Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-3)

Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng

Dongeng Bandung

6 _____________________

Ada dua pengalaman pada masa awal di Wanadri yang sering diceritakan ulang oleh berbagai media, yaitu pertemuannya dengan Sarwo Edhie, pensiunan jenderal mantan komandan RPKAD yang pasca Peristiwa 1965 – 4 Oktober – memimpin penggalian jenazah para jenderal dari sumur di Lubang Buaya dan selanjutnya bertugas melakukan penumpasan eks-PKI. Pertemuan pertama dengan Sarwo Edhie terjadi pada tahun 1981 ketika itu Ilham merupakan salah satu kader yang baru lulus dan sedang mengikuti pelantikan anggota baru Wanadri. Sarwo Edhie yang bertindak sebagai inspektur upacara sudah mengetahui keberadaan Ilham di baris kedua. Ia menepuk bahu Ilham, mengamati nametag-nya, lalu memeluknya sambil menyampaikan ucapan selamat.

Pertemuan kedua berlangsung tahun 1983, juga di Tangkubanparahu dan dalam kegiatan yang sama, namun kali ini Ilham Aidit sudah menjadi komandan operasi. Sebelum upacara berlangsung pukul 07.00, Sarwo Edhie memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke sebuah tebing di bibir Kawah Upas. Dengan suara bergetar, Sarwo Edhie menyampaikan pengakuan bahwa apa yang dilakukannya dahulu adalah salah. Ia juga mengatakan bahwa pada waktu yang lampau itu ia merasa benar dan melaksanakan tugas sesuai perintah, namun kemudian hari ia mulai menyadari kesalahannya. Seperti tiga tahun lalu, mereka pun bersalaman dan berpelukan.

Setelah menceritakan ulang peristiwa di atas, Ilham mengatakan bahwa seharusnya Sarwo Edhie, yang konsisten menyebut negara, tidak membuat pengakuan hanya kepadanya pribadi, melainkan seharusnya dilakukan di depan umum kepada para korban dan bukan anak korban, walaupun sebenarnya sama-sama korban karena menerima dampaknya. Setelah dua pertemuan dan pengakuan dari Sarwo Edhie itu, ternyata hidup tidak jadi lebih mudah juga. Apalagi pada masa itu – dimulai pada tahun 1982 – ada  program bersih lingkungan atau biasa disebut skrining yang dilaksanakan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) terhadap orang-orang yang dicurigai punya keterhubungan dengan PKI, termasuk para kerabatnya.

Iwan Aidit termasuk korbannya, pada tahun 1987 dia dikeluarkan dari kantor tempatnya bekerja. Sebenarnya tidak secara langsung dikeluarkan, karena masih tetap melanjutkan bekerja untuk beberapa waktu, tapi tidak di kantor, melainkan di rumah. Iwan lalu memutuskan pergi ke Amerika Serikat, dan tahun 1992 pindah ke Kanada dan menetap di sana sampai sekarang. Ketika berada di Amerika Serikat, Iwan sempat mengontak Ilham dan menawarkan untuk melanjutkan pendidikan di sana, namun Ilham memilih untuk tetap tinggal di Indonesia menghadapi semua yang harus dia hadapi.

Setelah lulus dari Arsitektur Unpar tahun 1987, Ilham juga merasakan ketidaknyamanan bekerja, sehingga ia selalu berpindah-pindah. Tahun 1992 ia membuka usaha sendiri di bidang arsitektur. Setelah ini Ilham sempat beberapa kali pindah, termasuk tinggal selama 11 tahun di Bali, sebelum akhirnya pada tahun 2005 kembali dan menetap di Bandung sampai sekarang.

7 _____________________

“Kenapa saya?”

“Saya ini lebih beruntung dibanding banyak orang-orang lain yang nasibnya jauh lebih buruk”

Itulah kalimat pertama yang muncul dari Ilham Aidit saat tiba di sekretariat Komunitas Aleut, bahkan sebelum perkenalan dengan para hadirin dimulai. Setelah acara selesai dan Ilham pamit pergi untuk keperluan lain, hampir semua kami yang hadir masih tinggal di tempat dan melanjutkan berdiskusi. Menjadi cukup jelas apa yang dikatakannya pada awal kedatangannya, ia masih lebih beruntung. Di luar sana, ada jauh lebih banyak orang yang sepengalaman dengannya, tapi nasibnya jauh lebih buruk, jangankan sekadar minta perhatian, untuk sekadar bersuara pun mereka tidak mempunyai ruang dan kesempatannya.

Sambil bergegas hendak segera pergi, Ilham masih menyempatkan diri menjawab pertanyaan terakhir, apa yang membanggakan dari ayahnya, DN Aidit, yang hanya dikenalnya dalam waktu yang singkat di masa kecilnya?

Saya hidup di masa DN Aidit sedang jaya, saya melihat sendiri gestur dan ekspresinya saat dia merasa benar dan pasti akan menang, dalam artian yang luas. Tapi yang paling membuat saya dan kakak-kakak saya merasa sangat senang adalah bahwa sesibuk-sibuknya dia, setiap weekend dia selalu bisa bersama kita. Saya lihat sendiri betapa sibuknya dia, kadang jam tiga pagi masih di ruang kerjanya dan pagi hari sudah pergi lagi. Dia selalu sangat menikmati jalan-jalan bersama istri dan anak-anaknya, ke Cilingcing, atau sebulan sekali ke Pelabuhanratu. Kita merasa dia betul-betul hadir. Padahal saat itu sedang mengalami banyak “pertempuran”. Setiap ketemu saya, dia tidak pernah berlalu begitu saja, selalu membopong, mengangkat saya. Begitulah sekelumit cerita yang kami dapatkan dari Ilham Aidit sore hari ini. Bagian-bagian yang tidak utuh, kami lengkapi dengan menambahkan keterangan dari beberapa buku yang sudah disebutkan di atas. Sebenarnya, masih ada beberapa pertanyaan lain seputar pengalaman hidupnya yang tidak sempat tersampaikan, tapi waktunya tidak terlalu leluasa. Untuk penutup, kami salinkan potongan pidato Dolores Ibarruri yang dikutip oleh Goenawan Mohamad untuk Pengantar buku Ibarruri Putri Alam.

 … bila kenangan tentang hari-hari sedih dan berdarah

luruh di tengah suasana merdeka, damai dan

sejahtera, ketika sakit hatl telah lenyap dan rasa

bangga akan sebuah negeri yang bebas dirasakan

semua orang Spanyol, bicaralah kepada anak-anak kallan.

Dolores lbarruri, di Barcelona, 1 November 1938

Bagian-1

Bagian-2

2 pemikiran pada “Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-3)

  1. Ping balik: Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-1) | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-2) | Dunia Aleut!

Tinggalkan komentar