Sekitar Bandung Lautan Api: Simon Tobing

DETASEMEN PELOPOR

Dalam Detasemen Pelopor, organisasi dan gerakan pasukan menjadi lebih teratur dan berdisiplin. Kelompok ini bermarkas di Jalan Papandayan, Cibangkong, berhadapan dengan sebuah markas tentara Jepang. Setelah bermarkas di Cibangkong, beberapa kelompok pemuda lainnya mulai bergabung dengan Detasemen Pelopor, di antaranya Barisan Pemuda Pamoyanan yang dipimpin oleh Tatang Sumantri dari Bandung Utara. Tatang yang mantan guru dengan usia di atas rekan-rekan lain dalam detasemen, sehingga ditunjuk sebagai Kepala Bagian Organisasi, kadang juga mewakili Simon Tobing.

Suatu hari datang seorang pemuda menghadap Simon Tobing di markas dan menyatakan keinginan untuk bergabung dengan Detasemen Pelopor. Pemuda bernama Adimiharja itu datang dengan seragam Sersan KNIL, lengkap dengan kaplaars, topi pet, sabuk dan selempang kulit, klewang, dan pistol Vickers Parabellum. Tobing yang terkesan dengan penampilannya langsung menerima dan menempatkannya sebagai Advisur dan Instruktur. Dalam keseharian, ternyata pemuda ini selalu tampil seperti militer sejati, tegap, tenang, rapi, luwes, ramah, dan tidak pernah emosional.

Sebelum terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api, beberapa anggota detasemen berkesempatan mencuri dua buah mobil yang sudah ditinggal pemiliknya dari perusahaan Lindeteves di Jalan Braga. Masing-masing sebuah halftruck dan sebuah sedan Cabriolet. Tentara Gurkha yang berjaga di pintu rel kereta api melihat kejadian itu dan menghujani kedua mobil dengan tembakan. Untunglah mereka berhasil lolos. Sujoko menggambari halftruck itu dan membubuhkan nama Black Spider.

Tanggal 23 Maret 1946 anggota Detasemen Pelopor membuat bom-bom molotov menggunakan botol-botol dan lampu-lampu bekas yang diisi dengan bensol dan campuran lain dengan panduan rekan-rekan dari Sekolah Teknik Tinggi. Mereka juga belajar cara membawa dan menggunakan nanti untuk membumihanguskan Kota Bandung. Tanggal 24 Maret malam setelah terdengar ledakan pertama dari daerah Alun-alun, berhamburanlah anggota pasukan dengan bom-bom molotov ikut meluluhlantakkan bangunan-bangunan di Kota Bandung.

PINDAH KE UJUNGBERUNG

Pada malam terjadinya Bandung Lautan Api, 24 Maret 1946, pasukan Detasemen Pelopor beranjak pula menuju pos pertahanan barunya di Ujungberung. Setelah berjalan kaki menembus hujan, rombongan ini tiba di sebuah bangunan sekolah yang sudah kosong di daerah Cipamokolan. Karena semua pintu terkunci, mereka terpaksa berteduh dan menginap di teras bangunan. Keesokan paginya baru melanjutkan perjalanan ke Ujungberung.

Kegiatan pertama yang dilakukan setiba di Ujungberung adalah konsolidasi, regrouping, dan pembagian senjata dan mesiu, serta mendirikan dapur umum. Bagian Palang Merah yang turut sejak di Cibangkong juga berbenah dan melakukan persiapan-persiapan. Detasemen mulai mempersiapkan diri menjadi Batalyon I Pelopor yang bersifat mobile. Markas Resimen ditempatkan di daerah Cileunyi, sedangkan untuk Batalyon di sebuah sekolah di Rancaekek.

 “Otobiografi Dokter H. Rd. Djundjunan Setiakusumah; Sebuah Kenangan” mencatat pengalaman dengan Simon Tobing di Rancaekek yang memerintahkannya untuk membawa keluarganya mengungsi jauh dan menyarankan pergi ke pergunungan di Ciamis. Djundjunan akhirnya mendapatkan sebuah rumah di pinggir jalan besar di Cikoneng, Ciamis. Dari rumah itu setiap minggu Djundjunan pergi ke Garut, karena waktu itu kantor Kotapraja berada di Garut, lalu ke Majalaya untuk memeriksa para pengungsi yang sedang dalam keadaan sangat menderita. Djundjunan bersama Camat Majalaya mengusahakan untuk mendapatkan bantuan beras dari orang-orang kaya, namun tidak berhasil. Banyak orang yang sudah bengkak kaki dan perutnya, namun memaksakan ingin kembali ke Bandung bila keadaan sudah mendukung, “Kalau juga saya harus mati, ingin menginjak dulu tanah Bandung dan dikubur di Bandung.”

Sebagai Kepala Bidang Penyelidikan, Rusady bersama Lukito, Sumbodho, Sumbhono, Sugandi, dan Achir bertugas mencari tahu keadaan pertahanan musuh di dalam kota, jadi harus melakukan penyusupan ke tengah kota. Biasanya mereka berangkat malam hari melalui jalan-jalan yang diperkirakan tidak terlalu diperhatikan oleh musuh. Lalu mulai pagi hari berkeliling sebagai rakyat biasa melewati Divisi 23 Inggris di Gedung Sate, markas besar di Gedung DVO, kawasan Akademi Militer di Jalan Supratman, terus Bojongkoneng, Bronbeek, Kebonwaru, Cicadas, ACW, Cicaheum, dll, dan mencatat semua yang mereka lihat.Setelah kembali ke markas, mereka melaporkannya ke Mayor Tobing yang selalu sangat teliti memperhatikan hingga detail-detailnya.

ANDJING NICA

Dengan mengutip isi buku “Andjing NICA,” Rusady menceritakan bahwa musuh bebuyutan pasukan pemukul Belanda yang bernama Andjing NICA ini adalah Ploppers Troepen alias Detasemen Pelopor. Salah satu tulisan dalam buku itu memuat cerita bagaimana mereka melakukan serangan malam menggunakan kendaraan yang berjalan mundur. Setelah menembakkan peluru cahaya untuk menerangi sekitar, mereka menembaki apa saja yang terlihat bergerak. Di depan LP Sukamiskin, dekat jembatan, Pasukan Andjing NICA kemudian turun dari kendaraan dan memeriksa semua sudut jalan.

Dalam keadaan hujan, Pasukan Pelopor saat itu sedang bersembunyi dengan posisi tiarap atau jongkok. Saya kiri dan kanan sudah terlebih dahulu merayap maju ke depan. Ketika mereka kembali menuju kendaraan, pada saat itulah sayap depan pasukan Pelopor melakukan serangan dengan tembakan-tembakan. Mereka yang tak sempat naik kendaraan yang buru-buru kabur ditinggal begitu saja.

Pada 27 Juli 1946 datang pasukan tambahan untuk pasukan Pelopor yang datang dari Sumpiuh, Divisi Purwokerto. Mereka semua berseragam hijau dan memiliki persenjataan lengkap serta membawa sebuah meriam Jepang. Ketika pasukan-pasukan yang berada di sekitar Bandung melakukan serangan umum ke Bandung, pasukan dari Sumpiuh ini membantu dengan beberapa kali menembakkan meriamnya, tapi ternyata setelah itu mereka pergi entah ke mana. Padahal akibatnya, pasukan Pelopor mendapatkan serangan balasan yang berat, dihujani tembakan howitzer.

Seorang sersan bernama Keereweer menyampaikan cerita lain, yaitu ketika pasukannya sedang bergerak ke arah pergunungan utara Ujungberung. Sekitar 100 meter dari Sekehonje, mereka bertemu dengan pasukan bersenjata yang namanya sudah menjadi TRI. Pasukan TRI menembaki mereka dengan senjata Hotskis. Rumah perlindungan mereka pun habis diberondong senapan mesin TRI. Sersan Keereweer mengakui saking takutnya ia merasa ingin berak di celana. Mereka pun meminta bantuan tembakan mortir pada kawan-kawan mereka yang berada di Gunung Bongkor, namun akibatnya makin parah, karena salah memberikan koordinat malah mereka terserang dari dua arah, dengan mortir dari belakang dan serangan TRI dari depan. Lalu komandan pleton mereka berteriak-teriak bagai orang gila meminta agar tembakan mortir dihentikan, sayangnya, pelayan radio di Gunung Bongkor sudah duluan tewas.

POPPY

Rusady menilai Mayor Tobing adalah orang yang luar biasa, serba bisa, tenang, ulet, tabah dan selalu serius menghadapi berbagai situasi. Sejak mengenalnya di PRI, Tobing selalu bekerja dan bekerja. Rusady juga menyebutkan bahwa Mayor Tobing orang ganteng, seperti bintang film Allan Jones, dengan topi turbus Turki dan sepatu lars tinggi. Kadang ia terlihat bersama seorang perempuan cantik bernama Poppy.

Ketika Mayor Tobing luka-luka terkena detonator di markas Ujungberung, Poppy yang sedang bersekolah di Malang pun segera datang menemuinya. Poppy dan Tobing akhirnya menikah dan memiliki seorang anak. Setelah Mayor Tobing gugur dalam konflik dengan DI/TII, tak lama kemudian, anak pasangan ini juga meninggal. Kemudian Poppy menikah lagi dengan seorang eks mahasiswa STT/ITB seperti Tobing, namanya Masduki, putra pengusaha dodol Garut yang pertama.

Tinggalkan komentar