Oleh: Fikri M Pamungkas

Minggu ini saya mengikuti kegiatan momotoran bersama komunitas Aleut yang  ke empat kalinya. Saat ikut kegiatan momotoran biasanya selalu membawa motor Honda Astrea Prima 1990, meskipun hanya motor tua, kata kebanyakan orang sih motor tua itu klasik, makin tua makin asik. Tapi untuk momotoran kali ini disarankan oleh teman-teman agar tidak membawa motor itu, selain karena akan terlalu banyak yang bawa motor juga karena diberitahu bahwa nanti akan melewati jalur perjalanan yang terjal.

Cuaca pagi ini cerah. Setelah persiapan dari sekretariat Komunitas Aleut, dimulailah perjalanan kami menuju Malangbong. Awal perjalanan lancar-lancar saja tidak ketemu macet, lain dengan biasanya area Bandung bagian timur, dari Cibiru-Cileunyi sampai Rancaekek, yang terkenal dengan kemacetannya. Di Pom Bensin Rancaekek saya berhenti sejenak, menunggu teman-teman lain yang mengisi bensin, sambil menelepon salah satu teman yang terpisah dari rombongan. Untungnya tidak jauh dari sana kami bertemu kembali dan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan begitu lancar sampai melewati Limbangan dan rombongan memutuskan untuk beristirahat sejenak meluruskan kaki dan punggung. Memesan minuman, kopi, dan makan gorengan dengan cabe, menjadi pilihan yang tepat, rasanya begitu nikmat. Sembari makan kami banyak mengobrol dan bercerita mengenai tujuan momotoran kali ini, yaitu ke warung Bu Farida, istrinya Pak Sardjono (alm), anaknya SM Kartosuwiryo. Lalu akan ke makamnya Rd Dewi Siti Kalsum, istri SM Kartosuwiryo, dan tentunya mengenal sejarah peristiwa DI/TII di Jawa Barat, khususnya di jalur yang kami lewati. Setelah selesai istirahat, kami melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalur memotong. Tak jauh dari masjid Al-Barokah Malangbong ada belokan ke arah kiri berupa turunan, lalu melewati pemukimanan warga, kemudian sedikit menanjak sampai akhirnya di sebuah turunan lagi sudah terhampar pemandangan sawah yang begitu gersang. Cuaca terasa sangat panas dan jalanan penuh debu.

Foto: @DeuisRaniarti

Akhrinya sampai juga di warung Bu Farida, lokasinya di Kampung Bojong, Mekarasih, Kecamatan Malangbong. Tak lama, Bu Farida keluar dari dalam rumahnya, lalu bertanya-tanya mengenai keadaan sekarang, karena Komunitas Aleut sebelumnya memang pernah mampir ke sini, sehingga Bu Farida masih ingat.

Saya baru pertama kali kesana bertemu dengan beliau, sangat baik dan ramah. Dengan ramahnya beliau mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumahnya dan ditawarkan untuk mengobrol dengan putrinya. “Neng mangga bilih bade nyarios sareng pun anak da kaleresan nuju aya di bumi, ujar Bu Farida, kepada teh Rani.

Foto-foto: @KomunitasAleut

Kami pun masuk ke dalam rumahnya, melihat-lihat sekeliling rumah dan sebentar kemudian muncullah anaknya yang bernama Anneu. Teh Anneu banyak bercerita pengalaman hidupnya sebagai anak Sardjono dan masa kecil bersama neneknya, Rd. Dewi Siti Kalsum. “Semasa kecil sering diceritakan oleh nenek sebelum tidur, waktu itu ya hanya dengar cerita sebelum tidur saja, karena belum mengerti,“ kata Teh Anneu. Selain itu juga diceritakan mengenai kegiatan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) sambil menunjukkan sebuah buku dan album kliping. Sementara Bu Farida terus saja membawa suguhan dan menyusunnya di atas meja.

Keasikan mengobrol sampai tak terasa sudah terdengar suara adzan dzuhur berkumandang. Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan ke bekas lokasi peninggalan Institut Suffah. Menurut cerita di Tempo online, dulu Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah, pesantren yang mengajarkan agama, politik, dan latihan kemiliteran. Namun kini tak ada sisa bangunan itu, sudah menjadi sebuah masjid. Di depannya terdapat makam Sardjono Kartosoewirjo. Menurut catatan di website komunitasaleut.com, Kartosoewirjo lahir di Cepu kemudian menetap di Malangbong mulai tahun 1929. Nah di sinilah Kartowoewirjo banyak memperdalam ilmu agamanya dengan berguru ke ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa Kamil, dan juga Kiai Haji Yusuf Tauziri.

Foto-foto: @KomunitasAleut

Setelah itu kami menuju sebuah kompleks makam di Kampung Bojong untuk melihat beberapa makam, di antaranya makam Rd. Dewi Siti Kalsum, beserta beberapa anaknya.

Hari semakin terasa panas dan harus bergegas melanjutkan perjalanan menuju Cibugel. Dalam perjalanan menuju Cibugel, sinar matahari terasa begitu menyengat. Tanah-tanah ladang dan perbukitan di sepanjang jalan terlihat gersang akibat kemarau panjang.

Dari kejauhan terlihat ada sebuah warung di pinggir jalan sebelah kanan, persis setelah jembatan Cimanuk. Kami memutuskan untuk berhenti sebentar dan memesan jus dingin yang terasa sangat menyegarkan tenggorokan. Sambil beristirahat saya mengamati pemandangan sekitar dan di bawah jembatan tempat mengalirnya sungai Cimanuk dari Garut sampai waduk Jati Gede. Angin sepoy-sepoy pun mengusir rasa lelahnya perjalanan.

Di sini saya mendengarkan cerita-cerita tentang Cibugel, dan ada satu hal yang menarik perhatian, yaitu bahwa orang kampung di sana banyak yang kaya raya, memiliki mobil-mobil dan rumah-rumah yang cukup bagus. Konon itu hasil usaha berjualan gorengan di kota, entahlah benar-tidaknya, karena teman-teman ini pun mendengarnya dari cerita seorang tukang cilor di Juru Tilu. Menarik sekali membayangkan sebuah kampung di gunung tetapi makmur karena pekerjaan mereka tukang gorengan di kota. Tapi itulah yang keren, bisa sukses meskipun hanya jual gorengan.

Pada saat sampai di sana, ternyata saya melihat sendiri apa yang telah diceritakan tadi, banyak rumah bagus dan mobil bagus berseliweran. Saya jadi termotivasi, tidak ada halangan bagi setiap orang untuk memilih pekerjaan, yang penting harus pandai memanfaatkan kesempatan dan peluang. Masih dalam perjaanan menuju Cibugel saya melihat beberapa pabrik singkong atau dalam bahasa sunda sampeu, begitu melewati pabrik tersebut, tercium bau menyengat aroma singkong yang sedang diolah, digiling, dan dijemur di bawah matahari panas. Pantas saja beberapa kali melirik kiri kanan banyak sekali perkebunan tanaman singkong, ternyata banyak pabrik singkong yang nantinya akan dibuat menjadi tepung.

Foto: @DeuisRaniarti

Akhirnya kami sampai di Cibugel, tepatnya di masjid besar  Asyuhada, depan kantor balai desa Cibugel. Kami beristirahat sebentar, lalu salat. Sambil menunggu teman yang masih di dalam mesjid, saya menyimak seorang teman yang bercerita bahwa masjid ini dulunya tempat pemakaman korban DI/TII di Cibugel. Di depan Kantor Desa berdiri pula sebuah tugu peringatan. Beberapa meter dari Kantor Kodim, saya lihat ada beberapa makam di tepi jalan, apakah itu termasuk dalam kelompok yang berada di lokasi masjid? Saya tidak tahu.

Tak jauh dari masjid, mungkin sekitar 80 meteran, ada tikungan jalan yang di bawahnya mengalir sungai. Konon sebelum dipindahkan ke lokasi masjid, di sinilah mayat-mayat korban DI/TII dahulu dibuang. Mendengar cerita tersebut saya merasa cukup seram juga, apalagi saat melihat ke bawah, tedapat jurang cukup dalam. Semoga peristiwa-peristiwa semacam ini tidak terjadi lagi di negeri kita.

Langit cerah dan teriknya matahari masih menemani di perjalanan selanjutnya yang dimulai lagi melewati belokan patah masuk celah sempit yang langsung menanjak sangat tajam. Saya bisa melihat jalan di depan tinggi sekali posisinya, setelah itu keluar ke jalan aspal yang sedikit lebih lebar.

Sekarang kami menuju Cisoka. Di jalur ini melewati jalur jalan gunung yang ekstrim. Saya pikir dari awal jalanan bagus akan terus sampai sana, ternyata tidak, kami melewati tanjakan curam dengan jalan rusak. Motor-motor pun tidak kuat untuk  bonceng berdua, terpaksa turun dan membantu mendorong motor-motor yang kesulitan. Di sekeliling banyak pohon besar yang masih asri menutupi penglihatan saya, tapi terasa begitu adem dan nyaman dengan suasanya. Di ujung puncak tanjakan ini kami melihat pemandangan begitu indah, hamparan kebun teh dihiasi oleh gunung-gunung yang terlihat begitu gagah. Bagaimana tidak, setelah di atas puncak, dari kejauhan saya melihat lorong hutan rimba seperti terowongan yang terkena cahaya cerah. Tentunya saya harus mengabadikan momen tersebut karena tak kalah penting untuk arsip dokumentasi. Bagian atas gunung-gunung ini hampir semuanya masih berupa hutan lebat.

Foto-foto: @FikriMPamungkas

Di balik menikmati indahnya pemandangan di depan mata ini, tentunya masih terbayang pula perjalanan masih ada, terutama melihat jalanan terjal dengan batu-batuan berukuran besar beserta tanah berdebu tertiup angin kencang. Batuan dan tanah di jalur ini tidak kuat saling mengikat, lepas-lepas, dan ini menyulitkan kami mengendalikan motor yang selalu terasa oleng dan tidak punya pijakan kuat.

Lolos dari bagian jalan yang paling parah, kami tidak buru-buru jalan lagi, melainkan beristirahat sebentar di sebuah saung perkebunan, menikmati suasana yang langka ini. Setelah merasa cukup, baru melanjutkan perjalanan yang masih panjang turunan curamnya. Sedikit beruntung karena tidak terlalu lagi jalanan berubah jadi bagus. Bagian jalan bagus ini sepertinya belum lama dibangun, karena dari cerita-cerita teman Komunitas Aleut yang pernah melawati jalur ini tahun 2019, masih panjang sekali jalanan hancurnya.

Melewati turunan dan masih di kawasan perkebunan the, terlihat kawasan wisata Cisoka yang mengiringi indahnya pemandangan. Tak jauh dari sana ada sebuah warung di sisi sebelah kanan. Kami kembali mampir untuk beristirahat dan tentunya makan. Menunya seadanya yang tersedia di warung itu, lauk-pauknya kami beli dari warung lain di seberang jalan. Hidangan nasi liwet terasa sangat nikmat siang ini, apalagi sembari menikmati pemandangan perkebunan teh Margawindu yang menawan.

Foto-foto: @KomunitasAleut
Foto-foto: @KomunitasAleut

Hari mulai sore dan beranjak melanjutkan perjalanan menuju pulang lewat Sumedang. Untunglah jalanan bagus semua sampai turun ke bawah di daerah Baginda. Sebelumnya, kami melewati beberapa objek wisata lokal yang sudah banyak berkembang lebih bagus.

Tiba-tiba rombongan motor di depan berhenti dan parkir di kanan jalan. Ternyata di sini kami menghampiri sebuah lapang yang di salah satu sisinya terdapat sebuah monumen: Tugu 11 April. Saya membuat beberapa foto untuk dokumentasi.

Foto-foto: @KomunitasAleut

Saya melihat ke atas, langit tampak begitu indah, matahari sore mulai menampakkan bias cahaya oranye. Dan pemandangan matahari sore yang bulat bercahaya indah ini jadi teman perjalanan pulang kami hingga turun gelap di sekitar Cileunyi. Kira-kira pukul tujuh malam kami sudah tiba kembali dengan selamat di sekretariat Komunitas Aleut. Perjalanan hari ini begitu panjang tapi memberikan pengalaman dan keseruan yang luar biasa. ***

Foto-foto: @KomunitasAleut @DeuisRaniarti @FikriMPamungkas