Oleh Irfan Pradana Putra
Ini tulisan lanjutan Catatan Momotoran Kertamanah yang bagian pertamanya bisa dibaca di sini.
Memasuki jalan raya Pangalengan cuaca malah berubah jadi panas terik, padahal rasanya baru saja kami pakai jas hujan. Terlihat lucu juga, karena hanya kami iring-iringan motor yang mengenakan jas hujan. Walhasil badan pun terasa gerah. Jahil sekali langit hari itu. Tujuan berikutnya adalah ke kawasan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa yang wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Kertasari.
Di gerbang perkebunan Malabar, kami semua berhenti di Warung Nasi Rehan yang katanya sudah lama jadi langganannya Komunitas Aleut. Di sini kami tidak makan di tempat, tapi beli bungkus untuk dimakan di Santosa nanti. Sebelumnya saya sudah cukup sering mendatangi Rumah Bosscha dan sesering itu juga melihat warung nasi ini dalam perjalanan, tapi ini adalah kali pertama saya mampir dan membeli beberapa pilihan makanan untuk bekal.

Di dalam warung sudah cukup banyak orang antre beli makanan dan rata-rata untuk dibungkus juga. Dibandingkan warung-warung lain di sekitar, sepertinya Warung Rehan ini paling populer. Pilihan menunya cukup banyak, masakan rumahan. Semua tampak menggugah, tapi tidak mungkin juga mengambil semuanya. Saya memilih nasi dengan lauk tambusu (usus sapi) yang dimasak dengan parutan kelapa.
Bekal sudah lengkap, saatnya melanjutkan perjalanan. Memasuki perkebunan Malabar kami melihat iring-iringan warga mengenakan kaos partai. Ternyata hari itu sedang ada kampanye besar dari salah satu caleg. Mendekati lapangan desa di Tanara, kendaraan kami terjebak kemacetan parah. Hampir 30 menit kendaraan tidak bisa maju maupun mundur. Kesabaran menjadi semakin tipis karena matahari kian terik menyengat kulit. Akhirnya saya dan seorang kawan di depan mencari-cari jalan tikus demi menghindari kemacetan.
Kami coba memasuki jalanan kecil dan masuk ke perkampungan warga. Warga bilang tidak ada jalan, tapi kami nekat saja dan akhirnya masuk ke area perkebunan teh malabar. Menerjang jalan berbatu dan berlumpur. Orang Sunda bilang “Ngaprak”. Lumayan, lah, hitung-hitung refreshing nyukcruk galur kebon. Bonus ketemu makam (lagi) yang berderet memanjang di tepi kebun. Di bawahnya ada aliran kali kecil. Makam-makam ini tidak segera terlihat karena semuanya terletak agak tersembunyi di balik ilalang tinggi dan beberapa pohon besar.

Setelah mampir eksplor makam-makam itu, akhirnya kami dapat menemukan jalur untuk kembali ke jalan utama. Kawan-kawan lain entah di mana batang hidungnya. Saya dan satu kawan di motor lain melanjutkan perjalanan menuju pabrik Santosa. Nanti saja di sana janjian untuk bertemu. Kami berhasil melewati kemacetan parah yang sebetulnya kalau ditunggu juga durasinya sama dengan waktu yang kami habiskan untuk eksplor barusan.
Jalan menuju pabrik Santosa sudah sangat mulus. Saking mulusnya saya beberapa kali melepas tangan dari stang motor. Tidak khawatir akan terjatuh. Enaknya lagi, ditambah dengan pemandangan kebun teh yang rapat. Syahdu sekali rasanya tubuh diterpa angin perkebunan.
Lima belas menit jarak kami dengan motor kawan-kawan yang ternyata sudah leha-leha duluan di depan Pabrik Teh Santosa. Ternyata tadi mereka memilih menunggu kemacetan ketimbang mengekor kami mengeksplor jalan di sela-sela kebun. Sungguh kesabaran yang patut dijadikan teladan.
Kami memarkir motor di warung yang berada di seberang gerbang Pabrik Teh Santosa. Saya langsung menghampiri pos satpam untuk sekadar ngobrol. Pak Asep, nama satpam tersebut, memperbolehkan saya melihat-lihat dari luar. Kebetulan pabrik tetap beroperasi meskipun hari minggu. Demi mengejar target produksi. Menurutnya, bahan teh sedang melimpah usai beberapa bulan lalu lesu karena diterpa kemarau panjang. Semerbak wangi teh yang tercium, nikmat sekali. Ini pengalaman pertama menghirup aroma teh langsung di muka pabriknya.

Waktunya makan siang, kami membuka bekal yang dibeli tadi di Warung Rehan, lalu makan rame-rame di warung itu. Tentunya sudah minta izin dulu, bagaimana pun ada rasa engga enak karena beli di tempat lain tapi makannya di warung itu. Untunglah bapak-ibu pemilik warung mengerti situasinya, sehingga bukan hanya mengizinkan, bahkan membantu menyiapkan tempat dan minumnya. Sebagai gantinya, kami belanja apa saja yang bisa dibeli di situ.
Usai makan, sejenak kami meluruskan punggung sambil berbincang dengan bapak-ibu warung yang baik ini. Si bapak pensiunan dari Pabrik Teh Santosa. Ia purna tugas di tahun 2016 lalu dan sekarang bersama istrinya, yang juga pensiunan pabrik, membuka warung makanan. Saya makan sambil memandangi deretan pohon Rasamala yang begitu tinggi. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Dulu pohon-pohon seperti ini ditebang dan digunakan untuk berbagai kebutuhan perkebunan, termasuk peti penyimpanan teh.

Selesai dengan urusan perut, kami melanjutkan perjalanan ke pabrik teh Sedep yang terletak di kawasan perkebunan Negla. Menurut penuturan rekan-rekan yang sudah beberapa kali ke Sedep, di sana masih banyak bangunan lama, lebih banyak dari yang ada di wilayah Kertamanah. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya 5 menit perjalanan motor dari lokasi pabrik Santosa.
Setibanya di Sedep, kami mulai berpencar mengambil dokumentasi. Saya mulai dengan bangunan mess yang –sayangnya– terkunci. Jadi saya hanya bisa memotretnya dari luar saja.

Kami beruntung karena salah satu kawan Aleut memiliki kenalan yang bekerja di pabrik Sedep. Kami berhasil menghubunginya dan yang bersangkutan memberikan izin untuk masuk ke kantor administrasi pabrik. Di dalam kantor ia menunjukkan album-album foto lama, arsip pabrik Sedep. Sayangnya banyak album yang tidak memiliki keterangan waktu, sehingga kami agak kesulitan menganalisa konteks sejarahnya. Rencananya kami akan datang lagi di lain waktu untuk mendigitalisasi arsip-arsip foto tersebut.
Dari sekian banyak album foto yang kami buka, saya tertarik pada salah satu foto yang menunjukan keberadaan sebuah tempat penitipan bayi di pabrik Kertamanah. Menyenangkan rasanya menemukan arsip lama mengenai hal ini.

Cukup lama kami menghabiskan waktu di kantor pabrik Sedep. Semua kawan asyik memilah-milah dan menganalisa foto hingga lupa kalau waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, padahal masih ada satu lokasi tujuan lagi yang sudah diagendakan untuk perjalanan kali ini. Kami segera berpamitan sambil berjanji akan berjumpa lagi dalam waktu dekat ini.
Tujuan terakhir hari ini adalah kawasan permukiman para pekerja Perkebunan Negla di Neglawangi. Jaraknya tidak terlalu jauh, apalagi dengan kondisi jalan yang sudah bagus seperti sekarang. Dulu, sebelum jalannya diperbaiki, katanya waktu tempuhnya bisa satu jam. Di lokasi permukiman ini saya tertarik pada susunan rumah bedeng dan jalur-jalur jalannya tertata rapi. Dari jauh, suasana kampungnya pun terlihat resik. Dari arsip foto lama terlihat bahwa paling tidak perkampungan ini sudah ada sejak tahun 1920.


Tiba-Tiba di Garut
Di kampung terujung, Cibutarua, saya dapati rekan yang tadi paling depan sedang berbicara dengan seorang bapak. Lalu ia berputar dan masuk ke arah jalan yang tidak ada dalam rencana. “Hayu ka dieu,” serunya. Kami yang di belakang mengikut saja. Setelah beberapa saat, jalan beton yang rapi berubah total menjadi jalanan batuan khas perkebunan. Batunya besar-besar pula. Dan pas di sebuah belokan, saya kaget tiba-tiba melihat tugu dengan tulisan jelas “Batas Kabupaten Bandung – Garut.” Lah, kok sudah di Garut aja?
Faktor kedua yang membuat kaget adalah karena sehari sebelumnya saya baru saja turun dari pendakian ke Gunung Papandayan. Lalu sekarang, begitu saja nyampe Garut lagi, dari arah yang berbeda. Luar biasa Aleut. Pada saat motor tersendat gerakannya disebabkan oleh kondisi jalan yang parah, barulah saya berkesempatan bertanya akan ke mana arah perjalanan ini. Jawabnya, ke Kincir. Nama ini beberapa kali disebut sebelum perjalanan hari ini, dan ujug-ujug hari ini kami ke sana. Perjalanannya agak diburu-buru juga karena memang sudah sore dan tidak ingin terjebak gelap saat di pedalaman nanti.

Jalan menuju Kincir ini sangat terjal. Kombinasi batuan dengan lumpur. Lagi-lagi yang berboncengan harus turun. Saya sudah kehabisan tenaga, tangan rasanya pegal bukan main. Maka saya memilih untuk turun dari motor, lalu cari parkiran yang cukup aman di jalan sempit ini, dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Mula-mula saya bersama dua orang kawan menuruni area perkebunan karena menurut warga yang sedang bekerja di ladang lokasi Kincir ada di sana. Di bawah, kami sudah merambah ke sana-sini. Lahan datarnya tidak terlalu luas juga, karena setelah itu langsung jurang yang di bawahnya ada aliran sungai.
Nyatanya kami bertiga salah. Salah berbelok tepatnya. Karena area ini cukup curam, kami menyerah dan menyerahkan tugas mendokumentasikan Kincir ke dua kawan lain yang belum turun. Mereka coba mencapainya dengan motor melalui jalur jalan lain, namun gagal juga. Jalanan setapak itu terhalang oleh rimbunnya rumput sehingga ban motor tersangkut. Dari kejauhan terlihat mereka turun dari motor dan memarkirkannya di jalur jalan setapak.
Mereka berdua lanjut dengan berjalan kaki dan akhirnya menemukan mesin kincir yang dimaksud agak jauh di bawah, dekat dengan aliran sungai. Kondisinya mengenaskan karena tergerus longsor. Bangunan pelindungnya sudah tak bersisa sama sekali, sedangkan mesin-mesin besar dan berbagai peralatan lainnya terbengkalai begitu saja di ruang terbuka.

Kincir menjadi destinasi terakhir dalam Momotoran kali ini. Langit sudah gelap sehingga kami harus segera pulang karena penerangan jalan masih terbatas. Sambil berkendara pulang saya memperhatikan bangunan-bangunan unik yang terlewat. Salah satunya bangunan yang kini dijadikan Taman Kanak-Kanak di bawah ini. Bentuk atapnya unik seperti burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Seorang rekan menyebutnya bergaya jengki, dan yang menjadikannya lebih unik lagi karena bangunannya berbahan papan kayu. Hanya sedikit bagian bawahnya berbahan tembok dan batu kali.

Momotoran bersama Aleut memang tidak pernah gagal meninggalkan kesan, meskipun harus diakui selalu saja melelahkan. Setiap perjalanannya dipenuhi dengan spontanitas walaupun perencanaannya juga sebetulnya cukup detail. Pengetahuan yang didapat dari setiap perjalanan selalu memiliki manfaat lebih, tidak sekadar jalan-jalan atau lewat atau menikmati pemandangan.
Bagi saya perjalanan kali ini menebalkan keinginan untuk melakukan penelusuran lebih dalam mengenai dinamika kondisi buruh perkebunan. Hal ini dipantik oleh bangunan bedeng serta arsip foto penitipan bayi yang saya dapatkan di kantor Sedep. Sebab, lagi-lagi, saya selalu lebih tertarik pada sejarah dari orang-orang kecil tak berpunya. Mereka yang menjadi sekrup-sekrup peradaban punya peran yang sangat penting selain para pembesar yang namanya selalu hilir mudik di dalam teks-teks sejarah. Semoga ada waktu dan tenaga untuk melakukannya. ***
Leave a Reply