Catatan Perjalanan: Potongan Ingatan tentang Suzuki di Perkebunan Sedep (Bagian-2)

Alhta Ainayah

Rumah Administratur Perkebunan Sedep yang dibangun tahun 1940-1941 berdasarkan rancangan arsitek Gmelig Meyling. Het Nieuwe Instituut.
Rumah administratur Perkebunan Sedep sekarang (Komunitas Aleut).

Dari pabrik, kami semua berjalan mengikuti langkah seorang staf perkebunan menuju rumah administratur. Dan inilah moment yang kutunggu. Ingin segera berada di dalamnya. Beberapa staf dari Agrowisata juga turut dalam rombongan. Dari jauh sudah terlihat suasana yang asri di halaman rumah. Halaman rumput dan jalur jalan beralas kerikil yang bersih. Di atas halaman rumput ada beberapa pohon pakis, menambah kecantikan rumahnya.

Tapi rumah ini bukan lagi rumah yang pernah ditempati oleh Suzuki dahulu. Sudah berubah, tidak lagi berlantai dua. Rumah yang ditempati oleh Suzuki baru dibangun pada tahun 1940-1941. Perancangnya arsitek terkenal, terutama pada masa akhir kolonial Belanda sampai masa awal kemerdekaan RI. Namanya Gmelig Meyling. Begitu kata seorang rekan Aleut.

Saya tertegun sejenak di dalam ruang tamu. Mengamati sekitar dan membayangkan dahulu langit-langit di bagian ini tentu cukup tinggi. Mana tangga untuk naik ke lantai dua dahulu? Yang masih tinggal di dalam rumah itu pun ragu menjawabnya. Tangga itu adalah penghubung area keluarga di atas dan ruang kerja administratur di bawah. Perubahan bentuk rumah ini justru membuat kunjunganku terasa semakin berharga, seperti berjalan di antara sisa-sisa yang masih berusaha bercerita tentang masa lalunya. Suasana dalam rumah terasa lengang. Lalu ke dapur, lorong yang sunyi, ruang makan. Lalu ke ruang tengah, luas, bersih, dan terang oleh sinar matahari. Sudut mana yang kira-kira pernah jadi favorit Soetjiati dahulu?

Suasana ruang depan dan ruang tengah Rumah Sedep saat ini (Komunitas Aleut).

Perpisahan yang Tidak Pernah Direncanakan

Lalu datanglah tahun 1945. Jepang kalah setelah bom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Semua warga negara Jepang, baik tentara maupun pegawai sipil, menerima satu perintah: pulang ke Jepang. Tidak ada negosiasi. Mereka tidak boleh membawa istri pribumi, tidak boleh membawa anak, tidak boleh menetap. Perintah ini memisahkan banyak keluarga di Jawa, termasuk keluarga kecil di Perkebunan Sedep. Suzuki pun harus pergi. Tidak dengan koper besar, tidak dengan barang-barang rumah hanya membawa apa yang diwajibkan. Rumah administratur Sedep ditinggalkannya begitu saja. Sebuah kisah yang mungkin tidak pernah tercatat dalam arsip resmi. Tapi bagi keluarga, itu adalah sejarah yang nyata, hidup, dan penuh perasaan. Perkebunan Sedep tetap hidup sebagai bagian dari sejarah keluarga di Pangalengan.

Dalam perjalanan pulang, saya merasa lega. Ingatan-ingatan cerita yang sejak lama saya simpan akhirnya bisa saya lihat langsung di rumah administratur Sedep. Ruang tamunya, dapurnya, hingga sisa-sisa bangunan lama lainnya, pabrik, gudang, rumah billiar, bedeng-bedeng, rumah-rumah staf yang letaknya agak tinggi di atas gawir, sampai emplasemen buruh teh di belakang dan di seberang pabrik.

Cerita yang paling membekas adalah tentang Tuan Suzuki. Soetjiati pernah menerima surat terakhir dari istri Pak Suzuki di Jepang pada tahun 1997 yang mengabarkan bahwa Pak Suzuki telah meninggal. Dalam surat itu juga disampaikan bahwa Pak Suzuki sudah menyiapkan sebidang tanah dan rumah di Jepang. Sayangnya, surat itu kini sudah tidak diketahui lagi di mana tersimpan. “Kalau nanti ketemu, saya akan cerita lagi,” katanya.

Begitulah saya menemukan sejarah yang selalu hadir dalam potongan-potongan kecil seperti itu. Dan saya akan terus mencarinya, satu cerita demi satu cerita.

Suzuki berada di posisi kiri paling bawah. Foto milik Soetjiati.

***

_______________________________

A History of Modern Indonesia 1200-2004, third ed. M.C. Ricklefs. Serambi, Jakarta, 2005.

Badan Penyelidik ANRI – Dokumen repatriasi warga Jepang (1945–1946).

Beschrijving Zijner Reis Naar Engelsch-Indie, Burma, Malakka, Sumatra, Java, China en Japan met Terugreis via den Transsiberischen Spoorweg; van 15 October 1913 tot Eind Juni 1914. D.W. van Wulfften Palthe van Hengelo. Boek en Kunstdrukkerij v/h Mouton & Co., Den Haag, 1915.

De Thee van Negla; Herinneringen van Marga C. Kerkhoven ditulis oleh Wijnt van Asselt. Stichting Indisch Thee- en Familiearchief van der Hucht c.s. 2013.

Het Nieuwe Instituut

Kuasa Jepang di Jawa; Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Aiko Kurasawa. Komunitas Bambu, Depok, 2015.

Pendudukan Jepang di Indonesia; Suatu Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintah Belanda. Cet II. Dr. L. De Jong. Kesaint Blanc, Jakarta, 1989.

Satu pemikiran pada “Catatan Perjalanan: Potongan Ingatan tentang Suzuki di Perkebunan Sedep (Bagian-2)

  1. Ping balik: Catatan Perjalanan: Potongan Ingatan tentang Suzuki di Perkebunan Sedep (Bagian-1) | Dunia Aleut!

Tinggalkan komentar