Catatan Perjalanan: Potongan Ingatan tentang Suzuki di Perkebunan Sedep (Bagian-1)

Alhta Ainayah

Catatan perjalanan ini akan saya mulai dengan menceritakan sebuah fragmen perjalanan yang pernah dibukukan pada tahun 1915. Penulis dan pejalan itu adalah van Wulfften Palthe van Hengelo.

____________________

Kamis, 26 Februari 1914. Pukul 7 pagi, D.W. van Wulfften Palthe berangkat menuju Perkebunan Sedep. Ia mendapatkan undangan untuk menginap dan menikmati suasana di perkebunan itu dari administraturnya, A. Bertling. Konon lokasinya dekat dengan Bandung, tapi sebenarnya jaraknya sekitar 60 kilometer. Letaknya di ketinggian pergunungan, dan karena itu jalan menuju ke sana dipenuhi oleh belokan.

Di Pangalengan, kendaraan Wulfften Palthe sempat terhenti setengah jam karena ada longsor. Katanya, ada sekitar dua ratus orang yang bekerja membersihkan jalan. Di situ sempat berpapasan dengan seorang pria, mungkin pejabat pribumi, menunggang kuda yang sangat indah dengan ekor panjang yang mencapai tanah.

Semakin tinggi jalur jalan mendaki, semakin sepi suasananya, dan semakin sopan penduduk yang terlihat. Ketika mobil lewat, mereka berjongkok di tanah dengan topi di tangan. Konon begitulah cara mereka memberikan hormat. Budidaya di kawasan ini terlihat intensif, ada padi, teh, kina, dan bermacam umbi-umbian di ladang. Di sana-sini ada kerumunan pemetik teh. Setelah lebih dari tiga jam perjalanan dan berada di tengah kawasan perkebunan teh yang luas, Palthe mulai ragu. Tidak ada pabrik atau bangunan apapun, sehingga ia perlu mencari orang dan bertanya.

Ternyata jalurnya sudah benar. Seseorang menunjukkan perkiraan lokasi pabriknya di depan. Lima belas menit kemudian, kami sudah tiba dan disambut langsung oleh Tuan Bertling, Sang Administratur. Rupanya sedang ada tamu lain juga di sana, tapi sayangnya, Nyonya Bertling sedang dalam perjalanan mengantar anak tunggal mereka ke Belanda. Rumah Bertling benar-benar bergaya Eropa, tapi agak aneh karena tanpa beranda. Kata Bertling, setelah matahari terbenam, di sana terlalu dingin untuk duduk-duduk di luar.

Sebelum makan siang, Palthe berjalan-jalan ke taman yang baru saja ditata dan dipenuhi bunga, terutama mawar, yang tumbuh indah di ketinggian 1800 meter. Suhu siang hari di sini sama dengan suhu cuaca saat musim panas yang indah di Eropa. Setelah makan siang, Palthe dan Bertling melihat-lihat pabrik dan pekerjaan di dalamnya, dan setelah itu pergi mengunjungi kebun-kebun teh dan kina. Pohon-pohon teh menghampar berbentuk bulat, tingginya sekitar 1-1,5 meter karena dipangkas setiap tahun. Setiap kali pucuk-pucuk teh dipetik, maka pucuk-pucuk baru akan muncul kembali enam minggu kemudian. Usai melakukan pekerjaannya, pada sekitar pukul 4-5 sore, para pemetik teh dengan keranjang di atas kepala berbaris dari kebun menuju pabrik. Di situ, selama menunggu daun-daun teh diperiksa dan ditimbang, ada gamelan dimainkan di atas panggung setinggi 4 meter. Penantian menjadi terasa menyenangkan. Palthe juga sempat mengunjungi bedeng-bedeng tanam teh dan kina yang ditempatkan di bawah rangka bambu ditutupi pakis untuk menghindari matahari yang terlalu terik.

Usai makan malam, Palthe, Bertling, dan tamunya yang lain duduk bertiga dan mengobrol dengan asyik. Lalu bermain billiar. Ia sengaja menyediakan billiar untuk asistennya agar ada variasi kegiatan di perkebunan. Palthe menilai upaya ini menunjukkan perhatian dari seorang manajer untuk para pegawainya agar mereka dapat hidup senyaman mungkin di tempat yang terpencil itu.

Keesokan harinya, setelah sarapan, Bertling membawa tamu-tamunya mengunjungi lokasi pembangkit listrik yang terletak di sebuah lembah. Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan menuju ke sana. Terlihat pipa air utama dengan ketinggian 30 meter. Air mengalir melalui pipa berdiameter sekitar satu meter itu menuju turbin. Hasilnya adalah listrik yang digunakan untuk operasional pabrik. Rasanya mengagumkan. Tiga puluh tahun lalu, tidak ada seorang kulit putih pun yang pernah menginjakkan kaki di sini. Sekarang, orang dapat menemukan teknologi listrik dengan mekanik paling modern.

Setelah makan siang, Palthe akan segera beranjak meninggalkan Perkebunan Sedep. Ia masih menikmati kunjungannya sejak kemarin. Sekarang, ia mengarahkan perjalanannya menuju Bandung dan selanjutnya ke Sindanglaya, dekat Cianjur, tempat di mana ia akan menyaksikan hamparan sawah menguning yang tertata rapi dan begitu banyak orang memanen padi.

Demikianlah kisah singkat perjalanan D.W. van Wulfften Palthe van Hengelo yang dibukukannya untuk kalangan terbatas pada tahun 1915. Kunjungannya ke Perkebunan Sedep hanyalah satu fragmen dari perjalanan panjang antara 15 Oktober 1913 sampai akhir Juni 1914. Wilayah yang dikunjungi dalam perjalanannya mencakup India, Burma, Malaka, Sumatra, Jawa, Tiongkok, Jepang, dan kembali ke Eropa menggunakan kereta api Trans Siberia.

               ____________________

Sabtu, 29 November 2025. Saya mengikuti pelatihan kepariwisataan Komunitas Aleut ke kawasan perkebunan di Pangalengan. Salah satunya, mengunjungi Perkebunan dan Pabrik Teh Sedep. Kami berangkat subuh dari sekretariat Aleut. Satu mobil dan beberapa motor. Tidak untuk menapaktilasi perjalanan Palthe, tapi sekadar menggunakan catatannya untuk membandingkan apa yang dilihatnya dengan apa yang akan kami lihat hari ini. Lagi pula sayang sekali bila tulisan itu terlupakan begitu saja di tumpukan arsip.

Udara pagi cukup dingin tapi sepertinya tidak sedingin yang dirasakan oleh Palthe. Kami tidak memerlukan jaket berlapis, bahkan untuk perjalanan bermotor. Setelah beristirahat sebentar di Kertamanah, kami sudah berada di kawasan perkebunan di sekitar Malabar. Sampai sekitar seratus tahun yang lalu, kawasan ini merupakan salah satu perkebunan terpenting di Hindia Belanda. Kina dan teh pernah tumbuh dan memberikan hasil yang gemilang. Sebagian dari hasil kejayaan itu ikut berperan membentuk Kota Bandung di masa lalu. Kini, sebagian lahan itu sudah menjadi ladang-ladang dan tempat wisata buatan. Lokasi wisata yang berlagak seakan-akan mampu menandingi pemandangan alami perkebunan yang sudah menghampar sejak akhir abad ke-19 lalu.

Dari Malabar, jalanan berbelok-belok pendek sampai ke Perkebunan Sedep. Sepanjang jalan hanya teh dan teh saja. Beberapa perkampungan, bukit-bukit hijau, sebuah danau kecil yang juga dikemas sebagai tempat wisata. Palthe sama sekali tidak menyinggung keberadaan danau-danau kecil ini. Mungkin dulu bentuknya lebih mirip rawa-rawa saja, sebagaimana diceritakan oleh rekan seperjalanan kami berdasarkan pengalamannya 20 tahunan lalu. Akhirnya, jalanan berbelok dan menanjak tajam, lalu kembali lurus, dan kami sudah berada di Perkebunan Sedep. Langsung memasuki halaman parkir kantor di sebelah pabrik.

Ada yang baru di sini, tulisan besar Kordele 1898 di taman depan pabrik. Katanya ini pendiri Perkebunan Sedep. Sebelumnya saya sudah beberapa kali ke sini. Mengelilingi pabrik dan rumah-rumah pegawai, serta melihat-lihat arsip perkebunan. Kali ini saya ingin melihat dan mendapatkan pengalaman lebih dari sebelumnya. Palthe tidak bercerita detail tentang bagian dalam pabrik. Saya juga tidak. Pemandangannya ya begitu saja, mesin, mesin, dan mesin, dengan suaranya yang keras. Yang membuat nyaman adalah aroma daun-daun teh yang sedang dalam proses pengolahan.

Koran Het Vaderland edisi 10 Desember 1901 menyebutkan wilayah administratif yang berbeda dengan sekarang untuk lokasi berdirinya pabrik, yaitu di Desa Selakaso, Distrik Majalaya, Afdeeling Cicalengka, Keresidenan Priangan. Pendirinya adalan firma D. M. en O. Watering. Dalam jajaran komisaris tercatat nama-nama L. van Beyma, R. Boele, A. Janssen, J. C. Joekes, dan L. T. Kleintjes. Tidak ada nama Kordele, jadi kemungkinan ia hanya menjabat sebagai administratur perkebunan.

Pabrik ini bukanlah pabrik yang sudah berdiri sejak 1898, melainkan sudah dirombak dengan gaya arsitektur yang lebih modern. Tembok menara di bagian tengah adalah yang selalu menarik perhatian bila sedang melewati kawasan ini. Ada tulisan SEDEP berwarna biru langit yang tersusun vertikal. Seingatku dulu tulisan ini berwarna merah. Tidak banyak orang terlihat di sekitar pabrik, hanya ada dua orang petugas jaga. Selebihnya terlihat sedang berkumpul di depan kantor, mungkin sedang menerima tamu lain. Di samping kantor, pada lahan yang menghadap jalan utama, masih ada rumah tua, sekarang ditempati oleh Asisten Pengolahan. Secara bentuk sih menarik, bagian depannya membulat. Atapnya berlapis seng dan ada cerobong perapian di salah satu sisinya.

Rumah Asisten Pengolahan Pabrik Sedep (Komunitas Aleut).
Daftar Administratur Perkebunan Sedep. Foto Komunitas Aleut.

Dari dalam kantor saya mendapatkan daftar nama administratur Perkebunan Sedep, dimulai sejak Kordele tahun 1898. Selanjutnya ada nama-nama De Book, Bertling, Hillendoorn, dan nama berikutnya, yang kelima, ini yang berkesan personal bagi saya, yaitu Suzuki. Begitu saja namanya, tanpa kepanjangan apa pun. Masa kerjanya sebagai administratur Sedep antara 1942-1945.

Kedatangan Jepang ke Sedep

Jepang mengambil alih semua perkebunan, kecuali yang sebelumnya dikelola oleh negara-negara sekutu mereka, seperti Jerman atau Italia. Begitu juga seluruh perkebunan di Pangalengan berada di tangan Jepang. Artinya, Perkebunan Sedep juga ada dalam penguasaan dan pengelolaan Jepang, karena itu ada nama Suzuki dalam daftar administraturnya. Pengambilalihan perkebunan tidak berarti melanjutkan apa-apa yang sudah diusahakan oleh setiap perkebunan itu sebelumnya. Semuanya berubah total. Perkebunan teh adalah yang paling menderita, produksinya sama sekali dihentikan, kecuali kebun-kebun kecil yang diusahakan oleh rakyat.

Lahan-lahan perkebunan teh sekarang diisi oleh rami, akasia, tanaman pangan, dan kina. Produksi kopi dikurangi sampai 25% dan lahannya dialihkan untuk ditanami palawija dan coklat. Sebaliknya dengan kina dan coklat, produksinya justru ditingkatkan karena keduanya dibutuhkan oleh kalangan militer Jepang untuk pengobatan. Intinya, produksi seluruh jenis tanaman penting diatur menurut kebutuhan militer.

Karel Felix Kerkhoven, adminitratur Perkebunan Negla, menceritakan bagaimana tentara Jepang merangsek masuk ke dalam rumahnya dengan bayonet terhunus. Mereka mengambili senjata, kamera, dan barang-barang lain. Tak lama setelah itu, pada bulan November 1942, Karel dipanggil ke Bandung dan ditahan di kamp.

Tidak hanya Karel, semua administratur Belanda disingkirkan dan dimasukkan ke dalam kamp. Nasib yang sama juga dialami oleh van Rhijn dari Perkebunan Malabar, Dincklage dari Arjasari, Heimer dari Purbasari, Brants dari Lodaya, Bertling dari Sedep, van Gogh dari Sinagar, Vol Z dari Wanasari, dan Harmsen dari Negla. Semua nama yang disebut ini meninggal di dalam Kamp. Keadaan yang menyedihkan memang, tapi begitulah perjalanan sejarah.

Dalam periode pendudukan Jepang yang pendek itulah nama Suzuki muncul di Perkebunan Sedep. Selain periode yang pendek, jejaknya juga tidak begitu jelas. Melalui suatu jalur kekeluargaan, saya terhubung dengan Suzuki dan pernah berkesempatan bertemu anaknya, Soetjiati, yang sekarang menetap di Tasikmalaya. Ia bercerita bagaimana Suzuki mendapatkan tugas untuk menjadi administratur Perkebunan Sedep. Suzuki lalu menikah dengan Rd. Fatimah, perempuan dari Sukabarang, Garut, yang ayahnya sudah lama bekerja di Sedep.

Pasangan ini memiliki dua orang anak, Soetjiati dan Rachmat (Matsio Suzuki). Soetjiati saat ini sudah berusia 83 tahun. Ia masih mengingat suasana rumahnya di Sedep. Rumah besar berlantai dua di Sedep itu tidak pernah menjadi sekadar rumah biasa bagi Soetjiati. Di sana setiap pagi ia menyaksikan bagaimana kabut tebal menutupi sekitar rumahnya, mendengarkan suara mesin-mesin dari pabrik, dan menghirup aroma teh yang memenuhi udara di sekitarnya. Hawa dingin Pangalengan adalah salah satu yang selalu ada dalam ingatannya. Rumah Sedep adalah dunia kecil tempat ia biasa bermain dan berlari-lari di taman tanpa pernah menyadari situasi yang sedang berlangsung di dunia kecilnya itu.

(Bersambung)

Tinggalkan komentar