Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng
Dalam Dongeng-Bandung edisi #11 yang membicarakan buku Bandung Baheula jilid 1 dan 2 ada disinggung nama-nama ini, R. Anggadikusumah dan Raksa Praja. Buku itu hanya menyinggung kedua nama itu secara sepintas saja tanpa memberikan informasi yang memadai untuk mengetahui siapa saja mereka itu.
Pencarian di internet tidak mendapatkan hasil, terlalu sedikit yang menyebut kedua nama itu. Di perpustakaan, kami kumpulkan sedapatnya semua buku yang membicarakan Bandung, engga ketemu apa-apa juga, tetap gelap. Hanya dari ingatan seorang kawanlah akhirnya kami membuka buku Sejarah Tatar Sunda Jilid-1 (CV Satya Historika, Bandung, 2003) karangan Dr. Nina H. Lubis, dkk, dan menemukan sesuatu.
Dalam Bab V yang berjudul “Eksploitasi Kolonial, Gerakan Sosial dan Perubahan Masyarakat,” di bawah subbab “Gerakan Sosial” ada satu tulisan berjudul “Gerakan Raksa Praja (1842)” dan memang informasi inilah yang kami cari-cari. Sayangnya, buku ini tidak mencantumkan rujukan atau sumber informasi bagi tulisan tersebut. Tidak ada catatan kaki. Dalam Indeksnya nama Raksa Praja hanya ditulis dengan keterangan halaman 384, mungkin karena dalam halaman itulah nama Raksa Praja pertama kali disebut dan tidak disebutkan lagi di halaman-halaman lainnya.
Tulisan “Gerakan Raksa Praja (1842)” cukup panjang juga, mengisi 17 halaman buku yang dimulai dengan cerita ketidakpuasan Raden Aria Anggadikusuma yang merasa bahwa dia seharusnya mewarisi jabatan ayahnya sebagai Kepala Cutak yang membawahi empat cutak, yaitu Cutak Cisondari, Cutak Rongga, Cutak Cihea, dan Cutak Kopo. Pada saat itu Anggadikusuma sedang menjabat sebagai Patih Polisi. Tidak dijelaskan apa latar belakang kekecewaan soal warisan jabatan ini, apakah karena ayahnya sudah wafat, atau karena hal lain?
Sebelum melanjutkan, cutak dalam KBBI artinya sama dengan distrik dan dalam dokumen lain disetarakan dengan wedana, wilayah adminstratif setingkat di bawah kabupaten. Kalau sekarang mungkin sama dengan kecamatan.
Untuk mengejar keinginannya itu, pada tahun 1822 Anggadikusuma mengajukan permohonan kepada Residen Priangan agar mendapatkan jabatan seperti ayahnya, namun Residen Priangan tidak memenuhi permintaannya dan hanya memberikan dua cutak saja kepadanya, yaitu Cutak Cisondari dan Cutak Rongga, sementara dua cutak lainya tetap berada di bawah administrasi pejabat lain. Belum selesai Anggadikusuma dirundung kecewa, pemerintah Hindie Belanda malah memecatnya dari jabatannya sebagai Patih Polisi.
Di tempat dan waktu lain, di Kabupaten Sukapura, pada 1828 seorang warga Cutak Karang yang bernama Raksa Praja mengangkat diri sebagai Sultan Raja Kanoman. Tidak ada penjelasan apa yang menjadi latar belakang peristiwa ini, hanya disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda menangkap dan membuang Raksa Praja ke luar Jawa selama enam bulan. Tuduhannya, melakukan penipuan dan pemakaian gelar kebangsawanan secara ilegal.
Keterangan angka tahun dan lamanya pembuangan di atas menjadi agak ganjil setelah mengikuti cerita berikutnya, yaitu bahwa usai menjalani pembuangan itu Raksa Praja muncul kembali di Cutak Karang dan mendengar berita bahwa kawan lamanya, Raden Aria Anggadikusuma telah dipecat dari jabatannya sebagai Patih Polisi. Kabar lain yang didengarnya, yaitu bahwa Bupati Bandung, Wiranatakusumah sedang tidak ada di tempat (?). Dua kabar ini menerbitkan pikiran pada Raksa Praja untuk menyerang dan merebut kekuasaan Bupati Bandung. Untuk itu ia memerlukan bantuan dari Anggadikusuma.
Pada 2 April 1842 ia meminta kawannya, Sastra, untuk menyampaikan surat kepada Anggadikusima yang isinya menanyakan kabar soal pemecatannya dan rencananya untuk melakukan perebutan kekuasaan di Bandung dan permintaan bantuan senjata dari Anggadikusuma. Pada 23 April 1842 dalam perjalanan kembali dari Bandung, Sastra mampir ke Kampung Kamasan untuk membawa adiknya, Wangsa, sebagai tenaga tambahan untuk rencana Raksa Praja.
Surat balasan dari Anggadikusuma kepada Raksa Praja yang dibawa oleh Sastra berisi undangan agar Raksa Praja menemuinya di Bandung. Undangan ini ternyata disalahpahami oleh Raksa Praja sebagai persetujuan atas rencananya dan bahwa ia perlu membawa banyak orang ke Bandung dan karena itu ia segera mengumpulkan anak-anak buahnya, 16 orang tukang petik kopi. Diikutkan juga kedua isterinya, Ambu Jaiya dan Nyai Sadiyem. Kepada mereka dikatakan rencananya menyerang dan merebut kekuasaan Bupati Bandung.
Pada akhir April 1842 berangkatlah 19 orang warga Cutak Karang, di bawah pimpinan Raksa Praja, dengan tujuan menyerang Bandung. Dalam perjalanan, rombongan ini mampir ke kampung-kampung yang dilalui dan mengajak orang-orang yang bersimpati untuk bergabung. Di Kampung Cengcem, yang termasuk dalam wilayah Cutak Singaparna, rombongan menginap di rumah Sumacandra, namun karena pertimbangan masalah keamanan, mereka pindah ke Pondok Gaga dan menginap selama empat malam. Dari sini mereka beranjak ke Kampung Cipetir dan mendapatkan orang-orang tambahan.
Berikutnya ke Kampung Cikupa dan Cikamiri yang berada di wilayah Cutak Tarogong. Keesokan harinya ke Kampung Liangmaung yang termasuk wilayah Cutak Banjaran dan menginap semalam dan dilanjutkan semalam lagi di Kampung Cihanjaro yang masih berada di cutak yang sama. Di sini mereka menginap di rumah Laiya Santana. Saat di Cihanjaro, Raksa Praja kembali meminta Sastra membawakan sebuah surat untuk Anggadikusumah. Isinya meminta informasi situasi dan kondisi Bandung. Balasan yang diterima memberikan kesan agar Raksa Praja bersembunyi untuk sementara.
Surat balasan ini mengecewakan Raksa Praja karena seperti meragukan kesiapan dan kemampuannya, apalagi ia masih juga belum mendapatkan informasi mengenai persiapan Anggadikusuma dan belum bisa memperkirakan seperti apa nantinya bantuan dari Anggadikusuma. Walaupun begitu, Raksa Praja menurut juga pada saran untuk bersembunyi dan melanjutkan perjalanan sampai Gunung Tilu dan tinggal di sini selama 15 hari. Dalam persembunyian ini Raksa Praja memberikan gelar pada dirinya sendiri sebagai Pangeran Raja Markum. Setelah 15 hari itu, Raksa Praja kembali mengutus Sastra menemui Anggadikusuma dan mendapatkan jawaban bahwa ia masih tetap pada pendiriannya ikut serta dalam pemberontakan Raksa Praja.
Dalam pertemuan ketiga dengan Sastra itu Anggadikusuma menggelari diri sebagai Ratu Adil dan berjanji akan pergi ke Cilauteureun untuk menjemput 71 kapal dan Nyi Ratu Ageng yang akan membantu gerakan mereka. Sebagai penghibur untuk Raksa Praja, ia juga mengirimkan dua gulung kain putih, satu gulung kain merah, dua sendok emas yang memakai keris, 30 butir batu senapan, dan selembar kain panas, semua benda itu adalah barang-barang yang biasa dibutuhkan oleh seorang bupati. Benda-benda ini harus diserahkan oleh Sastra kepada Raden Jaya Kusuma – mantan Kepala Cutak Ciparay – terlebih dulu, karena dialah yang akan memberikannya secara resmi kepada Raksa Praja.
Cara penyerahan benda-benda itu ternyata sekaligus juga menyatakan aturan main antara atasan dan bawahan yang secara tidak langsung menegaskan bahwa Raksa Praja sebenarnya berada dalam kendali Angadikusuma. Selain Raden Jaya Kusuma, Anggadikusuma juga mengutus Bapa Upi untuk menyertainya sebagai utusan pribadi yang akan memastikan keberadaan Raksa Praja di Gunung Tilu dan menanyakan apa saja kebutuhan makanan yang diperlukannya di sana. Kepada Ma Upi, Anggadikusuma menitipkan pesan bahwa ia ingin bertemu langsung dengan Raksa Praja di Bandung dan bahwa akan ada seorang utusan yang akan menjemputnya di Citarum.
Sesuai dengan pesan, Raksa Praja pergi ke Citarum, namun tidak ada seorang pun yang datang menjemputnya, sehingga ia putuskan untuk kembali ke Gunung Tilu. Ia segera membuat pertemuan besar dengan para pengikutnya dan kembali menegaskan bahwa mereka akan segera mengadakan perebutan kekuasaan Bupati Bandung. Raksa Praja menunjuk empat orang andalannya, yaitu Ba Sawi, Ali Pakuan, Raksawijaya, dan Natawijaya, untuk membawa pesan penyerbuan ini kepada Anggadikusuma.
Keempat orang andalan Raksa Praja berangkat diantar oleh Ma Upi dan disambut oleh Bapa Upi di Bandung. Anggadikusuma meminta mereka untuk menunggunya di sebuah masjid kecil. Dalam pertemuan, Ali Pakuan menyampaikan maksud Raksa Praja segera menyerbu Bandung. Mendengar itu Anggadikusuma merasa khawatir dan segera membuat surat untuk Raksa Praja yang isinya saran agar menunda penyerangan pada tahun Alip dan harus dilakukan di Tegal Luwar. Dalam sistem Masehi ini sama dengan tahun 1843.
Dalam surat itu juga disarankan agar Raksa Praja dan rombongannya pindah ke Cutak Cidamar yang ketika itu dikepalai oleh Jaya Samudra. Di Cidamar warganya tidak menyukai kepala cutaknya karena ia bukan orang asli daerah itu. Dengan begitu dapat dirasakan bahwa Anggadikusuma sebenarnya hanya mengulur waktu saja dan seperti berupaya membelokkan upaya pemberontakan ke Cidamar. Raksa Praja lalu mengutus Ba Kasdim untuk menyerahkan surat lagi ke Anggadikusumah, isinya menanyakan tentang langkah-langkah selanjutnya yang harus ia lakukan. Jawaban yang diterima adalah pengulangan soal rencana ke Cilauteureun yang sudah disampaikan sebelumnya. Ba Kasdim kembali ke Gunung Tilu bersama anggota baru dari Cihanjaro yang bernama Mujiam. Dengan agak kecewa lagi, Raksa Praja dan rombongan menuruti saran Anggadikusumah untuk pindah ke Cutak Cidamar dan di sana mendapatkan tambahan 24 orang anggota baru yang tidak menyukai Kepala Cutak Cidamar.
Di Cutak Cidamar komplotan Raksa Praja banyak membuat kekacauan dan menakut-nakuti warga disertai dengan kekerasan. Kekuatiran akan berhadapan langsung dengan serdadu kolonial, rombongan ini bersembunyi semalam ke dalam hutan Cikalibit dan esoknya pergi ke Kampung Nyalindung, esoknya lagi ke Kampung Cimiring dan menginap selama tiga malam. Di sini Raksa Praja mengangkat diri sebagai Pangeran Raja Mankum dan memberikan gelar kepada para pembantu utamanya: Laija Santana sebagai Pangeran Laija Kusuma, Mujiam sebagai Pangeran Bagus Mujiam, Ba Sawi sebagai Braja Gelap, dan gelar Pangeran di depan nama-nama Ali Pakuan, Genjreng, Jaya, dan Natayuda.
Di Cimiring Raksa Praja mengutus Wangsa untuk memberi tahu Anggadikusuma mengenai posisi mereka saat itu dan dibalas dengan anjuran dari Anggakusuma agar Raksa Praja dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Cilauteureun dan bertemu di sana. Sementara itu, Kepala Cutak Cidamar, Jaya Samudra, memerintahkan Kopral Polisi Suma Wireja untuk menanyakan kepada Raksa Praja apa maksud kedatangan mereka ke Cutak Cidamar. Untuk melaksanakan tugas itu Suma Wireja membawa 11 anak buahnya.
Dalam pertemuannya, pertanyaan Suma Wireja dijawab oleh Ali Pakuan dengan penjelasan bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju Cilauteureun. Suma Wireja mengatakan bahwa sebelum melanjutkan perjalanan mereka harus melapor dulu kepada Kepala Cutak Cidamar/ Bukannya menuruti, Ali Pakuan dkk malah menangkap dan menawan semua utusan Jaya Kusuma itu dan membawanya ke Kampung Cilimus. Di tempat ini komplotan Raksa Praja sudah berjumlah 90 orang.
Mengetahui Suma Wireja ditawan oleh komplotan Raksa Praja, Jaya Samudra memerintahkan Gariman sebagai Kepala Pasukan untuk mengumpulkan anak buahnya sebanyak 150 orang dan melakukan serangan terhadap Raksa Praja. Berhadapan dengan Raksa Praja, Gariman menggertak bahwa 150 orang anak buahnya akan menggempur mereka, namun dijawab oleh Raksa Praja, “Jangankan 150 orang, 200 sampai 300 orang pun akan kami lawan!” Mendengar itu, Gariman jadi mengurungkan niatnya dan membiarkan rombongan Raksa Praja melanjutkan perjalanan ke Cilauteureun. Sebaliknya, anak buah Raksa Praja justru mengejar-ngejar pasukan Suma Wireja bahkan hingga ke pusat Cutak Cidamar dan menangkap Jaya Samudra, namun dilepaskan kembali keesokan harinya karena dianggap tidak penting.
Dalam perjalanan ini Raksa Praja sempat singgah di Guha Gentong dan Sodong Leuwi Buaya. Di tempat terakhir ini datang utusan dari Anggadikusuma yang bernama Aki Jungjung. Ia membawa pesan agar rombongan Raksa Praja segera ke Bungbulang. Pesan ini ditolak oleh Raksa Praja dan mengutus Laija Santana dan Mujiam untuk menemui Anggadikusuma di Bungbulang.
Jaya Samudra yang sudah dilepaskan segera pergi melaporkan kejadian yang dialaminya serta kekacauan yang dibuat komplotan Raksa Praja ke Ridders, Residen Priangan waktu itu. Ridders lalu memerintahkan Bupati Bandung, Bupati Limbangan, dan Bupati Sukapura agar mempersiapkan pasukan mereka untuk menghentikan polah Raksa Praja. Pasukan gabungan para bupati ini berhasil menangkap Ali Pakuan dan Mujiam yang sedang berada dalam perjalanan menuju Bungbulang. Pasukan Raksa Praja yang sudah mendengar berita ini lantas pergi ke Cilayu dengan membawa tawanan Suma Wireja dan anak buahnya. Di Cilayu barulah mereka dibebaskan, sementara rombongan melanjutkan perjalanan ke Cipancang, lalu Sodong Ciliyak.
Keesokan harinya rombongan bergerak ke Kampung Cikaso yang termasuk ke dalam Cutak Kandangwesi dan tinggal selama empat malam. Selanjutnya ke Muara Cikandang, Cirompong, dan Cigelam yang termasuk ke dalam wilayah Cutak Garut, Kabupaten Limbangan. Dalam bagian perjalanan ini rombongan Raksa Praja sempat bertemu dengan pasukan Jaya Samudra, dan berhasil menangkap 19 prang anak buahnya. Di Cigelam, seorang utusan Kepala Cutak Garut tewas.
Perjalanan dilanjutkan ke Gunung Sembung dan keesokan harinya dilanjutkan ke Gunung Guhatana dan tinggal dua malam di situ. Setelah itu, mereka tiba di hutan Kasesepan di kaki Gunung Windu yang berada di wilayah Cutak Majalaya. Kepala Cutak Majayala menyiapkan 20 orang pasukan untuk mengintai dan mengirimkan lima orang utusan kepada Raksa Praja untuk menanyakan maksud mereka berada di Majalaya. Raksa Praja memerintahkan Dipatruna, Pranawijaya, Raksa, Masta, dan Ba Eyet untuk menghadapi utusan ini dan melakukan kekerasan terhadap mereka, akibatnya salah satu dari utusan jadi korban keganasan mereka sedang empat orang lainnya melarikan diri. Para utusan yang lari mendatangi Komandan Prajurit Majalaya, Letnan Raden Rangga Suriadireja, dan membuat laporan.
Pada tanggal 8 Juni 1842 Rangga Suriadireja menyiapkan seluruh pasukannya dan berangkat ke hutan Kasesepan untuk menyerang rombongan Raksa Praja. Dalam perseteruan itu tujuh orang dari pasukan Suriadireja tewas, sedangkan dari pihak Raksa Praja delapan orang tewas dan 15 orang ditangkap. Rombongan Raksa Praja berhasil menyingkir ke daerah Cilaki.
Setelah itu keluar instruksi dari Ridders kepada Bupati Bandung untuk mengerahkan 200 prajurit ditambah dengan lima orang kepercayaan bupati, yaitu NitiPraja, Martadiredja, Abdulahrahman, Raden Natadiredja, dan Raden Purakusuma. Mereka disiapkan dan digabungkan dengan pasukan lain di Sukapura dan dari sana diberangkatkan ke Cilaki. Penyerbuan ini ternyata dapat melumpuhkan gerakan Raksa Praja, banyak anggota komplotan melarikan diri berpencaran, sedangkan Raksa Praja melarikan diri ke wilayah hutan di Gunung Cayur.
Sampai di sini, cerita pun usai. Tidak jelas bagaimana nasib selanjutnya dari Raksa Praja atau Anggadikusuma dan juga tokoh-tokoh lainnya. Teks dalam buku Sejarah Tatar Sunda Jilid-1 ini hanya menyatakan bahwa salah satu sumber pemerintah Hindia Belanda secara singkat mengatakan bahwa Residen dengan bantuan para bupati, polisi, dan tentara berhasil mengakhiri pemberontakan itu dengan jalan menangkap dan membuang Raden Aria Anggadikusuma, sedangkan dari sembilan orang yang jatuh ke tangan polisi terdapat seorang yang menamakan diri Sultan Kanoman.

Berkait dengan cerita dalam Dongeng-Bandung edisi #11 tentang tokoh bernama Patih Selong, kemungkinan julukan tersebut adalah tokoh Anggadikusuma dalam cerita ini. Istilah Selong biasanya mengacu pada negeri Ceylon yang dalam lidah lokal sering dilafalkan Selong, misalnya julukan serupa, Patih Selong, juga pernah disematkan kepada Patih Karawang dalam masa kepemimpinan Bupati RAA Sastraadiningrat II (1886-1911), yaitu R. Sutadipura yang wafat di Ceylon dalam perjalanan untuk naik haji. Setelah wafat, namanya biasa disebut sebagai Eyang Patih Selong.
Sebegai penutup kisah ini, dalam bagian akhir tulisan “Gerakan Raksa Praja (1842)” disinggung beberapa hal yang terdengar agak ganjil, misalnya bahwa bila Raksa Praja yang diketahui menggelari diri sebagai Sultan Kanoman memang betul tertangkap, kenapa dalam proses pengadilan untuk menentukan bentuk hukumannya tidak terdapat berkas perkaranya? Mungkinkah setelah ditangkap itu langsung dibunuh? Dan bahwa untuk memecahkan persoalan ini belum diperoleh suatu sumber atau keterangan lain.
Pernyataan demikian menyiratkan bahwa penulis sudah mengakses laporan proses pengadilan untuk kasus ini, dan kalau memang begitu, kenapa sumber-sumbernya tidak dicantumkan dalam tulisan ini? Sampai bagian akhir tulisan tersebut, tidak jelas darimana asal-usul cerita yang menyebutkan begitu banyak nama tempat dan tokoh ini didapatkan oleh penulisnya?
___________________________
Beberapa hari usai membuat ringkasan di atas ini, berkat kebaikan seorang teman, kami mendapatkan salinan sebuah dokumen berupa skripsi atas nama Iman Hilman, seorang mahasiswa dari Jurusan Ilmu-ilmu Sejarah – Seksi Sejarah Modern, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tahun 1978. Judul skripsinya “Pemberontakan Raksa Praja Tahun 1842; Suatu Studi Kasus.” Salah satu yang terlihat menarik adalah halaman persetujuan skripsi, di situ tercantum nama dan tanda tangan Pembimbingnya adalah Dr. Onghokham, Pembacanya R.Z. Leirissa, S.S., M.A., dan Pengesahannya oleh Ketua Jurusan, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar. Mereka ini dikenal sebagai nama-nama besar dalam studi sejarah di Indonesia.
Melihat bagian Catatan dalam setiap Bab yang digunakan oleh skripsi ini, terbaca banyak memuat dokumen-dokumen Hindia Belanda dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang berupa berkas-berkas pemeriksaan tokoh-tokoh yang namanya disebut dalam rangkaian cerita ini. Penulis skripsi ini sepertinya menyusun alur cerita Pemberontakan Raksa Praja ini dengan merangkai data-data yang tertulis dalam berkas-berkas tersebut.
Selang satu hari, seorang rekan lain memberikan dokumen digital dari sebuah buku berjudul Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat terbitan tahun 1990. Tim penulis buku yang diterbitkan sebagai bagian dari Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional ini terdiri dari Edi S. Ekadjati, Rosad Amidjaja, Didi Suryadi, dan Ena Sutarna. Salah satu bahasan dalam Bab III judulnya adalah Perlawanan Raksa Praja (1842), panjangnya 15 halaman. Setelah membandingkan isi tulisannya, ternyata memang sama persis. Zaman sekarang istilahnya copy paste, kalaupun ada perbedaan, sangat minor dan mungkin karena kesalahan teknis dalam penyalinan saja.

Dalam Bab I yang berjudul Kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda di Priangan, selain membuat gambaran mengenai wilayah administratif Priangan, Iman Hilman juga menyusun rincian “Daerah-daerah yang Dilalui Pemberontakan Raksa Praja.” Berikut ini ringkasannya.
Seperti sudah diceritakan, Raksa Praja dkk memulai gerakannya dari Cutak Karang yang termasuk wilayah Kabupaten Sukapura. Dari sana bergerak ke Kampung Cengcem di Cutak Singaparna, Kabupaten Sukapura. Selanjutnya ke kampung-kampung Cipetir – Cikupa – Cikambiri di Cutak Trogong, lalu Kampung Liyang Maung di Cutak Banjaran, Gunung Tilu dan hutan Cilakibit di Cutak Cidamar, Kabupaten Cianjur, Kampung Nyalindung dan Kampung Cimiring, juga di Cutak Cidamar, selanjutnya ke kampung Cilimus – Guha Gentong – Sodong Leuwi Buaya – Cilayu – Cipancang – Sodong Ciliyak – Cikaso – Cikandang – Cirompong – Cigelam, semuanya di Cutak Garut, Kabupaten Limbangan, Gunung Sembung – Gunung Guhatana – hutan Kasesepan di Cutak Majalaya, lalu Kampung Cilaki dan akhirnya Gunung Cayur.
Alur cerita antara skripsi dibanding dengan dua buku yang membicarakan masalah ini isinya lebih kurang sama, paling perbedaannya ada pada detail-detailnya, misalnya pada bagian cerita pengiriman surat pertama dari Raksa Praja kepada Anggadikusuma. Dalam skripsi Iman Hilman disebutkan bahwa dalam surat itu juga disampaikan soal rencana untuk merebut kekuasaan dari Bupati Bandung, dan soal bantuan senjata dijelaskan bahwa sebagai mantan Patih Polisi, masih punya hubungan dengan organisasi-organisasi keamanan di Bandung, juga dengan mata-mata. Atau pada bagian di Guha Gentong, dalam skripsi disebutkan menginap di rumah Nangaiyuda, sementara di teks lain tidak disebutkan.
Masih ada satu masalah lain yaitu nama Ridders yang disebut sebagai Residen Priangan. Dari buka-buka arsip, tidak kami temukan nama Ridders sebagai residen Priangan. Yang terdaftar sebagai Residen Priangan saat itu adalah Johannes Baptiste Cleerens (1785-1850) dengan masa jabatan dari tahun 1841 sampai 1846. Menurut Ensiklopedia Multatuli, ia turut serta dalam Perang Jawa (1825-1830), lalu bertugas sebagai Jendral di Pantai Barat Sumatra, kemudian menjadi Residen Priangan selama lima tahun. Setelah itu bertugas sebagai gubernur di Maluku. Satu hal yang dapat membuatnya dinamai Ridders adalah bahwa pada tahun 1831 ia mendapatkan penghargaan Ridder in de Orde van de Nederlandse Leeuw dari Kerajaan Belanda.

Johannes Baptista Cleerens (1785-1859) Residen Priangan periode 1841-1846. Wikimedia Commons.
Bagian akhir atau penutup cerita juga agak berbeda. Pada skripsi, begini ceritanya: Raksa Praja sendiri kemudian melarikan diri ke hutan Gunung Cayur.Setelah melarikan diri ke hutan Gunung Cayur ini, Raksa Praja rupanya tetap menyembunyikan diri di hutan itu atau mungkin di daerah-daerah sekitarnya, oleh karena setelah terjadinya peristiwa itu tidak diperoleh berita lagi mengenai dirinya. Dengan kepergian Raksa Praja ke Gunung Cayur dan porak-porandanya rombongan yang dipimpinnya itu, maka pemberontakan yang dipimpin oleh Raksa Praja itupun mengalami kegagalan. Maksud Raksa Praja untuk menyerang kota Bandung ternyata tidak pernah sampai pada sasarannya, dan tujuan Raksa Praja untuk merebut tahta Bupati Bandung tidak akan pernah terlaksana. ***