Dongeng Bandung
Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng

Deden bertumbuh di daerah Cijerah, Bandung Kulon. Sejak usia SD sudah tertarik kegiatan mengumpulkan apa pun, termasuk data atau artikel dari koran Pikiran Rakyat dan tabloid Bola yang sering dibeli oleh ayahnya. Kebiasaan menyimpan sesuatu juga didapatkan dari kebiasaan ibunya yang selalu rapi dan tertib merawat barang-barang di rumah.
Usia SMP Deden mulai menyimak the one and only rock radio GMR FM. Mengumpulkan kaset dan merekam-rekam lagu. Kasetnya selalu di bawa-bawa agar bisa didengarkan bersama dengan teman-teman sekolahnya.
Masuknya internet membuat minat Deden mencari informasi bertambah luas. Info-info yang dicarinya seputar informasi musik, baik dari luar maupun lokal, juga tentang komunitas-komunitas musik yang saat itu mulai banyak muncul.
Kesadaran mengumpulkan atau koleksi yang diperlakukan sebagai arsip jadi tegas saat mulai rajin mengikuti event-event musik, terutama di GOR Saparua. Setiap potongan tiket yang didapatkannya selalu disimpan, juga bonus poster dari pembelian tiket.
Setelah lulus sekolah menengah, makin intensif bermain internet. Salah satu yang menjadi tonggak pentingnya adalah ketika menemukan website Domestik Doktrin, salah satu band thrash legend dari Bandung yang saat itu membuat pengumuman kepada siapa pun yang mempunyai kepercayaan pada kemandirian dan visi-misi sama seputar hardcore-punk untuk kumpul-kumpul sharing di Balaikota Bandung. Deden pun bergabung ke dalam kolektif Balkot dan ini merupakan pengalaman pertamanya terkoneksi langsung dengan komunitas Bandung. Sebagian dari mereka yang ikut kumpul-kumpul ini adalah yang sebelumnya biasa nongkrong di Riotic 181 (Jalan Dago 181), rumah neneknya Ucay Rocket Rockers, juga mereka yang datang dari Stress Distro Setiabudhi, dll.
Di kolektif Balkot atau Reclaim The Stairs DIY, Deden mendapatkan banyak pelajaran, sesuai dengan isu-isu yang sedang dihadapi oleh hardcore-punk saat itu, di antaranya upaya untuk mandiri seperti menyelenggarakan acara tanpa sponsorship, menolak komodofikasi hardcore-punk, menolak kolaborasi dengan korporat, dsb. Selain itu, Deden mendapatkan banyak koneksi dan informasi mengenai media seperti zine dan peredarannya. Pada waktu itu hardcore-punk Bandung memang sedang tumbuh dinamis, tak jarang kolektif Balkot dengan semangat DIY-nya mendapatkan cibiran dari publik, termasuk ketika mengelola pertunjukan band Rambo yang dilakukan dengan udunan dari kelompok dan penjualan merchandise.
Kegiatan di kolektif Balkot sebenarnya cukup beragam, selain mengadakan pertunjukan tanpa sponsor, juga ada workshop sablon, kelas bahasa Inggris, diskusi-diskusi musik dan scene lokal atau internasional. Untuk kegiatan-kegiatan ini kolektif Balkot pernah mendapatkan donasi kiriman pin 1 inch dari kolektif sejenis di Jerman.
Tahun 2004 Deden mulai membuat zine-nya sendiri, namanya Lapuk. Saat itu ada cukup banyak zine yang beredar, Deden membaca dan mengoleksi apapun yang bisa didapatkannya. Satu kalimat dari zine-zine itu yang kemudian menjadi pendorong Deden untuk membuat zine sendiri yaitu: membuat zine itu mudah. Tanpa pengalaman menulis, tanpa latar pengetahuan jurnalistik, dan sejenisnya, Deden menerbitkan “Lapuk.” Mula-mula isinya fokus pada musik saja.
Pergaulan Deden dengan Pam dan Ucok membawa sesuatu yang baru. Dari dua nama ini banyak zine dengan tema politik diterima dan menjadi koleksi Deden. Wawasan pun bertambah. Di periode ini Deden mulai menyisihkan uangnya untuk memesan zine-zine dari mana-mana, termasuk ke distributor zine di Jakarta yang sudah sangat dikenal orang, Peniti Pink. Selain dengan membeli, pertukaran atau barter media antara sesama zine-maker pun sering terjadi, bahkan lintas kota dan pulau.

Koleksi zine Deden pun makin banyak. Aktivitas tambahan seiringnya jaringan zine yang didapatkannya, Deden mulai rutin ngelapak zine, baik di pentas-pentas Bandung atau pun saat ia mengikuti band-band Bandung yang tour ke luar kota. Deden kemudian beranjak dan tahun 2008 menyewa kos-kosan di daerah Cikutra yang dioperasikan sebagai perpustakaan, distro dan distributor baik untuk zine, kaset, atau cd. Ia menggunakan nama Alternaive. Kamar kost yang sama juga menjadi tempat Deden tinggal sehari-hari, bisa dibilang saat itu 24 jam hidup saya buat zine.
Sejak berdirinya Alternaive, Deden jadi makin sibuk. Proses belajarnya terus berjalan. Di periode berikutnya, Deden yang selalu penasaran pada dapur produksi pun mengumpulkan pengetahuan tentang hal ini, dan hasilnya, mulai tahun 2011 Alternaive berkembang menjadi DIY Booking, membantu band-band lokal dan internasional yang tour dengan menjadi tour coordinator atau tour booking: Alternaive Booking Tour. Belakangan, bahkan lahir pula aktivitas penerbitan melalui Alternaive Publishing.
Mengenai koleksi poster, kegiatan pengumpulan sudah dilakukannya sejak sekolah SMP. Saat itu sudah ada kebiasaan untuk mencopoti dan mengumpukan poster dari jalanan, di tembok, di pohon, atau tempat-tempat lain. Tak jarang juga Deden mendatangi panitia konser untuk meminta poster. Sudah sejak lama koleksi posternya sangat banyak, dan sudah ada bayangan juga apa yang akan dilakukannya dengan poster-poster tersebut walaupun tentu butuh waktu untuk mewujudkannya.
Tahun 2017, Deden bergabung dengan kolektif Rumah Kelinci di Jalan Kelinci No.2. Di sini ada alm. Amenk dengan artstudio-nya, Refrain Music, Sunstore, dan Deden dengan perpustakaan zine dan distro-nya. Aktivitas di sini terhitung sangat hidup.


Pada tahun yang sama, ketika Deden sedang handle program tour sebuah band dari Australia, muncul ide untuk menerbitkan poster-poster koleksinya dalam bentuk zine. Dalam mewujudkan ide ini, Deden dibantu oleh Ferry Sunstore, termasuk juga untuk nama zine-nya, Dinding Ini Milik Kami. Untuk edisi pertama dikurasi kumpulan poster buatan antara tahun 1996-2000. Moda pencetakan dengan digital printing. Penerbitannya menggunakan nama Rumah Kelinci Publishing. Sampai saat ini zine pertama itu sudah cetak ulang tiga kali. Edisi #2 kemudian terbit pada tahun berikutnya dan Edisi #3 pada tahun 2020. Untuk Edisi #3 kebanyakan merupakan poster koleksi dari Julius Posterindo. Pada masa itu dinamika scene underground sedang turun, sehingga banyak orang menghibahkan koleksinya untuk dilanjutkan perawatannya oleh Deden. Beberapa tahun lalu, sejumlah koleksi Deden juga digunakan untuk film dokumenter Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua.
Ke depan, Deden masih masih membayangkan dan mencari-cari sistem arsip yang cocok untuk dilakukannya. Arsip untuk zine, poster, dan koleksi lainnya tentu tidak untuk diperlakukan sebagai barang simpanan yang mati dengan status sebagai koleksi saja, tapi sebaik-baiknya dapat memberikan manfaat untuk orang lain, baik bagi sekadar penghobi, atau pun untuk kajian-kajian ilmiah tertentu. Deden bahkan membayangkan sebuah museum.
Dalam durasi dua jam di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandoeng tentulah tidak semua hal dapat dibicarakan dengan utuh, misalnya beberapa kegiatan dengan nama Anak Muda Production atau Mata-mata Zine Distribution yang punya dunia sendiri, atau yang juga sangat menarik perhatian, yaitu kegiatan Perpustakaan Keliling, dari taman ke taman, dari satu sudut kota ke sudut kota lainnya. Kadang nongkrong seharian nungguan para peminatnya datang dan membaca buku-buku yang dibawanya. Atau juga kegiatan menyelenggarakan Zine Fest yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 2012 dan selanjutnya tahun 2013, 2016, dan 2018. Setelah itu, Zine Fest dilanjutkan pada tahun 2024 dan sepenuhnya dikerjakan oleh kawan-kawan dari generasi baru. Sedangkan generasi lamanya hadir sebagai pengunjung atau pelapak saja. Disadari atau tidak, di sini tidak terjadi dominasi atau penguasaan generasi, karena tongkat estafet sudah diberikan kepada generasi selanjutnya.
***
Semua foto dari @KomunitasAleut
Foto zine dari koleksi Deden Erwin Suherman