Mashudi dilahirkan di Cibatu, Garut, pada 11 September 1919, sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara. Orang tuanya, pasangan Otjin Karnesih dan Masdan Nataatmadja berasal dari Tasikmalaya yang datang ke Cibatu untuk berdagang. Bila diurut ke atas lagi, kakek dari ayah dan ibunya adalah adik-kakak, putra dari Uyut Sar’an. Saudagar batik dari Pekalongan yang menjadi pengusaha sukses di Tasikmalaya. Kerabat dari orang tuanya banyak yang tinggal di Kota Garut, umumnya menjadi pedagang yang cukup berhasil, seperti Haji Abdullah dan Haji Djamhari.
Dengan bantuan seorang kontroleur Van den Berg, Mashudi dan saudara-saudaranya dapat bersekolah di Christeijke Hollandsch Inlandsche School di Kota Garut. Perjalanan bersekolah dari Cibatu ke Garut setiap hari ditempuh pergi pulang dengan menggunakan kereta api.
Stasiun Cibatu tahun 1930. Foto: Spoorwegstation op Java.
HIS DAN MULO DI TASIKMALAYA
Ketika sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP) milik Paguyuban Pasundan dibuka di Tasikmalaya tahun 1927, orang tua Mashudi memutuskan pindah ke Tasikmalaya agar anak-anaknya dapat bersekolah di sana. Mashudi yang masih di tingkat dasar pindah ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Jalan Kebontiwu, tak jauh dari rumah besar keluarganya di Jalan Gunungladu (sekarang Jalan Yudanegara). Rumah mereka berhadapan dengan kolam renang Gunung Singa.
Ayah Mashudi melanjutkan usaha di bidang perikanan dan pertanian, sedangkan ibunya, yang biasa dipanggil Eneh, membantu dengan berdagang batik dan perhiasan buatan toko De Concurrent di Jalan Braga, Bandung.
Orang tuanya memiliki sepasang sapi perah yang susunya dikonsumsi oleh keluarga, dan bila berlebih, dijual ke apotek atau toko di Jalan Cihideung. Mashudi yang kebagian tugas untuk menggembalakan sapi dan mengantarkan penjualan susu ke toko.
Mashudi mulai mengenal semangat kebangsaan sejak masih sekolah HIS. Seorang gurunya yang kemudian menjadi kepala sekolah, Meneer Atmodipuro, merintis berdirinya KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), yang menggunakan lambang bendera merah putih. Mereka biasa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu KBI yang digubah oleh WR Supratman.
Dalam setiap upacara, mereka menaikkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mashudi aktif dalam kepanduan, dan selalu menjadi pemimpin regu. Seringkali mereka berlatih sambil di kemping di Gunung Galunggung atau Gunung Sawal.
Lulus HIS, Mashudi masuk ke MULO Pasundan yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumah. Kelak, banyak alumnus sekolah ini yang namanya dikenal secara nasional, seperti Thoyib Hadiwijaya yang menjadi menteri selama 13 tahun, Edi Martadinata (KSAL), Umar Wirahadikusumah (Wapres RI), Solihin GP (Gubernur Jabar), dan Dody Tisna Amidjaja (Dirjen Perguruan Tinggi).
Lulus dari MULO, Mashudi melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Yogyakarta. Minat pendidikan dan literasi dalam keluarga ini memang cukup kuat. Ketika di Cibatu mereka berlangganan surat kabar Bintang Timur yang dikelola oleh Parada Harahap dan De Comentaren yang dikelola oleh Sam Ratulangi. Di Tasikmalaya, ditambah lagi dengan langganann koran AID (Algemeene Indische Dagblad). Kakaknya, Bandi, berlangganan Popular Mechanic, terbitan Amerika.
Ngaleut Siti Munigar, 15 Januari 2024. Foto: Komunitas Aleut.
Setelah penulisan di sini, pencarian asal usul nama Gang atau Jalan Siti Munigar masih belum selesai, walaupun tidak berarti juga dikerjakan dengan intensif. Seluangnya waktu saja, atau bila kebetulan menemukan cerita baru, ya dikumpulkan dulu buat ditulis lagi kelak.
Walaupun agak ragu, tapi setelah tulisan di atas ini, kami coba cari juga informasi tentang nama yang cukup aneh itu, Reindent van Hos’t Munigar’eun, yang konon adalah orang Belanda yang disebut sebagai ayahnya Siti Munigar dalam tulisan Pak Aan Merdeka Permana. Ya, tidak jauh dari yang terbayangkan sebelum mencari, engga ketemu.
Kemudian dilanjutkan dengan memeriksa buku daftar alamat yang ada pada kami, mulai dari tahun 1936, 1941, sampai 1950, engga nemu apa-apa juga, selain dua nama ini: Hafkenscheid dengan alamat Gang Siti Moenigar 168/22E dan G. G. Heuvelman di Siti Moenigar 29/22E. Selebihnya, tetep poek.
Yang agak terang adalah informasi dari kegiatan Ngaleut Siti Munigar hari kemarin, tanggal 15 Januari 2024, dari seorang warga lokal yang menyebutkan bahwa dulu ada nama Siti Munigar dimakamkan di kompleks makam keluarga di Siti Munigar. Dari hasil pencarian ke lokasi, dan dengan memeriksa satu per satu nisan yang ada di sana, ternyata tidak kami temukan juga nama itu.
Memang tidak semua nisan dapat diperiksa dengan baik, karena ada yang sudah sangat sangat aus tulisannya sehingga sulit atau malah tidak dapat dibaca lagi isinya, ada juga makam-makam yang tidak bernama atau sudah kehilangan nisannya, dan dua-tiga makam yang posisinya sudah sangat sulit untuk didekati karena terhalang belukar yang lebat dan tinggi. Tapi paling tidak, bapak yang biasa menjaga kompleks makam tersebut mengatakan tidak ada nisan dengan nama Siti Munigar di situ, sambil menyarankan untuk memeriksa nama-nama dalam buku silsilah Orang Pasar.
Ya, itulah yang kami lakukan seusai kegiatan ngaleut, memeriksa buku silsilah, dan… ketemu! Ternyata memang ada nama Siti Munigar dalam sejarah keluarga Orang Pasar. Setelah diurut-urut, kira-kira seperti ini gambarannya:
De Preanger-bode edisi 16 Oktober 1959, dari arsip delpher.nl
Cukup mengejutkan juga berita yang ditulis oleh Deventer Daglad edisi 16 Oktober 1959 yang sudah diceritakan di sini, disebutkan bahwa pada saat itu SWARHA merupakan gedung perkantoran yang tertinggi di Indonesia. Tidak ada keterangan jelas seberapa tinggi bangunan Gedung SWARHA, hanya disebutkan bahwa gedung itu terdiri dari lima lantai.
Kami tidak lantas memeriksa keberadaan gedung-gedung tinggi di kota-kota besar lain di Indonesia pada masa itu, Mungkin saja tulisan itu salah, agak kepikiran masa sih di Jakarta atau Surabaya misalnya, tidak ada gedung perkantoran yang tingginya melebihi Gedung Swarha? Atau ya mungkin juga benar, mengingat pada masa pendirian SWARHA itu, Indonesia baru beberapa tahun saja terbebas dari segala kekisruhan situasi setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan peperangan yang berkepanjangan hingga sekitar tahun 1950.
Pada masa itu, siapa pula yang kepikiran mau membangun gedung-gedung mewah atau skala besar, apalagi yang tinggi-tinggi seperti yang mudah ditemukan sekarang di kota-kota besar. Situasi longgar setelah pengakuan kedaulatan RIS dalam Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus – 2 November 1949, tidak lantas membuat situasi aman seaman-amannya, terutama di Kota Bandung, yang secara lokasi berada di tengah-tengah situasi kacau akibat polah DI/TII di seluruh wilayah Jawa Barat.
Tapi ya itulah yang terjadi, paling tidak menurut pemberitaan koran De Preanger-bode edisi 31 Maret 1953 dengan judul Pembukaan Toko Swarha. Yang disebut dengan toko, atau Swarha Stores ini, adalah lantai yang paling bawah dari Gedung Swarha. Berita pendek yang menyertai foto pembukaan toko ini tidak menyebutkan apa fungsi dari lantai-lantai lainnya. Bulan Maret tahun 1953. Hanya selisih dua tahun saja dari pengakuan kedaulatan itu, di Bandung sudah ada yang membangun gedung tinggi seperti Swarha.
Diceritakan bahwa pembukaan toko, yang dalam iklan-iklannya menyebut diri sebagai Swarha Stores ini, dihadiri dengan penuh minat oleh Walikota Bandung Mohammad Enoch beserta istrinya. Prosesi pembukaan toko yang berlangsung pada hari Sabtu malam tanggal 28 Maret 1953 ini disebut dihadiri juga oleh sejumlah tokoh di bidang perniagaan, walaupun tanpa menyebutkan nama-nama. Yang jelas, ada direktur S. W. A. R. Hassan Wiratmana (dalam foto yang berkostum gelap) dan A. Rachman H. Wiratmana (di sebelah kanannya) serta anggota keluarga dan karyawan Toko Swarha.
Dari singkatan nama lengkap Hassan Wiratmana di atas, mudah sekali menebak dari mana asal nama Swarha, walaupun tidak mudah juga menemukan kepanjangannya. Tulisan lama di website Komunitas Aleut ini menyebutkan nama panjang Said Wiratmana Abdurrachman Hassan, tapi kok kayanya kurang inisial huruf R seperti singkatan yang ditulis dalam berita di atas? Beliau adalah warga Bandung putra seorang saudagar kaya dari Timur Tengah.
Dari tulisan yang sama, tertulis keterangan bahwa di lahan Toko Swarha itu sebelumnya pernah berdiri sebuah toko lain bernama Toko Tokyo yang dibangun pada tahun 1914, tepi kemudian hancur pada tahun 1940-an, entah pada masa Jepang atau akibat peristiwa Bandung Lautan Api. Yang jelas dalam dua buah foto udara yang dimuat dalam buku Bandoeng; Beeld van Een Stad (RPGA Voskuil. Asia Maior, Purmerend, 1996), sudah tidak ada bangunan Toko Tokyo dan belum ada Gedung Swarha. Kedua foto yang dimaksud itu dibuat tahun 1946 dan menunjukkan ruas Jalan Asia-Afrika sekarang (hal 119 dan 131).
Foto udara tahun 1995 dengan Gedung Swarha di sebelah kiri. Foto dari buku Bandoeng; Beeld van Een Stad.
Seperti terlihat pada foto di ats, bangunan Gedung Swarha agak unik. Karena walaupun bangunan utamanya menghadap ke timur – yaitu ke potongan Jalan Dewi Sartika yang sudah menghilang sekarang karena menjadi bagian dari Masjid Agung Bandung – namun sisi utaranya melengkung mengarah ke Jalan Asia-Afrika sekarang. Tak heran bila kadang ada yang menyebut lokasinya di Jalan Asia-Afrika.
Tapi, anggapan di atas sebenarnya tidak mutlak salah juga, karena pada satu waktu toko ini pernah punya dua alamat untuk lokasi yang sama. Dalam buku Pedoman Kota Besar Bandung yang disusun dan “disiarkan” oleh Djawatan Penerangan Kota Besar Bandung (1956), tertera dua alamat berbeda. Dalam daftar nama-nama hotel ditulis alamatnya di Djl. Raja Timur 46, namun dalam gambar iklannya tertulis alamat Djalan Masdjid Agung 8A dengan nomor telepon 4712. Pada masa awal berdirinya, seperti yang banyak diiklankan di koran sejak tahun 1953, alamatnya adalah Jalan Kabupaten No.6.
Sebelum kami tutup tulisan ini, ada satu berita menarik lainnya dan masih dari koran De Preanger-bode, kali ini dari edisi yang sedikit lebih dulu terbitnya, yaitu tanggal 16 Maret 1953, jadi dua minggu sebelum berita pembukaan Toko Swarha.
De Preanger-bode edisi 16 Maret 1953 dari arsip delpher.nl
Berita di atas ini menyebutkan bahwa dua hari sebelumnya, yakni pada hari Sabtu, 14 Maret 1953, telah diresmikan gedung baru Bata di kompleks Swarha yang lokasinya ada di sebrang Kantor Pos Utama di Groote Postweg. Etalase toko sepatu merek Bata ini tertata dengan rapi, furniturnya cantik-cantik, juga ada kursi baja berbentuk tabung dengan bangku pengiring, ada tabel ukuran sepatu, dan sudut khusus untuk anak-anak yang dianggap paling menarik. Dalam peresmian ini, ada banyak rekan bisnis dan agen komisi dari seluruh instansi Bata Bandung yang hadir, bahkan mantan mentri Sewaka pun ikut hadir.
Dengan begitu, Toko Swarha bukanlah toko pertama yang mengisi Gedung Swarha, karena sebelumnya sudah ada Toko Bata. Dalam berita-berita lain, namun dari waktu setelah pembukaan Toko Swarha, ditemukan juga keberadaan Toko Asia Optical yang merupakan toko kacamata. Di sepanjang tahun 1953 ini belum kami temukan koran atau berita yang menyebutkan Gedung Swarha sebagai sebuah hotel. Lain waktu tulisan ini akan dilanjutkan.
Rasanya tidak ada ide yang muncul saat saya ingin menulis arsitek bernama Brinkman ini. Informasi yang beredar pun sedikit sekali hingga nama lengkap dan foto diri saja saya tidak menemukannya. Hanya ada sematan angka tahun di samping namanya, Frederik Brinkman (1878-1944).
Sudah ada beberapa tulisan terkait arsitek di Bandung yang saya buat. Lumayan untuk menyicil bekal informasi di masa depan. Dalam membuat tulisan mengenai arsitek-arsitek di Bandung, terkadang muncul informasi data keras yang jarang dibahas atau disebutkan dalam kesejarahan Bandung. Seperti Brinkman ini, saya menemukan fakta bahwa dialah arsitek di balik gedung perbelanjaan monumental di Jl. Asia Afrika yaitu Toko de Zon.
Iklan di Koran Preanger Bode, tahun 1914 (Delpher)
Toko De Zon N.V. di Jalan Asia-Afrika (Columbus)
Brinkman mengawali karirnya sebagai Insinyur Pengawas Militer Genie Kelas 3 di Surabaya pada tahun 1908. Kemudian ia melanjutkan karirnya sebagai arsitek di Bandung pada tahun 1912-1927. Karya awal Brinkman di Bandung adalah dua buah villa besar yang indah berlokasi di Jl. Sumatera, Bandung. Awalnya Brinkman membangun Villa Bella Vista di tahun 1913 kemudian diikuti dengan Villa De Hort di tahun 1914. Villa De Hort saat ini menjadi kantor DP3AKB Provinsi Jawa Barat. Kemudian Brinkman membangun perumahan untuk De Ijsfabriek atau Sari Petojo Kebon Sirih di tahun 1922.
Pada 1 Juli 1929, Brinkman bermitra dengan G. H. Voorhoeve. Kantor Arsitek dibentuk dengan nama “Kantor Arsitek dan Teknik Hindia Belanda F. W. Brinkman, Arsitek; G. H. Voorhoeve, insinyur sipil” di Bandung. Kantor tersebut terletak di Oude Hospitaalweg 27. Kantor itu bertanggung jawab menangani proyek-proyek seperti Sekolah Army of Salvation, Oosterkerk atau sekarang menjadi GPIB Maranatha, Christelijke Mulo, bioskop Elita, bioskop Oriental, dan beberapa sekolah di Cianjur, Cirebon, dan Tasikmalaya. Selain itu, Brinkman juga merancang pasar-pasar yang ada di Bandung. Sayangnya saya tidak menemukan informasi lebih lanjut terkait pasar ini.
Ada beberapa bangunan lagi karya Brinkman seperti Gedung Singer di Jl. Asia Afrika yang proses pembongkarannya pada tahun 1993 mengundang protes dan demonstrasi dari warga Kota Bandung. Lalu ada pula Gedung Perhimpunan Ons Aller Belang, 19 rumah di Jl. Dederuk dan Julianaschool di Jl. Ambon. Tak lupa salah satu rumah tinggal paling indah di Bandung yaitu Villa Mei Ling.
Seperti nasib beberapa arsitek lainnya yang berkiprah di Hindia Belanda, Brinkman meninggal dunia di Kamp Interniran di Ambarawa pada 16 Agustus 1944.
Gedung Singer akhir tahun 1970an, Jl. Asia Afrika (Dorothee Segaar-Höweler)
Gedung Ons Aller Belang (KITLV)
Sumber:
Buku Architectuur & Stedebouw in Indonesie, Huib Akihary
Buku Arsitektur di Nusantara, Obbe Norbruis
Bandoeng en Omstreken in Kaart Woord en Beeld, November 1933
Artikel Majalah Moesson, Geertrudes Herman Voorhoeve Bouwkundig ingenieur in Bandoeng, Connie Suverkropp ***
Ada sebuah berita menarik yang ditulis dan dimuat oleh sebuah koran Belanda, Deventer Daglad, tanggal 16 Oktober 1959. Judul beritanya, “Bandoeng (yang dulu Kota Cahaya) Kini Mati Suri” dan dilanjutkan dengan subjudul “Jitterbug dan Celana Jeans Dilarang.” Ternyata berita serupa ini dimuat juga dalam beberapa koran Belanda lainnya, di antaranya, Leeuwarder Courant edisi 17 Oktober 1959 atau Nieuwsblad van het Noorden edisi 31 Oktober 1959. Entah siapa yang menulis pertama kali, atau mungkin juga masing-masing koran itu memiliki korespondennya sendiri di Bandung seperti diakui oleh Nieuwsblad van het Noorden yang menyebutkan laporannya berasal dari seorang “korenponden khusus”, walaupun isinya sebenarnya sama saja dengan berita dalam Deventer Dagblad yang akan kami ceritakan di sini.
Lucu juga, ternyata pernah ada pelarangan-pelarangan semacam itu di Kota Bandung. Bukan Cuma jitterbug, sejenis tarian dengan musik jazz, yang dilarang, tapi juga rock n roll dan cha cha cha. Tegasnya, tidak boleh lagi ada dansa-dansi di nightclub setelah pukul sepuluh malam. Yang mengeluarkan aturan ini adalah pihak militer yang diwakili oleh Komandan Militer, Kolonel Kosasih, dan ternyata alasannya, “Tidak pantas bagi kita untuk menari dan bersenang-senang saat di luar batas kota tentara kita harus berjuang melawan para pemberontak Darul Islam yang fanatik.”
Berita ini juga menerangkan bahwa di masa lalunya, Bandung merupakan “Kota Cahaya-nya Indonesia”, para pengusaha perkebunan di Priangan atau Preangerplanters menyebutnya sebagai “Paris-nya Priangan.” Kota di pergunungan ini selalu cerah dan sejuk seperti musim semi di Paris, menjadi tujuan utama para pencari kesenangan di Pulau Jawa. Namun, semua keindahan itu sekarang berkemilau ketat, bahkan pada malam hari sudah menjadi kota yang membosankan, padahal saat itu Kota Bandung memiliki lima klab malam yang buka sepanjang malam.
JAM MALAM
Dengan dikeluarkannya aturan itu, diberlakukan juga jam malam. Tidak boleh ada yang berkeliaran di jalanan tanpa memiliki surat izin keluar malam (avondpas), karena secara praktis Kota Bandung berada di pusat wilayah pemberontakan. Dengan keluarnya aturan ini, maka Kota Bandung adalah satu-satunya kota di Pulau Jawa yang masih menerapkan jam malam.
Pelarangan tidak hanya tertuju pada soal tari-tarian saja, tapi juga merambah perihal cara berpakaian. Penggunaan celana jeans misalnya, juga ikut dilarang. Selain itu, kaum perempuan tidak diperbolehkan memakai celana panjang atau celana pendek, tidak boleh memakai gaun berpotongan rendah atau tanpa lengan, bahkan ada larangan mengikat rambut dengan gaya ekor kuda atau ponytails dengan alasan bahwa leher yang terbuka terlihat terlalu menggoda. Aturan-aturan ini ternyata hanya berlangsung sebentar saja.
BANDUNG KOTA WISATA
Selanjutnya, tulisa tersebut juga menuliskan sejumlah fakta tentang Kota Bandung. Bila diperhatikan dengan seksama, rasanya tidak semua informasi itu akurat, tapi ya itulah yang tertulis. Berikut ini terjemahan bebasnya …:
Bandung memang memiliki semua pesona yang dapat menarik orang untuk berkunjung, iklim yang sejuk namun juga dengan matahari yang bersinar penuh, lintasan pacuan kuda Tegallega yang paling terkenal di seluruh Indonesia, hotel-hotel dan villa-villa yang indah, pameran tahunan Jaarbeurs yang mendatangkan sangat banyak pengunjung, dan seterusnya. Selain pulau surga, Bali, maka Bandung adalah kota yang paling terkenal di Indonesia.
Bandung sudah menarik kedatangan begitu banyak tokoh internasional, juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika yang menghadirkan Perdana Mentri India Nehru, Mentri Luar Negri Tiongkok Chou En-Lai, Presiden Mesir Abdel Gamel Nasser, Presiden Filipina Carlos Romulo, dan banyak lagi tokoh negarawan lainnya. Beberapa kepala negara dunia juga berkunjung ke Bandung, seperti Presiden Worosjilov dari Uni Sovyet, Presiden Presad dari India, atau Presiden Tito dari Yugoslavia.
REKOR BANDUNG
Kota Bandung memiliki banyak rekor di Indonesia. Misalnya untuk lampu lalu lintas listrik, Bandung memiliki jumlah terbanyak di Indonesia, tepatnya 12 buah, bandingkan dengan ibu kota Jakarta yang hanya memiliki 2 buah! Bandung juga memiliki bangunan kantor tertinggi di Indonesia, Gedung Swarha, yang memiliki lima lantai. Satu-satunya observatorium atau stasiun pengamatan bintang ada di Bandung, begitu juga rumah sakit tuna netra terbesar di Indonesia, ada di Bandung. Seorang pegawai dari Dinas Kependudukan dengan bangga mengatakan pula bahwa Kota Bandung memiliki jumlah janda terbanyak, “dan sebagian besar dari mereka berusia di bawah 24 tahun!”
Bandung adalah kota di pergunungan Preanger Bandung yang terletak di sebuah cekungan yang dikelilingi oleh batas-batas alam gunung berapi, baik yang sudah mati atau pun yang masih aktif. Yang paling terkenal adalah Gunung Tangkuban Perahu yang semi-aktif, terletak sekitar 16 kilometer dari pusat kota dan banyak mendapatkan kunjungan wisatawan. Sebagian lereng dan kawahnya dilarang untuk didekati karena mengeluarkan gas dan uap beracun. Bandung memiliki banyak taman dan villa yang nyaman. Taman-taman besar di lingkungan perumahan yang indah, dengan jalan-jalan lebar yang dipayungi oleh pohon-pohon rindang.
Tetapi, seperti juga kebanyakan kota besar di Indonesia, Bandung pun mengalami masa penderitaan akibat teror oleh para perampok, Bandung banyak didatangi para pengungsi. Secara resmi, para pejabat Kota Bandung memperkirakan jumlah penduduknya sekitar 900 ribu jiwa, namun bila dihitung dengan jumlah para pengungsi yang tidak terdaftar, jumlahnya melebihi angka satu juta jiwa. ***
Di sebrang Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Jalan Ibu Inggit Garnasih No.8, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, ada sebuah jalan kecil yang mungkin lebih cocok disebut gang, namanya Jalan Siti Munigar. Jalan ini berujung di sebelah utara dan bertemu dengan jalan besar Pasirkoja. Panjangnya sekitar 400-500 meter saja.
Gang Siti Munigar dilihat dari sisi selatan, sebelum dan sesudah program perbaikan kampung. Foto: KITLV 157039 & 157040, antara 1929-1930.
Rumah Irama. Foto: Google Maps.
Beberapa hari lalu, dalam perjalanan pulang dari Makam Pandu ke Pasirluyu, kami sengaja melewati jalan kecil ini untuk melihat beberapa hal yang mungkin selama ini terlewatkan. Tak jauh setelah masuk Jalan Siti Munigar dari arah Pasirkoja, ada sebuah rumah yang terlihat sangat unik, bangunannya masih memperlihatkan gaya kolonial dan di beberapa bagian temboknya, ada relief simbol-simbol musik serta tulisan “IRAMA”. Menurut beberapa informasi lisan, rumah ini dulu pernah difungsikan sebagai hotel atau penginapan, tapi dari pencarian dalam buku-buku baheula belum ketemu ada nama hotel Irama.
Lebih ke dalam, kami melihat ada sebuah kompleks permakaman dengan tulisan pada pintunya “Makam Ahli Waris H. St. Chapsah Durasid”. Dari arsip kami, Komunitas Aleut sudah mengunjungi kompleks makam ini beberapa kali sejak 2009. Disebutkan bahwa makam ini milik keluarga pedagang Pasar Baru, sama seperti beberapa kompleks makam Keluarga Pasar lainnya yang keberadaannya di tengah Kota Bandung.
Nama jalan Siti Munigar ini cukup unik dan jarang ditemukan sebagai nama orang, selain nama ibunda tokoh tari, R. Tjetje Somantri seperti yang tertulis dalam buku karya Endang Caturwati, R. Tjetje Somantri (1892-1963); Tokoh Pembaharu Tari Sunda (Tarawang, Yogyakarta, 2000).
Tjetje lahir di Wanayasa tahun 1892. Nama aslinya adalah R. Rusdi Somantri Kusumah, ayahnya adalah Patih Purwakarta, R. Somantri Kusumah yang wafat ketika Tjetje masih dalam kandungan ibunya, Nyi R. Siti Munigar. Dari sumber lain ada keterangan bahwa Siti Munigar adalah orang Bandung, namun tidak dijelaskan dari daerah mana persisnya. Tidak ada keterangan lain dalam buku itu tentang Tjetje Somantri atau ibunya yang mungkin berhubungan dengan nama jalan Siti Munigar di Bandung. Di bawah ini kami coba sampaikan beberapa cerita Siti Munigar sebagai nama tokoh dan nama jalan. Dari semua cerita ini, sebenarnya belum ada kejelasan dari mana asal nama Siti Munigar yang digunakan sebagai nama jalan (atau gang) yang terletak di Astanaanyar (Kelurahan Nyengseret) ini. Ya paling tidak sekadar menyediakan bahan bacaan yang berhubungan dengan nama jalan itu.
SITI MOENIGAR SEORANG PEREMPUAN INDO
Tadi malam, 7 Januari 2024, 20:30, di laman facebook Salakanagara terbaca lagi tulisan lama Aan Merdeka Permana dalam bahasa Sunda dengan judul Riwayat Ngaran Jalan Siti Munigar yang dipost tanggal 31 Juli 2013. Di sini, Siti Munigar adalah nama tokoh utama yang diceritakan. Ringkasannya dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini:
Siti Munigar adalah nama putri Reindent van Hos’t Munigar’eun, seorang Belanda, yang sering memberikan teori kemiliteran kepada para nonoman Bandung pada masa antara 1920-1925. Ibunya bernama Siti Maesonah Munigar dan berasal dari Tasikmalaya. Siti Munigar ngaku, “Naha da masing boga bapa Belanda ogé ari haté mah Sunda, jadi teu kudu anéh mun loba reureujeungan jeung sasama urang Sunda.”
Karena ia melihat banyak orang Sunda yang masih buta huruf, ia mengajari mereka baca tulis, bahkan sampai ke memberikan pelatihan militer pula. Pengetahuan kemiliteran Siti Munigar didapat dari ayahnya yang sering dibawa oleh kakeknya untuk melihat latihan-latihan militer.
Pada usia 26 tahun Siti Munigar menikah dengan Sumardi Angkawijaya, sesama orang Tasikmalaya. Ketika tinggal di Tasikmalaya, pasangan suami istri ini sering mengumpulkan para pemuda untuk diberikan wawasan kebangsaan dan kesadaran tentang tujuan hidup. Sekali waktu kumpulan ini pernah digerebeg oleh pasukan Belanda, sehingga mereka melarikan diri ke Pekanbaru, Riau. Siti Munigar dapat pulang kembali ke Bandung karena ayahnya yang punya pengaruh di dunia militer. Ia mendatangi kantor ayahnya di belakang Alun-alun.
Ayahnya mengurung Siti Munigar di rumah, tidak boleh keluar, sehingga ia hanya bisa berkirim surat saja dengan para pemuda Bandung. Kebetulan salah satu pembantu ayahnya adalah seorang mata-mata pejuang. Keberadaan Siti Munigar di Bandung akhirnya diketahui pihak Belanda sehingga ia dipenjarakan di Banceuy selama dua tahun.
Di dalam penjara, ia bertemu dengan Abah Uyut, seorang jago maenpo Betawi yang dibuang ke Bandung, dan ia belajar ilmu bela diri itu kepadanya. Siti Munigar tidak sempat lama mengasuh kedua anaknya, Radin Angkawijaya dan Sumiati. Ia terpisah dari suaminya di Pekanbaru, bahkan sulit pula bertemu dengan ayahnya.
Saat berusia 39 tahun Siti Munigar mengalami sakit berat setelah mendengar suaminya wafat di pembuangan. Tidak ada keterangan jelas bagaimana suaminya menemui ajal, ada yang bilang ditembak. Setelah setahun, Siti Munigar wafat dan dimakamkan di kampung halaman ibunya di Tasikmalaya sesuai dengan pesannya sebelum wafat. Kata orang, ia dimakamkan di Cintaratu, Tasikmalaya. Nama jalan tempat ia tinggal sedari kecil hingga wafatnya sekarang dinamakan Jalan Siti Munigar.
Kami cukup kesulitan mencari informasi lain yang dapat dijadikan bandingan untuk cerita di atas. Hal ini diakui juga oleh penulisnya, bahwa cerita ini berdasarkan keterangan-keterangan lisan saja yang dikumpulkan dari sana-sini. Tidak ada informasi tertulis.
R. DEWI SITI MUNIGAR DI SUKAPURA
Masih berhubungan dengan daerah Tasikmalaya, kami temukan satu tulisan dengan judul Kisah Heroik Srikandi Sukapura, R. A. Dewi Siti Munigar yang diunggah di sini. Dikisahkan betapa minimnya informasi tentang tokoh ini padahal beliau meiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan sejarah awal Sukapura. Ringkasannya, semoga tidak meleset, kira-kira seperti ini:
Pada masa pembentukan Kabupatian Sukapura yang dipimpin oleh R. Wirawangsa (atau Wiradadaha I atau Dalem Baganjing) dalam rentang tahun 1632-1674, terdapat penasihat utama yang bernama R. Dewi Siti Munigar yang memiliki beberapa nama lain, di antaranya Nyi Raden Katibun Mantri, Katibun Rajamantri, Balung Tunggal, dan Nyi Rambut Kasih. Di masa itu Dewi Siti Munigar adalah satu-satunya perempuan yang memiliki ilmu sangat tinggi, ia juga seorang yang arif dan bijaksana, dan karena itu sering dimintai pendapat oleh R. Wirawangsa bila negerinya mengalami keadaan genting.
Salah satu keturunan Dewi Siti Munigar, Encang Supriatna yang saat itu (2018) menjabat sebagai Kepala Desa Leuwibudah, menyebutkan bahwa banyak petilasan yang berhubungan dengan Sang Srikandi, di antaranya di Harjawinangun (Manonjaya), Desa Leuwibudah, dan di Makam Baganjing. Selain itu beliau juga membangun parit di Leuwibitung dan persawahan di Babakan Cimanggu yang sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Konon pada masa itu Dewi Siti Munigar tinggal di Babakan Cimanggu yang terletak di sisi sungai Cimawate dan merupakan kampung tertua di kawasan itu.
Tentang kesaktiannya, dikisahkan pada saat Kabupatian Sukapura pindah ke Empang (Sukaraja), diadakan kegiatan munday – menangkap ikan dengan tangan yang dilakukan beramai-ramai – di Sungai Ciwulan. Dewi Siti Munigar membendung sungai itu hanya dengan menggunakan sehelai rambut panjangnya (dalam mitos lain disebutkan rambut larangan-nya). Selanjutnya disebutkan bahwa Dewi Siti Munigar pun berjasa dalam memenangkan pertempuran antara Sukapura dengan Sumedang. Namanya mengharum dan menyebar sampai ke Bandung, sehingga diabadikan pada sebuah jalan protokol di Nyengseret, Astanaanyar, Bandung.
Ya begitulah kira-kira isi ceritanya… (diakses 09-01-2024, 14:11)
AMIR HAMZAH DALAM EPISODE BUKIT PARJI DAN KENDIT BIRAYUNG
nama Siti Munigar kami temukan lagi dalam buku Ensiklopedi Sastra Sunda yang disusun oleh tim terdiri dari Yus Rusyana, Iskandarwassid, dan Wahyu Wibisana (Depdikbud, Jakarta, 1997). Dalam buku ini ada dua lema yang menyebut nama Siti Munigar, pertama dalam Bukit Parji dan kedua dalam Kendit Birayung. Kedua lema adalah judul dua naskah Sunda yang berhubungan dengan cerita yang sama, yaitu tentang Amir Hamzah
Bukit Parji: Dalam naskah ini diceritakan Raja Nursewan, yang memerintah Puser Bumi, meninggalkan kerajaannya bersama dengan Patih Bastak. La melarikan diri karena takut pembalasan dari Raja Amir Hamzah, menantunya. Raja Nursewan telah membunuh anaknya sendiri, istri Amir Hamzah yang bernama Siti Munigar, dengan racun. Ia amat marah karena anaknya itu masuk Islam mengikuti agama yang dianut suaminya.
Kendit Birayung: Raja Malang Sumirat bermimpi melihat sepasang cahaya dan banjir besar melanda negerinya. Oleh Patih Tangulun mimpi tersebut ditafsirkan sebagai pertanda akan datangnya bahaya. Untuk menghadapi bahaya itu, raja segera memerintahkan semua pembesar negeri agar selalu waspada.
Tiba-tiba datanglah tiga orang tamu, yaitu Raja Nursewan dari Kerajaan Medayin, Patih Bastak, dan Patih Nirman. Mereka bermaksud meminta pertolongan karena akan menyerang negara Arab. Raja Nursewan berjanji bahwa apabila permohonannya dikabulkan, ia akan menyerahkan putrinya yang bernama Siti Munigar. Janji Patih Bastak ialah jika musuhnya yang bernama Umarmaya, menantunya, dapat ditumpas, ia bersedia mengabdi kepada Sang Raja.
Selain yang sudah disebutkan di atas, mungkin masih ada Siti Munigar lainnya yang berupa nama diri, tapi belum kami temukan keberadaannya di jagad internet, jadi sementara itu saja dulu.
NAMA ALAMAT
Sebagai nama alamat, dapat ditemukan lebih banyak informasi, apalagi usia ruas jalan ini sepertinya jauh lebih panjang ketimbang yang disebutkan dalam cerita Aan Merdeka Permana. Tulisannya memang tidak menyebutkan angka tahun, tapi penyebutan para pemuda dan pejuang menyiratkan kurun waktu pada masa revolusi kemerdekaan juga.
Ruas jalan Siti Munigar dalam peta Kaart van de Hoofdplaats Bandoeng en Omstreken buatan Dinas Topographische Bureau v/d Generalenstaf, Batavia, 1882, dari natinaalarchief.nl. Peta ini tidak mencantumkan nama-nama jalan, hanya nama daerah.
Peta Kaart van Bandoeng yang dicetak oleh G. Kolff en Co. Weltevreden dengan keterangan tahun 1926 mencantumkan nama Gang Sitimoenigar.
Dari potongan dua buah peta di atas terlihat bahwa ruas jalan yang akan menjadi Jalan Siti Munigar sudah ada dalam peta produksi tahun 1882. Jalan itu juga terpetakan pada tahun-tahun berikutnya namun umumnya tanpa keterangan nama jalan, baru pada tahun 1926 tercantum keterangan nama jalan Gang Sitimoenigar. Tentu ini tidak lantas berarti bahwa sebelum 1926 belum ada nama jalan Siti Munigar, yang pasti mah kami belum menemukan peta-peta lain yang dibuat sebelum tahun 1926 yang mencantumkan keterangan nama jalan Siti Munigar.
BANDUNG BAHEULA – R. MOECH. AFFANDIE
Cerita lain yang sepertinya pernah cukup populer di Bandung baheula, kami dapatkan dari buku legend berjudul Bandung Baheula, karangan R. Moech. Affandie Jilid 2 (Guna Utama Bandung, 1969). Cerita yang menyinggung nama jalan Siti Munigar dalam buku ada dalam tulisan berjudul Teu Njana Jen Ririwana:
Kisah ini terjadi pada zaman kolonial, tentang seorang pemuda bernama Ijaji yang terpikat oleh seorang dara keturunan saudagar Palembang yang kaya raya, bernama Nyayu Patimah,. Ijaji yang merasa tidak sepadan dengan keluarga dara tersebut hanya bisa memendam perasaan tanpa pernah mengutarakan isi hatinya pada sang dara. Ijaji memutuskan mencoba mencari peruntungan dengan merantau ke Tasikmalaya.
Setelah sekian lama tinggal di Tasikmalaya, Ijaji kembali ke Bandung dengan niatan untuk menonton satu pergelaran yang sedang berlangsung di Jaarbeurs. Malam itu nasib baik sedang berpihak pada Ijaji, pulang dari gelaran tersebut Ijaji bertemu dengan dara pujaan hatinya. Sang dara bercerita bahwa dia sekarang tinggal sendirian di satu rumah baru. Merasa khawatir dengan sang dara, Ijaji menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Ijaji merasa keberuntungannya belum berakhir karena setelah sampai rumah, sang dara malah menawarinya untuk menginap saja.
Ijaji yang sedang dimabuk asmara merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena akan menghabiskan sisa malam dengan dara pujaan hatinya selama ini. Singkat cerita, Ijaji berbaring terlebih dahulu, masih sempat dia saksikan sang dara menyelimutinya sampai akhirnya tertidur. Entah berapa lama Ijaji tertidur. Ijaji mulai setengah terjaga saat rasa dingin menghinggapi tubuhnya. Dengan mata yang masih terpejam, tangannya mencoba mencari selimut. Namun yang didapatinya adalah tanah basah dan lunak. Ijaji sontak membuka mata dan mendapati dirinya dalam keadaan tak berpakaian serta berada di atas sebuah kuburan.
Dengan tak mempedulikan keadaan sekitar, Ijaji kemudian berlari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Untunglah saat itu gelap dan sepi, tak ada yang memperhatikan Ijaji berlari telanjang. Setiba di rumahnya di daerah Cibadak, hari sudah menjelang subuh. Ijaji langsung mengetuk pintu rumahnya yang dibukakan oleh ayahnya. Melihat keadaan anaknya yang tak biasa, ayahnya menanyai Ijaji. Mendengar cerita anaknya, terkejutlah seisi rumah.
Ayah Ijaji bercerita bahwa Nyanyu Patimah, pujaan Ijaji itu, sudah meninggal beberapa waktu lalu. Nyayu Patimah dinikahkan dengan pria pilihan keluarganya. Konon Patimah tak merasa bahagia dengan pernikahannya. Tak lama setelah pernikahannya, Nyayu Patimah meninggal secara tiba-tiba dan dimakamkan di permakaman keluarga di Siti Munigar.
Pagi harinya Ijaji mendatangi komplek makam keluarga keturunan Palembang di Siti Munigar. Ijaji mendapati pakaiannya teronggok di sebuah makam dengan nisan bertuliskan nama Nyayu Patimah.
Ceritanya lumayan bikin muringkak bulu punuk walaupun tidak jelas apakah kisah ini benar terjadi atau hanya rekaan penulisnya, atau mungkin juga berdasar pada dongengan yang memang hidup dalam masyarakat baheula. Yang pasti memang ada kompleks makam keluarga di dalam jalan kecil Siti Munigar seperti yang sudah ditulis di atas. Mengenai keberadaa saudagar keturunan Palembang itu kami dapatkan juga dari sebuah artikel dalam Majalah Risalah edisi bulan Oktober 2021 berjudul Kiagus H. Anang Thajib; Tokoh Penting Persis yang Terlupakan yang ditulis oleh Pepen Irfan Fauzan. Disebutkan di situ bahwa Kiagus H. Anang Thajib menghibahkan tanah dan bangunan miliknya di Gang Siti Munigar kepada ustaz Abdurrahman. Belakangan, setelah dipugar bangunan itu dijadikan kantor Majalah Risalah.
Makam Keluarga di Jalan Siti Munigar Bandung. Foto: Komunitas Aleut, 2013.
Gang Kuburan di Siti Munigar, sesudah dan sebelum program perbaikan kampung (kampong-verbetering). Foto: KITLV 157038 & 157037, antara 1929-1930.
MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN
Nama Jalan Siti Munigar beberapa kali disebutkan dalam buku biografi Mashudi; Memandu Sepanjang Masa (Yayasan Universitas Siliwangi, 1998) karena kakaknya, Bandi, memiliki rumah di sana. Rumah ini sempat berfungsi sebagai markas para pemuda pejuang pada masa revolusi kemerdekaan.
Lulus AMS tahun 1941, Mashudi melanjutkan pendidikan tingginya di THS (ITB) Bandung. Ia tinggal bersama kakaknya, Bandi, yang sudah punya rumah sendiri di Jalan Siti Munigar. Kakaknya adalah seorang aanemer yang hidupnya sudah berkecukupan. Ia yang memborong pembangunan rumah-rumah di daerah Ciahurgeulis. Kang Udi, kakaknya satu lagi yang juga tinggal bersama, adalah pegawai Dinas Koperasi Bandung.
Mashudi membuka warung JOP di Jalan Pungkur sambil membuat sabun untuk dijual di rumah Jalan Siti Munigar. Rekan-rekan lainnya ada yang berjualan buku dan membuat rokok dengan merek Gayanti. Usaha di Kebon Cau kemudian memanfaatkan peluang berjualan kayu bakar dengan mengelola para pengusaha kayu bakar yang ada. Saat itu kebutuhan kayu bakar cukup tinggi, misalnya untuk kebutuhan di kamp interniran di Cihapit yang menampung 20-30 ribu orang, atau untuk pembakaran kapur dan bata.
Pada masa revolusi, saat situasi di kota Bandung berkembang menjadi intense, pasukan-pasukan BKR bersembunyi di sana-sini, sementara rakyat membantu dengan menyediakan dapur-dapur umum, termasuk di rumah kakak Mashudi di Siti Munigar. Kakak tertuanya, Ceu Apipah, mengatur kelompok puteri untuk memasak makanan dan kemudian dibagikan ke anggota pasukan perjuangan yang tersebar di sektarnya, seperti di markas Kebon Cau atau di Regentsweg (Jalan Dewi Sartika).
Cerita lain datang dari Achmad Wiranatakusumah yang setelah berhasil lolos dari tawanan Jepang datang ke Jalan Siti Munigar. Achmad menyebut di sana ada tempat berkumpulnya Pemuda Republik Indonesia (PRI – yang kemudian menjadi Pesindo – Pemuda Sosialis Indonesia). Mashudi, pemimpin PRI menyarankan agar Achmad keluar kota menyusun kekuatan. Achmad membongkar tempat penyembunyian senjatanya di waktu lalu dan mengumpulkannya di Jalan Kepatihan No.9. Achmad mengumpulkan beberapa anggota eks Padjadjaran Jeugd Troep yang ketika itu sudah banyak bergabung dengan Polisi Tentara di Pajagalan di bawah pimpinan Harjo. Baca https://komunitasaleut.com/2023/04/05/sekitar-bandung-lautan-api-achmad-wiranatakusumah-bagian-1/
Mengenai rumah yang sama, dikisahkan juga oleh Tatang Endan dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Sunda, Bandung Lautan Api: Puncakna Perjoangan Rakyat Bandung Ngalawan Sekutu (2005). Kami kutipkan dua paragraf yang menyebutkan nama jalan itu:
Anu ngurus ompreng pasukan kuring harita teh Tjeu Apip Alm_.(rakana Pak Mashudi) di JI. Siti Munigar. Tapi dasar hanta mah enya-enya kuring sabatur-batur teh bolon meureun, kilangbara milu mikir sakumaha capena jeung beuratna tanggung-jawab nyadiakeun ompreng unggal poe keur ratusan parapajoang di Bandung.
Di kota Bandung harita aya sababaraha “dapur umum” anu diurus ku para pajuang wanita, diantarana “dapur umum’ di Jalan Siti Munigar anu dipingpin ku Ceu Apip, (rakana Letjen Purn. DR. H .. Mashudi Alm.) dibantuan ku para pajuang putri, maha siswi jeung siswi sakola lanjutan di Bandung. Sapopoena nyadiakeun teu kurang ti 400 ompreng pikeun para pajuang. Sok sanajan ari menuna mah saaya-aya, aya endog jeung endog, aya buncis jeung angeun buncis, sakapeung-kapeungeun jeung daging sanajan, ngan saukur daging kuda.
BABAD SUMEDANG
Dalam buku Empat Sastrawan Sunda Lama yang ditulis oleh sebuah tim beranggotakan Edi S. Ekadjati,A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggawisastra, Aam Masduki, dan Rosyadi (Depdikbud,Jakarta, 1994/95), ada nama Munigar, tapi tanpa Siti. Nama ini muncul satu kali saja dalam bahasan tentang Babad Sumedang. Berikut ini salinan satu paragraf utuh:
Tahun 1833 Bupati Sumedang Dalem Kusumayuda meninggal. Ia kemudian disebut Dalem Ageung, karena postur tubuhnya besar. Putranya 8 orang, 3 laki-laki (Raden Somanagara, Raden Perwirakusumah, dan Raden Mustopa) dan 5 perempuan (Raden Kusumahnagara, Raden Kusumahningrum, Raden Munigar, Raden Rajaningrum, dan Raden Yoga). Oleh karena semua putra Dalem Kusumahyuda masih kecil, kecuali Raden Somanagara sudah berusia 17 tahun, Bupati Garut merasa khawatir jabatan bupati Sumedang jatuh kepada keturunan lain. Ia mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal melalui residen Priangan. Pertama, ia mohon dipindahkan menjadi bupati Sumedang. Kedua, bila permohonan pertama diterima, menantunya, Raden Wiranagara, patih di Garut, mohon diangkat menjadi bupati Garut. Gubernur Jenderal menyetujui permohonan tersebut. Bupati Garut pindah ke Sumedang. Setelah menjadi bupati Sumedang, ia ganti nama menjadi Kusumadinata dengan pangkat adipati. Patih Garut Raden Wiranagara, putra bupati Cianjur, diangkat menjadi bupati Garut dan berganti nama menjadi Aria Wira Tanudatar.
Sampai di sini kami belum menemukan cerita tambahan lain yang dapat menambahkan informasi masa lalu ruas Jalan Siti Munigar. Lain waktu akan kami lanjutkan. Nuhunnn ***
Buku Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo op 12 Februari 1921 (Delpher)
Ada satu buku yang menarik perhatian saya tatkala sedang menjelajahi situs Delpher. Buku itu berjudul “Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo Op 12 Februari 1921”. Ingatan saya langsung kembali kepada kegiatan Momotoran bersama Komunitas Aleut di tahun 2020 silam, yang dijuduli “Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey”. Dalam Momotoran itu saya dan rekan-rekan menelusuri jejak-jejak yang tersisa dari keberadaan jalur kereta api, khususnya jalur Bandung-Kopo-Ciwidey.
Sesuai dengan judulnya, buku yang saya temukan ini tentunya berisi bahasan seputar pembukaan jalur kereta api dari Bandung ke Kopo (Soreang). Berikut ini saya sarikan isinya.
Jalur kereta api Bandung-Soreang pertama kali dibangun dengan adanya permintaan prioritas dari A. A. Maas Geesteranus (pernah menjabat sebagai wakil direktur Perusahaan Kina Pemerintah) di tahun 1897. Kemudian diikuti oleh beberapa permintaan lainnya. Konsesi terakhir diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem. Namun, direktur G.B. (Gouvernement Bedrijven) saat itu tidak menyetujui rancangan teknisnya, sehingga masih diperlukan perundingan lebih lanjut.
Pada tanggal 3 Agustus 1915, perusahaan tersebut memberitahu pihak S.S. (Staatsspoorwegen) bahwa mereka memutuskan untuk menawarkan kembali konsesinya kepada pemerintah. Mereka mengetahui bahwa pihak S.S. bersedia untuk mengelola jalur kereta Bandung-Kopo dan ingin agar pemerintah dengan segera melaksanakan proyek ini. Hasilnya adalah pencabutan konsesi yang diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem melalui Keputusan G.B. tanggal 24 Februari 1916 No. 2 tahun 1912. Direktorat Pemetaan S.S. diberi tugas untuk “merekam jalur yang dimulai dari Bandung atau Cikudapateuh dan menuju ke ibu kota distrik Banjaran dan Kopo”. Rancangan awal jalur tersebut disetujui oleh Kepala Insinyur saat itu, Kepala Pemetaan S.S., P. A. Roelofsen, pada tanggal 30 Oktober 1916.
Manfaat Ekonomi Jalur Bandung-Kopo
Lahan datar seluas lebih dari 500 km persegi di sekitar Bandung dipotong secara horizontal oleh jalur kereta api dan jalan raya besar. Bagian ini memisahkan antara selatan dan utara. Bagian selatan jalur-jalur ini merupakan bagian yang paling penting, terutama karena perkembangan budaya pertanian dan perkebunan dari daerah pegunungan. Produk pertaniannya antara lain: gula aren, singkong, kacang, tembakau, bawang, kentang dan sayuran. Selain itu menghasilkan juga padi yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat jika didistribusikan dengan baik.
Kota Bandung dan sekitarnya yang padat penduduk memberikan pasar yang luas bagi semua produk ini. Menghasilkan harga yang baik dan memberikan kesejahteraan bagi para produsen. Perkebunan Eropa berkontribusi besar terhadap kesejahteraan ini. Sekitar 35 tahun lalu (dari 1921) hanya ada beberapa perkebunan tahap awal saja namun kini semuanya telah berkembang dengan sangat pesat.
Jalur alami pengangkutan perkebunan ini menuju ke Bandung. Selain itu perlu diperhatikan juga adanya eksploitasi kayu oleh pemerintah dalam kompleks hutan yang besar. Kayu-kayu tersebut dapat diangkut ke Bandung dengan kereta dan dijual di sana. Jalur kereta ini bukan hanya diinginkan, tetapi dapat disebut sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Lokasi Jalur Kereta
Jalur ini memilikik titik awal sementara di Kawasan Karees, Bandung. Jalur ini terhubung dengan jalur utama kereta melalui jalur kereta barang ke perhentian Kiaracondong. Dikarenakan kepadatan luar biasa di jalur utama yang sudah ada, tidak memungkinkan untuk memulai jalur ini dari stasiun utama Bandung.
Halte Karees (Buku)
Halte Soreang (Buku)
Dari Karees, jalur ini bergerak ke arah selatan menuju Buahbatu dan terus mengikuti jalan menuju Dayeuhkolot. Dengan adanya perhentian di Dayeuhkolot, di sana terdapat pusat listrik besar dan rumah bagi para personel jalur kereta api. Kawasan ini menjadi tempat inti permukiman.
Setelah perhentian Dayeuhkolot, jalur ini menyeberangi Sungai Citarum dengan jembatan berukuran 20 + 40 + 20 meter. Setelah jembatan, ada jalur yang sedang dibangun menuju Majalaya, yang juga akan terhubung dengan jalur Bandung-Kopo.
Sebelum perhentian Banjaran, ada jembatan darurat untuk menyeberangi Sungai Citalutuk. Perhentian Banjaran ini sangat strategis karena berada di depan pasar. Di sini tersedia ruang yang cukup untuk tempat penyimpanan kayu, penyimpanan minyak dan gudang untuk menyimpan produk-produk pertanian sebelum dikirim dengan kereta api.
Jembatan Citalutuk (Buku)
Jembatan Cisangkui (Buku)
Ada juga jembatan darurat untuk melewati Sungai Cisangkui yang terletak di belakang Banjaran dan Sungai Ciherang. Beberapa kilometer kemudian akhirnya mencapai titik akhir di Kopo, juga dikenal sebagai Soreang. Di perhentian ini juga tersedia ruang yang cukup untuk fasilitas serupa seperti disebutkan untuk perhentian Banjaran.
Data dan Informasi Jalur
Jalur Bandung-Kopo secara resmi disebut sebagai “Jalur Trem”. Namun, jalur ini dibangun sebagai jalur kereta api, artinya kekokohannya memungkinkan semua kereta dari jalur utama untuk melewatinya tanpa perlu memindahkan muatan. Layanan penumpang dioperasikan antara titik akhir Karees dan Soreang, sementara jalur penghubung Karees dan perhentian Kiaracondong di jalur utama digunakan untuk langsung mengirimkan kereta barang.
Perbedaan karakteristik antara jalur trem ini dengan jalur utama adalah bahwa jalur ini akan dilewati dengan kecepatan terbatas. Hal ini dikarenakan kontruksi atasan awalnya dibuat lebih ringan. Dibuat dengan rel No. 2 dengan berat 25-75 kg per meter. Ketika volume lalu lintas meningkat atau jika dilakukan elektrifikasi di masa mendatang, kontruksi atasannya yang ringan dapat digantikan dengan yang lebih kuat.
Pembuatan jembatan-jembatan dihitung berdasarkan standar beban tahun 1911 yang juga digunakan untuk jalur utama Cirebon-Kroya. Jalur trem ini panjangnya sekitar 26 km dari Karees hingga Soreang. Kemiringan maksimum adalah 10 derajat antara Bandung dan Banjaran, 25 derajat antara Banjaran dan Soreang. Kecepatan maksimum kereta api sementara ini tidak akan melebihi 30 km per jam. Sebanyak 235 ribu meter kubik tanah digali dan 5200 meter persegi dinding batu dibangun untuk konstruksi.
Pembangunan jalur Bandung-Kopo diperintahkan oleh undang-undang pada tanggal 1 Juni 1918. Beberapa kendalah menghambat pekerjaan di seluruh jalur secara bersamaan karena beberapa alasan. Rencana jalur Bandung-Buahbatu harus disesuaikan dengan rencana kereta api di Bandung yang saat itu tidak menentu. Bagian Banjaran-Soreang perlu diteliti lebih lanjut karena adanya rencana perpanjangan jalur ke Ciwidey. Kendala-kendala tersebut tentu saja menyebabkan keterlambatan dan baru pada akhir tahun 1919 pembangunan di seluruh jalur mulai berjalan lancar.
Pada saat pembangunan jalur ini, kesulitan yang sama terjadi seperti saat pelaksanaan pekerjaan penting di Bandung, yaitu kekurangan pekerja dan keterlambatan pengiriman material. Hal menariknya adalah bahwa penduduk lokal begitu sejahtera sehingga hanya sedikit dari mereka yang tertarik untuk bekerja dengan upah harian selama pembangunan. Sebagai solusi, banyak tenaga kerja diimpor dari luar, seperti dari Cirebon.
Kekurangan lokomotif dan kereta api yang terjadi selama perang juga memperlambat pembangunan. Ketidakstabilan pasar dunia menyebabkan keterlambatan pengiriman rel dan jembatan. Bahkan sampai sekarang, ketika jalur ini sudah beroperasi, beberapa jembatan yang diperlukan masih belum dikirim dari Eropa. Meskipun harus menghadapi semua kesulitan itu, pembangunan berjalan dengan lancar. Dengan adanya koneksi rel ini, sebuah proyek pemerintah telah terwujud, proyek yang akan memiliki dampak positif dalam lingkup yang lebih luas.
Masjid Besar Cipaganti di tahun 1933-1934 (Locale Techniek)
Siapa sih Bandoenger yang tidak mengenal Jaarbeurs? Jaarbeurs alias Pameran Dagang Tahunan di Kota Bandung itu, pada tahun 1933, sudah menginjak edisi ke-14. Kegiatan pameran dagang ini sudah sangat kasohor sejak pertama diselenggarakan pada tahun 1920.
Sudah menjadi kebiasaan, panitia Jaarbeurs akan mengundang seluruh awak media untuk mengikuti sebuah tur sebagai bagian dari kegiatan ini. Tur ini dimaksudkan untuk melihat stan-stan yang dihadirkan di Jaarbeurs. Tur ini dipandu dengan cara menyenangkan oleh Bapak H. Ph. Chr. Hoetjer, Ketua Dewan Pengawas Jaarbeurs.
Tur dimulai dari gedung utama. Di sana terlihat pameran hadiah-hadiah yang ditujukan untuk para pemenang lotre Jaarbeurs, di antaranya ada dua buah mobil yang bagus, sepeda motor, dan beberapa kulkas.
Ruang-ruang di Jaarbeurs tahun ini diisi juga oleh stan Technical Handelmij. Sementara stan lainnya oleh De Rooy, lalu ada produsen produk-produk terbaru dalam bidang sanitasi, lampu, perlengkapan listrik, dan peralatan rumah tangga.
Sementara itu, ada sebuah stan dengan judul De Inheemsche Nijverheid atau Industri Pribumi. Stan ini mengambil tempat yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu memasuki stan ini di Gedung C, perhatian langsung tertuju pada fasad masjid baru di Cipaganti yang layak untuk diperhatikan secara mendetail.
Kesan umum para awak media setelah mengikuti tur mengatakan bahwa Dewan Direksi Jaarbeurs berhasil membuat area-area di Jaarbeurs terlihat lebih ceria dan menarik, meskipun dengan catatan masih banyaknya tempat yang kosong. Hiasan untuk berbagai fasilitas hiburan menawarkan aspek yang sangat istimewa, akan sangat berkontribusi pada jumlah kunjungan yang lebih sering dan menciptakan suasana yang intim.
Peresmian Masjid
Hari Sabtu, 27 Januari 1934 pada pukul 10 pagi, dilaksanakan peresmian masjid baru di Cipaganti. Peresmian ini dilakukan oleh Kepala Penghulu R. H. Abdul Kadir. Pembangunan masjid dimulai pada bulan November 1932 dan desainnya telah dipamerkan pada Pameran Tahunan Jaarbeurs tahun 1933. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan masjid ini adalah sekitar 11 ribu gulden.
Di antara para tamu yang hadir, terlihat: Residen Bandoeng, Bapak M. F. Tydeman; Wali Kota Bandoeng, Ir. J. E. A. von Wolzogen Kühr; Asisten-residen Sonnevelt dan Velthuizen; Bapak E. Gobee, Penasehat Urusan Pribumi; Patih Bandoeng; Kepala Penyelidik Politik H. H. Albreghs; perancang masjid Prof. C. P. Wolff Schoemaker; para wali kota, Ir. H. Biezeveld, Tjen Djin Tjong, dan Ating Atma di Nata; Kolonel H. P. Chr. Hoetjer; Ir. Coumans; dan Bapak Anggabrata, sebagai pembangun Masjid.
Setelah semua hadirin duduk di pendopo yang disiapkan di sebelah Masjid, patih mengambil kesempatan untuk menyambut semua tamu. Kemudian diserahkan kepada Bapak Anggbarata, yang menjelaskan tentang pembangunan tempat ibadah ini, lalu menyerahkannya kepada Kepala Penghulu.
Dalam bagian “Pedagang Indonesia” pada daftar alamat di Bandung tahun 1941 tertera nama Anggabrata sebagai Bouw en Grondbejrif dengan alamat Gr. Lengkong 64 (Delpher)
Selanjutnya, Kepala Penghulu, R. H. Abdul Kadir, menyambut semua tamu. Beliau berbicara tentang pembangunan Masjid. Sejumlah orang Eropa dan berbagai perusahaan Eropa telah berkontribusi pada pembangunan tempat ibadah ini. Dia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan bantuan untuk menyelesaikan rumah sakral yang berharga bagi umat Islam ini.
Kemudian Prof. Wolff Schoemaker, sebagai perancang masjid berbicara kepada para hadirin dalam bahasa Sunda dan memberikan penjelasan singkat tentang proses pembangunannya.
Setelah pidato-pidato ini selesai, dibuka kesempatan bagi para tamu untuk mengunjungi masjid, para tamu Eropa diminta oleh kepala penghulu untuk melepas sepatu mereka. Hampir semua tamu memanfaatkan kesempatan tersebut.
Masjid Cipaganti
Masjid Baru Cipaganti di Nijlandweg Bandung saat itu dipandang sebagai sesuatu yang aneh, tapi juga cantik. Masjid ini didesain oleh seorang arsitek yang sudah sangat dikenal namanya, terutama di Kota Bandung, yaitu Prof. C. P. Kemal Wolff Schoemaker, dengan Anggabrata sebagai kontraktornya. Pendirian masjid dilakukan dengan keterbatasan dan persediaan biaya yang sangat sedikit. Dengan pertolongan Bupati Bandung saat itu, dipergunakanlah banyak hasil karya seni pribumi. Terlebih yang menarik perhatian adalah hiasan dari ubin berbahan tanah yang dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung. Selain itu ada juga hiasan berbahan besi, sementara semua bagian kayunya dibuat oleh murid-murid pribumi dari Gemeentelijke Ambachtsschool.
Kiri: Lampu utama masjid buatan Laboratorium Keramik di Bandung. Kanan: Mihrab menghadap kiblat, tempat Imam memimpin shalat.
Terlihat mihrab tempat Imam shalat (Locale Techniek)
Terlihat arah luar masjid dari gapura pintu masuk (Locale Techniek)
Jika kita masuk lebih dalam ke ruangan masjid, akan terlihat sebuah lampu berukuran besar. Lampu ini tergantung di bagian tengah masjid dengan rancangan Islam. Mangkuk di bagian bawah lampu mempunyai bagian yang tengah-tengahnya terbuat dari albash dengan hiasan berupa huruf-huruf kaligrafi Arab. Lampu ini juga memiliki 25 titik penerangan terhias dengan plat-plat berbahan kuningan, dengan tulisan beberapa lafal Al-Quran. Lampu ini dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung.
Dasar plengkung masjid berbentuk bangunan persegi dengan hiasan pita yang lurus. Semuanya ini mendapatkan lapisan dari ubin glasuur berwarna hijau, memberikan rupa yang cantik, terutama karena warna ubin glasuur hijau mendekati warna tembaga. Di pinggirannya tertulis lafal Al-Quran.
Sinar matahari dapat masuk dari arah selatan melalui rangkaian jendela yang memiliki kaca berwarna. Di kanan kiri masjid terdapat dua tempat untuk mengambil wudhu. Tempat wudhu ini berbentuk bangun pojok segi delapan dengan lapisan tegel glasuur.
Tujuh buah pancuran dipasang sekeliling tempat wudhu. Pancuran di sebelah barat sengaja tidak dipasang, hal ini bertujuan agar orang yang mengambil wudhu jangan sampai menyingkur arah kiblat.
Tempat berwudhu (Locale Techniek)
Tampak depan masjid (Locale Techniek)
Itulah gambaran singkat kondisi Masjid Cipaganti pada saat awal pembukaannya. Saat ini jika rekan-rekan berkunjung ke Masjid Cipaganti, masih dapat merasakan keaslian pada bagian utama masjid yang belum banyak berubah. Lampu utama masih seperti aslinya dan beberapa hiasan yang menempel juga rasanya masih sesuai aslinya buatan Laboratorium Keramik di Bandung.
Salah satu terbitan koran yang memuat berita kasus pembunuhan Nji Eroem oleh suaminya, Darta, di Desa Regol. De Preanger-bode 21-01-1922.
Mula-mula kami tertarik pada sebuah berita peristiwa pembunuhan yang terjadi di Perkebunan Meluwung di Banjar. Pembunuhan yang sepertinya berlatar belakang perampokan ini terjadi pada bulan Januari tahun 1954, korbannya adalah seorang pegawai bernama C. Groenestein yang baru berusia 33 tahun. Jenazah Groenestein sudah dibawa ke Bandung dan rencananya akan dimakamkan di Permakaman Pandu.
Saat mencari informasi tambahan tentang kasus inilah kami menemukan sebuah berita kecil yang malah mengalihkan perhatian. Isi berita dalam koran De Express tanggal 16 November 1922 ini singkat saja, yaitu bahwa Landraad telah menjatuhkan hukuman dua puluh tahun penjara kepada seseorang bernama Darta yang telah membunuh istrinya.
Ada beberapa berita lain mengenai kasus tersebut yang kami temukan, namun yang menarik perhatian adalah sebuah berita dari De Preanger-bode tanggal 25 Januari 1922 yang menyebutkan bahwa sebuah peristiwa bunuh diri telah terjadi di Desa Regol, daerah yang menjadi lokasi kantor atau sekretariat Komunitas Aleut dalam beberapa tahun belakangan ini. Tentu saja pada kami langsung timbul bayangan-bayangan di sebelah mana kira-kira peristiwa pembunuhan tersebut terjadi.
Koran terakhir itu juga mengatakan bahwa minggu lalu sudah memberitakan peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh seorang perempuan pribumi bernama Nji Roem, pada hari Selasa sore, yang bila dihitung mundur dari tanggal pemberitaannya, maka kejadiannya berlangsung pada tanggal 17 Januari 1922. Diceritakan bahwa beberapa hari setelah peristiwa tersebut, polisi menangkap suami Nji Roem, seorang tukang cukur bernama Darta, yang dicurigai telah membunuh istrinya. Sebelumnya, Darta melaporkan kepada kepolisian bahwa istrinya telah bunuh diri.
Pemeriksaan Darta tidak berhasil menemukan bukti-bukti sehingga kepolisian pun membebaskannya. Namun, karena kasus ini menarik perhatian, penangannya pun dialihkan dari kepolisian umum (Algemeene Politie) ke kepolisian pemerintah (Bestuur Politie), sehingga Darta kembali ditahan dan dilakukan pemeriksaan ulang.
Seorang saksi, pembantu Darta yang bernama Halimah, memberikan pernyataan yang memberatkan, yaitu bahwa pada pagi jam 9 hari Selasa minggu lalu itu Darta menyuruhnya untuk pergi ke Alun-alun dan menyampaikan pesan kepada Nji Roem yang berjualan lotek di sana agar segera pulang ke rumah. Halimah juga diminta menggantikan Nji Roem berjualan lotek sementara istrinya pulang. Saat itu, Darta mengatakan bahwa ia merasa tidak enak badan dan akan tinggal di rumah saja.
Dua jam kemudian, sekitar pukul 11, Darta mendatangi Halimah di Alun-alun untuk mengumpulkan uang hasil penjualan loteknya sambil mengatakan bahwa ia telah menyimpan harta milik istrinya di sebuah lemari untuk persiapan bila ia menikah lagi. Halimah diminta untuk terus melanjutkan jualan loteknya selama istrinya tidak ada. Saat itu diketahui bahwa Darta mengenakan celana berwarna khaki.
Pukul setengah dua, Halimah mendatangi rumah pasangan Darta dan Nji Roem, namun ternyata rumah itu tertutup. Ia melihat Darta ada di teras depan rumah tetangga, yaitu rumah Nji Iti, dan sedang minum sesuatu di sana. Darta hanya berkata pelan kepada Halimah agar tidak masuk ke rumahnya.
Untuk melanjutkan cerita ini, kami tambahkan berita dari Preanger-bode tanggal 26 Januari 1923, dua bulan setelah Darta dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh Landraad Bandoeng. Dalam berita ini ada sedikit perubahan nama, dari Nji Roem menjadi Nji Eroem.
Mula-mula pembaca diingatkan pada vonis Landraad terhadap Darta karena telah membunuh istrinya, Nji Eroem. Darta mengajukan banding dan Dewan Pengadilan (Raad van Justitie) yang membuka kembali kasus tersebut. Diperlukan juga saksi-saksi tambahan yang pemeriksaannya mulai dilakukan pada 24 Desember 1922.
Sebelum memberikan laporannya, penulis berita ini merasa ada perlunya menyampaikan rincian kasus pembunuhan yang dianggapnya aneh dan sangat sensasional.
Tanggal 17 Januari 1922 itu, Darta kembali ke rumahnya pukul lima sore dan menemukan pintunya terkunci. Kemudian ia meminta bantuan polisi untuk mendobrak pintu rumahnya. Setelah berhasil masuk rumah, Darta dan polisi itu menemukan Nji Eroem terbaring di atas tikar sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Ada luka menganga di leher Nji Eroem, dan di bawah kaki kanannya tergeletak sebuah golok berlumuran darah. Darta pingsan karena terkejut.
Setelah itu ia mengatakan bahwa istrinya pasti bunuh diri karena ia telah mengetahui perselingkuhan istrinya itu dengan seorang pria bernama Karta. Ia juga mengancam akan menceraikan istrinya. Selanjutnya, Darta juga mengatakan bahwa bila kematian istrinya bukan karena bunuh diri, pastilah itu akibat dibunuh oleh Karta. Polisi Pengawas (Opziener-politie), Lapre, yang tiba di tempat kejadian bersama dengan Asisten Wedana dari Bandung Barat, segera melakukan pemeriksaan keadaan yang memberatkan Darta, sehingga malam itu juga Darta ditangkap.
Dari penyelidikan, ditemukan fakta-fakta berikut:
bahwa leher korban digores hingga ke tulang belakang, yang menurut dua orang dokter polisi tidak mungkin dilakukan sendiri oleh korban, terutama tidak dengan golok tumpul yang ditemukan tergeletak di samping mayat.
bahwa golok yang tergeletak di bawah kaki kanan korban tidak mungkin ditaruh di sana oleh korban sendiri setelah kematiannya.
bahwa di dinding dekat mayat tergantung celana panjang berwarna khaki, yang menurut pemeriksaan polisi milik Darta. Celana ini berlumuran darah, tetapi bukan di bagian yang menghadap ke mayat, melainkan di bagian yang menghadap ke dinding!
bahwa ditemukan lubang kecil di dinding bambu di sebelah pintu belakang rumah Darta, tempat jarinya bisa dengan mudah masuk dan bisa membuka gerendel dari luar. Tampaknya sangat mencurigakan bahwa terdakwa, yang merupakan penghuni rumah, tidak menyadari keadaan ini, dan ketika menemukan rumahnya terkunci, dia tidak mencoba masuk melalui pintu belakang ini. Ini memberi kesan bahwa Darta sengaja langsung melapor ke polisi untuk mengalihkan kecurigaan dari dirinya.
Penyelidikan lebih lanjut juga mengungkapkan fakta-fakta memberatkan lainnya. Saksi kunci, Darta, mengaku sakit pada pagi hari kejadian dan berada di rumah sampai jam dua siang. Darta juga menyangkal memakai celana khaki yang disebutkan di atas pada hari itu. Namun, beberapa saksi mata mengaku melihatnya di Alun-alun sekitar pukul 11 pagi mengenakan celana tersebut. Celana ini kemudian diidentifikasi secara khusus oleh pelayan Darta, Nji Halimah, yang bertugas mencuci dan memperbaiki pakaian terdakwa, sebagai celana yang sama yang dikenakan Darta pada pagi hari itu.
Setelah penyelidikan awal yang cermat, Darta diadili di Pengadilan Negeri pada tanggal 12 Oktober dan 15 November 1923.
Terdakwa menyangkal semua tuduhan terhadapnya dan kemudian memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana dia menghabiskan hari kejadian. Dia mengakui golok dan celana berdarah yang dihadirkan di pengadilan sebagai miliknya, tetapi menyatakan tidak tahu bagaimana celananya bisa berlumuran darah.
Sepuluh saksi kemudian diperiksa. Selaku saksi pertama dan kedua, Polisi Pengawas Lapré dan Asisten Wedana Bandung Barat menyatakan hal yang sudah disampaikan di atas dan menambahkan bahwa mereka mendapat kesan tegas bahwa Nj Eroem dibunuh dalam tidurnya, di dalam kamar, tempat ditemukannya jenazah. Tidak ditemukan bekas darah, kecuali pada kasur tempat jenazah dibaringkan, dan pada celana yang ada didekatnya, dan tidak terlihat adanya bekas perlawanan baik pada jenazah maupun pada ruangan.
Kedua saksi juga menilai tidak mungkin menggorok leher seseorang yang melakukan perlawanan radikal seperti yang terjadi di sini. Menurut Asisten Wedana, pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang sama seperti penyembelihan sapi di kalangan Pribumi, yakni dengan terlebih dahulu memberikan pukulan dan kemudian menarik kembali pedangnya ke arah yang berlawanan!
Saksi dan ahli ketiga kemudian diperiksa oleh Dr. Samjoedoprawiro (Samjoedo Prawiro) yang meninggal sesaat setelah mengetahui pembunuhan tersebut. Ia pun menilai tidak mungkin Nji Eroem bunuh diri. Bahkan dengan pisau cukur sekalipun sangatlah sulit untuk memotong massa yang membentuk jaringan tenggorokan, apalagi dilakukan sendiri dan hanya dengan golok biasa, tentunya tidak mungkin.
Nji Halimah, pembantu Darta, adalah saksi keempat. Inti kisahnya bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Darta yang sebelumnya mengaku sakit atau tidak enak badan dan hanya berbaring saja di tempat tidur sampai pukul 2 siang itu. Padahal menurut Halimah ia tidak sedang sakit apapun dan terlihat sedang duduk di beranda rumah depan untuk waktu cukup lama. Pagi harinya terdakwa menyuruhnya ke Alun-alun dan menggantikan tugas Nji Eroem. Setelah itu ia tidak pernah lagi melihat Nji Eroem dalam keadaan hidup. Sudah dikonfirmasi pula bahwa pada sekitar pukul 11 Darta mendatanginya ke Alun-alun untuk meminta uang hasil penjualan lotek. Jadi, tidak betul Darta hanya berbaring saja karena sakit sampai pukul 2 siang.
Ada tambahan keterangan dari Halimah, bahwa ketika ia kembali ke rumah Darta pada pukul setengah tiga itu, Darta yang sedang duduk di rumah depan melarangnya masuk ke dalam rumah. Ternyata setelah itu Darta masih mengatakan sesuatu, yaitu bahwa bila ada polisi menanyainya, ia harus mengaku tidak ada di rumah sejak pukul 7 pagi hingga 7 malam. Ketika Halimah menanyakan apa maksud ucapan Darta itu, dijawab bahwa “Nji Eroem telah dibunuh.” Halimah merasa sangat terkejut dan sama sekali tidak berani menceritakannya lagi. Selanjutnya, Halimah juga menyatakan bahwa celana yang berdarah itu ia kenali sebagai celana yang sama yang dikenakan Darta saat ia pergi ke Alun-alun pagi hari, dan ketika dia bertemu di sore hari.
Terdakwa kemudian menyatakan bahwa Nji Halimah berbohong tentang segala hal dan bahwa dia menolak kebenaran tersebut. Kebohongan itu dikemukakan karena ia sering memarahinya di masa lalu!
Nji Ijem yang punya warung di Alun-alun bersebelahan dengan Nji Eroem, adalah saksi kelima. Ia menyatakan bahwa yang bersangkutan (Darta) sekitar pukul 11.00 mendatangi Nji Halimah yang duduk di sebelahnya, dengan mengenakan celana panjang khaki. Menanggapi pertanyaan Nji Ijem ini, terdakwa Darta berkata “Itu bukan urusanmu; Anda akan mendengar sesuatu yang istimewa sore ini.”
Sebagai saksi keenam, Nji Entjih, tetangga terdakwa, mengaku mendengarkan keluhan dari Nji Halimah: “Nji Eroem ada di rumah, tapi kamu jangan masuk. Kalau polisi datang, katakan bahwa kamu berada di Alun-alun dari pukul 7 pagi hingga 7 malam.” Malam itu juga Nji Entjih mendapatkan pengakuan dari terdakwa bahwa Nji Eroem telah terbunuh dan pelakunya adalah Karta.
Adik korban pembunuhan, Nji Iti, yang diperiksa sebagai saksi ketujuh, sama seperti saksi sebelumnya, mengatakan bahwa terdakwa Darta telah mengadu kepadanya bahwa istrinya dibunuh dan pelakunya adalah Karta yang telah berselingkuh dengan istrinya. Namun tentang hal ini, saksi mengatakan hal yang sama dengan semua saksi lainnya, tidak mengetahui adanya perselingkuhan Nji Eroem dengan Karta, bahkan tidak mungkin Nji Eroem dapat berselingkuh, karena ia sering bercerita betapa ia sangat mencintai suaminya itu.
Lagi-lagi terdakwa tidak mengakui telah menceritakan soal pembunuhan tersebut kepada para saksi, dan menuduh mereka semua telah berbohong. Darta mengatakan bahwa istrinya sendirilah yang sudah mengakui bahwa ia telah berselingkuh dengan Karta. Darta pun sudah mengetahuinya lewat mimpinya.
Karta, pria yang diduga melakukan perselingkuhan dengan istri pelapor, hadir sebagai saksi kedelapan. Ia dengan keras membantah hal tersebut. Tidak pernah ada hubungan tercela antara Nji Eroem dengan dirinya, bahkan tidak sekalipun ia pernah ke rumah Nji Eroem saat terdakwa tidak ada di rumah.
Mengenai pernyataan saksi Karta, Darta menyebutkan bahwa penyangkalan perselingkuhan itu hanya untuk mengalihkan kecurigaan!
Saksi kesembilan yang didengarkan adalah Haji Enoh. Ia sempat melewati rumah terdakwa pada sore hari kejadian. Terdakwa menghentikannya dan bertanya bagaimana dia dapat menceraikan istrinya. Saksi kemudian bertanya: “Istrimu di mana?” Terdakwa menjawab, “Dia ada di dalam rumah, tetapi saya sudah mengambil semua pakaiannya.” Saksi kemudian memanggil nama Nji Eroem, namun tidak mendapat jawaban. Belakangan, saat terdakwa berada di dalam penjara, ia menulis surat kepada Haji Enoh yang isinya meminta agar mengatakan bahwa ketika ia memanggil nama Nji Eroem, ia mendapatkan sahutan dari dalam. Surat ini kemudian diserahkan oleh Haji Enoh kepada pengadilan dan sudah dikumpulkan sebagai dokumen.
Terdakwa Darta mengatakan bahwa ia menyurati Haji Enoh karena menginginkan adanya saksi yang dapat memastikan istrinya masih hidup pada pukul empat sore.
Ketika terdakwa diberitahu bahwa menurut keterangan medis diketahui istrinya telah meninggal beberapa jam pada waktu itu, terdakwa Darta menjawab: “Dokter juga bisa saja salah.”
Sebagai saksi terakhir yang didengarkan pengakuannya adalah Nji Namah yang pada pagi hari kejadian melihat Nji Eroem berjalan di jalan desa Regol dan mengenali celana khaki yang dihadirkan di persidangan.
Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas, juga ditambah dengan pemeriksaan ulang terhadap Polisi Pengawas Lapre, Asisten Wedana, dan juga Karta, guna memastikan kemungkinan perselingkuhannya, ternyata tidak didapatkan fakta-fakta lain yang dapat meringankan terdakwa Darta.
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan dan kesaksian para saksi, pengadilan akhirnya memutuskan Darta bersalah atas pembunuhan istrinya, dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. ***
Setelah hari Selasa, 2 Januari 2024 lalu kami mengunjungi makam Raymond Kennedy, hari ini 6 Januari 2024, kami kembali lagi ke Makam Pandu, tapi khusus untuk menengok (lagi) makam Dick de Hoog.
Dalam kunjungan tanggal 2 itu sebenarnya sebelum pulang kami juga mampir ke makam Dick de Hoog, dan melihat bahwa kondisinya buruk sekali, tertimbun tanah cukup tebal, dan di atasnya berserakan segala macam sampah, botol, plastik, pecahan batuan, sisa tembok, bekas bakaran, dlsb. DI atas tanah yang sudah tebal itu juga tumbuh semak belukar yang cukup lebat dan sudah berakar kuat.
Hari itu sudah kami sepakati akan kembali ke makam Dick de Hoog untuk membersihkan semampu yang dapat kami lalukan, sekaligus membuat daftar perlengkapan yang perlu di bawa nanti, salah satunya adalah cement remover karena bagian permukaan nisa sudah tertutup oleh sisa adukan semen. Kami duga di atas nisan ini pernah dijadikan tempat mengaduk semen untuk pembuatan makam lain yang lebih baru.
Atas: Kondisi makam pada tanggal 2-1-2024. Bawah: Kondisi makam pada tanggal 6-1-2024 setelah dibersihkan tumpukan sampah dan batu-batu yang berserak di atasnya. Foto: Komunitas Aleut.
Untuk suatu keperluan kegiatan, belakangan ini kami cukup sering bolak balik ke kompleks makam Pandu, memeriksa sejumlah makam orang Belanda atau Eropa, termasuk ke Ereveld. Setiap ke sana selalu ambil jalur jalan setapak yang berbeda, bisa lewat mana saja, asal tidak terlalu banyak mengulang, agar bisa melihat dan menemui hal-hal yang berbeda.
Salah satu makam yang menarik perhatian adalah yang nisannya menjulang agak tinggi, lebih mirip sebuah monumen. Di bagian tengah terpahat namanya, Raymond Kennedy, yang sepertinya sudah sering diwarnai. Di bawah namanya ada jejak berbentuk kotak yang menunjukkan bahwa di situ pernah ada sebuah plakat terpasang. Sisa-sisa pantek plakat itu pun masih ada di keempat sudut kotak itu. Entah plakat apa yang pernah ada di situ.
Makam Raymond Kennedy tahun 2022. Foto: Aditya Wijaya.
Di bawah, tempat jenazah dikuburkan, konon masih ada prasastinya, namun saat ini bagian bawah kubur ini dalam keadaan tertimbun tanah yang cukup tebal dan ditumbuhi semak-semak yang cukup lebat. Menurut keterangan dari website Komunitas Aleut, wafatnya tahun 1950. Dari tulisan rekan-rekan lama di website itu terkesan tokoh peneliti ini cukup penting bagi institusi pendidikannya, Yale University di New Haven, Connecticut, USA.
Di website Komunitas Aleut sudah ada sejumlah catatan tentang tokoh ini, sudah lama-lama juga dipublishnya, dan umumnya berkaitan dengan kunjungan ke Makam Pandu juga. Yang mengagetkan adalah informasi bahwa beliau ini meninggal terbunuh di daerah dekat Sumedang. Ini semakin membuat penasaran, ada peristiwa apakah di balik makam ini? Kami putuskan untuk menuliskan lagi riwayat dan latar peristiwa di balik tokoh ini.
Sebagian informasi dasar yang diperlukan sudah ada di website Komunitas Aleut yang intinya menerangkan bahwa beliau ini sedang melakukan penelitian antropologi dan sosiologi di wilayah Indonesia pada periode akhir masa Revolusi Kemerdekaan RI. Ia tidak sendirian, melainkan bersama dengan seorang koresponden majalah Time dan Life bernama Robert Doyle. Tokoh terakhir ini tinggal dan berkantor di Hong Kong dan sedang berkeliling mewawancarai kalangan petani mengenai situasi sosial politik Indonesia saat itu.
RIWAYAT RINGKAS RAYMOND KENNEDY, 1906-1950
Riwayat ringkas Raymond Kennedy didapatkan dari Council on Southeast Asia Studies di Yale University di website www.cseas.yale.edu dan dari sebuah jurnal yang ditulis oleh John F. Embree dari Yale University untuk The Far Eastern Quarterly. Tulisan berjudul Raymond Kennedy, 1906-1950 ini terbit pada edisi Volume 10, No.2, pada bulan Februari 1951. Di luar dua sumber ini ada beberapa informasi tambahan dari sana-sini yang setelah terkumpul, dapatlah diringkas seperti ini:
Pintu masuk Makam Pandu, terlihat relief dan tiang tinggi dengan lentera kaca di atasnya (Locale Techniek)
Belakangan ini saya sering sekali mengunjungi Makam Pandu, kunjungan ini dalam rangka melakukan inventarisasi makam-makam tua di sana. Satu demi satu makam saya coba arsipkan baik foto, inskripsi, serta lokasinya.
Inventarisasi ini mengharuskan saya untuk berkeliling dari ujung ke ujung kompleks makam. Sedikit banyak saya menjadi tahu kondisi terkininya. Penuh dan sesak adalah dua kata kunci kondisi Makam Pandu saat ini. Untuk sekadar berjalan saja menyusuri makam-makam di sana rasanya sangat sulit. Saya terkadang harus loncat ke sana sini melewati makam-makam. Terkadang juga harus berhenti hanya demi mencari jalan yang sedikit nyaman. Tidak banyak jalur jalan yang jelas di antara makam-makam, selain jalur jalan setapak utama, bahkan sepertinya sebagian jalur jalan ini pun sudah terisi oleh makam-makam.
Ukuran makam yang bervariasi, dengan atap makam yang tinggi membuat beberapa kali kepala saya terbentur, lumayan sakit sih, soalnya bahan makam terbuat dari bebatuan kasar. Selain itu, bahan batu kasar ini bisa membuat pakaian tergores, dan paling parah hingga sobek. Tak jarang sesekali bagian tubuh terkena goresan batu makam hingga mendapatkan luka kecil.
Kondisi Makam Pandu sekarang ini membuat saya penasaran, bagaimana sih perjalanan Makam Pandu dari awal pembangunan hingga kondisinya seperti sekarang? Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya saya menyimpan satu artikel dari sebuah majalah “Locale Techniek” yang ditulis A. Poldervaart.
Kita putar mundur waktu ke warsa 1930-an. Saat itu kompleks makam orang Eropa di Bandung terletak di Jalan Pajajaran. Karena pertumbuhan Kota Bandung yang semakin cepat, makam ini dengan segera di kelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Hal ini menyebabkan biaya yang sangat mahal jika orang ingin menambah lahan untuk permakaman, sementara luas areanya tidak dapat ditambah lagi. Oleh karena itu maka direncanakan secara bertahap untuk menutup makam ini dan membuka kompleks permakaman baru.
Tidak semua lahan dapat digunakan untuk membuat makam baru, harus memilih tanah yang relatif datar, dapat meresap dan mengalirkan air dengan baik, tidak mendapat kiriman atau banjir air dari tempat yang lebih tinggi, dan tanahnya tidak terbuat dari lempung atau lapisan tanah yang keras.
Dalam memilih lokasi untuk makam baru, harus diperhatikan juga kemungkinan bertambahnya luas kota, jangan sampai lokasi baru ini kelak menahan perluasan kota. Sebab orang-orang juga tidak merasa senang tinggal dalam rumah yang letaknya berdekatan dengan kompleks makam.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka dipilihlah sebuah lahan yang dianggap cocok untuk makam baru tersebut. Lokasinya ada di barat laut kota, dekat dengan lapangan udara Andir yang secara alami akan membatasi dan menghalangi ekspansi permukiman ke arah itu. Di lokasi baru ini juga terdapat saluran irigasi (jalur pipa Leuwilimus) yang terletak di sepanjang sisi utara makam. Saluran irigasi ini bertugas mengumpulkan dan mengalirkan semua air permukaan.
Pier Paolo Pasolini di depan makam Antonio Gramsci di Roma, 1970. Wikimedia commons.
“BANDUNG adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia.”
Judul tulisan ini diambil dari sebuah artikel dari Pieter Vanhove yang termuat di website Senses of Cinema pada bulan Desember 2015. Judul artikelnya sendiri juga menyebut nama Bandung, Pier Paolo Pasolini’s “Bandung Man”: The Indian and African Documentaries. Sesuai judulnya, Vanhove membahas karya-karya dokumenter tentang India dan Afrika karya Pier Paolo Pasolini, seorang sutradara film Italia, yang kadang dijuluki sebagai “Bandung Man”.
Julukan atau asosiasi Bandung Man bagi Pasolini berawal dari berbagai pemikiran dan pandangannya tentang kondisi dunia ketiga yang dirumuskannya sebagai Bandung Man dengan referensi langsung kepada peristiwa bersejarah, Konferensi Asia Afrika, yang diselenggarakan di Bandung pada 18-24 April 1955. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 29 negara Asia-Afrika ini dibicarakan banyak hal terkait upaya perlawanan terhadap kolonialisme, netralitas terhadap Perang Dingin dalam bentuk Gerakan Non-blok, serta peningkatan ekonomi dan kerjasama budaya antarnegara.
Demikianlah, kalimat “Bandung adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia” pun bukan datang dari penulis artikel itu, melainkan dari tokoh bahasannya, Pasolini. Berikut cuplikan artikel Pieter Vanhove:
“Pada tahun 1961, dalam sebuah artikel untuk Vie Nuove , Pasolini untuk pertama kalinya membahas ketertarikannya pada Dunia Ketiga, khususnya yang berkaitan dengan Bandung. Bagi Pasolini, Italia pada awal tahun 1960-an masih merupakan tempat yang ditandai dengan perpecahan yang sama antara negara-negara metropolitan dan bekas jajahannya. Ketimpangan yang luas di dunia pascakolonial mengingatkan Pasolini akan kesenjangan antara wilayah industri di Utara dan pedesaan di Italia Selatan. “Bandung adalah ibu kota dari tiga perempat dunia”, tulisnya di halaman Vie Nuove, “juga merupakan ibu kota dari separuh Italia.”
Vanhove melihat bahwa dalam Konferensi Bandung tahun 1955 itu, negara-negara Dunia Ketiga yang berpartisipasi telah mencoba merumuskan cara-cara alternatif untuk bekerja sama dalam dunia bipolar pada Perang Dingin. Peristiwa tersebut menandai lahirnya Gerakan Non-Blok, dan memberikan pengaruh pada generasi penulis, seniman, dan pembuat film. Dampak dari “Semangat Bandung” ini juga menarik imajinasi para intelektual Barat yang memuncak di akhir tahun enam puluhan dan awal tahun tujuh puluhan, ketika para seniman dan intelektual seperti Pasolini – yang kecewa dengan perkembangan yang terjadi di Uni Soviet – semakin banyak berbondong-bondong ke negara-negara non-blok seperti Ghana, Yaman, dan lain-lain. atau China untuk mencari alternatif.
Awal bulan Desember 2023, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke SLB Negeri Cicendo Kota Bandung. Ini kesempatan langka, berkat Komunitas Aleut rasanya saya bisa berkunjung ke berbagai tempat yang aksesnya sulit dan terbatas. Sayang rasanya bila pengalaman ini tidak saya tuliskan.
Sesaat setelah memasuki parkiran motor sekolah, seorang rekan Aleut memberi tahu bahwa ada plakat Bosscha di salah satu sisi dinding dekat parkiran. Plakat ini memiliki arti “Untuk mengenang mendiang Tuan K.A.R. Bosscha, yang warisan kerajaannya memungkinkan pembangunan gedung-gedung ini”.
Plakat Bosscha (Aditya Wijaya)
Memasuki beranda sekolah suasananya langsung berubah, mungkin ini suasana sekolah tempo dulu, gumam saya. Tegel sekolah ini masih asli seperti dulu dengan motif kulit jeruk. Genteng-genteng lama juga masih banyak menempel. Pintu dan jendela juga buatan lama, berbahan besi dengan ditandai cap tulisan “Surabaja” yang sudah sulit untuk dibaca.
Saat itu kami diajak masuk ke ruang “Kepala Sekolah”. Di ruangan tersebut ada plakat dan sertifikat mengenai siapa saja yang berkontribusi dalam pembukaan Doofstommen-Instituut di Bandung. Ada juga foto-foto direktur sekolah dari masa ke masa. Sungguh ini adalah usaha yang bagus dari pihak sekolah untuk menjaga nilai sejarah.
Dari baca-baca tentang kesejarahan Kota Bandung, rasanya masih cukup banyak hal yang simpang-siur atau belum dapat diketahui juntrungannya. Salah satunya adalah terkait Societeit Mardi Harjo.
Pertama, mari kita berkenalan dengan istilah societeit. Societeit biasa digunakan untuk menyebutkan suatu perkumpulan sosial swasta, dan tak jarang bangunan tempat perkumpulan itu pun disebut societeit pula. Pada abad ke-18 & ke-19, Societeit merupakan perkumpulan eksklusif untuk kaum pria dari kalangan elite atau militer. Awalnya, kata “societeit” berasal dari kata Latin “societas“, yang berarti “komunitas” atau “perusahaan“. Kata ini berasal dari kata “socius“, yang artinya seperti “pendamping“. Oleh karena itu, kata societeit mengacu pada kelompok orang yang memiliki kesamaan.
Bahasan terkait Societeit Mardi Harjo awalnya saya dapatkan dalam diskusi di lingkungan Komunitas Aleut dan beberapa rekan Aleut mengatakan bahwa Societeit Mardi Harjo ini belum banyak muncul dalam diskusi kesejarahan di Bandung.
Jika kita menyebutkan kata societeit di Bandung, asosiasi kita akan langsung tertuju pada Societeit Concordia. Padahal di Kota Bandung paling tidak pernah ada tujuh societeit. Tiga di antaranya khusus untuk orang Eropa, yaitu Societeit Concordia, Vogelpoel, dan Harmonie.
Suasana sebuah pertemuan kaum pergerakan di Societeit Ons Genoegen yang terletak di Jalan Naripan. Walaupun mengutamakan keanggotaan dari kalangan Indo, namun banyak juga pribumi yang biasa datang ke Ons Genoegen, Foto dari buku Balai Agung di Kota Bandung (Haryoto Kunto, Granesia, 1996).
Hal ini menimbulkan sikap diskriminasi dari masyarakat kolonial, maka terpikirkan oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Bandung, terutama para pemuka kaum pergerakan, untuk mendirikan gedung pertemuan atau societeitnya sendiri. Societeit itu kelak berdiri dan dinamakan Societeit Mardi Harjo. Lokasinya terletak di sebuah gedung tua di ujung Jl. Kapatihan, belokan Jl. Dewi Sartika sekarang.