Dongeng Bandung: Kuliner Sunda Zaman Pajajaran (Bagian-1)

Oleh Ojel S.Y.

Belasan tahun yang silam, seorang atasan saya pernah berseloroh, katanya “Orang Sunda itu seperti kambing, cukup disimpan di kebon, mereka bisa hidup.” Selorohan atasan saya yang berasal dari Surabaya itu tercetus setelah ia akrab dengan banyak orang Sunda; bahkan istrinya pun dari Bandung. Sebagai orang beretnis Jawa, secara naluriah dan empirik, bos saya itu bisa membedakan karakter masyarakat Sunda dengan masyarakat Jawa. Salah satu yang membedakan antara kedua etnis yang bertetangga ini adalah makanan.

Masyarakat Sunda itu doyan lalapan, mentah atau matang, lotek, karedok, memang sudah menjadi steriotip. Jika datang ke rumah makan atau restoran “khas Sunda”, orang sudah membayangkan menu-menunya: ikan asin, sayur lodeh, sayur kacang, kere (dendeng), lalapan mentah (terong, leunca atau ranti, surawung atau kemangi, timun, kol), lalap rebusan (daun pepaya, daun singkong), pepes (ikan, ayam, tahu), pelbagai tumis, sambal (dadakan, goreng, oncom), goreng tempe-tahu, jeroan, dan makanan sederhana lainnya. Jarang sekali disajikan opor, kari, rendang, dan makanan kuah bersantan dengan rempah-rempah yang menyengat. Makanan Sunda itu tak ribet.

Tapi, apakah kuliner Sunda zaman dulu tak jauh beda dengan kuliner zaman sekarang? Apa sejak dulu orang Sunda itu cenderung vegetarian? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi tema tulisan ini. Untuk mengetahuinya, sumber-sumber yang diperlukan tentu sumber sejarah primer, terutama sumber internal alias dari lokal Sunda itu sendiri—di samping sumber-sumber Jawa Kuno sebagai perbandingan. Melalui naskah-naskah Sunda kunolah kita bisa memahami makanan dan masakan apa saja yang dulu dikonsumsi masyarakat Sunda “zaman Pajajaran”, masa pra-Islam, dalam rentang waktu abad e-16 hingga abad-abad sebelumnya.

Salah satu naskah kuno itu adalah Sanghyang Swawarcinta (selanjutnya ditulis SSC). Manuskrip SSC ini termasuk dalam koleksi Perpusnas RI dengan nomor koleksi/katalog L 626 peti 69. Naskah terdiri dari 39 lempir daun lontar yang berukuran 33 cm x 2,7 cm, diapit pengapit bambu. Setiap lempir (lembar) mengandung empat baris tulisan, ditulis menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno.[1] Menurut Tien Wartini[2], Swawarcinta mungkin merupakan perubahan dari swargacyuta yang berarti “jatuh dari surga”. Munculnya kata swawarcinta mungkin akibat silap baca penyalin terhadap aksara Buda. Karena bentuknya yang mirip, aksara ga dibaca wa, sementara panglayar (r) biasanya ditempatkan pada aksara sesudahnya sehingga dibaca swawarcyuta dan pada akhirnya menjadi swawarcinta. Sanghyang Swawarcinta dapat berarti “sesuatu yang suci yang turun dari surga”. Pada kolofon (lempir akhir), terdapat catatan bahwa naskah selesai ditulis pada bulan Kedelapan (wulan kadalapan) tanpa keterangan angka tahun. Teks SSC ditulis (atau disalin?) di Gunung Cikuray, Batuwangi, (kini selatan Garut)[3], di pertapaan Mandala Sunia Sang Abuyut Tejanagara.

Jenis-jenis Kupat

SSC merupakan semacam “buku panduan” bagi para calon petapa, yang juga memuat beragam sesaji persembahan, termasuk olahan (makanan/masakan), untuk para dewa dan hyang. Disebutkan bahwa dapur atau tempat memasak makanan untuk sesaji adalah patanakan,sedangkan juru masak yang menyediakan makanan untuk sesaji disebut tanak.[4] Beberapa sesaji itu berupa kupat dengan beragam bentuknya (baris 620 – 629):

daun kalapa diréka kembang / ditiru dijieun manuk / diréka tingkah manyurak / kupat halu kupat manuk / deungeun kupat parupuyan / kupat walang kupat iwak / eunteup di jukut palias / riringgit kasang pari / wuku-waka kurung atma / kupat karas kembang picung.”[5]

Terjemahannya:

daun kalapa dibentuk bunga / ditiru seperti burung / dibentuk seperti merak / kupat halu kupat manuk / dengan kupat parupuyupan / kupat walang kupat iwak / hinggap di rumput palias / hiasan kain bunga padi / kerangka tubuh kandang jiwa / kupat karas bunga picung.[6]

Orang Sunda kini tentu sudah tak mengenal jenis-jenis kupat tadi—kecuali kupat Lebaran. Kupat halu bisa diartikan ketupat yang dibentuk silinder seperti halu (mirip lontong namun agak besar). Sementara kupat iwak adalah ketupat yang dibentuk seperti ikan. Kupat manuk adalah ketupat yang dibentuk seperti burung, sementara kupat parupuyupan adalah ketupat yang dibuat untuk sesaji (namun bentuknya belum bisa dipastikan). Kupat karas diartikan sebagai ketupat yang bungkusnya dibuat dari karas (daun gebang atau siwalan), sedangkan kupat walang adalah ketupat yang dibentuk seperti belalang.[7]

Buah-buahan dan Umbi-umbian

Pada lempir-lempir lain, SSC menyebutkan pelbagai buah-buahan dan umbi-umbian:

olah ulih pala bungkah / sarba beuti, cau, tiwu / biya taleus hui suweg / kalawana na gedang rateng / deung kalapa beunang nanamkeun / ku geui na / geuhgeur geunteul kurang seuneu / digoléwar kurang sambara / kurang tasik humbu-humbu / hanteu acan tulus hipu.[8]

Terjemahan:

Hasil mengolah buah dan gelagah / serba umbi, pisang, dan tebu / wyah, talas, ubi, suweg / serta dengan pepaya matang / dan kelapa hasil menanam / dengan rasa menjadi / biru lebam karena kurang api / encer karena kurang rempah-rempah / kurang garam serta bumbu / belum sampai empuk benar.[9]

Buah-buahan dan umbi-umbian di atas kiranya untuk dikonsumsi. Di samping pisang, kepala, dan papaya, tebu rupanya dikunyah batangnya untuk diseruput cairan manisnya (pengolahan tebu menjadi gula pasir oleh orang Jawa di masa Hindu-Buuddha masih dipertanyakan). Sementara itu, suweg (Morphophallus paeonifolius) atau ileus (iles-iles) adalah umbi batang yang mengandung karbohidrat tinggi dan serat. Untuk biya, Tien Wartini menerjemahkannya sebagai wyah atau Alocasia indicia[10], yang dalam Sunda modern menjadi bira (sente). Namun, penulis memilih menerjemahkannya sebagai bira besar (Alocasia macrorrhizos), spesies perdu penghasil umbi yang dapat dimakan sebagai sumber pangan karbohidrat non-serealia. Naskah yang sama menulis pula nangka beurit (cempedak).[11] Rupanya penulis SSC memerikan pelbagai buah-buahan dan umbi-umbian yang memang biasa dikonsumsi masyarakat Sunda saat itu, di samping sebagai sesaji.

Kiranya kelapa, tebu, manggis, juga durian, mangga, jeruk, dan semangka memang buah-buahan yang lazim dikonsumsi penduduk Nusantara. Keragaman buah-buahan ini dicatat oleh Ma Huan, sekretaris Cheng Ho, dalam bukunya Yin Ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di Laut Seberang). Di Jawa, awal abad ke-15, ia menyaksikan “… ada pinang, kelapa, tebu, delima, durian, manggis, semangka, langsat, dan lain-lain. Yang disebut manggis itu bentuknya seperti delima. Isi yang di dalam kulitnya berulas daging putih, rasanya manis-asam, sangat lezat. Yang disebut langsat itu buahnya seperti loquat, agak lebih besar sedikit, di dalamnya ada tiga ulas daging putih, rasanya juga manis-asam. Tebunya berkulit putih dan dagingnya tebal. Tiap batang panjangnya 2-3 zhang. Selain itu, labu, terung, dan sayur sayuran semuanya ada ….” Langsat adalah buah mirip dukuh tapi kulitnya lebih tipis dan bergetah.

Ketika berada di Pasai tahun 1405, Ma Huan mencatat bahwa, “Ada sejenis buah yang merangsang baunya. Namanya durian. Bentuknya seperti buah berduri di Tongkok …. Baunya seperti daging busuk. Bijinya boleh juga dimakan setelah dimasak. Rasanya seperti buah sarangan. Jeruknya banyak dihasilkan, dalam empat musim selalu ada … rasanya tidak asam, tahan disimpan … Ada lagi sejenis buah lain, namanya mangga.”

Pisang dan manggis terpahat pula pada panel relief Candi Panataran, Borobudur, dan Kidal. Pada relief Penataran dan Borobudur terpahat gambar pohon pisang yang menghiasi pelataran pemukiman dan bangunan suci. Sementara pada relief Garudeya di Candi Kidal terpahat buah manggis.[12]

Ikan-ikan Olahan

SSC juga memerikan deskripsi mengenal wanita ideal dalam masyarakat Sunda baheula. Diterangkan bahwa selain harus bisa menenun, mencelup serta mewarnai benang, dan menyongket, perempuan ideal itu harus bisa memasak pelbagai masakan. Baris 166-176 menyebutkan pelbagai jenis ikan (termasuk udang) yang harus bisa diolah oleh seorang wanita, yaitu:   

na paray dikembang lwapang / hurang ta dikembang dadap / na hitu dipais tutung / lendi ta dipais bari / na lélé dicwacwabék / na deleg dipanjel-panjel / na hikeu dileuleunjeur / na kancra dilaksa-laksa / sisitna diraramandi / tulangna dibatcu rangu / pantingna dirokwatway.[13]

Terjemahan:

ikan paray dikembang lopang / udang dimasak kembang dadap / ikan hitu dipepes gosong / ikan lendi dipepes bari / ikan lele dibumbu cobek / ikan gabus dipanjel-panjel / ikan hikeu dileuleunjeur / ikan kancra dilaksa-laksa / sisiknya dibuat raramandi / tulangnya dibatu rangu / siripnya dirokotoy.[14]

Berturut-turut nama jenis-jenis ikan disebutkan. Ada paray atau beunteur (ikan kecil sejenis impun tetapi lebih besar dan bersisik), udang, hitu (sebangsa ikan rawa), lendi (sejenis lele; Clarius melanoderma), lele, ikan gabus, hikeu (sebangsa ikan sungai, di daerah Cianjur disebut soro), dan kancra (ikan sungai sejenis karper; Cyprinus carpio; sisiknya besar dan mengkilap).

Teknik mengolahnya pun tak sama. Ada yang dikembang lopang, yakni dimasak dengan bumbu kuning seperti warna bunga lopang (Luffa cylindrica). Ada yang dikembang dadap, yaitu dimasak dengan bumbu merah seperti bunga dadap (Erythrina variegata). Ada yang dipepes hingga gosong. Ada yang dipais bari, yaitu dipepes dan disimpan semalam supaya lebih meresap bumbunya dan kenyal dagingnya. Ada yang dicocobek, yakni dibumbu cobék (garam, jahe, kencur, bawang putih, gula merah). Ada yang dipanjel-panjel, mungkin dimasak dengan bumbu pindang. Ada yang dileuleunjeur, mungkin dimasak tanpa dipotong-potong (saleunjeur). Ada yang dilaksa-laksa, mungkin dimasak dengan bumbu laksa (kari). Ada yang diraramandi, mungkin sisik ikan kancra yang digoreng sampai kering dan renyah. Ada yang dibatu rangu, mungkin dimasak dengan cara direbus sampai empuk (tulang lunak). Dan ada pula yang dirokotoy, mungkin dimasak dengan santan yang kental.[15]

Menggoreng tentu membutuhkan minyak goreng. Kiranya, minyak yang dimaksud adalah minyak dari kacang tanah yang diadopsi dari tradisi kuliner Tionghoa—seperti halnya beras untuk arak dan tebu untuk gula (pasir)—seperti yang terdapat dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno.[16] Kata santen dan pecel tertulis pula pada beberapa prasasti zaman Jawa Kuno pada abad ke-10. Santen dan pecel kerap ditulis berbarengan dengan kata-kata sambel, pindang, rarawwan (rawon), rurujak (rujak), kurupuk (kerupuk), dan lawar-lawaran (daging mentah). Adanya kata kurupuk mengindikasikan telah adanya pemanfaatan kulit lembu atau kulit kerbau (rambak) untuk digoreng menjadi kurupuk rambak, dan ini menunjukkan teknik pengolahan yang kompleks dan selektif dalam memilih bahan.[17] Kata kurupuk, sembilan abad kemudian, dimasukkan ke dalam A Dictionary of the Sunda Language of the Java oleh Jonathan Rigg[18], sebagai “the thick hide of the neck of some animals, especially of deer or buffaloes, which is scraped clean, and then roasted or burnt for eating; much relished by the natives.” 

Mengenai beunteur, naskah Sunda Kuno lainnya yakni Bujangga Manik menyebutnya sebagai ikan yang pantang dikonsumsi oleh wanita hamil. Di samping itu, wanita hamil pun pantang memakan jantung pisang dan ikan bertelur. Berikut kutipan serta terjemahannya: “Horeng niniing teu pantang / bihari basana nyiram / horeng dihakankeun jantung / horeng sawan jalalang / horeng dihakankeun beunteur / dihakankeun lauk mijah” (Ternyata nenekku tak melarang / dahulu tatkala ngidam / ternyata dihidangkan pasakan jantung pisang / ternyata bagaikan tupai tanah / dikasih makan ikan beunteur / dikasih makan ikan bertelur).[19]

Ayam-ayam Olahan

Baris-baris selanjutnya dari SSC menyebutkan jenis-jenis ayam olahan, dari yang dipepes, dipanggang, hingga dibuat opor:

Hayam bwadas ta dipadamara / hayam beureum disarengseng / hayam cangkes diketrik / hayam hurik dipais bari / hayam danten dipepecel / hayam bikang dipapanggang / hayam kurung dikudupung / hayam kencaran disaratén / hayam kambeuri ta dikasi / kacigeuy tuang carogé.[20]

Terjemahan;

Ayam putih dipadamara / ayam merah disarengseng / ayam cangkes diketrik / ayam burik dipepes bari / ayam dara dibumbu pecel / ayam betina dipanggang / ayam kurung dikudupung / ayam liar disaraten / ayam kebiri dikasi / kesukaan sang suami.[21]

Sama seperti ikan, di sini pun ayamnya banyak jenisnya. Ada ayam putih (bulunya?), ayam merah (bulunya?), hayam cangkes (ayam yang hitam bulunya?), ayam dara (ayam betina yang belum bertelur?), ayam betina, ayam kurung, ayam liar, dan ayam kebiri. Teknik olahannya pun beragam: dipadamara (dimasak dengan bumbu sayur padamara), disarengseng (mungkin ditumis dengan sedikit minyak dan air), dikudupung (mungkin dimasak dengan direbus sampai empuk seperti opor), disaratén (mungkin dibuat sate), dan dikasi (mungkin dimasak dengan direbus; kasyan dalam tradisi Jawa Kuno).[22]

Ada pula teknik-teknik lain dalam mengolah makanan: “teherna nyanga nyanglarkeun / ngamumujet ngararamandi / ngararang geding.” Nyanga-nyanglarkeun adalah memasak dengan cara disangray “tanpa minyak”. Sementara ngamumujet adalah membuat wajit (juadah). Adapun rarageding (raragudig, rarabudig,atau ladu) adalah sejenis dodol dari beras ketan yang disangray kemudian dibuat tepung, dimasak dengan gula merah dan kelapa; setelah matang dibuat bulatan lonjong kemudian ditaburi tepung ketan sisa adonan sehingga terlihat seperti orang kulit hitam memakai bedak putih.[23]

Jenis-jenis Sate

Tidak cuma ikan dan ayam olahan, perempuan ideal pun harus pandai membuat pelbagai macam sate agar makin dicintai suami. Ini kutipannya: “nyasaté raraka hudan / sasaté usap-usap lambé / sasaté pawarang lunta / sasaté ugang-aging / sakitu guna na opway / sakitu kawastwaanana.”[24] Berikut terjemahannya: membuat sate untuk raraka hudan / membuat sate usap-usap lambe / membuat sate pawarang lunta / membuat sate ugang-aging / itulah kepandaian wanita / begitulah ketentuannya.[25]

Mengenai jenis-jenis sate ini memang belum jelas juga, baik bentuk maupun jenis dagingnya. Kita hanya bisa membayangkan bahwa sate raraka hudan adalah sate untuk sesaji yang disimpan sebelum panen padi untuk menghormati Dewi Sri. Adapun sate usap-usap lambe kemungkinan sate untuk cuci mulut atau makanan penutup. Sate pawarang lunta adalah sate dengan bentuk “permaisuri pergi”, sedangkan sate ugang-aging adalah sate “wara-wiri” atau sate “ke sana ke mari”.[26]   

Naskah Sunda Kuno yang lain, yakni Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang ditulis atau disalin tahun 1518 M, semasa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, memuat pula macam-macam kaolahan khas Sunda baheula, yang sebagian sama dengan yang disebutkan oleh SSC. Berikut kutipan teksnya:

Sawaluran ning kaolahan ma: nyupar-nyapir, raramandi, nyopong konéng, nyocobék, nyanglarkeun, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beungbeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, ruruuman, diamis-amis, sing sawatek olah-olahan ma, hareup catra tanya.[27]

Raramandi, nyocobek (dicocobek), nyanglarkeun, papanggangan, dan kakasian (dikasi) telah dijelaskan sebelumnya. Bagaimana dengan nyupar-nyapir, nyopong koneng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, hahanyangan, rarameusan, ruruuman, dan diamis-amis? Nyopong koneng mungkin masakan yang sebelumnya diberi parutan atau ruas kunyit. Nyayang ku pedes mungkin masakan yang telah direndam (cairan) merica. Beubeuleuman tentu masakan yang dibakar (ikan, ayam, ikan asin, mungkin juga nasi). Rarameusan mungkin mirip nasi rames sekarang. Ruruuman mungkin masakan yang diberi bumbu tertentu agar harum. Sementara diamis-amis mungkin manisan buah-buahan. Orang yang handal mengolah semua jenis masakan ini disebut hareup catra atau “koki”. Catra bisa berarti payung, dengan begitu hareup catra berarti “payung terdepan”. Kiranya hareup catra adalah koki khusus istana, atau “koki yang memayungi selera raja”.   

Bersambung


[1] Wartini, Tien, dkk, 2011: 5.

[2] Wartini, Tien, dkk, 2011: 6-7.

[3] Wartini, Tien, dkk, 2011: 147.

[4] Wartini, Tien, dkk, 2011: 157 dan 160.

[5] Wartini, Tien, dkk, 2011: 71.

[6] Wartini, Tien, dkk, 2011: 121.

[7] Wartini, Tien, dkk, 2011: 154.

[8] Wartini, Tien, dkk, 2011: 98-99.

[9] Wartini, Tien, dkk, 2011: 145-146.

[10] Wartini, Tien, dkk, 2011: 161.

[11] Wartini, Tien, dkk, 2011: 52.

[12] Scheurleer, 2009: 214, dalam Yusuf, Muhamad Satok, 2021: 27.

[13] Wartini, Tien, dkk, 2011: 56-57.

[14] Wartini, Tien, dkk, 2011: 107.

[15] Wartini, Tien, dkk, 2011: 148-157.

[16] Rahman, Fadly, 2023: 21.

[17] Rahman, Fadly, 2023: 22.

[18] Rigg, Jonathan, 1862: 236.

[19] Noorduyn J. dan A. Teeuw, 2009: 293.

[20] Wartini, Tien, dkk, 2011: 57.

[21] Wartini, Tien, dkk, 2011: 107.

[22] Wartini, Tien, dkk, 2011: 149-151.

[23] Wartini, Tien, dkk, 2011: 155-158.

[24] Wartini, Tien, dkk, 2011: 57.

[25] Wartini, Tien, dkk, 2011: 108.

[26] Wartini, Tien, dkk, 2011: 157-158 dan 161.

[27] Nurwansah, Ilham, 2020: 62.

Satu pemikiran pada “Dongeng Bandung: Kuliner Sunda Zaman Pajajaran (Bagian-1)

  1. Ping balik: Dongeng Bandung: Kuliner Sunda Zaman Pajajaran (Bagian-2) | Dunia Aleut!

Tinggalkan komentar