Itulah sepenggal lirik gubahan Ebiet G. Ade yang sangat tepat menggambarkan kondisi perjalanan Aleut kali ini. Tapi yang lebih tepat adalah lagu gubahan Papa T. Bob yang dinyanyikan oleh Joshua :
“Diobok-obok airnya diobok-obok…”
Kira-kira anda tahu sendiri lah kenapa saya memilih ungkapan dua lagu di atas…
Perjalanan Dimulai
Malam itu suasana hening,, tapi saya tak kuasa memejamkan mata karena satu alasan : Teu ngantuk ! Akhirnya saya memutuskan untuk begadang, siapa tahu begadang ini akan menghasilkan suatu manfaat di kemudian hari…
Pagi2nya entah kenapa datanglah satu-persatu orang ke rumahku, hingga akhirnya mencapai jumlah 27 orang-an, saat saya tanya mereka ternyata mereka hendak melakukan perjalanan ke Cikapundung. Dalam hati saya berpikir “Apakah yang ada di benak orang2 ini sehingga tertarik untuk menyusuri sungai kotor bin rujit yang bernama Cikapundung ?” tapi setelah saya tanya lagi dari komunitas mana mereka berasal, mereka menjawab dari “Klab Aleut”, saya langsung memaklumi tindakan aneh mereka… Klab ini memang paling suka melakukan perjalanan yang di luar batas nalar manusia normal… Saya pun memutuskan untuk gabung…
Titik perhentian pertama adalah sebuah Toko serba ada yang bernama “Circle K”, didirikan di sekitar tahun 2007-2008, dengan arsitek yang tidak diketahui, dan lokasinya menempel pada sebuah rumah bergaya kolonial “Boekittinggi” yang gayanya khas. Di sini peserta dapat melengkapi barang2nya untuk melanjutkan perjalanannya…
Di kawasan yang disebut “Angker” oleh paranormal “Pak Leo”, kami menuruni jalan menuju aliran sungai cikapundung di daerah siliwangi. Perlu diketahui bahwa sungai Cikapundung ini dikenal sebagai sungai terpanjang di dunia karena membelah Asia-Afrika, terutama di daerah alun-alun Bandung.
Kami menuruni jalan yang terjal, kemudian naik lagi, kemudian turun lagi, dan begitulah kondisinya berulang hingga mencapa Curug Dago nanti. tetapi yang membuat seru adalah, dalam perjalanan ini kita melewati tidak hanya alam, melainkan juga perkampungan urban sisi sungai yang bisa kita amati kondisi sosialnya. Bagaimana keadaan sanitasi mereka, penataan raung mereka hingga aktivitas sosial mereka. Cukup bagus untuk melatih kepekaan sosial kita. Bahkan seorang anggota Klab Aleut tak kuasa menahan rasa penasarannya untuk mengetahui isi MCK di perkampungan tersebut. Padahal isinya gak akan jauh2 amat dari suatu aktivitas rutin manusia,,,
Sampailah kita di suatu lorong buatan Belanda bernama Terowongan Cibarani. Lorong ini lurus menembus sebuah bukit, dengan tinggi kira-kira 1,5 meter, dan ketinggian air di dalamnya selutut. Tidak ada yang menempati gua ini kecuali laba-laba, dan memang tidak ada maksud untuk ditempati siapapun, karena tujuan pembuatan gua ini adalah sebagai saluran air semata.
Kami melalui terowongan ini dengan tertatih-tatih, dengan suasana pengap dan gelap, entah apa yang menanti kita di dalam, beberapa teman dan saya yang tidak memakai sendal cukup khawatir dengan serpihan beling yang mungkin terserak di dalam terowongan. Tetapi kekhawatiran tersebut terbukti tidak terjadi. Kami dapat melalui gua dengan selamat sentausa. (Punten fotonya ngmbil dari koleksi orang..)
“Sueger Tenan !”…
Dari sini kita melanjutkan perjalanan ke sebuah Pintu Air buatan belanda bernama Watervang Cilimus. Pintu air ini tidak lagi berfungsi, tetapi bagi kami tetap saja bangunan ini berfungsi sebagai objek berfoto yang cukup menarik.
Tanpa banyak menghabiskan waktu, para Pegiat Aleut bergegas melanjutkan perjalanan, “CaaaP CUuuuuSSss !”
Kali ini kita sampai di sebuah PLTA Tanggulan, yang lagi-lagi dibangun Belanda. Di tempat inilah, kami harus melewati sebuah jembatan yang dibuat dari tong-tong bekas. Sungguh mengharukan…
Kami harus menyebrangi aliran air keluaran dari PLTA tadi. Beberapa rekan : Adi, Yanto dan Budi” langsung sigap menyiapkan tali guna membantu peserta menyebrangi aliran sungai. Hingga tibalah saatnya bagi saya untuk menyebrangi aliran air tersebut. Entah apa yang ada di benak saya, sehingga saat tiba di tengah-tengah aliran, mungkin akibat pengaruh begadang dan kesalahan teknis, tubuh ini kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang. Alhasil, sepatu, celana dan baju saya ikut terendam bersama isi-isinya… PEristiwa ini menjadi pemandangan yang cukup menarik bagi para pegiat , sayangnya tidak ada siaran ulang, hahaha…. Untunglah dompet dan hp saya selamat, walau celana basah hingga ke dalam-dalam. Setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil :
1. Jangan begadang sebelum perjalanan jauh, karena akan mempengarhui kondisi psikhis anda.
2. Bawalah pakaian ganti di setiap perjalanan alam, karena tidak ada factory Outlet yang buka di kawasan ini.
3. Jagalah keselamatan anda, hati-hati, jangan maceuh ! Bahkan saya yang cukup berpengalaman ngaleut selama bertahun-tahun bisa saja mengalami insiden tersebut. Intinya : Tidak ada manusia yang sempurna, yang sempurna cuma Tuhan dan Rokok.
Dengan kebasahan yang amat sangat, saya melanjutkan perjalanan ke Curug Dago, dengan singgah sejenak di warung awi, sekalian menjemur celana supaya tidak masuk angin.
Mengenai curug dago ini, sudah saya bahas dalam karya saya sebelumnya yang membahas survey aleut menyusuri sungai Cikapundung (hehehe, bilang aja males nulis)
Sayangnya aliran curug ini tidak sederas terakhir kami ke sini, mungkin akibat pengaruh cuaca.
Yah, di tengah hari ini mulai terdengar suara demonstrasi dari dalam perut, pertanda cacing2 tengah protes menuntut pemenuhan konsumsi. Baiklah, saya dan pegiat lain mulai membuka bekal masing2, ada pula yang belanja di tempat. Terlihat beberapa pegiat menyuapi pegiat yang lain, sungguh romantis tetapi miris bagi pegiat lain, hahaha
KISAH ARI – ARI SANGKURIANG
Di tengah2 perjalanan pulang, di suatu warung yang lalu, saudara Taufanny terpikat oleh seorang wanita kembang desa bernama Bu Euis,, tanpa banyak tanya, ia langsung melakukan pendekatan dengan menanyakan “Bu, nami kampung ieu teh naon?”. gayung bersambut, pertanyaan tersebut menuai penjelasan panjang lebar mengenai asal nama kawasan tersebut “sanghiang santen” , ternyata berasal dari eksistensi situs bebatuan yang dipercaya sebagai titisan ari-ari sangkuriang yang legendaris.
Tidak banyak yang mengetahui sejarah batu-batu mistik ini, bahkan penduduk sekitar. Kurangnya kepekaan sejarah membuat situs ini tidak terpelihara, sebuah batu bahkan ditimpa meja, dan lainnya ditembok serta dikeramik, memang kreaif, tetapi tidak solutif…
Setelah cukup lama menginterogasi Ibu Euis, para pegiat pun melanjutkan perjalanan pulang, dengan melalui jalanan yang menanjak sekitar 45 derajat. Buset !
Ahh,, akhirnya tiba di sumur bandung 4, setelah melakukan sharing singkat, para pegiat pun pulang ke rumah masing-masing,, Beberapa pegiat meluangkan waktu untuk jajan batagor bersama. Anehnya, tepat setelah matahari terbenam, entah kenapa saya tiba2 tidak sadarkan diri,, semuanya gelap…
Leave a Reply