Dongeng Bandung #18: Banjir Getih di Cimareme (1919)

Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng

Oleh Dongeng Bandung

Cimareme, 12 Agustus 1919. Suara zikir terdengar seperti gemuruh dari dalam rumah itu, makin lama makin keras. Sekejap kemudian gemuruh itu beradu dengan suara desingan peluru yang menembus pintu dan jendela. Di dalam, Haji Hasan tergeletak. Di kepalanya terlilit sebuah jimat — simbol keyakinan tak tergoyahkan seorang kiai dalam ‘perang suci’ melawan kolonial, tetapi tepat di titik itulah Haji Hasan tertembak. Peristiwa Cimareme 1919 adalah kisah tentang penolakan, keteguhan keberanian, dan ‘banjir getih’ yang menumpahkan darah Haji Hasan Arif dan para pengikutnya di Garut.

Dongeng Bandung yang biasanya dilaksanakan Sabtu sore mundur sehari, dikarenakan pendongeng kali ini mengisi waktu enam harinya dengan mengajar di dua sekolah. “Minggu saja agar lebih leluasa persiapannya,” katanya. Ini adalah kali pertama Sam, panggilan akrab kami untuk Fikri Mubarok Pamungkas, mengisi Dongeng Bandung. Meski terbiasa berbicara di depan banyak orang, ia mengaku tetap gugup dan degdegan saat akan mendongeng.

Kami para peserta yang berkumpul di Sekretariat Komunitas Aleut percaya Sam bisa mendongeng dengan lancar, selain bekal bacaan yang dibaca berulang, Sam juga punya pengalaman langsung di lapangan. Ya, sebelum memaparkan cerita kepada kami, Sam sudah lebih dulu berkunjung ke Cimareme, Garut. Selain itu, untuk mendukung kelancaran mendongeng, Sam sudah menyiapkan powerpoint yang menjadi panduan saat ia bercerita.

Haji Hasan Arif

Sebelum bercerita lebih jauh tentang Peristiwa Cimareme 1919, kita berkenalan terlebih dahulu dengan Haji Hasan Arif yang menjadi tokoh utama dalam kisah perlawanan ini.

Di Garut, nama Haji Hasan Arif diabadikan sebagai nama jalan yang membentang sepanjang ±15 km dari bundaran Jalan Merdeka hingga Leuwigoong. Namanya tetap diingat hingga saat ini. Hasan Arif adalah pemimpin Pesantren Cimareme. Ia masih keturunan bangsawan. Kakeknya, R. Kartaningrat, pernah bekerja di pemerintahan, namun memilih keluar karena tidak menyukai pemerintahan yang sewenang-wenang dan tidak memihak masyarakat kecil.

Ayah Kartaningrat adalah Bupati Garut, sedangkan ibunya yang bernama Gan Abiyem, meminta diceraikan karena tidak mau dimadu. Setelah bercerai, Gan Abiyem tinggal di Cimareme, sedangkan putranya, Kartaningrat, diserahkan kepada Syech H. Abdul Muchji di Pamijahan, Tasikmalaya, untuk belajar agama. Setelah menjadi seorang kiai, Kartaningrat mengganti namanya menjadi Kartanuddin dan kembali ke Cimareme. Di sini ia mendirikan sebuah pesantren. Salah satu putri Kartanuddin, Djamilah, menikah dengan seorang bangsawan dari Banten, Tubagus Alpani. Dari pasangan inilah lahir Hasan Arif.

Hasan Arif memiliki tanah yang cukup luas, sekitar 10 bau, yang diolah menjadi sawah dan ladang tembakau. Produksi tembakaunya dikenal cukup luas dengan sebutan Bako Cimareme. Selain itu memiliki kolam-kolam ikan yang dipanen setiap enam bulan, dan kebun kelapa dengan 500 pohon yang memberikan hasil setiap bulan. Kuda-kuda miliknya terkenal bagus, dan dari kegiatan berkudanya ia kenal dengan dokter hewan dari Bandung, Hubenet. Bupati Garut, Wiratanudatar, kadang-kadang membeli kuda dan tembakau darinya.

Pada masa remajanya, Hasan Arif dikirim ayahnya untuk belajar di pesantren Pamijahan, Tasikmalaya, mengikuti jejak kakeknya. Saat berusia 20 tahun, ia dipanggil kembali oleh ayahnya untuk memimpin Pesantren Cimareme dibantu oleh sahabat ayahnya H. Nur. Namun setelah ayahnya wafat, Pesantren Cimareme lebih banyak diurus oleh H Nur, sementara Hasan Arif fokus belajar ilmu kebatinan, kekebalan, dan kesaktian. Ilmu-ilmu ini diajarkan juga kepada murid-murid di pesantrennya, melengkapi pengajaran pencak silat yang diberikan oleh H. Makbul dari Rancabango.

Hasan Arif kemudian mendirikan kelompok pencak silat bernama “Gerak Cepat” yang dipimpin oleh H. Godjali dari Cikajang dan H. Sobandi dari Rancabango. Kedua tokoh silat ini kemudian hari menjadi menantunya. Selain itu, ia juga membentuk “Kumpulan Voetbal Merdeka Tani” yang dipimpin oleh Sukatma, Endi, dan Madris. Perkumpulan sepak bola ini cukup sering mengadakan pertandingan persahabatan ke bebagai daerah. Bagi Hasan Ari, selain mengaji, kegiatan-kegiatan fisik juga penting. Pesantrennya menjadi semakin populer, sehingga pada tahun 1912 jumlah santrinya sudah mencapai ribuan orang yang datang dari berbagai daerah.

Sedari kecil, Hasan Arif sudah memiliki rasa tidak simpatik terhadap pemerintahan kolonial. Ayahnya selalu mengingatkan untuk sedapatnya tidak bekerja sama dengan mereka. Pada satu waktu, Hasan Arif pernah terlibat dalam konflik Situ Cibudug. Ketika itu controleur Belanda mewajibkan penduduk Cimareme untuk kerja bakti membuat jalan antara Sindangkulon dan Cibudug. Proyek yang akan membendung sungai ini akan mengakibatkan saluran air ke sawah-sawah di Sukasari, Leuwigoong, dan Dungusiku, terputus dan menyebabkan kekeringan. Selain itu, sikap kasar dan semena-mena controleur terhadap warga Cimareme membuatnya meradang dan melakukan penentangan. Dalam konflik ini Hasan Arif sempat nyaris ditembak oleh controleur yang sudah naik pitam. Peristiwa ini mempertebal rasa antipatinya terhadap pemerintah Hindia Belanda. Ia bahkan pernah menolak surat keputusan (besluit) pemerintah Belanda yang mengangkatnya menjadi pemimpin agama (penghulu).

Latar Belakang Peristiwa Cimareme 1919

Peristiwa Cimareme terjadi di sebuah wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Sukasari, Kecamatan Banyuresmi (dahulu Cikendal), Garut, pada tahun 1919. Konflik utamanya berawal dari kebijakan pemerintah kolonial yang mewajibkan petani untuk menjual hasil panen padi mereka kepada pemerintah. Pemerintah kolonial secara signifikan menaikkan kuota wajib jual padi: dari yang sebelumnya hanya mewajibkan satu pikul padi untuk setiap satu bahu sawah, kini menjadi empat pikul padi untuk setiap satu bahu sawah, naik empat kali lipat. Kebijakan ini terasa sangat memberatkan, terutama karena saat itu sedang terjadi krisis ekonomi dan musim paceklik yang mengakibatkan hasil panen petani sangat sedikit. Sebenarnya, aturan baru penyetoran padi itu dapat saja dipenuhi oleh Hasan Arif yang memiliki sawah yang luas, namun bagi warga kebanyakan yang hanya punya sawah 200-300 bata, syarat itu sungguh sangat memberatkan dan mencekik mereka.

K.H. Hasan Arif menyatakan keberatannya, mula-mula kepada lurah yang kemudian meneruskannya kepada camat. Akhirnya camat sendiri yang datang menemui Hasan Arif untuk menyampaikan ulang peraturan baru itu. Hasan Arif tetap menolak hingga membuat camat bereaksi keras dan membentak. Pada saat ini, Hasan Arif sudah mulai merasakan situasi yang meruncing, namun ia tetap berusaha. Ia menghubungi Wedana Leles, namun tidak mendapat respon positif. Selanjutnya ia mengirim surat kepada Bupati Garut Surya Kertalegawa, isinya permintaan agar pemerintah Hindia Belanda mempertimbangkan usul masyarakat Cimareme agar menurunkan kewajiban setoran padi menjadi satu pikul per bahu.

Asisten Residen di Garut, L van Weeldern, yang merasa tersinggung atas penolakan Hasan Arif tersebut segera mengadakan pertemuan dengan Bupati Garut, Patih Suradihardja, dan Penghulu Rd. Moh. Tabri, dan mengatakan kepada mereka bahwa Hasan Arif telah melalukan penolakan atas peraturan baru dan itu artinya sudah melakukan pembangkangan terhadap pemerintah. Ia juga menghubungi Residen Jhr. L. de Steurs di Bandung dan mempersiapkan suatu tindakan kekerasan. Sebagai langkah awal diutus Wedana Leles untuk menemui Hasan Arif di Cimareme. Namun Hasan Arif tetap pada pendiriannya, bahkan ketika Wedana berkata keras dan mengancam bahwa Asisten Residen sendiri yang nanti akan datang ke Cimareme dan bahwa Hasan Arif dapat ditembak mati.

Wedana Leles yang marah itu akhirnya pergi tanpa pamit. Ia kemudian menulis laporan kepada Bupati Garut yang berisi berita bahwa H. Hasan Arif dari Desa Kendal akan berontak dan sudah melakukan berbagai persiapan senjata, kain putih, dan jimat-jimat. Surat laporan ini bertanggal 25 Juli 1919. Kain putih yang disiapkan itu adalah tanda yang bermakna jihad, yaitu bahwa mereka yang gugur dalam jihad sudah siap dengan kain kafan pembungkus jenazah. Artinya, sudah bertekad mati syahid.

Menghadapi situasi itu, Hasan Arif mengumpulkan para kerabat, teman-teman, dan warga yang tergabung dalam sebuah perkumpulan rahasia bernama Cirawa Rame untuk mempersiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Dalam situasi ini nama perkumpulan rahasia itu diubah menjadi Cimimiti Rame. Para cucu dan santri yang sudah remaja ikut membantu dengan berjaga-jaga. Beberapa orang kepercayaan seperti Atmaka, Haji Godjali, dan Haji Sayamsuri, ditugaskan untuk menyiapkan para pemuda dan berhasil mendatangkan bantuan tenaga dari para simpatisan yang datang dengan pimpinan para kyainya sendiri, antara lain Kyai Makmum dari Cirebon, Kyai Idrupai dari Manonjaya-Ciamis, Ajengan Yahya dari Karawang, Kyai Jarkasih dari Ciawi-Tasikmalaya, Ajengan Elim dari Limbangan, Kyai Moh. Enur dan Ajengan Moh. Suhaeri dari Bayongbong, Kyai Cipicung dari Godog, Bapak Irta dari Nangkapait, dan Kyai Makbul dari Rancabango. Hasan Arif dan seluruh simpatisan pendukungnya sudah siap menghadapi Perang Sabil.

Sementara itu, Asisten Residen sudah menetapkan akan datang langsung ke Cimareme pada tanggal 9 Agustus 1919. Pagi-pagi Bupati Garut bersama Asisten Residen sudah dalam perjalanan dari Garut menuju Cimareme berkendaraan mobil bersama Controleur dengan kawalan 27 anggota pasukan polisi yang dipimpin oleh seorang Komandan Detasemen.

Pagi itu juga Kampung Cimareme sudah dipenuhi oleh seluruh simpatisan Hasan Arif yang berbaju putih sambil menyandang senjata tajam. Mereka tersebar di mana-mana dalam formasi masing-masing.

Dua pal sebelum Kampung Cimareme, Wedana Leles dengan anak buahnya sudah bersiap dan bergabung dengan rombongan Asisten Residen. Di sini mereka menunggu kedatangan pasukan Veld Politie yang berjumlah 60 orang. Setelah semua pasukan bergabung, mereka pun berjalan menuju rumah Hasan Arif. Warga yang luar biasa banyaknya itu bersiap menghadapi kedatangan pasukan Belanda itu, setiap anggota Veld Politie dijagai oleh tiga orang warga. Sementara Hasan Arif yang berdiri di depan rumahnya dikawal oleh tiga orang pemuda, Wijatna, Suwardi, dan Nurhamid. Atmaka dan para kyai berdiri dan berjaga tidak jauh dari posisi Hasan Arif.

Mula-mula Asisten Residen bertanya kepada Hasan Arif, apa maksud begitu banyaknya orang berkumpul di Cimareme dan terutama di sekitar rumah Hasan Arif dan apakah benar mereka akan mengadakan Perang Sabil? Atmaka menjawab bahwa bila pemerintah akan menembak mati Hasan Arif yang tidak berdosa sebagai akibat penolakannya pada aturan pemerintah, maka itu sabil namanya. Atmaka lanjut bertanya apakah benar pemerintah akan menembak Hasan Arif dan kenapa pemerintah tidak mau mempertimbangkan keberatan-keberatan Hasan Arif? Asisten Residen menyangkal soal rencana menembak, lalu mundur. Berikutnya Penghulu yang maju dan mempertanyakan bukankah Perang Sabil itu adalah peperangan untuk membela agama? Dijawab oleh Hasan Arif, bahwa apabila masyarakat tani kekurangan pangan, maka mereka tidak akan tentram menjalankan agama, tidak dapat menjalakan ibadah dengan sempurna dala keadaan lapar dan berkekurangan. Jadi dalam makna itulah Perang Sabil dijalankan.

Suasana menjadi panas dan tegang. Selanjutnya sempat diadakan perundingan antara Asisten Residen dengan Hasan Arif sambil berdiri di depan rumah. Tidak terjadi kesepakatan. Asisten Residen hanya mengatakan akan mempertimbangkan lagi permintaan Hasan Arif dan memutuskan untuk membawa rombongannya meninggalkan Cimareme dan warga kembali ke tempatnya masing-masing.

Setelah itu Asisten Residen dan Bupati membuat laporan kepada pemerintah bahwa Haji Hasan Arif telah melakukan usaha melawan pemerintahan Hindia Belanda. Residen di Bandung pun segera menyiapkan dua kompi marsose atau pasukan angkatan darat yang didatangkan dari Cimahi. Tanggal 11 Agustus 1919 Residen dan pasukan marsose tiba di Garut. Hari berikutnya mereka ke Cimareme.

Banjir Getih di Cimareme 1919

Hari itu, 12 Agustus, suasana di Cimareme sudah kembali seperti biasa, tidak ada penjagaan apa-apa. Hasan Arif salah duga karena menyangka pasukan Belanda baru akan datang lagi paling cepat dua minggu lagi. Tiba-tiba saja sudah ada sekitar 300 orang marsose mendatangi Kampung Cimareme dan mengepung rumah Hasan Arif. Satu kompi melakukan razia ke daerah sekitar, semua pemuda ditangkap dan dikumpulkan di halaman rumah Hasan Arif.

Marsose yang mengepung rumah Hasan Arif berteriak-teriak menyuruh Hasan Arif keluar dari rumah dengan ancaman akan ditembak bila tidak menurut perintah. Selang satu jam setelah teriakan-teriakan menyuruh keluar, hanya anak-anak dan perempuan yang keluar dari rumah. Hasan Arif dan pengikutnya bertahan di dalam. Yang terdengar malah gemuruh suara berdzikir yang kian lama kian keras.

Tembakan peringatan pun diberondongkan ke arah atap rumah, bahkan berikutnya mengarah lebih rendah, tetapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya marsose merangsek maju dan mendobrak pintu rumah seraya memberondongkan tembakan ke arah orang-orang yang sedang berdzikir. Haji Hasan Arif termasuk yang terkena tembakan, tepat di kepala dan tewas seketika. Haji Bakar yang berusaha melakukan perlawanan juga ditembak mati. Begitu juga nasib Udin, Engko, dan Saedi, tewas ditembak saat berusaha melawan. Terhitung ada tujuh orang yang tertembak mati, dan puluhan orang terluka. Yang masih hidup ditangkap dan dirantai untuk dibawa ke Garut. Jenazah Haji Bakar dibawa oleh marsose entah ke mana dan sampai sekarang tidak diketahui lokasi makamnya. Atmaka saat itu dapat melarikan diri dari penangkapan.

Mereka yang ditangkap dan dibui di Garut ada sebanyak 33 orang dan baru disidangkan perkaranya setelah dua tahun kemudian, itu pun berkat upaya yang dilakukan oleh dua anak Hasan Arif, yaitu Nyi Julaiha dan Nyi Hj. Juhro yang datang sendiri ke istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor dan mendesak agar para tahanan dari Peristiwa Cimareme segera disidangkan. Desakan ini disertai dengan kesanggupan untuk ditembak mati bila permintaan mereka tidak dipenuhi.

Sejak Peristiwa Cimareme, Pemerintah Hindia Belanda terus melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diurigai memiliki keterkaitan dengan Hasan Arif, terutama orang-orang Sarekat Islam Afdeling-B yang diduga memiliki hubungan kuat. Dari mereka yang tertangkap ditemukan pakaian putih dan jimat-jimat, serupa dengan yang ditemukan di Cimareme. Namun sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara peristiwa Cimareme dengan Sarekat Islam Afdeling-B, persamaan mereka hanyalah dalam penggunaan kekerasan dalam menentang pemerintah kolonial. Kenyataan ini tertuang pula dala surat Residen Priangan Timur, de Steurs, kepada Gubernur Jenderal van Limburg Stirum yang menyatakan bahwa Pemberontakan Haji Hasan Arif dan Gerakan Sarekat Isla Afdeling-B tidak boleh disamakan. Masing-masing mereka berdiri sendiri.

Hasil dari persidangan terhadap ke-33 tahanan itu: Haji Godjali (menantu Hasan Arif) dibuang untuk 15 tahun ke Pulau Ai, namun sampai sekarang tidak ada lagi kabarnya. Atmaka dan lima orang lainnya dibuang ke Sawahlunto untuk lima tahun. Haji Syamsuri dan Ijiguna dihukum penjara lima tahun di Glodok, Angga dan dua orang lain dipenjarakan di Medan untuk tiga tahun, Haji Ahmad bersama sepuluh orang lainnya dipenjara di Jember untuk dua tahun, dan Mas’an bersama sembilan orang lainnya dipenjara di Garut untuk dua tahun.

Masjid Cimareme dan Gerbang Makam K.H. Hasan Arif
Makam Haji Hasan Arif di Rawa Gabus. Dulu dan sekarang.

Hari Minggu lalu, tim Dongeng Bandung dan beberapa peserta kegiatan Dongeng Bandung mengadakan kegiatan momotoran menyambangi langsung lokasi terjadinya Peristiwa Cimareme 1919. Haji Hasan Arif yang gugur dalam peristiwa itu dimakamkan di Rawa Gabus, lokasinya tidak jauh dari lokasi pesantren. Area makam di Rawa Gabus terletak ke arah selatan dari pesantren dan sedikit menanjak di pegunungan. Masjid di pesantrennya masih aktif hingga sekarang. Di samping masjid tersebut, terdapat sebuah yayasan yang kini dikelola oleh keturunan Kiai Haji Hasan Arif. Sebagai penghormatan kepada Hasan Arif, sebuah ruas jalan sepanjang 15 kilometer antara Leuwigoong sampai Jalan Merdeka, Garut, diberi nama Jalan Haji Hasan Arif. ***

Sumber cerita:

Haji Hasan Arif; Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Sutrisno Kutoyo. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1983/1984.

Peristlwa Cimareme Tahun 1919; Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi. Chusnul Hayati. Penerbit Mimbar, Yayasan Adikarya Ikapi, The Ford Foundation, 2000.

Foto: Sutrisno Kutoyo, Komunitas Aleut.

Tinggalkan komentar