Dongeng Bandung #10 Bandung dalam Roman Karya Yuhana

Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng

Oleh: Dongeng Bandung

Yuhana, atau Joehana dalam ejaan lama, adalah salah seorang sastrawan Sunda yang pernah sangat populer di masa sebelum Kemerdekaan RI, terutama periode setelah tahun 1920. Salah satu karyanya, Tjarios Eulis Atjih, pernah dibuat film pada tahun 1927, bahkan bila merujuk pada buku Katalog Film Indonesia 1926-2005 yang disusun oleh JB Kristanto (Penerbit Nalar, Jakarta, 2005), merupakan film Indonesia produksi kedua setelah Loetoeng Kasaroeng (1926).

Dalam Ensiklopedi Sunda (Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, 2000) diterangkan bahwa roman Tjarios Eulis Atjih terdiri dari tiga jilid dan masing-masing terdiri dari 50-60 halaman. Sekarang keberadaan buku aslinya sangat langka, bahkan hanya jilid kedua saja yang masih dapat ditemukan, itu pun berada di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Walaupun dengan agak ragu karena ketidakpastian informasi, Ajip Rosidi pernah menulis bahwa roman Tjarios Eulis Atjih diterbitkan pada tahun 1925 oleh penerbit Dachlan Bekti, Bandung.

Versi film Tjarios Eulis Atjih diproduksi oleh Java Film Co. dengan sutradara  George Krugers, namun buku Katalog Film Indonesia di atas tidak memberikan keterangan tentang siapa-siapa saja aktor dan aktris yang berperan. Sutradara Krugers sebelumnya juga terlibat dalam pembuatan film Loetong Kasaroeng sebagai penata gambar.

Film bisu Eulis Atjih dengan subjudul De Bandoengsche Schoon atau kadang De Schoone van Bandoeng diputar di seluruh Pulau Jawa dengan iringan orkes keroncong kenamaan pimpinan Kayoon. Sejak tahun 1930 subjudul ini kadang diganti menjadi De Roos van Bandoeng. Untuk pertunjukan di Singapura, film ini diberi subjudul Poetri jang Tjantik Manis dari Bandoeng. Pada tahun 1954 film Eulis Atjih dibuat ulang oleh Ardjuna Film (Tan & Wong) dengan sutradara Rd. Ariffien dan pemeran utama S. Bono dan Sri Yuniati.

Bataviaasch Nieuwsblad edisi 19 Agutus 1927 memberitakan bahwa film Eulis Atjih mendapatkan apresiasi sangat baik di dalam negeri (Hindia Belanda), tiket-tiket selalu terjual habis, bahkan sampai harus menolak permintaan tambahan. Penontonnya datang dari segala kalangan masyarakat yang hampir selalu berlinang air mata saat menontonnya.

Film Eulis Atjih menjadi bahan pembicaraan masyarakat di mana pun mereka saling bertemu. Film sederhana dengan isi cerita sederhana ini telah meninggalkan kesan yang mendalam bagi para penontonnya: Eulis Atjih dan anaknya hidup dalam kemelaratan setelah ditinggal oleh suaminya, namun mereka tetap tulus menerima suaminya kembali ketika ia sudah jatuh miskin. Lokasi pengambilan gambar film ini dilakukan di Bandung, Tanjungpriok, dan Singapura.

Liputan-liputan seperti yang ditulis oleh kora Bataviaasch Nieuwsblad, De Sumatra Post, De Indische Courant, bahkan koran-koran Belanda seperti Nieuwe Rotterdamsche Courant dan Het Vaderland, umumnya bernada sangat positif, walaupun sambil memberikan catatan mengenai hal-hal yang masih harus diperbaiki.

Dua iklan film Eulis Atjih, masing-masing dari Deli Courant dan De Sumatra Post pada akhir tahun 1927.

Dengan begitu tingginya apresiasi masyarakat terhadap film Eulis Atjih yang diadaptasi dari roman Tjarios Eulis Atjih karya Yuhana ini, namun agak sukar mendapatkan keterangan seberapa populer sebetulnya nama Yuhana saat itu sebagai orang yang menulis ceritanya. Roman karya Yuhana ini bukan pula satu-satunya karya yang diangkat ke dalam cerita film, masih ada satu karya lain yang lebih terkenal lagi, bahkan sampai sekarang, yaitu Karnadi Anemer Bangkong yang diangkat dari roman berjudul Rasiah Nu Goreng Patut.

Ketika diangkat menjadi sebuah film, ternyata bukan judul utama romannya yang digunakan sebagai judul film, melainkan subjudul yang Karnadi Anemer Bangkong yang dalam bukunya ditulis dalam kurung. Film Karnadi diproduksi oleh perusahaan Krugers-Filmbedrijf milik George Krugers yang kembali menjadi sutradara dalam film produksi tahun 1930 ini. Sama seperti Eulis Atjih, film Karnadi Anemer Bangkong juga merupakan film bisu. Dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-2005, film Karnadi terdaftar sebagai film Indonesia produksi ke-10.

Pada tahun 1977-78 FKSS IKIP Bandung mengadakan program kerja sama dengan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerag Jawa Barat, salah satu hasilnya adalah sebuah naskah laporan berjudul “Pengarang Yuhana”. Naskah ini kemudian ditelaah kembali dan disunting seperlunya oleh tim dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jakarta dan diterbitkan oleh lembaga yang sama pada tahun 1979 dengan judul Yuhana Sastrawan Sunda. Tim penulis buku ini terdiri dari Tin Kartini, Yetty Kusmiyati Hadish, Sutedja Sumadipura, dan Iskandarwassid.

Empat karya Yuhana yang semuanya merupakan penerbitan ulang, tiga di kiri oleh Girimukti Pasaka (1991, 1996, 1989) dan paling kanan oleh Kiblat Buku Utama (1986) dan semuanya diberi Kata Pengantar oleh Ajip Rosidi.

Walaupun buku ini membahas Yuhana sebagai sastrawan Sunda, dan pada bagian Kata Pengantar menyebutkan untuk memperoleh gambaran tentang riwayat hidup Yuhana, namun nyatanya informasi biografisnya malah sangat minim. Bagian Riwayat Hidup-nya kurang dari tiga halaman. Berikut ini ringkasannya:

Yuhana sebenarnya adalah nama samaran yang digunakan oleh Akhmad Basah atau A. Basakh atau Achmad Bassach. Nama Yuhana diambil dari nama anak perempuan yang dijadikan anak angkatnya. Tempat dan tanggal lahir Yuhana tidak diketahui, hanya ada dugaan dari beberapa orang yang pernah mengenalnya bahwa kemungkinan ia dilahirkan – atau paling tidak dibesarkan – di sudut timur lapangan Tegallega, di pinggir Jalan Ciateul. Dan kemungkinan ia tidak pernah pindah ke luar kota Bandung.

Yuhana menempuh pendidikan sampai selesai di MULO. Setelah lulus ia bekerja di Jawatan Kereta Api di Padalarang dan diduga sempat menduduki jabatan cukup penting. Yuhana diberhentikan dari Jawatan Kereta Api karena keterlibatannya dalam pemogokan buruh yang tergabung dalam Vereeniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP, Sarekat Sekerja Kereta Api) pada 8 Mei 1923, tanggal yang bertepatan dengan penangkapan Semaun di Semarang sebagai pemimpin Sarekat Sekerja tersebut.

Selain bekerja di Jawatan Kereta Api, ia juga aktif dalam pergerakan Sarekat Rakyat, bahkan menjadi salah satu pemimpin cabang Bandung. Selain itu, juga aktif sebagai seorang wartawan freelance. Ia menikah dengan Atikah, seorang guru di sekolah dasar yang didirikan oleh Sarekat Rakyat di Bandung. Pasangan ini tidak memiliki keturunan. Menurut Atikah Yuhana wafat di Tasikmalaya tahun 1930 saat mengadakan pertunjukan sandiwara di kota itu, lalu dimakamkan di Bandung.

Pada tahun antara 1923-1925 nama Yuhana sudah disebut-sebut sebagai seorang pengarang muda, namun belum terlalu jelas urutan daftar karyanya. Buku Yuhana Sastrawan Sunda memuat  daftar14 judul karya Yuhana secara alfabetis. Bila disusun berdasarkan dugaan tahun terbit, kira-kira seperti berikut ini urutannya. 1923: 1) Tjarios Agan Permas, 2) Tjarios Eulis Atjih, 3) Kasuat ku Duriat, dan 4) Neng Yaya. 1927: 5) Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama. 1928: 6) Mugiri, 7) Rasiah Nu Goreng Patut (Karnadi Anemer Bangkong), 8) Gunung Gelenyu (50 Dongeng Pigumudjeungeun), dan 9) Nangis Wibisana. 1930: 10) Lalampahan Pangeran Nampabaya sareng Pangeran Lirbaya (1930).

Selain sepuluh judul barusan, ada empat judul lain yang tidak ditemukan angka tahunnya, yaitu 11) Roro Amis dan cerita wayang 12) Bambang Hendrasaputra juga tidak dapat ditemukan kembali dan tidak didapatkan juga keterangan tahunnya. Satu naskah berjudul 13) Ny. R. Tejainten tidak pernah diterbitkan, dan satu buku berjudul 14) Sadjarah Pamidjahan yang diduga terbit tahun 1929, namun selain tidak ditemukan lagi bukunya, juga ada pihak yang meragukan bahwa buku tersebut dikarang oleh Yuhana. Dari total 14 judul yang dapat ditelusuri sebagai karya Yuhana, hanya empat buku saja yang masih dapat ditemukan bukti fisiknya.

Karya-karya roman Yuhana sering diadaptasi ke dalam bentuk sandiwara dan dipentaskan oleh kelompok yang dibinanya sendiri. Salah satu adaptasi yang terkenal adalah Rasiah Nu Goreng Patut yang sering dipentaskan dalam bahasa Melayu oleh kelompok-kelompok lain, malah sampai tahun 1980-an ada kelompok lenong yang mementaskannya secara reguler di Taman Ismail Marzuki walaupun tanpa menyebut nama penulisnya karena sudah berstatus seperti cerita rakyat saja.

Aktivitas Yuhana dalam dunia sandiwara dimulai saat terjadi letusan Gunung Kelud pada awal tahun 1920-an yang menimbulkan banyak korban dari penduduk sekitar. Yuhana berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantu korban dengan mengadakan pertunjukan sandiwara keliling. Atikah ikut terlibat membantu dan juga aktif sebagai pemeran.

Tahun 1928 Yuhana mendirikan sebuah usaha yang dinamakan Romans Bureau Yuhana. Dalam sampul buku Mugiri perusahaan ini memasang iklan yang menyatakan mereka menerima pekerjaan membuat naskah iklan untuk segala macam perusahaan, termasuk untuk buku program bioskop, restoran, sampai obat-obatan. Selain itu, menerima pembuatan konsep-konsep untuk roman, juga menerima penerjemahan dari bahasa Inggris, Belanda, Melayu, dan Sunda.

Yuhana pernah membuka kursus mengarang dan ada satu pesan dalam kelas yang dikutip dalam buku Yuhana Sastrawan Sunda, Yullie moeten van niets tot iets kunnen maken atau “Jadikanlah sesuatu yang tak ada menjadi ada”. Selain kegiatan-kegiatan yang sudah disampaikan ini, tidak diketahui apakah ia pernah bekerja di tempat dan bidang lainnya. Selain riwayat ringkas ini, Dongeng Bandung edisi ke-10 ini juga membicarakan empat roman yang gambar sampul bukunya dipasang di atas, dan secara khusus tentang Mugiri yang diterbitkan pertama kali tahun 1928 oleh toko buku Koesradie di Jalan Naripan, Bandung.

Mugiri karya Yuhana diterbitkan ulang tahun 1969 oleh Girimukti Pasaka, Bandung.

Roman Mugiri berkisah mengenai Neng Rahmah yang terperangkap oleh tipu daya Gan Andung, bahkan hingga nekad meninggalkan kedua orang tuanya. Neng Rahmah dan keluarganya tinggal di tepi Situ Bunjali di Desa Cipaganti, sebelah utara Kota Bandung.  Ayahnya bernama Raden Surya, seorang jurnalis dan koresponden koran “Het Vrije Woord”. Dikisahkan Neng Rahmah jatuh cinta kepada Gan Andung, seorang warga Jl. Kejaksaan yang bekerja di Escompto, yang dikenalnya saat mengikuti kursus mengetik.

Ayah Neng Rahmah menolak lamaran Gan Andung setelah menyelidiki latar belakangnya. Diketahui Gan Andung adalah seorang penjudi yang pernah menikah sembilan kali dan punya banyak kekasih yang setelah dikuras hartanya lalu ditinggalkannya. Gan Andung marah dan membujuk Neng Rahmah untuk kabur dari rumahnya ke rumah Bi Sarni di Babakan Ciparay. Setelah menikah selama 1,5 tahun, harta Neng Rahmah yang sempat dibawa dari rumahnya pun habis, diperas oleh Bi Sarni. Saat Neng Rahmah hamil tua, Gan Andung dan Bi Sarni mengusirnya.

Dengan hati sakit, Neng Rahmah pergi meninggalkan Babakan Ciparay. Berjalan menyusuri Kampung Situsaeur, belok ke timur ke Parapatan Ijan, lalu ke utara melewati Pabrik Kina dan ketika sampai di simpang dekat rumah orang tuanya di Situ Bunjali,  hatinya bimbang, terpikir orang tuanya tidak akan mau menerimanya kembali, sehingga ia melanjutkan perjalanannya ke utara melewati Cipaganti, Lembang, Pangragajian, dan Cikidang.

Di antara Cikidang dan Cikawari, Neng Rahmah merasa akan melahirkan. Ia mampir ke sebuah saung di tengah kebun jagung dan melahirkan anak laki-laki di situ. Bayi itu ditinggalkannya dan baru ditemukan esok paginya oleh pasangan suami isteri pengurus kebun jagung yang bernama Bapa dan Ambu Ispa yang membawa bayi tersebut ke Bandung dan menyerahkannya kepada pemilik kebun yang bernama Mas Wiria yang kebetulan tidak memiliki keturunan. Mas Wiria menerima bayi itu dan menamainya Mugiri yang artinya timu di giri.

Sementara itu, Neng Rahmah melanjutkan perjalanan sampai Pasar Cikawari, seberang gudang kopi lama. Keadaan tubuh dan pakaiannya sangat buruk sehingga banyak yang menyangkanya sebagai orang gila. Untunglah ada pertolongan dari Lurah Cikawari yang membawanya ke rumahnya. Di situ Neng Rahmah, yang mengaku bernama Iti, sempat tinggal selama tiga bulan, tapi kemudian memutuskan untuk pergi ketika sang Lurah hendak mengambilnya sebagai isteri muda.

Neng Rahmah berjalan ke arah utara dan ketika sampai di Puncak Eurad yang merupakan batas Bandung dengan Karesidenan Karawang, ia menengok ke arah Bandung. Saat dilihatnya Jalan Cihampelas dan kawasan Situ Bunjali, sambil berbicara sendiri, ingatannya menerawang pada semua kejadian yang telah menimpanya.

Ma Ijah, seorang penjual cendol di Puncak Eurad yang merasa kasihan mengajaknya untuk tinggal. Saat itu tidak ada pilihan lain, karena bila ingin bekerja, ia masih harus menempuh perjalanan jauh ke perkebunan Bukanagara, Pamanukan, atau Subang, melewati Cikendung dan Kasomalang. Neng Rahmah sudah dianggap anak oleh Ma Ijah dan setelah tinggal selama enam bulan, Ma Ijah membawanya ke Subang untuk belanja pakaian sekalian menemui Juki, anak laki-laki Ma Iti. Juki bekerja di sebuah pabrik tapioka dan kebetulan pabrik tersebut sedang memerlukan pegawai yang mampu mengetik. Neng Rahmah pun melamar dan diterima bekerja di situ.

Setelah bekerja beberapa lama dan dapat hidup berkecukupan, Neng Rahmah mengajak Ma Ijah, Juki dan isterinya, berjalan-jalan ke Puncak Eurad. Di sana ia mendatangi saung tempatnya dahulu melahirkan dan meninggalkan bayinya. Hampir setiap minggu Neng Rahmah datang kembali ke saung itu sehingga membuat pasangan suami-istri pengurus kebun heran dan melaporkan kejadian ini kepada Mas Wiria.

Karena penasaran, Mas Wiria mengajak Mugiri ke kebun untuk menunggu kedatangan Neng Rahmah. Ketika akhirnya bertemu, Neng Rahmah memaksa ingin membeli kebun tersebut. Mas Wiria bersedia menjual kebun dengan syarat mendapatkan penjelasan kenapa ia ingin membeli kebun itu. Akhirnya Neng Rahmah pun menceritakan pengalamannya apa adanya dan dengan kesaksian Bapa dan Ambu Ispa, diketahuilah bahwa bayi yang dahulu ditinggalkannya itu sekarang sudah menjadi anak angkat Mas Wiria dengan nama Mugiri.

Cerita dari Neng Rahmah menjelaskan pertanyaan batin Mugiri selama ini. Ketika ia duduk di kelas dua HIS, ia sempat mendengar bisikan dan doa ibunya sesaat sebelum wafat, agar ia dapat segera berjumpa dengan ibu kandungnya. Mugiri sangat heran, karena selama yang diketahuinya perempuan itu, isteri Mas Wiria, adalah ibu kandungnya. Setelah pertemuan di kebun jagung itu, Neng Rahmah pun menikah dengan Mas Wiria. Pernikahan ini hanya berlangsung tiga tahun karena wafatnya Mas Wiria.

Gan Andung yang hidup melarat karena judi menyusun rencana bersama Karta untuk merampok rumah seorang juragan kayu bakar untuk Pabrik Kina, yaitu Mas Wiria. Saat menjalankan aksinya, Gan Andung dipergoki oleh Mugiri yang dapat menangkapnya. Ketika Karta akan membantu membebaskan Gan Andung dengan cara menusuk dengan pisau, Mugiri menjadikan Gan Andung sebagai tamengnya, akibatnya pisau Karta malah menusuk perut Gan Andung hingga ususnya terburai. Warga pun sudah berdatangan ke rumah karena teriakan Neng Rahmah yang minta pertolongan. Sebelum ajal benar-benar menjemputnya, Gan Andung masih sempat melihat Mugiri, anak kandungnya.

Akhir kisah romah Mugiri ditutup dengan Neng Rahmah dan Mugiri yang datang ke rumah Raden Surya di Situ Bunjali. ***

Tinggalkan komentar