Oleh: Irfan Pradana
Momotoran kali ini terasa menjadi pengingat, sekaligus kelanjutan dari Momotoran perdana saya bersama Komunitas Aleut beberapa waktu lalu. Saat itu kami dengan lima motor menyusuri kawasan Malangbong, Cibugel, Citengah, hingga Desa Baginda di Sumedang. Salah satu tujuannya adalah mengunjungi jejak-jejak pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Pada perjalanan sebelumnya kami menjumpai Ibu Ane, cucu Kartosoewirjo dari putra ketiganya, Sardjono. Di rumahnya yang berada di Malangbong kami mendapatkan cerita-cerita menarik seputar sepak terjang kakeknya selama menjadi pucuk pimpinan DI/TII. Selain itu Ane juga bercerita terkait pengalaman pribadinya sebagai cucu dari seorang pimpinan salah satu gerakan bersenjata paling besar di Indonesia dan salah satu kegiatannya bersama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang sudah menerbitkan beberapa buku, di antaranya The Children of War (Kompas Penerbit Buku, 2014).
Setelah terpaut waktu cukup lama, akhirnya kami kembali Momotoran dengan tema serupa, DI/TII, tapi dengan daerah tujuan yang berbeda, yaitu beberapa lokasi yang memang sudah ada dalam catatan dan agenda, tapi masih belum sempat kami sambangi, di antaranya, Cisampang di Cigalontang dan Kampung Sudi di Sodonghilir.
Perjalanan kami mulai sekitar pukul lima dini hari. Dari Bandung kami mengambil jalur Cileunyi – Nagreg, lalu Kadungora – Leuwigoong. Seorang kawan spontan mengusulkan untuk mengunjungi sebuah situ (danau) yang belakangan namanya tengah viral di media sosial. Sekadar mampir sekalian mencari sarapan. Namanya, Situ Sarkanjut.
Tidak terlalu lama, kami sudah tiba di depan sebuah gapura bertuliskan “Selamat Datang di Situ Sarkanjut Desa Dungusiku.”

Dalam pemahaman saya selama ini, istilah kanjut dalam bahasa Sunda padan pengertiannya dengan alat kelamin pria, penis. Kawan-kawan lain pun menyatakan hal serupa. Tapi untuk meyakinkan lagi kenapa istilah ini digunakan sebagai nama tempat, saya coba informasi, dan menemukannya di website Sundadigi. Kanjut dijelaskan sebagai sarupa kantong leutik (wadah duit jst), selanjutnya, dikanjutan sama dengan diwadahan ku kanjut. Ya begitulah kira-kira, ternyata kanjut adalah sejenis kantung kecil tempat menyimpan uang. Keterangan lebih lanjut menyebutkan bahwa kantung tersebut memiliki tali pengikat yang dapat dikerutkan di bagian atasnya.
Bayangan kantung seperti yang dideskripsikan itu membuat saya mengambil kesimpulan bahwa ternyata selama ini ada banyak salah pengertian, paling tidak berdasarkan pengalaman saya, karena istilah kanjut sering diasosiasikan dengan penis, padahal semestinya merujuk pada kantung di bawah penis, alias testis. Dalam sebuah artikel internet yang menceritakan asal-usul Situ Sarkanjut disebutkan tentang seorang pemuka agama yang juga Bupati Cianjur bernama Mbah Sura Adipraja yang menolak memberikan upeti kepada Belanda. Ia lalu pindah ke daerah ini dan mendirikan kampung Sarkanjut. Dengan kemampuan spritualnya, serta bantuan masyarakat sekitar, ia berhasil menciptakan danau yang sekarang dikenal dengan nama Situ Sarkanjut. Artikel itu menyebutkan bahwa nama Sarkanjut itu bermakna tempat penyimpanan berbagai benda pusaka.
Saat kami tiba di Situ Sarkanjut, belum ada satu pun warung yang buka. Jadi kami hanya mengitari area itu sebentar dan segera melanjutkan perjalanan. Baru di sekitar Banyuresmi kami berhenti lagi saat menemukan tempat untuk sarapan.
Monumen Perjuangan Leuwigoong
Selang beberapa kilometer dari pasar Banyuresmi, tepatnya di jalan Pasopati, perhatian saya tertumbuk pada sebuah tugu di sisi kiri jalan. Karena saya sedang berada di urutan paling depan, agak leluasa untuk berhenti sebentar melihat tugu tanpa kuatir tertinggal oleh rombongan. Ini tulisan yang tertera pada tugu:
Jiwa dan Raga Ku Baktikan
Ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Teruskanlah Kawan, Teruskan
Atam Gugur Hari Selasa
3-9-1947
Pertempuran Terjadi Pada
Tgl 3-9-1947 Batalyon XXXI
Banteng Resimen Tentara
Perjuangan Bersama RakyatMelawan Tentara Belanda.

Setelah berselancar kilat di internet, saya temukan informasi bahwa tugu ini bernama Tugu Atam. Monumen yang berbentuk peluru raksasa ini didirikan pada tahun 1978 dan merupakan bentuk penghormatan kepada Atam Sundara, seorang pejuang yang gugur dalam pertempuran melawan Agresi Militer Belanda Pertama pada tahun 1947.
Tinggi monumen ini sepertinya mencapai 5 meter. Bagian bawahnya berbentuk persegi yang semakin ke atas semakin kecil dan pada bagian puncaknya dipasang peluru berukuran besar yang menghadap ke atas. Prasasti peringatan dipasang pada sisi yang menghadap ke jalan. Letak monumen ini lebih tinggi dari badan jalan jadi untuk menuju monumen, dari sisi jalan dibangun anak tangga berbahan tembok.
Dari buku Monumen Perjuangan Daerah Jawa Barat (1987) yang disusun oleh Edi S. Ekadjati dkk, saya ringkaskan informasi berikut ini:
Serangan Belanda ke Garut pada masa Agresi Militer I dimulai pada 4 Agutus 1947. Pasukan Belanda yang berasal dari Divisi 7 December pimpinan Mayjen Durst Brit dan Divisi B pimpinan Mayjen de Waal bergerak dari arah Bandung dengan persenjataan lengkap, termasuk tank baja. Pasukan ini dilengkapi juga dengan serangan pesawat udara. Pada 10 Agustus 1947 seluruh wilayah sekitar Garut sudah jatuh ke tangan Belanda.
Pasukan TNI dari Batalyon XXXI yang jumlah orang dan perlengkapannya tidak memadai, tidak dapat menghadapi pasukan Belanda secara frontal. Bersama Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dan laskar rakyat lain, umumnya mereka bergerak secara gerilya di pedalaman yang di sekitar Leles-Cibatu berpusat di Gunung Haruman.
TNI bersama laskar rakyat merencakan suatu pencegatan patroli tentara Belanda yang biasa dilakukan antara Leles-Cibatu. Tanggalnya ditetapkan 3 September 1947 dan lokasinya di suatu titik jalan lintas yang menurun dan berkelok. Pasukan yang melakukan pencegatan terdiri dari Kompi Barisan Banteng pimpinan Abubakar (kelak menjadi Bupati Ciamis), Kompi Hizbullah pimpinan Zainal Abidin, dan satu pasukan di bawah pimpinan Ahmad Muhamad. Persenjataan tim ini seadanya aja, senapan wilis.
Sekitar pukul 12.00 dari arah Leles muncul konvoi patroli dengan beberapa buah truk. Pada saat truk memasuki jalan menurun, pasukan TNI dan laskar mulai mengadakan tembakan-tembakan, sasaran pertamanya adalah sopir-sopir truk. Akibatnya, truk-truk itu terperosok ke selokan. Saling tembak pun terjadi dan berlangsung selama beberapa waktu dan baru berhenti ketika bala bantuan serdadu Belanda berupa kekuatan pesawat udara mulai berdatangan. TNI dan seluruh pasukan mundur ke pedalaman, namun jatuh seorang korban dari Barisan Banteng yang bernama Atam Sondara. Usianya baru 22 tahun. Jenazahnya dimakamkan malam itu juga di Kampung Ciseureuh, Desa Leuwigoong, dengan upacara militer.
Tahun 1978, atas kerjasama tokoh pemerintahan, militer, dan warga desa, mendirikan monumen peringatan pertempuran itu. Perencanaan dibuat oleh Adang Sukarna, seorang pemborong dan eks pejuang yang sudah menjadi tokoh setempat, dan Kapten Solihin, Komandan Rayon Militer Leles. Biayanya ditanggung oleh Kepala Desa Leuwigoong, Solehudin dan seorang tokoh setempat bernama Adang. Pengerjaannya dilakukan oleh warga desa.
Kembali ke perjalanan kami. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 09:00, artinya kami harus bergegas ke tujuan utama, Parentas. Perjalanan berat dimulai di sini. Kondisi jalan bisa dibilang cukup buruk. Beberapa kali motor saya harus menerjang kubangan air di jalan. Konturnya tipikal jalur pergunungan, menanjak-menurun dengan curam dengan salah satu sisi berupa gawir dan sisi lainnya jurang. Beberapa kali kawan yang berboncengan harus turun karena tidak kuat menanjak. Seringkali kami harus berhenti menunggu motor yang tertinggal.
Desa Parentas
Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya kami tiba di Desa Parentas. Dari info sekilas, Desa Parentas merupakan bagian dari Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya. Ada enam kampung yang termasuk ke dalam wilayah ini, yaitu Kertapura, Cimuncang, Buligir, Ciguntur, Kandang, dan kampung Sumur. Desa ini, dan sekitarnya, merupakan kawasan pertama yang ingin kami kunjungi, menyambangi pusat kegiatan DI/TII saat awal berdiri tahun 1949. Di Desa Parentas juga terdapat sebuah monumen peringatan penyerangan yang dilakukan oleh DI/TII tahun 1961. Monumen ini sudah pernah dikunjungi oleh Komunitas Aleut sebelumnya dengan formasi yang berbeda.

Tiba di halaman sebuah rumah yang letaknya di bawah badan jalan, terdapat sebuah tugu dengan prasasti bertuliskan:
Bumi ieu anu nyaksi.
Getih suci nyiram bumi.
Lima puluh hiji jalmi.
Rampak lastari sawengi.
17 Agustus genep hiji.
Ku kabiadaban DI/TII.
Peristiwa serangan yang mengakibatkan banyak sekali korban dilakukan oleh DI/TII karena warga Desa Parentas tidak mau memberikan bantuan serta enggan bergabung dengan DI/TII. Mengenai peristiwanya, catatan perjalanan Komunitas Aleut ke Parentas yang lalu menuliskannya dengan mengutip tulisan dari Hendi Jo yang dimuat di merdeka.com, judulnya “Banjir Darah di Parentas.” Saya kutip lagi di sini:
Pada tanggal 16 Agustus 1961, warga Parentas tengah bersukacita melakukan persiapan peringatan hari kemerdekaan RI yang ke 16. Acara peringatan ini rencananya akan digelar keesokan harinya, tepat pada tanggal 17 Agustus 1961. Malam datang berbarengan dengan selesainya persiapan. Satu per satu warga kembali ke rumahnya untuk beristirahat.
Malang tak bisa dihindar, ketika malam menjelang segerombolan pasukan DI/TII merangsek ke dalam perkampungan warga dan membombardir pos satu seksi pasukan Kodam Siliwangi Batalyon 304 pimpinan Letnan Dua Murad.
Segerombolan lain melakukan penjarahan, pembakaran, dan penembakan kepada seluruh wara Parentas yang ditemui, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak pun tak luput dari serbuan gerombolan. Akibatnya sebanyak 51 warga Parentas tewas dan ratusan rumah hancur lebur.
Sebetulnya kami ingin lebih lama lagi berada di Parentas, sayangnya kampung itu sangat sepi. Tidak ada warung yang buka. Tidak ada warga yang berlalu-lalang. Saya hanya menemukan seorang pria yang sedang mencuci motornya di dekat sebuah masjid. Menurutnya warga tengah sibuk di kebun, sehingga pada jam-jam itu kampung akan kosong.
Akhirnya, kami lanjutkan perjalanan lagi menuju lokasi berikutnya, Cisampang. Sebelum tiba di Cisampang kami harus melewati dulu kampung Buligir. Perjalanan lagi-lagi cukup sulit dengan medan yang menanjak dan berkelok. Salah satu motor kawan kami akhirnya tumbang karena kehabisan bensin. Seorang kawan memberi bantuan dengan menyedot bensin dari tangkinya untuk dibagi. Setelah motor menyala kembali, perjalanan dilanjutkan.
Cidugaleun
Kami baru menemukan jalan mulus di sekitar Desa Cidugaleun. Tampaknya pemerintah setempat sedang melakukan perbaikan jalan yang menurut warga sudah berlangsung selama enam bulan terakhir. Memang di sana-sini terlihat ada banyak alat berat dan para kuli yang tengah bekerja membangun jalan. Setelah itu kami menepi sebentar di dekat tempat wisata Curug Ciparay.


Media sosial ditambah akses jalan yang baik tampaknya mengundang banyak orang untuk mengunjungi Curug Ciparay. Keviralan ini langsung diendus oleh warga sekitar sebagai potensi ekonomi. Mereka membuka warung dan mengelola lahan parkir. Karena terlalu ramai, kami memilih berhenti di luar area parkir curug. Di sana kami beristirahat di sebuah warung tenda sederhana.
Sembari membeli makanan ringan, kami mengobrol dengan para warga yang menjadi pekerja dalam proyek perbaikan jalan ini. Kebetulan mereka tengah beristirahat di warung yang sama. Satu di antaranya adalah seorang pria paruh baya bernama Pak Otang. Saya mengajaknya berbincang, berharap ia punya cerita seputar zaman gerombolan (DI/TII).

Benar saja, rupanya ia masih memiliki ingatan mengenai peristiwa yang berkaitan dengan DI/TII. Pak Otang lahir tahun 1950. Saat kiprah DI/TII sedang hangat-hangatnya Pak Otang sudah berusia 11 tahun. Dari penuturannya DI/TII selalu bergerak pada malam hari.
“Lamun siang mah biasa wae. Warga ka kebon, daramel. Tapi lamun wengi, wah, sieun. Kan kalaluar tah gerombolan teh. Warga mah nyarumput, sepi da sieun. Aya nu dugi ka ngadamel liang dina tebing teh kanggo nyumput. Tebing digali dugi ka sameter, jalmina lebet weh ka dinya dibunian ku daun-daun garing supados teu katingal.” (Kalau siang biasa saja. Warga ke kebun, bekerja. Tapi kalau malam beda lagi, takut. Kan gerombolan keluar. Warga sembunyi karena takut. Ada yang sampai membuat lubang di tebing. Tebingnya dikeruk sampai satu meter, orangnya masuk dan ditutup daun kering agar tidak terlihat.)
Saat langit mulai mendung kami berpamitan agar bisa cepat sampai ke Cisampang sebelum hujan. Sebelum Momotoran ini direncanakan, kami semua sudah saling mengingatkan untuk membawa jas hujan dan pakaian ganti. Maklum, belakangan curah hujan cukup intens.
Cisampang
Pemilihan Cisampang sebagai bagian dari perjalanan ini adalah karena perannya dalam sejarah gerakan DI/TII. Di Cisampanglah Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949. Bayangkan, “Tempat Proklamasi!” Berkat peristiwa sejarah ini, Cisampang sampai mendapatkan nama baru, yakni Madinah. Seperti yang ditulis oleh C van Dijk dalam bukunya, Darul Islam; Sebuah Pemberontakan (Pustaka Utama Grafiti, 1995), penamaan Cisampang sebagai Madinah terinspirasi oleh peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Bagi DI/TII, Mekah versi mereka adalah Gunung Sawal di Ciamis, sementara Madinah adalah Cisampang.
Dalam bayangan awal saya tempat ini akan tampak megah, atau setidaknya memiliki lahan yang luas dengan lapangan terbuka. Namun nyatanya kampung Cisampang berada di sebuah bukit terpencil. Kami harus melewati jalanan batu kecil yang menanjak. Jika ada kendaraan lain dari arah sebaliknya pasti akan repot sekali.

Kami tiba di depan rumah yang menjadi lokasi proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia. Tidak ada yang spesial, hanya sebuah rumah bercat putih. Kondisinya lebih baik danterlihat lebih kokoh dibanding rumah-rumah di sebelahnya yang mayoritas masih berdinding bilik. Dugaan berdasarkan bentuknya sih mungkin sekali rumah ini sudah bukan lagi versi aslinya
Seperti dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, saya selalu merasa gamang setiap kali memasuki tempat yang dulunya merupakan basis DI. Bayangan kekejaman masa lalu kerap membawa trauma bagi siapa saja yang mengalami. Kami pun biasanya tidak berani bertanya langsung kepada warga sekitar, perlu teknik tersendiri untuk membuka obrolan. Kami meneruskan sedikit perjalanan ke atas, menuju Masjid At-Tarbiyah. Tepat di sebelah masjid terdapat sebuah warung sembako. Sayangnya sang pemilik warung tidak banyak mengetahui seluk beluk DI/TII di sana dan mengarahkan kami untuk bertemu Pak Ucu jika ingin mengetahui lebih banyak mengenai DI/TII di Cisampang. Pak Ucu adalah cucu dari sseeorang yang pernah bekerja untuk Kartosoewirjo. Cerita-cerita seputar DI/TII banyak ia dapat dari sang Kakek. Sayangnya saat itu Pak Ucu sedang tidak ada di rumah. Pasalnya setiap pagi hingga sore hari, ia pergi ke atas bukit untuk menyadap nira dan mengolahnya menjadi gula aren.

Masalahnya tempat Pak Ucu berada lokasinya cukup jauh dan terjal, sehingga sulit dicapai dengan motor. Akhirnya hanya dua orang rekan saja yang mendatangi Pak Ucu, sementara saya dan yang lain tetap berada di warung. Saat menunggu, seorang perempuan setengah baya datang ke warung. Tanpa berbasa-basi saya langsung menanyakan makam siapa yang berada di bagian selatan warung. Saya penasaran karena ada pohon hanjuang yang biasanya menjadi penanda sebuah makam.
Lalu Ibu itu menjawab bahwa di sana adalah makam anaknya “Pak Imam”. Imam yang dimaksud adalah Kartosoewirjo. Saya dan kawan lain langsung beranjak dan mengunjungi makam itu. Belakangan diketahui yang dimakamkan di situ adalah putra Kartosoewirjo yang bernama Rochmat.
Makamnya berada di sebuah bukit, tidak terlalu tinggi, tapi kami tetap harus sedikit merayap untuk tiba di lokasi. Ketika sampai, saya cukup kesulitan karena ada cukup banyak makam yang berada di sana dan semuanya tidak ada yang menggunakan nisan. Seluruh makam hanya ditandai oleh batu.
Hujan deras mulai turun, sementara dua kawan kami yang menemui Pak Ucu belum juga kembali. Kami cukup khawatir karena menurut penuturan pemilik warung, hujan yang sering terjadi belakangan ini membuat tanah di atas menjadi licin. Untung saja kekhawatiran kami tak berlangsung lama. Kedua kawan itu kembali dalam keadaan basah kuyup kehujanan. Setelah keduanya mengeringkan tubuh dan mengganti pakaian, kami berpamitan dan beranjak menuju destinasi terakhir, yakni Sodonghilir.
Kampung Sudi, Sodonghilir
Seperti air bah yang ditumpahkan dari langit, hujan deras mengguyur kami di sepanjang perjalanan ke Sodonghilir. Saking lebatnya, jas hujan yang saya pakai tak mampu membendung air hujan agar tidak merembes. Air menyerap ke sela-sela helm dan leher kemudian perlahan membasahi bagian depan kaos saya. Celana pun tak luput dari rembesan air. Situasi semakin menyiksa karena perut minta diisi lagi. Terang saja karena di Banyuresmi saya hanya memakan kupat petis, dan setelahnya hanya memakan jajanan kecil.
Karena hujan semakin deras, kami putuskan untuk berhenti di sebuah warung makan kecil. Beruntung masih ada beberapa lauk yang tersisa. Lapar yang melanda membuat tahu dan tempe saja menjadi terasa sangat nikmat. Sementara menunggu hujan kami bercengkrama dan mengira-ngira kapan kami bisa sampai lagi ke rumah. Tampaknya kawan-kawan juga sudah kepayahan dan terutama, kedinginan. Tapi rasanya sayang sekali jika kami menyerah karena masih ada satu tujuan lagi dalam agenda kami.
Hujan sepertinya enggan pergi, kami terpaksa memakai kembali jas hujan yang sebelumnya sudah digantung. Kami tak punya pilihan lain karena jika menunggu hujan reda, bisa-bisa kami kehabisan waktu dan tentunya sangat rawan melanjutkan perjalanan saat langit sudah gelap.
Di bawah guyuran hujan deras kami menembus Singaparna hingga menemui pertigaan ke arah Bandung dan Pamijahan. Batin rasanya ingin saja mengambil jalan lurus ke arah Bandung. Badan sudah kepayahan terkena hawa dingin dan meminta pulang. Tapi di sisi lain ego berbisik “masa kalah militan oleh Karto? Ayo, Bung, gas lagi!”. Tujuan kami selanjutnya adalah Kampung Sudi di Sodonghilir.


Baru saja satu kilometer dari pertigaan, lagi-lagi perjalanan kami harus tersendat. Satu motor kami mengalami kendala, filter motornya terlepas di tengah jalan. Untung saja masih ada bengkel yang buka. Akhirnya kami menepi. Sambil menunggu, kami menghangatkan tubuh dengan menenggak segelas Bajigur dari pedagang yang lewat. Udara begitu dingin menusuk hingga Bajigur yang masih mengepul bisa tandas dengan cepat.
Perjalanan menuju Kampung Sudi kira-kira memakan waktu sekitar 90 menit. Demi mengusir kejenuhan perjalanan, saya sesekali bersenda gurau dengan rekan “Joki”.
“Gila, ya, Karto dan pasukannya. Ke jalan begini dulu jalan kaki. Pasti tapak kakinya tebal.”
Begitu saja kami saling menimpali keheranan akan militansi Kartosoewirjo dan kawanannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain selama lebih dari 10 tahun. Pantas saja TNI saat itu begitu kesulitan mengalahkan pasukan ini.
Menjelang magrib kami tiba di Kampung Sudi, Sodonghilir. Kedatangan kami berbarengan dengan hujan yang mulai reda. Meski begitu hembusan udara dingin masih terasa. Tangan saya terasa beku karenanya.
Di sini kami mengunjungi lokasi kuburan massal korban DI/TII. Di depannya ada sebuah tembok berwarna hijau bertuliskan,
“Kuburan Massal 27 Orang Korban Keganasan DI/TII Tragedi Kp. Sudi 17-08-1957.”

Di sebelah monumen ini terdapat sebuah warung. Kami meminta izin kepadanya untuk menitip motor karena beberapa kawan ingin buang air kecil. Saya istirahat sejenak sembari mengobrol dengan Ibu pemilik warung.
Ternyata ia merupakan cucu dari salah satu korban pembantaian massal yang terjadi di Kampung Sudi. Kakeknya adalah satu dari 27 orang yang ikut dibunuh oleh DI/TII. Sayangnya tidak banyak cerita yang bisa saya gali darinya. Ia hanya menambahkan bahwa peristiwa itu menggoreskan trauma mendalam pada ayahnya (almarhum).
“Nya, pun Bapa mah dugi ka maotna alimeun ngiring acara Agustusan teh. Emut ka Apana wae.” (Ya, ayah sampai tak pernah mau ikut Agustusan. Teringat ayahnya terus)
Perhatikan baik-baik tanggal dan bulan kejadian pada monumen di atas. 17 Agustus, sama dengan peristiwa yang terjadi di Parentas. Persis di hari peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Menarik mencermati pemilihan tanggal ini karena seolah ingin memberi pesan untuk memporak-porandakan agenda besar Republik Indonesia. Van Dijk menyebut Darul Islam selalu menggunakan tanggal 17 Agustus untuk menunjukkan eksistensinya sekaligus untuk mengacaukan perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI, pun untuk menghukum semua orang yang turut serta dalam kegiatan tersebut.

Kampung Sudi menjadi penutup dari perjalanan Momotoran kali ini. Selama menjalani Momotoran seri DI/TII saya selalu mendapatkan objek perenungan baru. Di perjalanan pertama saya belajar banyak tentang peran “orang-orang kecil” di sekeliling Kartosoewirjo. Merekalah yang dengan segala keterbatasan mampu melanggengkan gerakan DI/TII hingga bisa bertahan hingga 13 tahun. Sementara di Momotoran kali ini, saya merasa kagum sekaligus bergidik ngeri pada – yang pertama – militansi Kartosoewirjo dan kawanannya dalam mengejawantahkan ideologi dan keyakinan yang mereka pegang. Rasanya sulit mencari padanan lain selain keyakinan yang bisa mendorong sekelompok orang rela berjalan kaki naik turun gunung, mengorbankan nyawanya sendiri, pun orang lain demi tegaknya sebuah ide. Yang kedua, pada seluruh korban, yang lagi-lagi merupakan orang kecil, harus mati dan pada akhirnya hanya menjelma angka: “dua puluh tujuh” dan “lima puluh hiji”. ***
luar biasa ternyata untuk menegakkan kebenaran memerlukan pengorbanan, yang Haq tetap Haq dan yang bathil tetap bathil saudaraku!
Ping balik: Catatan Momotoran ke Parentas, Cisampang, dan Sodonghilir | Dunia Aleut!