Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-2)

Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng

Dongeng Bandung

3 _____________________

Tahun 1951 Aidit menjadi Ketua Comite Central PKI dan banyak bepergian ke luar negeri menghadiri rapat-rapat internasional komunis. Tahun 1955 PKI menjadi partai terbesar ke-4 di Indonesia, di bawah PNI, Masjumi, dan Nahdlatul Ulama. Sebagai partai komunis, merupakan salah satu yang terbesar di dunia, di bawah Rusia dan China. Aidit terus berada di puncak kekuasaan partai sampai terjadinya Gerakan 30 September pada tahun 1965. Apa peran Aidit dalam peristiwa ini, ada banyak sekali versi dan dugaannya, bahkan sampai sekarang pun masih terus ada kajian baru tentang hal ini.

Malam itu, 30 September, Ilham masih mengingat bagaimana orang tuanya bertengkar saat ada beberapa orang yang mendatangi rumah mereka untuk menjemput ayahnya. Ilham yang masih belum tertidur mendengar suara mobil jeep di halaman rumah, lalu suara pintu dibuka, kemudian suara ibunya yang bernada marah. Ilham yang penasaran mengintip dari ruang tengah, dilihatnya dua orang berseragam warna biru. Setelah itu, dari kamar orang tuanya terdengar suara pertengkaran. Terdengar suara ibunya berusaha mencegah kepergian ayahnya mengikuti orang berseragam itu. Aidit tetap pergi, diciumnya kening istrinya, lalu diangkatnya Ilham dan mengusap rambutnya. Sejak itu DN Aidit tidak pernah kembali lagi, tidak ada yang tahu kabarnya.

Konon yang datang menjemput Aidit malam itu adalah Mayor Udara Sujono dengan tujuan membawanya ke rumah Kepala Biro Chusus Central PKI, Sjam Kamaruzaman, di Salemba. Biro khusus ini dibentuk Aidit secara rahasia dengan misi melakukan penyusupan ke tubuh TNI. Di rumah Sjam, Aidit minta disiapkan sebuah pesawat untuk membawanya ke Yogyakarta. Di sana ia akan mempersiapkan pemindahan Dewan Revolusi dan membangun kekuatan untuk mendirikan pemerintahan tandingan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kisah ini tertulis dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965 karya Victor M. Fic (Yayasan Obor Indonesa, 2007). Tapi ini bukan kisah satu-satunya, karena ada surat Aidit ke Sukarno yang ditulis di Blitar dengan tanggal 6 Oktober 1965 yang isinya berbeda, yaitu bahwa ia dijemput oleh Cakrabirawa dan dibawa ke sebuah rumah kecil di Halim Perdanakusuma dan di situ diberi tahu tentang rencana penangkapan anggota Dewan Jenderal.

Setelah itu, diceritakan bahwa Aidit ditangkap di tempat persembunyiannya di sebuah rumah di Desa Sambeng, Solo, pada 22 November 1965. Di ruang tengah rumah ini terdapat sebuah lemari yang ternyata memiliki pintu ganda. Pada sisi dalam lemari terdapat kapstok dan baju-baju tergantung, di balik kapstok inilah terdapat dinding dan di baliknya ada ruangan lain tempat bersembunyi. Penangkapan dilakukan oleh Mayor Moes Subagio yang bertugas dalam pasukan di bawah koordinasi Kolonel Yasir Hadibroto. Sehari setelah penangkapan itu, Aidit menulis sebuah dokumen sepanjang 50 halaman yang disebut dalam bukunya Fic sebagai dokumen “pengakuan.” Konon ada foto ketika Aidit menandatangani dokumen tersebut, dan ketika ia diminta menutup mata setelahnya. Pada saat itulah Aidit ditembak mati atas perintah Kolonel Yasir.

Sama seperti detail-detail lainnya, cerita ini pun tidak tunggal. Dalam Dua Wajah Dipa Nusantara, dikisahkan seorang bernama Tamam Saemuri, kelahiran 1936, yang pernah bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi pada tahun 1965. Katanya, dalam pertemuan di Pendopo Kabupaten tersebut, Yasir mengumumkan bahwa pasukannya telah menembak mati Aidit pada suatu dini hari. Jam tangan yang dikenakannya ditunjukkan sebagai milik Aidit, dan cara eksekusinya dengan berondongan peluru dari senapan AK sampai habis satu magasin. Cerita yang beredar menyebutkan bahwa Aidit dieksekusi di gedung Sekolah Pendidikan Guru Boyolali yang di sekitar 1965 digunakan sebagai kamp tahanan para anggota PKI sebelum dieksekusi. Kemudian jenazah Aidit dimasukkan ke dalam sumur tua di belakang markas Batalyon 444 – ketika itu merupakan kesatuan tentara prokomunis yang dikomandani oleh Letkol Untung Syamsuri. Belakangan lahan ini digunakan untuk mes pegawai Kodim Boyolali.

Bertahun-tahun Ilham melakukan pencarian lokasi makam ayahnya. Informasi yang dimilikinya hanya dari berita koran bahwa Aidit ditembak mati di Boyolali. Akhirnya tahun 2003 ia ke Boyolali dan berhasil menemukannya dengan bantuan dari kelompok LSM setempat. Kepada Majalah Tempo dikatakannya, “Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya.”

Repro dari buku Aidit; Dua Wajah Dipa Nusantara. Seri Buku Tempo. KPG, Jakarta, 2010.

4 _____________________

Tiga hari setelah kepergian Aidit, Soetanti pun menghilang tanpa kabar. Di rumah tinggallah tiga kakak-beradik Ilham, Irfan, dan Iwan, bersama kakeknya, Abdullah, Murad, adik DN Aidit, dua pembantu dan keluarga dari Belitung. Abdullah saat itu sudah pindah dari Belitung ke Jakarta karena tugasnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sehari setelah penjemputan Aidit, ada sekelompok massa datang sambil berteriak-teriak dan melempari rumah mereka.

Belakangan diketahui Soetanti ternyata menyusul Aidit ke Boyolali. Tak ada hasil, Soetanti bersama Bupati Boyolali yang juga tokoh PKI ke Jakarta dan menyamar sebagai suami-isteri. Mereka mengontrak rumah di Cireundeu dan mengangkat dua orang anak sebagai anak angkat. Penyamaran ini berjalan beberapa bulan, tapi kemudian ketahuan dan mereka ditangkap. Sejak itu Soetanti hidup dalam penjara sampai pembebasannya pada tahun 1980. Setelah beberapa kali pindah penjara yang terlama dan terakhir adalah di Bukit Duri selama sebelas tahun. Selepas dari penjara, Soetanti tinggal di Pondok Gede dan kembali membuka praktik dokter.

Tidak banyak yang dapat ditelusuri mengenai keadaan Soetanti dan hubungannya dengan anak-anaknya selepas dari penjara. Beberapa tulisan menyebutkan bahwa Iwan, Ilham, dan Irfan memang bertemu atau berkumpul kembali dengan Soetanti, tapi tidak ada kisah lebih lanjut. Yang agak jelas adalah bahwa Soetanti kemudian wafat pada tahun 1991 setelah sakit-sakitan cukup lama. Ilham pun baru dapat melakukan kontak pertama dengan Ibarruri pada tahun 1992, ketika itu Ibarurri dan Ilya tinggal di Perancis.

5 _____________________

Setelah malam 30 September yang kelam itu, Ilham, Irfan, dan Iwan abang mereka dijemput oleh adik ibu mereka, Om Bayi, yang saat itu merupakan direktur perusahaan Djakarta Lloyd, dan dibawa ke rumahnya di Kebayoran. Dari sana, kemudian ketiga anak itu dipindahkan ke rumah adik ibu lainnya, Paul Mulyana, di Bandung. Di sini tidak lama, karena Om Paul harus ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Mereka pindah lagi ke rumah saudara lainnya, Yohanes Mulyana.

Di rumah terakhir ini mereka pernah didatangi empat orang petugas yang membawa senjata. Kepada Yohanes mereka menanyakan keberadaan anak-anak DN Aidit. Kepada mereka ditunjukkan Ilham dan Irfan yang tengah bermain kelereng. Kedua anak yang masih berusia sembilan tahun itu gemetaran melihat ada dua petugas menghampiri dengan pistol di tangan. Sebaliknya, mengetahui bahwa anak-anak DN Aidit itu masih kecil-kecil, kedua petugas itu menyarungkan pistolnya dan pergi.

Di rumah Yohanes ketiga anak DN Aidit tinggal selama sepuluh tahun. Setelah menempuh pendidikan dasar di SD Cikini, Jakarta, di Bandung mereka bersekolah di SMP Aloysius. Hingga masa remajanya, mereka sering mendapatkan bully dari teman-temannya karena mengetahui bahwa mereka adalah anak gembong PKI. Tak jarang Ilham harus berkelahi dengan para pembullynya. Bully yang berlanjut dengan perkelahian terjadi juga saat Ilham bersekolah di SMA Kanisius di Jakarta, bahkan bisa sampai 2 kali dalam seminggunya. Di luar soal bully, pendidikannya berjalan baik, bahkan selalu masuk dalam ranking tinggi di kelas.

Dari seorang rohaniawan Katolik, MAW Brouwer, Ilham mengetahui bahwa ada cerita versi lain berkenaan dengan peristiwa 30 September. Ia juga mendapatkan nasihat agar bersabar dan fokus saja sekolah setinggi-tingginya agar mendapatkan hidup yang lebih baik. Nasihat ini benar-benar selalu diingatnya dan selalu jadi panduan dalam menjalani hidup berikutnya.

Usai pendidikan menengahnya di Jakarta, Ilham kembali ke Bandung untuk kuliah di Jurusan Arsitektur di Universitas Parahyangan, sedangkan Irfan melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Iwan saat itu sudah tingkat lanjut di ITB Bandung sambil aktif berkegiatan di alam terbuka dalam perhimpunan penembuh rimba dan gunung Wanadri. Dan memang dari Iwanlah inspirasi untuk aktif dalam kegiatan alam bebas didapatkan oleh Ilham, ia pun mengikuti jejak abangnya bergabung dengan Wanadri. Angkatan Ilham di Wanadri adalah Kabut Rimba. Aktif dalam kegiatan alam bebas yang melelahkan fisik ternyata dapat membantu menyalurkan ketegangan fisik dan mengubahnya menjadi ketegangan psikis. Di gunung ia merasakan kebebasan, kelegaan.

Walaupun sudah mendaki gunung sejak masih di SMP, tapi di Wanadrilah Ilham mulai belajar mendaki dengan benar dan mulai intensif melakukan pendakian gunung. Sudah 46 gunung di Jawa yang didakinya, 4 kali mendaki Semeru, dan 32 kali mendaki Gunung Gede! Dalam rangka kegiatan gunung, Ilham juga jadi banyak mengunjungi desa-desa di pelosok, jadi lebih kenal lingkungan alam dan manusia di daerah-daerah terpencil, dan ini menumbuhkan kecintaan mendalam terhadap tanah air. Satu hal yang selalu diingatnya adalah kutipan kalimat dari Bapak Pandu dunia, Lord Baden Powell: bergiatlah di alam terbuka sebanyak-banyaknya, itu akan menumbuhkan rasa cinta tanah air yang kuat.

Bagian-3

Bagian-1

2 pemikiran pada “Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-2)

  1. Ping balik: Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-1) | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-3) | Dunia Aleut!

Tinggalkan komentar