Dongeng Bandung: Ngaleut Tempo Doeloe bersama Walikota S.A. Reitsma

Oleh Dongeng Bandung

Dongeng Bandung kali ini akan menceritakan ulang sebuah kegiatan Ngaleut yang dilakukan seratus tahun lalu. Kegiatan ini tidak seratus persen dilakukan dengan berjalan kaki karena beberapa lokasi jaraknya terlalu berjauhan untuk ditempuh dengan jalan kaki, sehingga sebagian dilakukan dengan kendaraan mobil. Inisiatif kegiatannya datang dari walikota Bandung waktu itu, Steven Anne Reitsma yang namanya lebih sering disingkat menjadi S.A. Reitsma. Catatan seputar kegiatan ini kemudian ditulis dan dipublikan di koran De Preanger-bode, pada akhir bulan November 1920. Berikut ini dongengnya.

Walikota Reitsma memiliki gagasan yang bagus dengan mengajak seluruh anggota Dewan Kota dan kalangan jurnalis untuk mengenal secara langsung – melihat dengan mata sendiri – berbagai pekerjaan penting pemerintah kota, termasuk pendirian sejumlah lembaga-lembaga yang sudah ada. Kegiatan ini mendapatkan sambutan baik dan sukses besar. Hari Sabtu pukul sembilan pagi, Walikota dan seluruh peserta sudah berkumpul di depan Loji, tempat awal perjalanan akan dimulai. Hadir di sana para kepala dinas teknis dan sebagian besar anggota Dewan Kota, termasuk anggota baru dari Tionghoa, Tjen Djin Tjioeng, serta sejumlah warga Eropa dan Bumiputera. Setelah semua berkumpul, dimulailah kegiatan aleut-aleutan ini.

Kiri: Mata air Cikendi. Tengah: Mata air Cibadak. Kanan: Satu mata air yang fotografernya lupa mencatat di mana lokasinya. Foto-foto pinjam dari KITLV.

Lokasi pertama yang didatangi adalah mata air Tjikendi. Jalannya mengarah ke Lembang dan sebelum Pal-4, di sebelah kanan terlihat sebuah jalan setapak yang masih baru, diapit oleh pagar pembatas dari kawat galvanis yang memisahkannya dengan area persawahan. Setengah meter di bawah jalan ini terdapat pipa jalur air. Rombongan menapaki jalan tersebut sampai melewati sebuah jembatan yang cantik di bawah. Setelah 20 menit perjalanan, rombongan tiba di lokasi mata air. Di bagian terdalam sebuah lembahan kecil terdapat sebuah alat pelimpah air berbentuk keran besar yang memungkinkan air yang mengendap di bagian terdalam dilimpahkan ke luar. Debit airnya lebih dari 10 liter per detik. Lokasi mata air ini tidak jauh di belakang perusahaan Tjioemboeleuit, di ketinggian 800 mdpl.

Di dekat bangunan penampung mata air, berdiri sebuah warung kecil sederhana. Setelah masing-masing mencicipi air dari mata air itu, mereka berkumpul di warung ini. Walikota Reitsma kemudian berbicara, mengenangkan perjuangan panjang penyediaan kebutuhan air minum bagi warga Kota Bandung. Reitsma mensyukuri kelancaran seluruh pekerjaan ini dan menyampaikan penghargaan kepada para pegawai yang terlibat. Selanjutnya, Direktur Pekerjaan Umum, Pak Poldervaart, bercerita mengenai berbagai hal teknis yang selama ini dikerjakan. Ringkasannya:

Sementara pengeboran air artesis di wilayah Bandung Barat sangat berhasil, dan pada pekan ini ditemukan lagi sebuah mata air yang mengalir deras di dekat sekolah pertukangan, Ambachtschool, namun pengalaman menunjukkan bahwa pengeboran di Bandoeng Timur selalu gagal. Dan karena wilayah-wilayah yang lebih tinggi tidak bisa memanfaatkan air artesis dari Bandung Barat, maka perlu dicari solusi lain. Insinyur pertambangan De Jong sudah diberi tugas untuk menyelidiki dataran tinggi Bandung, dan ia menemukan, terutama di sebelah utara kota, banyak mata air dengan kualitas air minum yang sangat baik. Yang paling dekat dengan kota adalah mata air yang baru saja disebut, yaitu Tjikendi. Pekerjaan untuk memanfaatkan mata air ini dan membangun jalur pipa sedang berlangsung, dan kini pembukaan resmi telah dilakukan.

Keberhasilan ini juga terutama berkat semangat kerja dari pejabat teknis Visser, yang telah membuat sambungan-sambungan ini berjalan dengan lancar. Penyediaan air bagi warga kota sekarang sudah berlangsung dengan sangat baik, apalagi bila dalam waktu dekat ini sumur artesis baru juga tersambung, makan seluruh Bandung akan mendapatkan penyediaan air minum yang memuaskan. Juga bila nanti Pak Heetjans sudah kembali ke Bandung, maka mata air yang di sebelah timur, yaitu Tjibadak, juga akan segera dimanfaatkan. Pemanfaatan mata air ini yang memiliki debit lebih besar dibanding dengan Tjikendi, 35 liter per detik, diharapkan dapat segera menuntaskan persoalan penyediaan air minum untuk warga Kota Bandung.

Umumnya peserta dalam rombongan menikmati perjalanan menuju ke Mata Air Cikendi ini karena begitu indahnya pemandangan yang didapatkan dalam perjalanan, dan pengalaman itulah yang banyak dipertukarkan oleh sesama peserta Ngaleut. Setelah bicara-bicara dan bersantai sejenak sambil duduk seadanya di sekitaran warung, juga menikmati penganan seadanya, rombongan kembali ke mobilnya masing-masing untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya ke arah selatan, melewati rumah sakit kota yang berada di wilayah pegembangan Plan-IV. Mengenai rencana pengembangan wilayah ini dapat dibaca di sini.

Lokasi dan kawasan kegiatan Ngaleut Bareng Walikota Reitsma. Peta Bandoeng tahun 1930 dari KITLV, tidak ada keterangan penerbit.
Ngaleut ke Mata Air Cikendi tepat seratus tahun setelah Ngalaut-nya Reitsma, dengan kualitas foto yang menggetarkan. Foto: Komunitas Aleut.

Tujuan berikutnya dalam kegiatan Ngaleut ini adalah kunjungan ke Jalan Engelbert van Bevervoorde (Jalan Wastukancana). Jalan ini saat ini membentang dari Jalan Lembang (Jalan Cihampelas), di samping Garasi Torpedo, hingga ke Tjikapoendoeng, tempat di mana sebuah jembatan akan dibangun. Pekerjaan untuk jembatan ini sudah mulai dikerjakan. Direktur Pekerjaan Umum menjelaskan bahwa bila jembatan itu selesai dalam beberapa bulan mendatang, maka jalan tersebut akan bercabang tiga di seberang sungai. Dua dari jalan itu akan menghubungkan ke Villapark, sedangkan yang ketiga akan mengarah ke Merdika Lio dan kira-kira berakhir di dekat rumah Jenderal Clignet. Secara sambil lalu, kami juga mendengar bahwa ada rencana untuk membangun hutan pinus di lembah yang terletak antara Jalan Lembang dan Villapark, lengkap dengan jalan mobil dan sejumlah jalur pejalan kaki.

Jalan Engelbert van Bevervoorde juga akan diperpanjang ke sisi lainnya; hal ini menjadi mungkin karena lahan di sebelah kiri Jalan Lembang, yang sebelumnya milik Het Blinden Instituut (Institut Tunanetra), telah beralih ke tangan pemerintah kota melalui proses pertukaran. Dengan demikian, akan tercipta sambungan ke Plan IV, Pasirkaliki Utara. Gedung cabang HBS, serta bangunan sekolah AMS (sekolah Latin) yang direncanakan, nantinya bisa dicapai dari arah kota melalui jalur yang lebih pendek dan lebih luas dibandingkan dengan sekarang. Untuk pekerjaan ini, sejumlah besar tanah telah dikeruk dan kali harus dipindahkan alurnya, yang pekerjaannya pun sudah mulai dilakukan.

Kawasan Ngaleut Bareng Walikota Reitsma. Peta Kaart van Bandoeng. Uitgave NV Boekhandel Visser en Co, Bandoeng, 1927, dari KITLV.

Selanjutnya adalah kunjungan ke fasilitas rumah sakit milik pemerintah kota, yang terletak di Plan IV. Gedung-gedung yang berdiri di kedua sisi jalan besar itu sebagian besar telah selesai dibangun. Pak Slors, direktur Dinas Bangunan, memberikan penjelasan yang diperlukan, sementara kedua kontraktor, yaitu Pak Sleeuw dan Pak Sneevliet, juga turut hadir. Dari arah Jalan Lembang, di sebelah kiri terlihat sebuah bangunan besar bertingkat dua yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal bagi para perawat Eropa. Di kedua sisinya berdiri dua bangunan lainnya, masing-masing untuk perawat pria dan perempuan dari kalangan Bumiputra.

Di sebelah kanan jalan terdapat gedung utama yang megah, diapit oleh rumah dinas dokter kepala dan dokter Bumiputra. Di belakang gedung utama – yang berisi ruang tamu, ruang pemeriksaan, apotek, ruang bersalin, dan sebagainya – terdapat dua ruang operasi besar yang terletak agak berjauhan, masing-masing untuk perawtan dengan antiseptik dan aseptik. Ruang-ruang rawat inap yang sesungguhnya, yang dibagi berdasarkan kelas pembayaran dan asal etnis pasien, dibangun terpisah dalam bentuk paviliun di bagian belakang.

Secara terpisah lagi, terdapat barak-barak untuk pasien penyakit menular, yang hanya bisa dicapai melalui ruang desinfeksi. Terakhir, di bagian paling belakang, terdapat bangunan sementara untuk pasien gangguan jiwa serta rumah inap untuk pasien yang akan menjalani pengobatan dari Institut Pasteur.

Kami mendengar bahwa seluruh kompleks ini kemungkinan besar akan mulai digunakan pada bulan Juli mendatang. Karena naiknya upah tenaga kerja dan harga bahan bangunan, para kontraktor diperkirakan akan mengalami kerugian lebih dari seratus ribu gulden.

Dari rumah sakit, rombongan melanjutkan kunjungan ke sekolah pertukangan kota, di mana Pak Wiersma, direktur sekolah tersebut, mengajak rombongan berkeliling. Hasil yang dicapai dalam waktu dua setengah bulan, terutama pada kelas pertukangan kayu, begitu mengesankan hingga menimbulkan kekaguman semua orang.

Dengan sangat senang kami juga mendengar bahwa para siswa umumnya sangat rajin dan angka putus sekolah di sini sangat rendah. Kelas pertukangan batu juga telah menunjukkan hasil yang baik, dan jumlah pendaftar begitu besar sehingga kebutuhan untuk perluasan sudah sangat mendesak. Harapannya, beberapa perusahaan besar – yang nantinya akan sangat diuntungkan dengan adanya tenaga kerja terampil – bersedia memberikan subsidi kepada sekolah ini; dengan begitu, kelas untuk pengolahan logam dapat segera dibuka, karena saat ini masih terhambat oleh dana yang masih belum mencukupi.

Akhirnya dilakukan juga kunjungan singkat ke lokasi permakaman baru bagi penduduk Bumiputra, dan setelah itu semua peserta menuju ke rumah dinas wali kota. Di sana, Tuan dan Nyonya Reitsma menerima mereka dengan penuh keramahan, sehingga semua orang bisa mengaso dan memulihkan tenaga. Ngaleut hari ini ternyata terasa cukup melelahkan, tetapi sangat penting dan penuh pelajaran. Pemerintah kota memang sedang bekerja keras. ***

Tinggalkan komentar