Johan Luyke Roskott

Oleh: Aditya Wijaya

Belakangan ini saya sering mengunjungi Makam Pandu untuk melakukan inventarisasi makam-makam yang ada di sana. Kegiatan ini membuat saya harus blusukan ke seluruh area permakaman. Dalam satu kesempatan, saya menemukan sebuah nisan tua panjang yang begitu khas dan mengingatkan pada nisan-nisan yang ada di Museum Taman Prasasti, atau pada nisan-nisan yang terdapat di Makam Belanda Cisarua, Bogor.

Nisan ini bertuliskan bahasa Belanda dan mencantumkan tiga buah nama yang tersusun berurutan dari atas ke bawah:

  1. Mr. J. Luyke Roskott. Overl: 26 Nov 1914.
  2. Mevr. A. CH. Luyke Roskott, Geb: Raaff. Overl: 19 Dec 1937.
  3. Dr. Ir. Ing Rudolt Johan-Luyke Roskott. Geb: 16 Sep 1902. Overl: April 1978.

Sepanjang yang dapat saya ketahui, nisan panjang seperti ini tinggal satu-satunya saja yang tersisa di Makam Pandu. Saya juga sempat bertanya ke salah satu penjaga makam di Pandu, apakah ada nisan lain dengan bentuk seperti ini? Dia menjawab tidak ada, hanya itu saja.

Di masa lalu mungkin ada banyak nisan semacam ini, terutama ketika lokasi makam orang Eropa masih terletak di Kebonjahe sebelum dipindahkan ke Pandu. Beberapa tahun lalu, sebuah nisan panjang pernah ditemukan oleh rekan-rekan Komunitas Aleut di sebuah kampung dan saat itu sudah berubah fungsi menjadi papan cuci warga di sebuah kampung. Kembali ke nisan panjang Luyke Roskott. Saya coba telusuri dan menemukan potongan-potongan informasi, khususnya mengenai tokoh nomor tiga yaitu Johan Luyke Roskott. Berikut ini beberapa hal yang bisa saya sampaikan.

Johan ‘John’ Luyke Roskott (Aditya Wijaya)
Nisan Luyke Roskott (Aditya Wijaya)

Johan Luyke Roskott

Dr. Ir. Rudolf Johan ‘John’ Luyke Roskott lahir tahun 1902 di Hindia Belanda sebagai anak tunggal dari pasangan seorang ayah Belanda dan ibu pribumi. Ayahnya meniti karir sebagai hakim di berbagai pengadilan dan hampir diangkat menjadi wakil ketua Dewan Kehakiman Hindia.

Pada tahun 1930, Luyke Roskott menikah di Brussels dengan seorang gadis pribumi bernama Ans Cassa. Dia adalah saudara perempuan dari Th. Cassa yang pada tahun 1949 menjadi komandan sebuah pasukan militer di Bandung dan Cimahi. Th. Cassa saat itu sering berhubungan dengan Raymond Westerling. Tahun 1947, Luyke Roskott bercerai dari Ans dan setahun kemudian dia menikah lagi dengan seorang perempuan Indonesia lainnya.

Pekerjaan pertamanya di Hindia adalah sebagai inspektur teknis di berbagai perusahaan. Setelah setahun, ia mendapatkan posisi sebagai teknisi sipil di Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL). Setelah serangan Jepang kepada Pearl Harbor pada bulan Desember 1941, pemerintah Belanda menyatakan perang terhadap Jepang dan Luyke Roskott dipanggil sebagai letnan satu. Pada tahun 1942, ia ditahan sebagai tawanan perang Jepang.

Seorang Pria Hebat

Gambaran seorang Luyke Roskott dapat dibaca dari kesaksian seorang pengagum dan rekan seperjuangannya yang bernama Hans yang termuat dalam buku Een Bende op Java susunan Peter Schumacher (Van Gennep, 2005). Ia adalah putra dari kakak tiri Luyke Roskott yang pada tahun 1945 berusia sembilan belas tahun dan merupakan anggota setia ‘gang’nya di Bandung. Berikut ini beberapa potongan laporan Hans:

“Paman John adalah seorang petualang, hidup seperti seorang Muslim. Dia dalam segala hal seorang yang jenius, tetapi juga naif. Dia memiliki pengikut yang setia, setengahnya orang Indonesia. Dia melakukan banyak perbuatan baik, tetapi juga tanpa belas kasihan. Hampir seperti seorang algojo. Dia mengikuti hukum-hukumnya sendiri, tetapi itu adalah cerita tersendiri. Dia adalah seorang pria hebat, benar-benar hebat dan dia segera menyertakan saya dalam kelompok pengikutnya. Dua ajudannya adalah orang Indonesia, keduanya pernah bertugas di Angkatan Laut Kerajaan sebelum perang dan sama-sama ditahan sebagai tawanan perang bersama paman John”

“Cobalah bayangkan kota Bandung, negeri tanpa hukum dan tanpa tatanan. Semuanya bisa dilakukan. Tidak ada pasukan Sekutu, tidak ada pemerintahan atau otoritas pusat dan revolusi Indonesia sedang berkecamuk. Ada Jepang yang melindungi kami, tapi hanya jika kami dalam bahaya langsung. Semua orang saling menembak dan tidak ada polisi yang terlihat. Selain itu, kepada siapa mereka harus melapor? Dengan kata lain, (seperti) sebuah peti bubuk (mesiu) yang bisa meledak kapan saja dan itu terjadi. Paman John telah menduduki sebuah bengkel mobil. Setiap orang yang berada di dalam mobil diusir, bahkan orang Jepang. Dia dan para pengikutnya bersenjata lengkap.”

Kontroversi

Luyke Roskott adalah seseorang yang penuh dengan kontroversi. Beberapa masalah serius sempat ditudingkan kepadanya, namun tak satupun masalah itu berhasil dibuktikan. Hingga pada akhirnya Luyke Roskott tidak pernah dinyatakan bersalah.

Salah satu masalah itu adalah kasus hilangnya perhiasan seharga ratusan ribu gulden di Bandung pada akhir tahun 1946. Kemungkinan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Rob Aernout di Lembang pada tahun 1948, hingga hilangnya tujuh ribu senapan Lee Enfield di jalur kereta api dekat Cirebon.

Akhir Kehidupan Luyke Roskott

Pada bulan Mei 1953, ia cuti dengan istrinya orang Indonesia dan putrinya yang masih kecil untuk pergi ke Belanda. Ketika ia kembali pada akhir tahun 1953, ia dilarang masuk ke Indonesia. Semua harta bendanya disita. Ia dilarang masuk dengan dugaan menentang sikap pemerintah Indonesia.

Luyke Roskott dan keluarganya terpaksa kembali ke Belanda. Ia mencoba mendapatkan pekerjaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai referensinya, Luyke Roskott menyebut temannya dari Bandung, mantan komandan Jenderal De Waal. Namun, aplikasinya ditolak. Kemudian, ia menjadi guru di Sekolah Teknik Otomotif di Apeldoorn. Sebelum akhirnya meninggal pada tahun 1978.

Itu saja yang dapat saya sampaikan, anggap saja sebagai awalan untuk kemungkinan penulisan-penulisan berikutnya. Hatur nuhun. ***

Tinggalkan komentar