Jarambah ka Bayah

Oleh: Hevi Fauzan (@pahepipa)

Bayah adalah kota kecil di selatan Provinsi Banten. Walaupun kecil, Bayah pernah menjadi kawasan yang penting, terutama saat pendudukan Jepang.

Komunitas Aleut bersama Tim Djeladjah Priangan kembali menyelenggarakan perjalanan susur Pantai Selatan. Pantai yang kata almarhum sejarawan Prof. Leirissa merupakan halaman belakang pulau Jawa ini, disusuri untuk kedua kalinya. Program susur Pantai Selatan pertama adalah menyusuri pantai selatan dari Bandung-Ranca Buaya ke arah timur menuju Cikalong Tasikmalaya. Susur pantai kali kedua menyusuri Pantai Selatan dari Bandung-Cidaun-Pelabuhan Ratu, sampai Bayah di provinsi yang berpisah dengan Jawa Barat tersebut di tahun 2000.

Bayah adalah kawasan yang terkenal dengan kandungan batu bara. Di awal abad 20, para peneliti Belanda menemukan kandungan batu bara yang sangat banyak di sana. Karena keadaan alam Banten Selatan yang bergunung, perusahaan Belanda gagal mengeksplotasi batu bara. Salah satu sebabnya adalah karena mahalnya ongkos pembangunan infrastruktur transportasi.

Eksploitasi batu bara baru terjadi di masa pendudukan Jepang. Mereka yang telah mengetahui laopran-laporan kandungan alam Bayah, memutuskan untuk mengeksploitasi batu bara sebagai bahan bakar perang di tahun 1943.

Rombongan Aleut berangkat dari Bandung pada hari Jumat (24/3) malam. Mereka kemudian memutuskan untuk menginap di Ciwidey, sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya menuju Cidaun. Saya sendiri, berangkat dari Pangandaran Sabtu (25/3) pagi, menyusuri sepanjang pantai melewati Cikalong, Cipatujah, Pameungpeuk, Ranca Buaya, sepanjang 150 km sebelum akhirnya sampai di Cidaun, tempat kami janjian untuk bertemu.

Setelah bertemu, Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Pada mulanya, kami akan langsung menuju Bayah. Tapi, karena hawa panas yang menyengat, dan perjalanan yang memang jauh, kami menginap semalam lagi di Palabuhan Ratu.

Baca juga: Bayah dan Perjalanan Seru Lainnya

Palabuhan Ratu, seperti yang ditulis di peta-peta kolonial, adalah kawasan terkenal dengan wisata pantainya, yang terletak di sudut barat daya provinsi Jawa Barat. Kawasan ini berjarak sekitar 150 KM dari Bandung dan 130 KM dari Jakarta.

Teluk Palabuhan Ratu, dahulu juga bernama Wijnkoopsbaai. Disebut dengan nama demikian, karena menurut Prof V.J. Veth, orang Belanda bernama Jan Jacobz membuka usaha Wine di sana. Di tempat ini pula, Abraham van Riebeeck mendarat menuju Tatar Ukur dengan membawa tanaman kopi, tanaman yang kelak menyengsarakan rakyat Priangan.

Di awal abad 20, Palabuhan Ratu disiapkan menjadi salah satu pelabuhan alternatif sebagai tempat bersandar kapal-kapal pengangkut hasil bumi. Hal ini dilakukan karena meningkatnya kekuatan Jepang yang bukan hanya menjadi pesaing di bidang ekonomi, tetapi juga militer. Pemerintah kemudian menyiapkan Palabuhan Ratu bersama Parigi, Cilauteureun, Genteng, Pacitan, dll, sebagai pelabuhan alternatif seandainya Laut Jawa dikuasai musuh.

Kini, kota yang terkenal dengan legenda Nyai Pantai Selatan itu telah berubah menjadi kota yang ramai. Terutama setelah kota ini disulap menjadi pusat pemerintah Kabupaten Sukabumi.

Karena panas, beberapa orang dari kami tidur di luar kamar. Perjalanan yang cukup panjang membuat kami terlelap, ditemani desiran angin pantai, bau laut, dan suara deburan ombak yang tak henti menjilat daratan. Hanya suara bidadari cantik saja yang berhasil membangunkan kami. Suaranya yang merdu saat berbincang dengan ibu pedagang nasi uduk pagi itu, membuat kami harus segera memutus mimpi dan kembali menyetubuhi kenyataan.

Perjalanan kami sudah akan mencapai tjuan, karena jarak Pelabuhan Ratu dan Bayah tinggal sekitar 58  km. Setelah foto-foto dan selfie ria di atas Bukit Habibie dan menunggu teman kami yang sedang menambal ban motor nya yang bocor, kami melanjutkan perjalanan ke hutan-hutan gelap perbatasan Jawa Barat dan Banten.

Jalan antara Pelabuhan Ratu dan Bayah dapat dibilang sangat mulus. Setelah melewati hutan-hutan, kami bertemu dengan penambangan bahan semen di sana. Pemandangan yang sangat mencenagngkan, saat bagaimana tanah-tanah dan batu dialirkan memakai ban berjalan, menembus hutan, perkampungan, menuju lautan di Bayah. Di bawah ban berjalan itu, jalanan berbatu dengan hiasan kehidupan-kehidupan kampung yang terkoyak.

Perjalanan panjang itu diobati dengan pemandangan pantai di atas bukit. Dari sana, terlihat kota Bayah di bawah dari kejauhan dan Samudera Hindia. Perjalanan yang amazing, bagi kami yang berasal dari Bandung, kota yang tidak mempunyai laut dan samudera.

Baca juga: Catatan Perjalanan: 4 Hari Untuk Selamanya

Di atas bukit itu, kami menemukan tulisan yang sangat besar bertuliskan Gunung Madur. Gunung inilah yang kandungan batu baranya sangat kaya, sehingga Jepang dengan nekat membangun jalur kereta api ke sana. Tenaga-tenaga Romusha dikerahkan untuk membuat jalur kereta api dan bekerja di gunung ini menambang batu bara. Berpuluh ribu Romusha, meninggal di Kawasan Bayah karena batu bara itu.

Kami pun turun menuju kota, dengan stasiun Bayah sebagai tujuan pertama. Namun nahas bagi kami, kami tidak menemukan apa-apa di sana, karena sisa jalan kereta api yang ditutup di sekitar tahun 1950 itu telah lenyap ditelan masa. Hanya ada plang PT KAI di sana, sisa cerita tentang kereta, dan sebuah sumur tua di daerah bernama Dengki. Kawasan itu pun ada di tengah hutan yang dikelilingi kebun-kebun, dan persawahan penduduk.

Untuk keperluan eksploitasi batu bara, Jepang membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, ke Bayah sepanjang 90 kilometer. Di Bayah, perusahaan Sumitomo membuka tambang batubara, yang merupakan satu-satu nya tambang batu bara di Pulau Jawa. Dari Bayah, jalur kereta api bercabang ke lokasi tambang seperti di Gunung Madur, Cihara, dan Tumang.

Di tengah pencarian stasiun kereta api, saya menemukan sebuah tugu yang tidak terlalu tinggi dari kejauhan. Ternyata, tugu tersebut adalah tugu Romusha, yang dibangun untuk mengenang mereka yang meninggal di Bayah. Mereka yang harus bekerja secara paksa tersebut didatangkan, yang sebagian besar berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Keadaan para Romusha memang mengkhawatirkan. Dalam Dalam buku Asian Labor in the Wartime Japanese Empire, Poeze menggambarkan keadaan para Romusha, termasuk masalah makanan bagi mereka.

“Tenaga Romusha paling kuat bekerja di pertambangan dengan menerima 1 guilder dan 400 gram nasi sehari. Sisanya memotong kayu, dll, dengan bayaran 4 sen dan 250 gram nasi. Jumlah nasi kemudian berkurang menjadi 300 gram, 250, kemudian menjelang Jepang menyerah, menjadi 200 gram dan 100 gram sehari bagi anak-anak dan perempuan.” (H.A. Poeze, The Road to Hell)

Dalam edisi khusunya, Tempo menuliskan bahwa keadaan Romusha tersebut membuat Tan Malaka, yang bekerja sebagai kerani di pertambangan Bayah dengan menggunakan nama Ilyas Hussein, membela dan mencoba memberi kehidupan yang lebih baik kepada mereka. Juru tulis ini terlalu pandai, ia bicara politik dengan para pemuda, ia menolong para pekerja paksa yang kelaparan, ia membuat lapangan bola tempat masyarakat dapat bermain. Tan pun membangun dapur umum, rumah sakit di Cikaret, dan membuat kebun sayur dan buah di Tegal Lumbu, sekitar 30 km dari Bayah.

Dalam tulisannya, Tan Malaka menulis bahwa sekitar 400-500 romusha meninggal setiap bulannya di Bayah.

Dibangun di atas bukit kecil, seorang bapak pemilik warung di sebelah komplek tugu mengkonfirmasi bahwa bangunan tersebut adalah Tugu Romusha. “Katanya banyak mayat yang dikubur di bawah tugu itu. Sesekali para orang tua yang sudah renta dari Jakarta dan kota lain berkunjung dan berdoa,” ujarnya.

Setelah menikmati makan siang, saat kami harus mengucapkan sampai jumpa kepada Kota Bayah. Kota yang tidak pernah kami bayangkan untuk bisa kami kunjungi sebelumnya. Kami meninggalkan Bayah tidak melalui jalur pertama. tapi kami mengambil jalan melalui kawasan legendarsi lainnya, Cikotok, menuju Cimaja dan Pelabuhan Ratu. Jalan yang ditempuh memang lebih jauh. Ditemani hujan yang tidak mau berhenti, kami melewati pemandangan yang juga asing. Kami melewati pegunungan Priangan yang angkuh diselimuti kabut, jurang yang dalam, dan sungai-sungai yang tak bosan mencari muara.

Walaupun lelah, kami tetap sumingrah mengunjungi Bayah. Saya pribadi hanya berharap, bahwa kunjungan ke Bayah ini bukan yang terakhir.

 

Ditulis Hevi Fauzan, Berakun twitter @pahepipa, admin @simamaung, berakun IG @BandungTraveler dan @SejarahBandung.

6 pemikiran pada “Jarambah ka Bayah

  1. Ping balik: Bayah dan Perjalanan Seru Lainnya | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Catatan Perjalanan: 4 Hari Untuk Selamanya | Dunia Aleut!

  3. Ping balik: Kepingan Perjalanan Susur Pantai Geopark Ciletuh | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan ke KomunitasAleut! Batalkan balasan