Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng
Oleh Dongeng Bandung
Temuan-temuan Rothpletz
Selama penelitiannya, Rothpletz menemukan 38 bilah kapak yang terbuat dari batu hijau padat dan jumlah itu hanya 8 buah yang keadaannya masih utuh. Panjang bilah terbesar 21,7 cm dan yang terkecil 5,8 cm. Lebarnya antara 2,3 cm sampai 7,3 cm. Ketebalannya antara 1,3 cm sampai 3,6 cm.
Selain bilah kapak yang diasah, ditemukan juga sejumlah besar batu asah yang digunakan untuk menajamkan peralatan batu, Batu-batu ini berbentuk pipih memanjang dengan permukaan halus dan cekung di bagian tengah akibat pemakaian yang berulang. Batu-batu asah ini menunjukkan sisa serbuk halus dari batu hijau sisa dari proses pengasahan bilah kapak. Beberapa batu menunjukkan kedua sisinya digunakan untuk mengasah.
Batu poles memiliki bentuk yang lebih besar, lebih berat, dengan permukaan agak cembung. Batu ini digunakan untuk memoles bilah-bilah kapak yang sudah diasah agar permukaannya menjadi halus dan mengilap. Di antara batu-batu ini juga ditemukan batu-batu kecil berbentuk bulat yang mungkin berfungsi sebagai alat penumbuk atau pelicin. Ada juga fragmen-fragmen batu dengan permukaan yang jelas menunjukkan alur-alur lurus sejajar, mungkin digunakan untuk mengasah alat logam atau untuk pembuatan benda dari tulang.
Cetakan Logam dan Tembikar
Dalam lapisan yang sama ditemukan dua bagian batu dengan permukaan yang memperlihatkan rongga cetakan dangkal berbentuk bilah kapak kecil. Permukaan dalam rongga ini halus dan bagian tepinya menunjukkan bekas panas yang jelas. Dugaannya, kedua batu ini digunakan untuk mencetak bahan logam, bisa jadi membuat kapak perunggu kecil atau benda logam lainnya. Sayangnya tidak ditemukan pasangan cetakan lainnya yang lengkap, sehingga agak sulit menentukan apakah cetakan itu digunakan untuk tuangan dua sisi atau hanya satu sisi saja. Sisi dalam dan sisi luar cetakan umumnya berwarna abu-abu muda, coklat muda, atau kemerahan, sedangkan bagian intinya berwarna abu-abu sampai hitam.
Temuan cetakan logam ini sangat menarik karena menunjukkan adanya tahap awal dalam perkembangan teknologi di wilayah ini. Keberadaan cetakan logam ini menunjukkan adanya pengetahuan dasar tentang peleburan dan pencetakan logam pada masa itu.
Di kawasan ini juga ditemukan sejumlah fragmen tembikar yang diduga memiliki kaitan dengan bengkel pengecoran, terutama karena memiliki empat pegangan silindris sepanjang sekitar 5 cm dan tebal 2-4 cm. Di lokasi penemuan lainnya juga kaya akan temuan tembikar, tidak ditemukan adanya pegangan, sehingga dapat diduga bahwa pegangan ini merupakan bagian dari wadah-wadah peleburan logam.
Mengenai cetakan logam yang ditemukan dalam jumlah yang sangat besar – yang memunculkan dugaan keberadaan bengkel pengecoran – perlu dicatat juga bahwa tidak ditemukan benda-benda lain yang biasanya berhubungan dengan proses cor, misalnya, kue logam hasil cor, cor gagal, atau perkakas perunggu yang sudah jadi.
Pada Desember 1946, ditemukan sebuah kapak berleher perunggu yang terawat baik di Cimuncang. Kapak dengan ukuran panjang 8,3 cm, lebar 5,8 cm, dan ukuran lubang 1,4 cm-2,3 cm ini ditemukan di antara barang-barang rumah tangga yang dibuang dari sebuah rumah yang dijarah pada masa revolusi. Keadaan penemuan menunjukkan bahwa kapak itu tidak disimpan sebagai benda yang bernilai tinggi. Kemungkinannya asal benda tersebut dari Cimuncang sendiri, salah satu tempat ditemukannya fragmen cetakan cor perunggu selain Dago.
Rothpletz juga menemukan fragmen gelang perunggu dari sebuah permukiman kecil di Goleah-1 yang ternyata cocok dengan cetakan gelang perunggu yang ditemukan Dr. Mohler di daerah Dago. Begitu juga dengan beberapa mata panah atau mata tombak, ukurannya lebih kecil dibanding dengan cetakannya. Perbedaan lainnya, mata tombak ini memiliki duri/daun dan bukan selongsong. Ada dugaan bahwa maa tombak ini tidak berasal dari Zaman Perunggu, melainkan dari masa Hindu. Mata tombak ini sangat mirip dengan temuan dari Residen Pekalongan yang dikoleksi oleh Museum Batavia, sama-sama memiliki daun. Dua di antaranya juga memiliki ukuran yang mirip dengan temuan dari Dago.
Rothpletz juga membuat perbandingan panjang lebar antara mata tombak dari Dago dengan berbagai temuan oleh ilmuwan lain, seperti van der Hoop dan Goloubew. Begitu juga dengan cetakan-cetakan perunggu, ia membuat banyak perbandingan dengan temuan di situs-situs lain di wilayah Asia Tenggara.
Mengenai tidak ditemukannya sisa perunggu di perbukitan Dago, Rothpletz berpendapat bahwa kemungkinan proses pengecoran yang sebenarnya tidak dilakukan di bukit, melainkan di bagian bawah yang terdapat aliran-aliran air kecil di sekitarnya. Dan untuk jangka waktu yang lama tertimbun oleh lapisan tanah yang lebih muda.
Temuan tembikar, yang terbanyak didapatkan dari KQ-380 dan Pasir Panyandakan, bersamaan dengan serpihan-serpihan obsidian. Secara umum, merupakan keramik buatan tangan dan sangat berlempung kasar. Cara pembakarannya buruk dan jelas berbeda dengan keramik zaman modern. Erdbrink juga menemukan keramik-keramik yang sangat kasar di lokasi penemuan obsidian di Dago, sehingga ia menyebutkan bahwa bahan keramik itu juga termasuk ke dalam kebudayaan obsidian. Bentuk dan hiasan pada pecahan keramik, secara umum memiliki perberbedaan kecil dari setiap tempat penemuan.
Kemudian temuan-temuan berupa benda dari besi. Tampaknya berusia cukup tua dan hanya ditemukan di tiga tempat saja yang semuanya berkaitan dengan keberadaan makam kuno. Di dekat sebuah kompleks makam yang ditandai dengan pagar batu di Dusun Tugu-2 ditemukan sejumlah fragmen besi yang sangat berkarat bersamaan dengan sejumlah manik-manik. Sejumlah besar fragmen besi itu kemungkinan sisa golok atau sejenis senjata tebas. Sebagian fragmen yang meruncing, menunjukkan bahwa keberadaan kayu yang sudah berubah menjadi besi oksida. Bisa jadi pernah memiliki sarung dari kayu.
Selain fragmen-fragmen senjata, di tempat yang sama juga ditemukan sejumlah besar lempengan besi bertangkai, berbentuk lanset hingga hampir bundar dengan ukuran panjang 1,5 cm dan lebar 1-1,5 cm. Ada potongan-potongan di mana lempengan-lempengan itu menempel satu sama lain karena karat dan membentuk lapisan ganda. Belum dapat diketahui apa fungsi lempengan-lempengan besi itu, dugaan sementara adalah bagian dari perhiasan. Masih dekat sebuah makam kuno, kali ini di sebelah utara Pasir Kiarajanggot , ditemukan sebuah senjata besi yang bilahnya memperlihatkan tekukan mencolok dan juga dipenuhi oleh karat. Panjangnya sekitar 31 cm, lebar terbesar 2 cm, dan ketebalan maksimum 0,5 cm. Mata tajamnya berada pada sisi yang cembung. Dapat dipastikan benda besi ini merupakan bekal kubur.
Di lokasi KQ-273, Pasir Panyandakan, ditemukan beberapa senjata besi melengkung bersamaan dengan ujung anak panah obsidian yang sudah aus, pecahan tembikar, dan beberapa fragmen perunggu. Salah satu dari bilah ini sekarang disimpan di Museum Batavia.
Kira-kira begitu ringkasan isi dari tulisan Werner Rothpletz yang sebetulnya sangat rinci, terutama dalam menjelaskan aspek-aspek yang berhubungan dengan setiap kategori benda temuannya, termasuk dengan menggunakan banyak referensi yang membahas temuan-temuan sejenis dari banyak wilayah lain, baik di Indonesia maupun dari kawasan Asia Tenggara.
Menambahkan informasi lokasi temuan artefak kuno di Bandung Utara dari Rothpletz ini, ada tulisan lain yang berasal dari tahun 1935, yaitu karya G.H.R. von Koenigswald yang diberi judl “Das Neolithicum der Umgebung von Bandoeng” dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde nomor 75. Kira-kira begini katanya: Di sebelah utara Bandung, kami menemukan situs-situs permukiman yang dicirikan oleh fragmen obsidian di suatu area yang terbatas yang secara kasar memiliki garis besar segitiga besar yang tidak sepenuhnya beraturan, yang dasarnya membentang di atas dataran tinggi antara Lembang dan area utara Ujungberung. Di area ini, terutama di puncak bukit, kami menemukan situs-situs permukiman. Situs-situs terbaik berada di sekitar Observatorium Lembang, Cikidang, Pagermanuk, Pakar, Dago, Negla, Lebaksiuh, Cilimus, Ciharalang, dan Bojongkoneng.
Tak terbayangkan betapa hidup dan kayanya kawasan ini dahulu. Sebagai kalangan awam, tak mudah membayangkan bagaimana manusia-manusia zaman dulu itu hidup sehari-hari. Bila sekarang ini kita mengunjungi semua nama tempat yang disebut oleh para peneliti ini, suasananya tentu sudah sangat jauh berbeda. Sebagian sudah menjadi permukiman padat tanpa jejak masa lalu, sebagian lagi sudah menjadi ladang-ladang. Mungkin beberapa jejak pola permukiman seperti yang digambarkan oleh Rothpletz masih dapat ditelusuri, tapi tentu perlu keterampilan seorang ahli untuk melakukannya agar tidak jadi mengarang bebas.
____________________________________________
Tulisan Garbi Cipta Perdana dimuat juga dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi “Purbawidya” Vol.9 (1), Juni 2020. Dokumen digitalnya bisa diunduh di sini atau di sini.
Ping balik: Dongeng Bandung #23c Mengenal Kawasan Peninggalan Kuno di Bandung – Bagian-2 | Dunia Aleut!
Ping balik: Dongeng Bandung #23b Mengenal Kawasan Peninggalan Kuno di Bandung – Bagian-1 | Dunia Aleut!
Ping balik: Dongeng Bandung #23a Riwayat (Sangat) Singkat Werner Rothpletz | Dunia Aleut!