernout bermula saat mencari materi mengenai salah satu tokoh yang dimakamkan di Makam Pandu. Alkisah tokoh tersebut memiliki kaitan dengan seseorang yang bernama Aernout. Tulisan berikut ini banyak mengambil dari buku “De Zaak Aernout” yang ditulis oleh Peter Schumacher.

Buku “De Zaak Aernout” (Peter Schumacher)

Robert Carel Leo Aernout lahir pada tanggal 18 April 1911 di Den Haag. Awalnya ia mempelajari mengenai pertanian tropis. Pada tahun 1939 ia berangkat ke perusahaan teh pamannya di Jawa untuk mendapatkan pengalaman bekerja. Tiga bulan kemudian ia mendapat pekerjaan di perusahaan teh lain tidak jauh dari tempat pamannya.

Tak lama kemudian, tunangannya datang menyusul dari Belanda dan mereka menikah. Saat pecahnya perang dengan Jepang, Aernout dimobilisasi. Pada bulan Maret 1942 ia menjadi tawanan perang Jepang dan masuk ke berbagai kamp di Jawa. Istri dan dua anaknya yang lahir tak lama sebelum perang diinternir di berbagai kamp perempuan selama pendudukan Jepang. Pada tahun 1946, keluarganya menetap di Bandung.

Usai masa perang, Aernout bertugas sebagai pengemudi di Brigade V KNIL. Setelah dipromosikan dengan pangkat perwira terendah pada akhir tahun 1946, ia bekerja di Departemen Koordinasi Transportasi Militer (CMV). Tugasnya adalah mengatur sarana transportasi yang memadai untuk mengangkut barang, tentara, dan terkadang ternak melalui jalan darat, kereta api, dan pesawat. Aernout juga harus memastikan bahwa segala sesuatu di sepanjang rute yang dilalui berjalan dengan aman. Untuk itu, ia rutin menghubungi petugas dan bintara yang mengetahui situasi di lokasi. Ia juga rutin berkonsultasi dengan petugas keamanan, termasuk Letnan Otto Muller von Czernicki yang bekerja di bandara Andir.

Pembunuhan Rob Aernout

Awalnya kisah pembunuhan Aernout hanya menarik sedikit perhatian, mungkin karena alasan yang agak sinis, bahwa setelah Perang Dunia Kedua di Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan, tentara Belanda sering menjadi korban para pejuang kemerdekaan atau geng-geng yang berniat menggerebek dan menjarah rumah-rumah orang Belanda (rampok).

Continue reading

Pengelolaan Air untuk Listrik di Perkebunan Malabar

Oleh: Aditya Wijaya

Beberapa waktu lalu saya bersama Komunitas Aleut mengunjungi kawasan Perkebunan Malabar. Salah satu keperluannya adalah melihat lokasi-lokasi yang berkaitan dengan sistem air dan kelistrikan di Malabar. Di antaranya Syphon Cikuningan, PLTA Cilaki, DAM Wanasuka, dan masih banyak lagi.

Dari kunjungan ini saya membayangkan bagaimana dulu aliran air dikelola sedemikian rupa menjadi sumber listrik untuk memenuhi kebutuhan perkebunan. Seperti syphon yang berfungsi untuk mengalirkan air dari satu tempat ke tempat lainnya. Cara kerjanya mirip seperti bila kita memindahkan bensin dari motor melewati selang kecil.

Selain syphon ada juga beberapa kolam pengendapan air dan saringan-saringan air. Sesuai sebutannya, kolam dan saringan ini berfungsi untuk mengendapkan dan menyaring air sebelum dialirkan menuju turbin guna menghasilkan listrik.

Jika kita amati lebih teliti sebenarnya sebagian aliran air yang dulu merupakan sungai dan dimanfaatkan untuk kelistrikan, sekarang ternyata sudah tidak ada lagi. Salah satunya, Sungai Citambaga yang saat ini sudah tinggal nama saja. Aliran sungai Citambaga termasuk yang paling awal dimanfaatkan untuk pembangunan PLTA di kawasan Perkebunan Teh Malabar.

Syphon Cikuningan (Aditya Wijaya)
Continue reading

Jejak Kerbosch Sang Ahli Kina di Mess Purbasari

Oleh: Aditya Wijaya

Dr. Kerbosch duduk paling kiri dari foto (KITLV)

Pada 16-17 Juli 2023 lalu, saya bersama Komunitas Aleut berkunjung ke beberapa lokasi di Pangalengan, di antaranya ke Mess Purbasari di Desa Wanasuka, Pangalengan, Kab. Bandung. Kunjungan-kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam rangka mengumpulkan materi lapangan terkait Kawasan Perkebunan Malabar.

Siang itu kami tiba di Mess Purbasari. Di sini kami memerhatikan sebuah plakat berbahasa Belanda yang terpasang di dinding tepat di atas perapian. Saya coba tuliskan inskripsi dalam plakat tersebut.

Plakat di Mess Purbasari (Aditya Wijaya)
Continue reading

Momotoran Nagreg, Cicalengka, dan Sekitarnya

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Minggu, 9 April 2023. Komunitas Aleut mengadakan kegiatan Momotoran, kegiatan ini masih dalam rangkaian bahasan panjang seputar peristiwa Bandung Lautan Api di Komunitas Aleut.

Gedong Peteng tertutup tanah dan alang-alang. Foto: Aditya Wijaya

Gedong Peteng, Nagreg

Tujuan pertama Momotoran ini adalah sebuah benteng Belanda yang berada di atas bukit (Bukit Citiis, Kampung Paslon) di kawasan Nagreg. Masyarakat sekitar menamai benteng ini Gedong Peteng tetapi sebenarnya Gedong Peteng hanyalah sebuah bagian dari beberapa bangunan benteng yang ada di sana. Bangunan lain saat ini sudah tidak tersisa hanya terlihat bekas-bekas pondasi dan reruntuhan batu-batu besar.

Menurut masyarakat Gedong Peteng merupakan bangunan yang dahulu berfungsi sebagai penjara. Peteng menurut masyarakat memiliki arti gelap. Saat ini hanya Gedong Peteng yang masih tersisa dan kondisinya relatif masih utuh meskipun ketika kami ke sana setengah bangunannya sudah tertimbun tanah.

Continue reading

Kisah Dago Pakar dan Mata Air Cibitung

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Hari Minggu lalu, 28 Mei 2023, saya berjalan-jalan seorang diri di sekitar Kolam Pakar. Lalu iseng menuruni jalan setapak yang sudah dirapikan menuju sebuah lembahan. Awalnya hanya ingin lihat-lihat saja, tapi ternyata saya bertemu seseorang yang dengan lancar membagikan sebuah cerita. Sayangnya beliau berkeberatan namanya disebut dan tidak ingin informasi tentang dirinya diketahui.

Berikut ini saya ringkaskan apa-apa yang saya dengar dari beliau. Ditulis apa adanya, sesuai dengan cerita yang saya dengar dan catat, tidak ditambah atau dikurangi.

Situs Mata Air Cibitung di Dago. Foto: Aditya Wijaya

Pakar

Alkisah pada tahun 1826 datanglah seorang pembesar Kerajaan Sumedang Larang ke suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Dago Pakar. Beliau bernama Raden Rangga Gede menjabat sebagai Adipati Sumedang Larang, putra dari Rangga Gempol. Beliau datang untuk memenuhi wangsit atau panggilan jiwa untuk bertirakat dan menyebarkan agama Islam di wilayah Pakar.

Continue reading

Jejak Gerombolan di Parentas

Ditulis oleh: Komunitas Aleut

Hari Sabtu, 18 Februari 2023, Komunitas Aleut melakukan perjalanan ke Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan kami saat berkunjung ke Parentas.

PARENTAS

Parentas merupakan sebuah desa yang berada di perbatasan antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasik, letaknya berada di atas pegunungan dikelilingi oleh lembah curam. Cukup sulit jika ingin menuju Parentas terutama menggunakan kendaraan roda empat. Jalur menuju Parentas sebagian jalannya rusak dan tikungan jalannya sangat tajam dan pendek-pendek. Butuh kewaspadaan ekstra jika ingin menuju Parentas.

Jalan menuju Parentas. Foto: Komunitas Aleut

Desa Parentas pernah mengalami peristiwa memilukan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1961. Tepatnya 17 Agustus 1961. Sebanyak 51 orang tewas di Desa Parentas, mereka semua diserang oleh gerombolan DI/TII. Terdapat sebuah monumen sebagai tanda terjadinya peristiwa memilukan tersebut.

Continue reading

Kerkhof di Kebun Raya Bogor

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan Ngaleut Bogor yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut.

Deskripsi Makam Belanda Kebun Raya Bogor. Foto: Aditya Wijaya

Komplek permakaman Belanda di Kebun Raya Bogor letaknya berada di tengah hutan bambu. Suara angin menggoyang batang bambu hingga beradu bisa kita dengar dengan jelas. Terlihat beberapa orang tengah melihat-lihat permakaman ini dari dekat. Mungkin mereka seperti saya, mencoba membaca tulisan di atas nisan meskipun tidak mengerti dan menduga-duga mengenai kenapa bisa ada permakaman di tengah Kebun Raya Bogor.

Continue reading

Yusuf Tauziri dan Masjid Cipari, Garut

Ditulis oleh: Deuis Raniarti

Damini atau Yusuf Tauziri adalah pemimpin Pesantren Darusalam, Wanaraja. Nama Yusuf Tauziri ia dapatkan setelah melaksanakan ibadah haji tahun 1923. Pada tahun yang sama, ia memimpin pondok pesantren bernama Darussalam, sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut.

(Bangunan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Cipari. Foto Komunitas Aleut)

Hari Sabtu, 18 Februari 2023, kami mengunjungi tempat ini. Tentu bukan tanpa alasan. Ada beberapa kisah yang sering diobrolkan berulang di Komunitas Aleut, seringkali disertai perjalanan berulang dengan tema yang sama di setiap generasi. Salah satu tema dan perjalanan yang berulang itu adalah yang berhubungan dengan Kartosuwiryo dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). DI/TII memang membawa pengaruh besar, dan dampaknya dirasakan di banyak tempat. Hal inilah yang membuat kami terus membahas dan terus melakukan perjalanan untuk menelusuri jejak DI/TII.

Continue reading

Menyaksikan Pantun Rajah Gentra Pusaka Panca Tunggal di Dayeuhluhur, Kab. Ciamis

Ditulis Oleh: Aditya Wijaya

Pak Rastani sedang menampilkan cerita pantun “Ciung Wanara”. Foto: Aditya Wijaya

Pagi itu saya tak sengaja melihat ajakan untuk menonton “Kecapi Pantun Sejarah” di Dayeuhluhur, Kab. Ciamis. Hanya berbekal sebuah alamat saya nekat menempuh perjalanan dengan total kurang lebih 200 km. Sebuah kesempatan langka yang sayang untuk dilewatkan, pikir saya dalam hati.

Kecapi Pantun Sejarah adalah tradisi turun temurun penyampaian sejarah secara lisan dengan berpantun dan diiringi oleh kecapi. Biasanya cerita sejarah yang disajikan adalah babad dan cerita-cerita rakyat seperti Prabu Kian Santang, Ciung Wanara dsb. Cerita Pantun ini sudah sulit untuk kita temui, konon hanya tinggal dua orang yang masih dapat menampilkan kesenian ini di Jawa Barat.

Continue reading

Mencari Raden Saleh

Ditulis Oleh: Aditya Wijaya

Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan Ngaleut Bogor yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut.

Makam Raden Saleh di Bogor. Foto: Aditya Wijaya

Beberapa waktu lalu sedang ramai film mengenai Raden Saleh yang berjudul “Mencuri Raden Saleh”. Ada kisah yang tak kalah menarik dengan film itu. Bagaimana nisan Raden Saleh ditemukan kembali setelah lama terlupakan di Bogor.

Raden Saleh yang bernama lengkap Saleh Sjarif Boestaman lahir di Semarang tahun 1814. Dia berasal dari keluarga bangsawan yang berkerabat dengan Bupati Pekalongan dan Semarang.

Di usia dini dia sudah memiliki bakat seni lukis. Dia menerima pelajaran menggambar dan melukis pertamanya dari pelukis A.A.J. Paijen. Seorang pelukis Belgia yang ketika itu tinggal di Weltevreden.

Prof Reinward, seorang pelukis dan ahli botani yang dikenal sebagai perancang Kebun Raya Bogor, menaruh perhatian padanya. Gubernur Jenderal Van de Capellen, menganggapnya sebagai pemuda yang menjanjikan dan mendukungnya pergi ke Belanda atas biayanya bersama keluarga De Linge, yang sering dikunjungi Raden Saleh. Sumber: Tulisan Oom Snuffelaar di koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 28-06-1930.

Continue reading
« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑