“Bandung adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia.”

Oleh: Komunitas Aleut

Pier Paolo Pasolini di depan makam Antonio Gramsci di Roma, 1970. Wikimedia commons.

“BANDUNG adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia.”

Judul tulisan ini diambil dari sebuah artikel dari Pieter Vanhove yang termuat di website Senses of Cinema pada bulan Desember 2015. Judul artikelnya sendiri juga menyebut nama Bandung, Pier Paolo Pasolini’s “Bandung Man”: The Indian and African Documentaries. Sesuai judulnya, Vanhove membahas karya-karya dokumenter tentang India dan Afrika karya Pier Paolo Pasolini, seorang sutradara film Italia, yang kadang dijuluki sebagai “Bandung Man”.

Julukan atau asosiasi Bandung Man bagi Pasolini berawal dari berbagai pemikiran dan pandangannya tentang kondisi dunia ketiga yang dirumuskannya sebagai Bandung Man dengan referensi langsung kepada peristiwa bersejarah, Konferensi Asia Afrika, yang diselenggarakan di Bandung pada 18-24 April 1955. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 29 negara Asia-Afrika ini dibicarakan banyak hal terkait upaya perlawanan terhadap kolonialisme, netralitas terhadap Perang Dingin dalam bentuk Gerakan Non-blok, serta peningkatan ekonomi dan kerjasama budaya antarnegara.

Demikianlah, kalimat “Bandung adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia” pun bukan datang dari penulis artikel itu, melainkan dari tokoh bahasannya, Pasolini. Berikut cuplikan artikel Pieter Vanhove:

“Pada tahun 1961, dalam sebuah artikel untuk Vie Nuove , Pasolini untuk pertama kalinya membahas ketertarikannya pada Dunia Ketiga, khususnya yang berkaitan dengan Bandung. Bagi Pasolini, Italia pada awal tahun 1960-an masih merupakan tempat yang ditandai dengan perpecahan yang sama antara negara-negara metropolitan dan bekas jajahannya. Ketimpangan yang luas di dunia pascakolonial mengingatkan Pasolini akan kesenjangan antara wilayah industri di Utara dan pedesaan di Italia Selatan. “Bandung adalah ibu kota dari tiga perempat dunia”, tulisnya di halaman Vie Nuove, “juga merupakan ibu kota dari separuh Italia.”

Vanhove melihat bahwa dalam Konferensi Bandung tahun 1955 itu, negara-negara Dunia Ketiga yang berpartisipasi telah mencoba merumuskan cara-cara alternatif untuk bekerja sama dalam dunia bipolar pada Perang Dingin. Peristiwa tersebut menandai lahirnya Gerakan Non-Blok, dan memberikan pengaruh pada generasi penulis, seniman, dan pembuat film. Dampak dari “Semangat Bandung” ini juga menarik imajinasi para intelektual Barat yang memuncak di akhir tahun enam puluhan dan awal tahun tujuh puluhan, ketika para seniman dan intelektual seperti Pasolini – yang kecewa dengan perkembangan yang terjadi di Uni Soviet – semakin banyak berbondong-bondong ke negara-negara non-blok seperti Ghana, Yaman, dan lain-lain. atau China untuk mencari alternatif.

PIER PAOLO PASOLINI (1922-1975)

Nama Pier Paolo Pasolini sepertinya tidak begitu populer di kalangan peminat atau kolektor film di Bandung. Paling-paling kolektor film lama yang meminati dan memburu filmnya, walau sebenarnya jarang juga jadi bahasan dalam diskusi atau obrolan selewatan tentang film, paling-paling mention keterlibatannya dalam beberapa film karya sutradara Italia terkenal, Federico Fellini, di antaranya Le Notti di Cabiria (Nights of Cabiria, 1957) dan La Dolce Vita (1960). Dalam dua film ini, Pasolini membantu pengerjaan dialog dalam film.

Pasolini dilahirkan pada 5 Maret 1922 di Bologna, sebuah kota di Italia yang pada masa itu dikenal sangat berhaluan kiri. Ayahnya, Carlo Alberto Pasolini, adalah seorang tentara berpangkat letnan di kesatuan Angkatan Darat Italia, sedangkan ibunya, Susanna Colussi, seorang guru di sebuah sekolah dasar. Sejak kecil hingga masa remajanya, Pasolini banyak berpindah tempat mengikuti tugas orang tuanya, hingga menetap agak lama di Casarsa della Delizia, Friuli, wilayah di timur laut Italia yang memiliki budaya yang berbeda.

Pada usia tujuh tahun, Pasolini sudah menulis puisi tentang keindahan alam tempat tinggalnya di Casarsa. Inspirasinya datang dari karya-karya penyair Perancis, Arthur Rimbaud. Sejak kanak-kanak itu, bacaan sastranya meluas. Ia membaca Fyodor Dostoyevsky, Leo (Lev Nikolayevich) Tolstoy, dan juga William Shakespeare. Setelah bertahun-tahun pindah tempat, akhirnya keluarganya kembali ke Bologna. Di kota kelahirannya ini Pasolini menempuh pendidikan menengahnya, lalu masuk ke Jurusan Sastra Universitas Bologna.

Pier Paolo Pasolini dan Federico Fellini. Wikimedia commons.

Pasolini terus menulis puisi, sambil memperdalam kemampuannya berbahasa Friulian yang sering ia sisipkan dalam karya-karyanya, hingga menerbitkan kumpulan puisi dalam bahasa tersebut dengan judul Poesie a Casarsa pada 1942 dan mendapatkan apresiasi yang baik dari kalangan intelektual dan kritikus sastra. Tiga tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, ia mendirikan Academiuta Della Lenga Furlana (Akademi Bahasa Friulan).

Pada masa ini Pasolini juga bekerja sebagai pemimpin redaksi majalah Il Setaccio, namun dipecat karena berselisih paham dengan direkturnya yang penganut fasisme. Sejak itu secara bertahap, Pasolini mulai mengikuti paham komunisme.

Saat pecah Perang Dunia II dan Casarsa dijatuhi bom oleh pasukan Sekutu, Pasolini menjauhkan diri dari kancah pertempuran, dan bersama ibu dan rekan-rekannya memilih mengajar di Perdonne dan Udine. Pada masa ini ia mulai menyadari orientasi seksualnya karena tertarik pada salah seorang siswa sesama jenis. Selain menerbitkan sejumlah buku puisi lagi, Pasolini juga mulai menulis naskah drama dan novel.

Pada 26 Januari 1947, Pasolini menulis deklarasi yang dimuat di halaman depan surat kabar Libertà: “Menurut kami, saat ini hanya Komunisme yang mampu memberikan budaya baru.” Saat itu ia belum tergabung dalam Partai Komunis Italia, sehingga cukup menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, karena sebelumnya ia cukup aktif melakukan kritik terhadap Partai Komunis Italia yang menolak desentralisasi wilayah Italia.

Setelah bergabung dengan partai komunis, ia banyak mengamati perjuangan buruh dan tani, serta menyaksikan bentrokan pengunjuk rasa dengan polisi Italia. Ia juga mulai menyusun novel pertamanya. Selama periode ini, sambil mengajar di sekolah menengah, ia juga menonjol di lingkungan Partai Komunis Italia setempat sebagai seorang penulis yang terampil.

Sehubungan dengan orientasi seksualnya, Pasolini menerima sejumlah tuduhan, namun ia berhasil bebas, dan kemudian memilih untuk menetap di pinggiran kota kumuh Rebibia. Ia tinggal di borgate, kawasan kumuh, di sebelah sebuah penjara di kawasan tempat tinggal para imigran miskin, dengan kondisi sanitasi dan sosial yang buruk. Periode ini menjadi permulaan kehidupan baru bagi Pasolini.

Dari sinilah pada tahun 1955 lahir novel pertamanya, Ragazzi di Vita, tentang lumpenproletariat, kalangan masyarakat bawah yang tidak memiliki kesadaran kelas. Karya ini meraih sukses besar, walaupun tidak disukai oleh Partai Komunis Italia. Kehidupan di borgate terus menginspirasi karya-karya Pasolini, termasuk di bidang film.

Pada tahun 1955 Pasolini juga memulai keterlibatannya dalam dunia film dengan menjadi penulis untuk film La Donna del Fiume karya sutradara Mario Soldati dengan bintang Sophia Loren, Gerard Oury, dan Rik Battaglia. Karya film pertamanya berhasil dibuat pada tahun 1961 dengan judul Accattone. Film ini berkisah tentang seorang bernama Vittorio dengan julukan Accattone yang menjalani kehidupan sebagai seorang germo.

Pada tahun 1961 Pasolini bersama Alberto Moravia – ketika itu menjabat sebagai presiden organisasi sastra dan hak asasi manusia, PEN – melakukan perjalanan ke India untuk  menghadiri sebuah konferensi penghargaan untuk sastrawan India, Rabindranath Tagore. Selanjutnya, ia ke Afrika, lalu ke daerah kumuh di Amerika, dan ia terkejut sendiri melihat ghetto-ghetto hitam di sana. Masalah Friulian, India, Afrika, dan ghetto Amerika adalah rangkaian dunia ketiga universalis. Dalam sebuah tulisan ia menyimpulkan bahwa masalah kulit hitam di Amerika adalah masalah dunia ketiga. Dan semuanya diwakili oleh Bandung Man atau Manusia Bandung.

Pada tahun 1964, Pasolini membuat puisi berjudul L’uomo di Bandung atau Bandung Man dan dimuat pertama kali dalam jurnal Julia Gens. Puisi ini mengisahkan dua sosok: Davidson, seorang pemuda Afrika, dan Revi, seorang pemuda India. Karakter Davidson sebelumnya muncul dalam skenario film Il Padre Selvaggio (1962), sedangkan karakter Revi muncul dalam buku catatan perjalanan L’odore del’India (1962).

Kedua karakter tersebut dalam puisi L’uomo di Bandung digambarkan sebagai miniatur Bandung; mereka adalah simbol sebuah konferensi universal yang dihadiri oleh seorang intektual barat yang aneh, Pasolini. Bagi Pasolini, kalangan bawah Italia dan dunia ketiga merupakan satu kesatuan yang pada dasarnya humanis-universalis.

Bandung, atau Bandung Man, atau kandungannya, Spirit Bandung, masih menjadi inspirasi karya film Pasolini, seperti dalam Notes for an African Orestes (1971) atau The Walls of Sana’a (1971), namun kemudian akan mulai luntur, sebagaimana sudah tergambarkan dalam film yang disebut terakhir. Dalam film itu Pasolini membandingkan proyek konstruksi China di Sana’a dengan gedung-gedung apartemen modern yang mencemari pemandangan kota Orte, Italia. Menurutnya, Bandung sudah tidak lagi menawarkan inspirasi seperti dulu, karena sudah mulai diselimuti oleh modal global.

Dalam Notes for a Film on India, Pasolini semakin pesimistis pada dunia ketiga – yang murni dan tak tersentuh – karena sedang mengalami metamorfosis. Ruang-ruang yang dulunya utopis berubah menjadi buruk, tidak lagi menjadi alternatif bagi para intelektual. Universalisme Bandung tampak sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Manusia Bandung, terancam punah.

Beberapa bulan sebelum kematiannya pada tahun 1975, Pasolini menulis: “Pada awal tahun 1960-an, karena polusi udara, dan yang paling penting, karena polusi air di pedesaan (sungai biru dan parit yang bersih), kunang-kunang sudah mulai menghilang.

Hari itu, 2 November 1975, di sebuah pantai di Ostia, Pier Paolo Pasolini dipukuli dengan kejam, ditabrak berulang kali dengan mobilnya sendiri, tulang-tulangnya patah, buah zakarnya hancur oleh batangan logam, wajahnya hampir tidak dapat dikenali. Menurut hasil otopsi, tubuh Pasolini juga dibakar dengan bensin setelah kematiannya. Kecil kemungkinan pelakunya hanya satu orang. Dugaannya, pembunuhan balas dendam ala mafia.

Giuseppe Pelosi, pemuda usia 17 tahun kedapatan mengemudikan mobil Pasolini dan membuat pengakuan telah membunuhnya. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum sembilan tahun penjara pada 1976. Dua puluh sembilan tahun kemudian, Pelosi mencabut pengakuannya dan mengatakan bahwa pengakuannya dahulu karena ia berada di bawah ancaman kekerasan terhadap keluarganya. Ia juga menyebutkan bahwa ada tida orang dengan aksen selatan yang telah melakukan pembunuhan itu sambil meneriaki Pasolini sebagai komunis kotor.

Sampai saat ini kasus pembunuhan Pasolini masih belum terungkap lengkap. ***

Makam Pier Paolo Pasolini di Casarsa della Delizia yang didesain oleh arsitek Gino Valle. Di sebelah kiri adalah makam ibunya, Susanna, yang meninggal pada 1 February 1981 dalam usia 89 tahun. Makam ayah Pasolini ada di bagian lain kompleks kuburan ini. Wikimedia commons.

Sumber:

Pieter Vanhove: Pier Paolo Pasolini’s “Bandung Man”: The Indian and African Documentaries.

Luca Peretti: Remembering Pier Paolo Pasolini

https://jacobin.com/2018/06/pier-paolo-pasolini-pci-communist-party

https://it.wikipedia.org/wiki/Pier_Paolo_Pasolini

ICI Berlin Repository https://oa.ici-berlin.org/repository/doi/10.37050/ci-06_16

Aline Greff Buaes: Protegido Pelas Contradicoes – Coletanea de Cronicas Jornalisticas de Pier Paolo Pasolini (1960 a 1965). Sao Paulo, 2009.

Silvia Riva: Trames de Memoires Documentaires et Filmiques Autour du Congo RDC: du Pere Sauvage (1967) a La Rage de Pasolini (2008)

Tinggalkan komentar