Oleh: Aditya Wijaya

Ada satu buku yang menarik perhatian saya tatkala sedang menjelajahi situs Delpher. Buku itu berjudul “Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo Op 12 Februari 1921”. Ingatan saya langsung kembali kepada kegiatan Momotoran bersama Komunitas Aleut di tahun 2020 silam, yang dijuduli “Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey”. Dalam Momotoran itu saya dan rekan-rekan menelusuri jejak-jejak yang tersisa dari keberadaan jalur kereta api, khususnya jalur Bandung-Kopo-Ciwidey.
Sesuai dengan judulnya, buku yang saya temukan ini tentunya berisi bahasan seputar pembukaan jalur kereta api dari Bandung ke Kopo (Soreang). Berikut ini saya sarikan isinya.
Jalur kereta api Bandung-Soreang pertama kali dibangun dengan adanya permintaan prioritas dari A. A. Maas Geesteranus (pernah menjabat sebagai wakil direktur Perusahaan Kina Pemerintah) di tahun 1897. Kemudian diikuti oleh beberapa permintaan lainnya. Konsesi terakhir diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem. Namun, direktur G.B. (Gouvernement Bedrijven) saat itu tidak menyetujui rancangan teknisnya, sehingga masih diperlukan perundingan lebih lanjut.
Pada tanggal 3 Agustus 1915, perusahaan tersebut memberitahu pihak S.S. (Staatsspoorwegen) bahwa mereka memutuskan untuk menawarkan kembali konsesinya kepada pemerintah. Mereka mengetahui bahwa pihak S.S. bersedia untuk mengelola jalur kereta Bandung-Kopo dan ingin agar pemerintah dengan segera melaksanakan proyek ini. Hasilnya adalah pencabutan konsesi yang diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem melalui Keputusan G.B. tanggal 24 Februari 1916 No. 2 tahun 1912. Direktorat Pemetaan S.S. diberi tugas untuk “merekam jalur yang dimulai dari Bandung atau Cikudapateuh dan menuju ke ibu kota distrik Banjaran dan Kopo”. Rancangan awal jalur tersebut disetujui oleh Kepala Insinyur saat itu, Kepala Pemetaan S.S., P. A. Roelofsen, pada tanggal 30 Oktober 1916.
Manfaat Ekonomi Jalur Bandung-Kopo
Lahan datar seluas lebih dari 500 km persegi di sekitar Bandung dipotong secara horizontal oleh jalur kereta api dan jalan raya besar. Bagian ini memisahkan antara selatan dan utara. Bagian selatan jalur-jalur ini merupakan bagian yang paling penting, terutama karena perkembangan budaya pertanian dan perkebunan dari daerah pegunungan. Produk pertaniannya antara lain: gula aren, singkong, kacang, tembakau, bawang, kentang dan sayuran. Selain itu menghasilkan juga padi yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat jika didistribusikan dengan baik.
Kota Bandung dan sekitarnya yang padat penduduk memberikan pasar yang luas bagi semua produk ini. Menghasilkan harga yang baik dan memberikan kesejahteraan bagi para produsen. Perkebunan Eropa berkontribusi besar terhadap kesejahteraan ini. Sekitar 35 tahun lalu (dari 1921) hanya ada beberapa perkebunan tahap awal saja namun kini semuanya telah berkembang dengan sangat pesat.
Jalur alami pengangkutan perkebunan ini menuju ke Bandung. Selain itu perlu diperhatikan juga adanya eksploitasi kayu oleh pemerintah dalam kompleks hutan yang besar. Kayu-kayu tersebut dapat diangkut ke Bandung dengan kereta dan dijual di sana. Jalur kereta ini bukan hanya diinginkan, tetapi dapat disebut sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Lokasi Jalur Kereta
Jalur ini memilikik titik awal sementara di Kawasan Karees, Bandung. Jalur ini terhubung dengan jalur utama kereta melalui jalur kereta barang ke perhentian Kiaracondong. Dikarenakan kepadatan luar biasa di jalur utama yang sudah ada, tidak memungkinkan untuk memulai jalur ini dari stasiun utama Bandung.


Dari Karees, jalur ini bergerak ke arah selatan menuju Buahbatu dan terus mengikuti jalan menuju Dayeuhkolot. Dengan adanya perhentian di Dayeuhkolot, di sana terdapat pusat listrik besar dan rumah bagi para personel jalur kereta api. Kawasan ini menjadi tempat inti permukiman.
Setelah perhentian Dayeuhkolot, jalur ini menyeberangi Sungai Citarum dengan jembatan berukuran 20 + 40 + 20 meter. Setelah jembatan, ada jalur yang sedang dibangun menuju Majalaya, yang juga akan terhubung dengan jalur Bandung-Kopo.
Sebelum perhentian Banjaran, ada jembatan darurat untuk menyeberangi Sungai Citalutuk. Perhentian Banjaran ini sangat strategis karena berada di depan pasar. Di sini tersedia ruang yang cukup untuk tempat penyimpanan kayu, penyimpanan minyak dan gudang untuk menyimpan produk-produk pertanian sebelum dikirim dengan kereta api.


Ada juga jembatan darurat untuk melewati Sungai Cisangkui yang terletak di belakang Banjaran dan Sungai Ciherang. Beberapa kilometer kemudian akhirnya mencapai titik akhir di Kopo, juga dikenal sebagai Soreang. Di perhentian ini juga tersedia ruang yang cukup untuk fasilitas serupa seperti disebutkan untuk perhentian Banjaran.
Data dan Informasi Jalur
Jalur Bandung-Kopo secara resmi disebut sebagai “Jalur Trem”. Namun, jalur ini dibangun sebagai jalur kereta api, artinya kekokohannya memungkinkan semua kereta dari jalur utama untuk melewatinya tanpa perlu memindahkan muatan. Layanan penumpang dioperasikan antara titik akhir Karees dan Soreang, sementara jalur penghubung Karees dan perhentian Kiaracondong di jalur utama digunakan untuk langsung mengirimkan kereta barang.
Perbedaan karakteristik antara jalur trem ini dengan jalur utama adalah bahwa jalur ini akan dilewati dengan kecepatan terbatas. Hal ini dikarenakan kontruksi atasan awalnya dibuat lebih ringan. Dibuat dengan rel No. 2 dengan berat 25-75 kg per meter. Ketika volume lalu lintas meningkat atau jika dilakukan elektrifikasi di masa mendatang, kontruksi atasannya yang ringan dapat digantikan dengan yang lebih kuat.
Pembuatan jembatan-jembatan dihitung berdasarkan standar beban tahun 1911 yang juga digunakan untuk jalur utama Cirebon-Kroya. Jalur trem ini panjangnya sekitar 26 km dari Karees hingga Soreang. Kemiringan maksimum adalah 10 derajat antara Bandung dan Banjaran, 25 derajat antara Banjaran dan Soreang. Kecepatan maksimum kereta api sementara ini tidak akan melebihi 30 km per jam. Sebanyak 235 ribu meter kubik tanah digali dan 5200 meter persegi dinding batu dibangun untuk konstruksi.
Pembangunan jalur Bandung-Kopo diperintahkan oleh undang-undang pada tanggal 1 Juni 1918. Beberapa kendalah menghambat pekerjaan di seluruh jalur secara bersamaan karena beberapa alasan. Rencana jalur Bandung-Buahbatu harus disesuaikan dengan rencana kereta api di Bandung yang saat itu tidak menentu. Bagian Banjaran-Soreang perlu diteliti lebih lanjut karena adanya rencana perpanjangan jalur ke Ciwidey. Kendala-kendala tersebut tentu saja menyebabkan keterlambatan dan baru pada akhir tahun 1919 pembangunan di seluruh jalur mulai berjalan lancar.
Pada saat pembangunan jalur ini, kesulitan yang sama terjadi seperti saat pelaksanaan pekerjaan penting di Bandung, yaitu kekurangan pekerja dan keterlambatan pengiriman material. Hal menariknya adalah bahwa penduduk lokal begitu sejahtera sehingga hanya sedikit dari mereka yang tertarik untuk bekerja dengan upah harian selama pembangunan. Sebagai solusi, banyak tenaga kerja diimpor dari luar, seperti dari Cirebon.
Kekurangan lokomotif dan kereta api yang terjadi selama perang juga memperlambat pembangunan. Ketidakstabilan pasar dunia menyebabkan keterlambatan pengiriman rel dan jembatan. Bahkan sampai sekarang, ketika jalur ini sudah beroperasi, beberapa jembatan yang diperlukan masih belum dikirim dari Eropa. Meskipun harus menghadapi semua kesulitan itu, pembangunan berjalan dengan lancar. Dengan adanya koneksi rel ini, sebuah proyek pemerintah telah terwujud, proyek yang akan memiliki dampak positif dalam lingkup yang lebih luas.


***