Dongeng Bandung: Kuliner Sunda Zaman Pajajaran (Bagian-2)

Oleh Ojel S.Y.

Bagian Pertama

Tuak, Susu, dan Kejo

Di samping jenis-jenis kaolahan, SSKK juga memuat kata tuak, hanaang (haus), nyatu (makan), dan ponyo (lapar). Berikut bunyi teksnya: “Jaga urang héés tamba tunduh, nginum tuak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah kajongjongan teuing”(Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah terlalu berlebih-lebihan).[28] Tuak adalah minuman beralkohol yang lazim dikonsumsi dan diproduksi oleh masyarakat Nusantara. Kakawin Desawarnana (atau Nagarakretagama) karya Mpu Prapanca (1365 M) menuturkan bahwa ada dua jenis tuak: twak nyu (tuak dari air kelapa) dan twak siwalan atau twak tal (tuak dari air tal/siwalan).

Itu tuak, bagaimana dengan susu? Naskah Sunda Kuno yang mencatat kata susu sejauh ini hanya Carita Parahiyangan. Disebutkan dalam naskah tersebut bahwa: “Prebu Ratu Dewata, inya nu surup ka sawah Tampiandalem. Lumaku ngarajaresi, tapa pwa(h) susu” (Prabu Ratudewata, yaitu yang surup ke sawah Tampiandalem. Menjalankan kehidupan seperti rajaresi, tapa pwah susu).[29] Kiranya tapa pwah susu kemungkinan bermakna bertapa hanya dengan mengonsumsi susu saja. Kaitan susu dengan praktik ritual dalam agama Hindu bisa kita saksikan pada Prasasti Trailokyapuri (1048 Saka) zaman Jawa Kuno.[30] Prasasti tersebut menyebutkan seruan Brahmaraja Sri Ganggadara kepada agamawan untuk melakukan upacara caru kepada Dewi Durga. Caru merupakan sesaji berupa nasi yang ditanak dalam belanga (dyun), kadang dicampur daging, sayuran, susu, dan rumput kusa.

Pertanyaan selanjutnya: susu apakah yang dimaksud? Kemungkinan besar adalah susu kerbau atau susu kambing. Apakah susu ini hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas seperti agamawan dan bangsawan—selain untuk sesaji—atau juga diminum oleh masyarakat berkasta rendah? Ma Huan, di Pasai tahun 1405, menyaksikan bahwa di Pasai (Samudera Pasai), ujung barat Sumatera, adanya susu dan keju. Di Pasai, tulisnya, “Banyak yang memelihara lembu kuning. Susu dan keju banyak dijual. Kambingnya berbulu hitam, tiada yang putih.” Bisa jadi susu di Pasai tersebut dari lembu (sapi) dan/atau kambing. Tentang keju? Apakah keju ini dibawa oleh orang Timur Tengah yang sejak abad ke-13 sudah berkoloni di pantai-pantai Sumatera, mengingat tahun 1405 kapal Portugis pun belum mendarat di Sumatera?

Semua jenis makanan yang telah disebutkan di atas kiranya tidak akan bermakna jika tak ada sumber karbohidrat yang disebut nasi. Sebagai pemuja Pwahaci Sanghyang Sri (Dewi Sri), masyarakat Sunda takkan bisa hidup tanpa makanan pokok satu ini. Kawih Paningkes, naskah Sunda Kuno lainnya, menuturkan: “Upamana aing nyatu / ngahareupan kejo pulen / lauk bincu luak herang (Umpamanya saya makan / menghadap nasi pulen / ikan bincu air [tuak?] bening).

Becermin ke Prasasti dan Relief Jawa Kuno

Bagaimana dengan liwet? Lantas, apakah dulu orang Sunda juga mengonsumsi cukup daging hewan-hewan besar? Jika iya, makan daging babi dan anjingkah juga orang Sunda zaman dulu sebelum memeluk Islam? Bukankah dalam legenda Tangkuban Parahu dikisahkan Sangkuriang membunuh anjing Si Tumang untuk diambil hatinya dan diserahkan kepada Dayang Sumbi? Dalam kisah pantun Banyak Catra (Babad Pasir Luhur) pun, Adipati Kanda Daha memakan hati anjing yang dikira hati Banyak Catra (Arya Kamandaka), saking marahnya.

Naskah-naskah Sunda Kuno memang tidak memberikan keterangan apa pun mengenai hal tersebut—sejauh pengetahuan penulis. Untuk itu, kita harus menengok sumber-sumber primer dari zaman Jawa Kuno untuk mencari jawabannya, atau setidaknya petunjuk ke arah itu. Dalam hal tinggalan epigrafis (prasasti), arkeologis (relief candi), dan kesusastraan (kakawin), sumber-sumber Jawa Kuno lebih melimpah ketimbang sumber-sumber Sunda Kuno. Setidaknya, kita bisa menduga sementara bahwa apa yang dikonsumsi masyarakat Jawa Kuno dalam beberapa hal tak jauh beda dengan yang dikonsumsi masyarakat Sunda Kuno sezaman (sebelumnya pada uraian di atas sudah disisipkan sumber-sumber Jawa Kuno seperlunya).

Salah satu prasasti yang menunjukkan beberapa jenis makanan (bhoga) di zaman Jawa Kuno adalah Prasasti Waharu IV (tinulad, salinan). Prasasti yang dibuat pada 931 M ini, baris 5-6 lempeng II. b. berbunyi: “… wnaṅ amaṅana rājamaṅśa. badawaŋ. baniŋ. wdus guntiŋ. karuŋ puliḥ. karuŋ mati riŋ gantuṅan. asu tugĕl, taluwah …” (Boechari 1985/1986: 61). Penggalan isi prasasti ini menerangkan bahwa kepala sima (daerah yang dibebaspajakkan) berhak memakan makanan khusus yang biasa dimakan oleh raja (rājamaṅśa), yaitu kura-kura, penyu, kambing kendit (?), babi hutan, babi hutan yang mati di gantungan (yang mati terkena perangkap?), anjing yang dikebiri, dan jenis binatang piaraan (Darmosoetopo, 2003: 98). Beberapa hewan yang disebutkan dalam rājamaṅśa selalu diberikan kata tambahan berupa perlakuan terhadap hewan tersebut seperti guntiŋ, tugĕl, puliṅ, dan mati riŋ gantuṅan. Wḍus guntiŋ berarti kambing hamil, dan asu tugĕl berarti anjing dikebiri. Boleh jadi bahwa sebenarnya hewan-hewan tersebut merupakan konsumsi umum oleh masyarakat Jawa Kuno, akan tetapi karena kondisi khusus hewan tersebutlah menjadikannya sangat istimewa.[31] Istilah rājamaṅśa dalam prasasti ini cukup mengindikasikan bahwa kepala sima tersebut diberi hak istimewa untuk menyantap jenis-jenis makanan eksklusif yang biasanya hanya dikonsumsi oleh seorang raja.[32]

Selama abad ke-10, peradaban Jawa Kuno memang banyak menghasilkan prasasti. Prasasti-prasasti tersebut biasanya memberitakan penetapan sebuah desa sima, tidak terkecuali hidangan yang disajikan saat pesta selamatan desa bersangkutan. Prasasti Taji (823 S / 901 M), misalnya, memuat macam-macam nasi yang dihidangkan, yaitu skul matiman, skul dinyun, dan skul liwêt. Lauknya berupa ikan asin (saprakara nin asinasin), daging yang diasinkan (den asin), udang, telur, sayurnya dari daging kerbau dan daging kambing disertai macam-macam kuluban atau ulam. Sementara itu, Prasasti Panggumulan I (824 S / 902 M) menyebutkan setumpuk ikan yang diasinkan seperti: ikan kakap, ikan bawal, dendeng, ikan asin, ikan layar/pari, udang, dan telur (matumpuk asin asin, dain kakap, dain kadawas, ruma han layar-layar, huran hala hala hantiga). Ada pula makanan dari daging hadangan (kerbau) dan bakatak (katak). 

Umumnya, jenis-jenis makanan yang diungkapkan dalam prasasti-prasasti Jawa abad ke-10 adalah berbagai jenis nasi, jenis-jenis dendeng, telur, udang, daging ayam, kambing, babi hutan dan kerbau, ikan, hala-hala, kawan-kawan, harang-harang, lalapan, dudutan, rumwah-rumwah, kasakasyan, dan tetis.[33] Prasasti Watukura I (824 S / 902 M) menyebut ikan kakap kering (den kakap). Prasasti ini mencatat pula kata tahu, yang rupanya diserap dari bahasa Hokkian atau dialek Selatan (Hainan), tau-hu. Dengan begitu, setidaknya pada abad ke-10 orang Jawa telah mengenal budidaya kedelai.[34]

Dudutan rupanya lalapan mentah yang didudut (ditarik) dari kebun atau ilalang untuk dicowelkan ke sambal atau tetis (sejenis sambal). Prasasi-prasati sezaman memuat pula kata cabya (cabe, Piper retrofactum), kacambah, kadele, sasawi (sawi), kacang, dan lumbu (talas); juga bumbu-bumbu masak seperti jahe, uyah (garam), jasun (bawang putih), wrak (cuka), sahang (merica), kecur (kencur), miri (kemiri), dan mirica/marica (merica, lada). Yang menarik perhatian adalah istilah kuluban sunda.[35] Apakah kuluban sunda (kemungkinan lalap atau umbi matang hasil rebusan) ini diadopsi dari kuliner Sunda?

Nyatanya, bahan-bumbu masakan tadi tak semuanya asli Indonesia; beberapa diperkenalkan oleh orang India dan Tionghoa—tampaknya sejak meningkatnya perdagangan regional di kawasan Asia Selatan, Tenggara, dan Timur di awal-awal abad Masehi atau bahkan mungkin sebelumnya. Pengaruh India, tutur Fadly Rahman[36], dalam hal bumbu masakan bisa dilihat pada bawang / bakung (Crinum asiaticum), ketumbar (Coriandrum sativum), jintan (Cuminum cyminum), dan jahe (Zingiber officinale), sebagai bahan pembuat kari. Adapun pengaruh Tionghoa bisa dilihat pada dasun / bawang putih (Allium sativum) hingga kedelai (Glycine soja). Warisan Tionghoa terdapat pula dalam hal teknik fermentasi untuk membuat minuman keras, yakni getah manis sadapan pohon palma (Palmae), minuman sari tebu, serta pembuatan gula aren dari getah palma atau tebu, yang pembudidayaan dan pengolahannya dikembangkan sendiri oleh masyarakat Nusantara.           

Selanjutnya, Prasasti Sangguran (850 S / 928 M) menyebutkan berlimpah ruah … asin …   (tumpuk-tumpukhasin …), telur yang dikeringkan (han wigang i jaring). Prasasti Jeru-jeru (852 S / 930 M) menyebutkan daging asin (den hasin) dan telur yang dikeringkan (hantiga inari). Prasasti Rukam (829 S / 907 M) menyebutkan berlimpah-limpah haran, dendeng kakap, bawal, duri, dendeng hanan, kawan kawan, ikan kembung, ikan pari/layar, hala hala, udang, ikan gabus yang dikeringkan, serta telur kepiting. Prasasti Paradah II (865 S / 943 M) menyebutkan daging asin (tumpuk-tumpuk dehana) dan telur yang dikeringkan (hantiga inari).  Prasasti Alasantan (851 S / 939 M) menyebutkan daging asin dan telur yang dikeringkan (hantiga inari). Prasasti Waharu I atau Jenggolo (851 S / 929 M) menyebutkan adanya satuan ukuran untuk ikan asin yang disebut kujur (grih sakujur).[37] Apakah telur yang dikeringkan ini merujuk kepada telur asin?

Tak hanya sajian makanan berat dan minuman saja, di masa Jawa Kuno juga dikenal makanan pencuci mulut, yaitu dwadwal (dodol), seperti yang terekam dalam Prasasti Sangguran, juga dari abad ke-10.[38]

Peradaban Jawa Kuno tak hanya menghasilkan banyak prasasti, tapi juga relief-relief pada candi, yang bercorak Hindu maupun Buddha. Dinding utara dan timur pada Candi Penataran, misalnya, memuat relief Kresnayana yang menggambarkan adegan pemujaan pada dewa. Adegan pertama menggambarkan Kresna duduk bersila dengan sikap tangan anjali memuja Dewa Wisnu di hadapannya. Di depannya dipahatkan sejumlah sesaji di atas batur, antara lain nasi berbentuk gunungan (tumpeng), pisang setandan, tiga buah manggis, dan api. Keempat sesaji tersebut masing-masing diwadahi dengan bokor. Relief kedua menggambarkan Kresna berdiri di depan meja, menghadap arah matahari dengan tangan anjali. Sesaji yang dihaturkan Kresna kepada Dewa Siwa sebagai Surya berupa nasi tumpeng dan pisang selirang. Sesaji diwadahi bokor, diletakkan di atas meja beralaskan enam lembar daun pisang. Di depan meja tampak miniatur candi sebagai tempat pembakaran api.[39]

Rupanya, makanan Sunda zaman kuno tak jauh beda dengan makanan orang Jawa Kuno. Kedua etnis ini sama-sama meminum air kelapa, cairan tebu, susu, dan tuak; memakan pisang, pepaya, manggis, bira, talas, ubi jalar, suweg, lalapan, udang, juga ikan dan ayam dengan beragam bumbu dan olahannya, baik dipepes, dipanggang, dibakar, diasinkan, didengdeng, maupun diopor. Bisa diasumsikan pula bahwa jika masyarakat Jawa di abad ke-10 sudah menikmati skul liwet, maka orang Sunda di abad yang sama juga sudah pandai ngaliwet, seperti mereka sama-sama mengunyah dwadwal (dodol) dan wajik (wajit). Yang membedakan: naskah-naskah Sunda Kuno tak menyebut olahan dari hewan-hewan besar seperti kambing, anjing, dan kerbau. Mengenai daging babi, orang Sunda zaman dulu pun tampaknya mengonsumsinya, terlihat dari kata pacelengan dalam SSKK, yang bermakna “peternakan celeng”, selain menyebut pakotokan (peternakan ayam).

Dalam konteksnya, makanan-makanan yang diperikan dalam SSC di atas merupakan item-item sejajen. Namun, dalam konteks sosial yang lebih luas, seperti juga diungkapkan SSKK, makanan-makanan tersebut tentu juga untuk dikonsumsi oleh masyarakat Sunda sezaman. Karena, kalau diperhatikan, hingga kini pun setelah kenduri atau selamatan usai, sesajen yang berbentuk makanan biasanya disantap pula oleh hadirin peserta kenduri. Bukankah inti seremoni itu, selain silaturahmi, juga adalah makan-makan? Dan makan eratlah kaitannya dengan rasa, bukan?

Bicara tentang rasa pada lidah, orang Sunda zaman Pajajaran telah mengenai enam macam rasa, yaitu: lawana, kaduka, tirtka, amba, kasaya, dan madura. SSKK menerangkan bahwa lawana itu berarti asin, kaduka itu pedas, tritka itu pahit, amba itu masam, kasaya itu gurih, madura itu manis. Tinggal bayangkan saja: makan nasi pulen ditemani ikan asin, sambal seuhah, leunca, ayam bakar, pepes ikan gurame, berikut kerupuk, dan ditutup dengan pisang, pepaya, atau semangka, atau mungkin juga rujak cuka—sebagai manifesto dari definisi keenam rasa tadi. Dan rasa dalam bahasa Sunda Modern adalah raos.

Ojel S.Y.

12-13 Agustus 2025


[28] Nurwansah, Ilham, 2020: 58 dan 80.

[29] Nurwansah, Ilham, 2019.

[30] Sarkar, dalam Santiko, 1987: 188-189, dalam Yusuf, Muhamad Satok, 2021: 27.

[31] Sholah, Ahmad Kholdun Ibnu, 2021: 32.

[32] Sholah, Ahmad Kholdun Ibnu, 2021: 31.

[33] Sholah, Ahmad Kholdun Ibnu. 2021: 30-32.

[34] Rahman, Fadly, 2023: 20.

[35] Rahman, Fadly, 2023: 22.

[36] Rahman, Fadly, 2023: 19.

[37] Sholah, Ahmad Kholdun Ibnu. 2021: 35.

[38] Ocsanda, Devina, 2021: 47.

[39] Yusuf, Muhamad Satok, 2021: 26-27.

Daftar Pustaka

Noorduyn J. dan A. Teeuw. (2009). Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Nurwansah, Ilham. (2019). “Tjarita Parahijangan: Titilar Karuhun Urang Sunda”. Diunduh 19 Desember 2023 dari https://www.kairaga.com/2019/11/11/tjarita-parahijangan-titilar-karuhun-urang-sunda/

Nurwansah, Ilham. (2020). Siksa Kandang Karesian: Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpusnas. Press.

Ocsanda, Devina. (2021). “Jejak Tutur Gastrodiplomasi Masa Majapahit, Hubungan Internasional Juga Soal Rasa.” Artefak: Media Komunikasi Arkeologi, Vol. 36, No. 1, Edisi 2021, ISSN 0215-6342. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Rahman, Fadly. (2023). Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rigg, Jonathan. (1862). A Dictionary of the Sunda Language of the Java. Batavia: Lange & Co.

Sholah, Ahmad Kholdun Ibnu. (2021). “Makanan Sebagai Simbol Status Sosial pada Masa Jawa Kuno.” Artefak: Media Komunikasi Arkeologi, Vol. 36, No. 1, Edisi 2021, ISSN 0215-6342. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Wartini, Tien, Mamat Ruhimat, Ruhaliah & Aditia Gunawan. (2011). Sanghyang Swawarcinta: Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI dan dengan Pusat Studi Sunda.

Yusuf, Muhamad Satok. (2021). “Mengintip Aneka Kuliner Sesaji Pemujaan Dewa pada Relief Kresnayana Percandian Panataran.” Artefak: Media Komunikasi Arkeologi, Vol. 36, No. 1, Edisi 2021, ISSN 0215-6342. Denpasar: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

Satu pemikiran pada “Dongeng Bandung: Kuliner Sunda Zaman Pajajaran (Bagian-2)

  1. Ping balik: Dongeng Bandung: Kuliner Sunda Zaman Pajajaran (Bagian-1) | Dunia Aleut!

Tinggalkan komentar