Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng
Dongeng Bandung
Mendadak ribut: lengking kelopak burung, jerit daun jatuh, gemuruh batu menahan air kali, teriak mereka yang masih terpisah dari kita. Hutan semakin merah oleh sore hari. Tak kaudengar aku memanggil namamu ketika kau bersorak dan tercebur dalam tamasya itu.
Sewaktu angin bertiup dari arah malam, suara-suara mereda bagai bulu burung, daun, dan lembar rambutmu yang lepas lalu hanyut di air kali. Kalau malam tiba nanti, siapa akan menuduh bahwa aku telah membunuhmu?*
Sapardi Djoko Damono
1 _____________________
Cerita hari ini menyeruak dari balik kabut yang tebal, lebih tebal dari kabut perkebunan Cibuni yang kami lewati beberapa waktu lalu. Saat itu, lampu motor-motor kami tidak mampu menembusnya, bahkan untuk jarak yang kurang dari satu meter.
Tapi, betapa pun tebalnya kabut Cibuni, kami tahu ada waktunya ia pergi lalu menampakkan apa yang ada di baliknya. Pepohonan teh yang berdiri teratur, menghampar bergelombang mengikuti bentuk bumi. Di ruas jalan lurus Cibuni yang pendek, di sisi kiri dan kanan jalan yang tidak terlalu lebar itu berbaris pepohonan tinggi menjulang. Entah pohon apa namanya, batangnya tegak lurus, dedaunannya ada di ketinggian. Dari kejauhan kami dapat melihat rumah-rumah pegawai perkebunan, biru-putih. Berjajar, rapi. Kadang satu-dua ekor elang terbang tinggi-rendah di atas langit.
Kabut hari ini bukan hanya tebal, tapi juga berlapis-lapis, dan tak pernah menampakkan dengan jelas apa yang ada di baliknya. Sudah 60 tahun berlalu, situasinya masih seperti itu. Dari sebuah lingkungan yang berkabut tebal itu, datang seorang kawan ke tengah kami, bercerita sedikit tentang hal-hal yang buram itu. Namanya Ilham Aidit. Sebelumnya, entah sudah berapa puluh tahun ia menyembunyikan nama belakangnya itu. Musababnya, ayahnya, DN Aidit, adalah Ketua PKI yang dikaitkan erat dengan peristiwa G30S tahun 1965.
2 _____________________
Ilham lahir kembar bersama Irfan, di Moskow pada 18 Mei 1959. Ketika itu Ibu mereka, Soetanti, sedang menempuh pendidikan lanjutan kedokteran bidang kardiologi di Moskow. Dari tiga anak pasangan Soetanti dan DN Aidit, hanya anak sulungnya saja, Ibarruri Putri Alam, yang dibawa serta ke Moskow karena memang akan disekolahkan di sana. Ilya, anak nomor dua, baru menyusul setahun berikutnya, ketika usianya baru delapan tahun. Kemudian hari Soetanti melanjutkan pendidikannya ke Korea dan mendalami ilmu tusuk jarum atau akupunktur, hingga menjadi dokter ahli akupunktur pertama di Indonesia.

Dalam buku memoarnya yang berjudul sama dengan namanya, Ibarruri Putri Alam menuliskan, adalah seorang wartawan koran partai “Pravda” bernama Olga Cecotkina, yang memberi saran kepada Aidit agar menyekolahkan anak-anaknya di Moskow. Mengenai hal ini, Ilham bilang bahwa sekolah ke luar negeri itu prioritasnya hanya untuk anak perempuan, dan tidak untuk anak laki-laki. Kenyataannya, menurut Ibarruri, Iwan memang malah dikirim ke Belitung untuk tinggal bersama kakeknya, Abdullah Aidit, dan DN Aidit tinggal sendirian di Jakarta.
Majalah Tempo pernah menurunkan edisi khusus tentang DN Aidit. Edisi ini kemudian dibukukan oleh Seri Buku TEMPO dengan judul Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (KPG, 2010). Dari sini kami dapatkan banyak informasi seputar keluarga Aidit. Keluarga Aidit memang berasal dari Belitung. Nama Aidit dimulai dari kakeknya, Abdullah Aidit, seorang mantri kehutanan. Ayah Abdullah adalah Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang memiliki banyak tempat penangkapan ikan di laut dan menjadi pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar saat itu.
Abdullah lalu menikah dengan Mailan, putri seorang ningrat Belitung, Kiagus Haji Rachman, seorang tuan tanah yang ayahnya adalah pendiri Kampung Batu Itam di pesisir barat Belitung dan di sebelah utara Tanjungpandan. Dari perkawinan pasangan Abdullah dan Mailan ini lahir empat orang anak laki-laki: Achmad, Basri, Ibrahim yang meninggal saat lahir, dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Marisah dan dari pasangan ini lahirlah Sobron dan Asahan. Marisah sebelumnya sudah memiliki dua anak dari suami sebelumnya, Rosiah dan Mohamad Thalib. Keenam orang anak langsung Abdullah masing-masing menyandang nama Aidit sebagai nama keluarga.
Achmad Aidit, anak tertua Abdullah, kemudian hari mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara (DN) Aidit, saat ia aktif dalam kegiatan politik di Pulau Jawa. Untuk mengubah namanya, Achmad berkirim surat kepada ayahnya untuk mohon izin. Namun prosesnya tidak mudah, karena nama Achmad Aidit saat itu sudah tercantum dalam slip gaji Abdullah sebagai anak sulungnya. Ibarruri mendengar cerita ini dari (AM) Hanafi yang konon meminta agar Achmad Aidit mau mengubah namanya karena di dalam kelompok mereka saat itu ada empat orang dengan nama Achmad. Ibarruri juga menambahkan bahwa orang tua mereka menamai semua anaknya dengan awalan huruf “I” yang diambil dari “Indonesia.”
DN Aidit dan Soetanti menikah secara Islam pada awal tahun 1948 di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo yang juga bertindak sebagai penghulu. Pasangan ini melahirkan anak-anak: Ibarruri Putri Alam (1949), Ilya Aidit (1951), Iwan Aidit (1952), Ilham Aidit (1959), dan Irfan Aidit (1959). Dari kelima anak DN Aidit dan Soetanti ini, tiga di antaranya sudah tinggal di luar negeri dan menjadi WNA. Ibarurri dan Ilya di Perancis, dan Iwan di Kanada. Irfan yang sebelumnya tinggal di Cimahi sudah wafat beberapa waktu lalu karena sakit, dan tinggallah Ilham yang menetap di Kota Bandung.
Ayah Soetanti bernama Moedigdo, putra pertama Bupati Tuban, Koesoemodigdo. Ibunya, Siti Aminah, putri seorang ningrat Minang (h-6-7) dan merupakan teman sekolah Sjahrir. Mudigdo masih bersepupu dengan RM Soesalit Djojoadiningrat, putra tunggal RA Kartini (h-8). RM Soesalit yang membiayai Soetanti untuk sekolah kedokteran hinga menjadi dokter ahli akupunktur pertama di Indonesia. Sedikit mengenai Soesalit, kami ambil ringkasan informasinya dari tirto.id. Soesalit berlatar pendidikan hukum di Rechthoogeschool Batavia walaupun tidak sampai selesai, setelah itu sempat bertugas di Dinas Polisi Rahasia Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst – PID) untuk memata-matai pergerakan nasional, lalu bergabung dengan PETA pada masa Jepang sampai tingkat daidancho atau komandan batalyon di Sumpiuh, Banyumas.
Pada periode 1946-1948 Soesalit menjadi Panglima Divisi III Diponegoro dan Panglima Divisi I Diponegoro yang merupakan gabungan Divisi II dan III Diponegoro. Ia memiliki kedekatan dengan golongan kiri. Pada tahun 1948 itu juga, sepupunya Moedigdo – saat itu menjabat sebagai komisaris polisi – yang merupakan ayah dari Soetanti, dihukum mati karena keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun. Soesalit sendiri yang saat itu sudah berpangkat Jenderal Mayor, diamankan sebagai tahanan rumah di istana Gedung Agung Yogyakarta. Walaupun tidak mendapatkan tugas, Soesalit masih ikut bergerilya melawan Belanda. Ia wafat pada 17 Maret 1962.
Ping balik: Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-2) | Dunia Aleut!
Ping balik: Dongeng Bandung #15 Ilham dari Bandung (Bagian-3) | Dunia Aleut!