Tag: Soreang

Jalur Kereta Api Bandung-Kopo 12 Februari 1921

Oleh: Aditya Wijaya

Buku Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo op 12 Februari 1921 (Delpher)

Ada satu buku yang menarik perhatian saya tatkala sedang menjelajahi situs Delpher. Buku itu berjudul “Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo Op 12 Februari 1921”. Ingatan saya langsung kembali kepada kegiatan Momotoran bersama Komunitas Aleut di tahun 2020 silam, yang dijuduli “Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey”. Dalam Momotoran itu saya dan rekan-rekan menelusuri jejak-jejak yang tersisa dari keberadaan jalur kereta api, khususnya jalur Bandung-Kopo-Ciwidey.

Sesuai dengan judulnya, buku yang saya temukan ini tentunya berisi bahasan seputar pembukaan jalur kereta api dari Bandung ke Kopo (Soreang). Berikut ini saya sarikan isinya.

Jalur kereta api Bandung-Soreang pertama kali dibangun dengan adanya permintaan prioritas dari A. A. Maas Geesteranus (pernah menjabat sebagai wakil direktur Perusahaan Kina Pemerintah) di tahun 1897. Kemudian diikuti oleh beberapa permintaan lainnya. Konsesi terakhir diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem. Namun, direktur G.B. (Gouvernement Bedrijven) saat itu tidak menyetujui rancangan teknisnya, sehingga masih diperlukan perundingan lebih lanjut.

Pada tanggal 3 Agustus 1915, perusahaan tersebut memberitahu pihak S.S. (Staatsspoorwegen) bahwa mereka memutuskan untuk menawarkan kembali konsesinya kepada pemerintah. Mereka mengetahui bahwa pihak S.S. bersedia untuk mengelola jalur kereta Bandung-Kopo dan ingin agar pemerintah dengan segera melaksanakan proyek ini. Hasilnya adalah pencabutan konsesi yang diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem melalui Keputusan G.B. tanggal 24 Februari 1916 No. 2 tahun 1912. Direktorat Pemetaan S.S. diberi tugas untuk “merekam jalur yang dimulai dari Bandung atau Cikudapateuh dan menuju ke ibu kota distrik Banjaran dan Kopo”. Rancangan awal jalur tersebut disetujui oleh Kepala Insinyur saat itu, Kepala Pemetaan S.S., P. A. Roelofsen, pada tanggal 30 Oktober 1916.

Manfaat Ekonomi Jalur Bandung-Kopo

Lahan datar seluas lebih dari 500 km persegi di sekitar Bandung dipotong secara horizontal oleh jalur kereta api dan jalan raya besar. Bagian ini memisahkan antara selatan dan utara. Bagian selatan jalur-jalur ini merupakan bagian yang paling penting, terutama karena perkembangan budaya pertanian dan perkebunan dari daerah pegunungan. Produk pertaniannya antara lain: gula aren, singkong, kacang, tembakau, bawang, kentang dan sayuran. Selain itu menghasilkan juga padi yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat jika didistribusikan dengan baik.

Kota Bandung dan sekitarnya yang padat penduduk memberikan pasar yang luas bagi semua produk ini. Menghasilkan harga yang baik dan memberikan kesejahteraan bagi para produsen. Perkebunan Eropa berkontribusi besar terhadap kesejahteraan ini. Sekitar 35 tahun lalu (dari 1921) hanya ada beberapa perkebunan tahap awal saja namun kini semuanya telah berkembang dengan sangat pesat.

Jalur alami pengangkutan perkebunan ini menuju ke Bandung. Selain itu perlu diperhatikan juga adanya eksploitasi kayu oleh pemerintah dalam kompleks hutan yang besar. Kayu-kayu tersebut dapat diangkut ke Bandung dengan kereta dan dijual di sana. Jalur kereta ini bukan hanya diinginkan, tetapi dapat disebut sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Lokasi Jalur Kereta

Jalur ini memilikik titik awal sementara di Kawasan Karees, Bandung. Jalur ini terhubung dengan jalur utama kereta melalui jalur kereta barang ke perhentian Kiaracondong. Dikarenakan kepadatan luar biasa di jalur utama yang sudah ada, tidak memungkinkan untuk memulai jalur ini dari stasiun utama Bandung.

Halte Karees (Buku)
Halte Soreang (Buku)

Dari Karees, jalur ini bergerak ke arah selatan menuju Buahbatu dan terus mengikuti jalan menuju Dayeuhkolot. Dengan adanya perhentian di Dayeuhkolot, di sana terdapat pusat listrik besar dan rumah bagi para personel jalur kereta api. Kawasan ini menjadi tempat inti permukiman.

Setelah perhentian Dayeuhkolot, jalur ini menyeberangi Sungai Citarum dengan jembatan berukuran 20 + 40 + 20 meter. Setelah jembatan, ada jalur yang sedang dibangun menuju Majalaya, yang juga akan terhubung dengan jalur Bandung-Kopo.

Sebelum perhentian Banjaran, ada jembatan darurat untuk menyeberangi Sungai Citalutuk. Perhentian Banjaran ini sangat strategis karena berada di depan pasar. Di sini tersedia ruang yang cukup untuk tempat penyimpanan kayu, penyimpanan minyak dan gudang untuk menyimpan produk-produk pertanian sebelum dikirim dengan kereta api.

Jembatan Citalutuk (Buku)
Jembatan Cisangkui (Buku)

Ada juga jembatan darurat untuk melewati Sungai Cisangkui yang terletak di belakang Banjaran dan Sungai Ciherang. Beberapa kilometer kemudian akhirnya mencapai titik akhir di Kopo, juga dikenal sebagai Soreang. Di perhentian ini juga tersedia ruang yang cukup untuk fasilitas serupa seperti disebutkan untuk perhentian Banjaran.

Data dan Informasi Jalur

Jalur Bandung-Kopo secara resmi disebut sebagai “Jalur Trem”. Namun, jalur ini dibangun sebagai jalur kereta api, artinya kekokohannya memungkinkan semua kereta dari jalur utama untuk melewatinya tanpa perlu memindahkan muatan. Layanan penumpang dioperasikan antara titik akhir Karees dan Soreang, sementara jalur penghubung Karees dan perhentian Kiaracondong di jalur utama digunakan untuk langsung mengirimkan kereta barang.

Perbedaan karakteristik antara jalur trem ini dengan jalur utama adalah bahwa jalur ini akan dilewati dengan kecepatan terbatas. Hal ini dikarenakan kontruksi atasan awalnya dibuat lebih ringan. Dibuat dengan rel No. 2 dengan berat 25-75 kg per meter. Ketika volume lalu lintas meningkat atau jika dilakukan elektrifikasi di masa mendatang, kontruksi atasannya yang ringan dapat digantikan dengan yang lebih kuat.

Pembuatan jembatan-jembatan dihitung berdasarkan standar beban tahun 1911 yang juga digunakan untuk jalur utama Cirebon-Kroya. Jalur trem ini panjangnya sekitar 26 km dari Karees hingga Soreang. Kemiringan maksimum adalah 10 derajat antara Bandung dan Banjaran, 25 derajat antara Banjaran dan Soreang. Kecepatan maksimum kereta api sementara ini tidak akan melebihi 30 km per jam. Sebanyak 235 ribu meter kubik tanah digali dan 5200 meter persegi dinding batu dibangun untuk konstruksi.

Pembangunan jalur Bandung-Kopo diperintahkan oleh undang-undang pada tanggal 1 Juni 1918. Beberapa kendalah menghambat pekerjaan di seluruh jalur secara bersamaan karena beberapa alasan. Rencana jalur Bandung-Buahbatu harus disesuaikan dengan rencana kereta api di Bandung yang saat itu tidak menentu. Bagian Banjaran-Soreang perlu diteliti lebih lanjut karena adanya rencana perpanjangan jalur ke Ciwidey. Kendala-kendala tersebut tentu saja menyebabkan keterlambatan dan baru pada akhir tahun 1919 pembangunan di seluruh jalur mulai berjalan lancar.

Pada saat pembangunan jalur ini, kesulitan yang sama terjadi seperti saat pelaksanaan pekerjaan penting di Bandung, yaitu kekurangan pekerja dan keterlambatan pengiriman material. Hal menariknya adalah bahwa penduduk lokal begitu sejahtera sehingga hanya sedikit dari mereka yang tertarik untuk bekerja dengan upah harian selama pembangunan. Sebagai solusi, banyak tenaga kerja diimpor dari luar, seperti dari Cirebon.

Kekurangan lokomotif dan kereta api yang terjadi selama perang juga memperlambat pembangunan. Ketidakstabilan pasar dunia menyebabkan keterlambatan pengiriman rel dan jembatan. Bahkan sampai sekarang, ketika jalur ini sudah beroperasi, beberapa jembatan yang diperlukan masih belum dikirim dari Eropa. Meskipun harus menghadapi semua kesulitan itu, pembangunan berjalan dengan lancar. Dengan adanya koneksi rel ini, sebuah proyek pemerintah telah terwujud, proyek yang akan memiliki dampak positif dalam lingkup yang lebih luas.

Peta jalur kereta api (Buku)
Peta jalur kereta api (Buku)

***

Sekitar Bandung Lautan Api: “Achmad Wiranatakusumah dan Batalyon Siluman Merah A3W” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Achmad Wiranatakusumah”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

POSKO DI SAPAN-CIPAMOKOLAN DAN PERISTIWA BUAHBATU

Setelah BLA, Batalyon III Resimen 8 pimpinan Mayor Achmad Wiranatakusumah mengambil posisi di daerah Sapan dengan garis demarkasi di Cipamokolan. Salah satu regunya dari Kompi II pimpinan Sersan Mayor Sirodz yang berpatroli di daerah Buahbatu, berpapasan dengan patroli Belanda, dan pertempuran pun tak terhindarkan. Komandan patroli yang bernama De Hand tewas. Regu Sirodz membawa mayat De Hand dengan pedati dan di sepanjang jalan mayat itu disoraki orang. Kemudian mayat itu dipamerkan dengan disandarkan di pagar posko.

Penggalan Jalan Sapan yang sampai saat ini sebagian wilayahnya masih berupa persawahan luas. Foto: Google Maps.

Belanda yang marah karena peristiwa itu menyerang pertahanan regu Sirodz dengan mortir dan mengejarnya dengan brencarier. Walaupun tidak ada korban jiwa, namun peristiwa ini membuat Batalyon Achmad mundur ke Talun, Garut. Dari Garut, Batalyon achmad pindah lagi ke Soreang, dekat perbatasan Ci Tarum. Di sini Achmad mendapat tambahan dua personil, yaitu HR Dharsono dan Lettu Poniman. Dalam suatu pertempuran dengan Belanda yang berhasil merebut Soreang, Batalyon Achmad pindah ke Ciwidey dengan posko di Pasirjambu.

Di halaman Kantor Kelurahan Derwati ada monumen ini. Angka tahun yang tertera menunjukkan di sekitar peristiwa Bandung Lautan Api, sayangnya tidak ada informasi apa pun yang kami dapatkan mengenai monumen ini. Foto: Deuis Raniarti.
Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: Bale Soeriapoetra, Soreang

Oleh: Komunitas Aleut

Bale Soeriapoetra di Jalan Raya Banjaran-Soreang. Foto: Reza Khoerul Iman

Tanggal 23 Maret 1946 sore, tentara Sekutu menyebarkan pamflet-pamflet di Bandung, isinya menyatakan bahwa sebelum pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 semua pasukan bersenjata harus sudah ke luar dari Kota Bandung.

Pagi hari tanggal 24 Maret, Kolonel Nasution menemui Kolonel Hunt dari Staf Divisi Sekutu di Bandung yang menanyakan keputusan dari pertemuan Nasution dengan Perdana Menteri Syahrir tentang keharusan mengosongkan Kota Bandung. Katanya, hari itu juga Nasution harus mengeluarkan semua pasukan bersenjata sampai di luar lingkaran 10 kilometer dari kota.

Nasution menjawab, bahwa tidak mungkin mengungsikan lebih dari 10.000 orang tentara dan laskar , apalagi dengan barang-barang perlengkapannya. Yang pasti, tidak akan terhindarkan terjadinya pertempuran.Pengosongan kota juga akan mengakibatkan pengungsian sejuta rakyat Bandung.

Ketika itu Pemerintah Pusat sudah menyetujui rencana pengosongan Kota Bandung dengan syarat, bahwa pemerintah sipil tetap berada di dalam kota. Pukul 10.00 Nasution dijemput oleh Kapten Sugih Arto seraya melaporkan bahwa bom-bom patok sudah dipasang di jalan-jalan. Di pos komando di Regentsweg (Jalan Dewi Sartika) diadakan rapat kilat dengan komandan dan staf dari MP3, Pemerintah Sipil, dan tokoh-tokoh KNI (Komite Nasional Indonesia).

Pihak sipil mencoba meminta penundaan batas waktu, namun ditolak oleh pihak Sekutu. Wakil Persatuan Perjuangan, Kamran dan Sutoko, memberikan pertimbangan agar laskar-laskar bersama rakyat semua keluar saja, tapi Bandung harus dibakar.

Akhirnya, disepakati beberapa hal seperti yang sudah disampaikan dalam tulisan sebelumnya, di antaranya bahwa semua pegawai dan rakyat akan ke luar kota sebelum pukul 24.00, tentara akan melakukan bumi hangus semua bangunan yang ada, dan rencana bahwa sesudah matahari terbenam pasukan dari utara akan melakukan bumi hangus wilayah Bandung Utara dan dari pasukan-pasukan di selatan akan melakukan penyusupan ke utara.

Continue reading

Aku, Kalian, dan Pengalaman Menuju Dewata

Oleh: Rulfhi Alimudin Pratama (@rulfhirama)

Minggu pagi di saat matahari masih malu-malu untuk menampakan diri. Saya dan rekan-rekan Komunitas Aleut sudah bersemangat untuk momotoran ke Dewata. Dewata kali ini bukanlah sebuah tempat berpantai dengan pasir putih dan ratusan bikini berjemuran. Dewata yang akan kami singgahi kali ini adalah sebuah perkebunan teh yang terletak di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung.

Kami berkumpul di Kedai Preanger, Jalan Solontongan 20-D, sekitar pukul 7.30. Sebelum berangkat tentunya alangkah baiknya memastikan lagi semua perlengkapan tak ada yang ketinggalan. Setelah kawan-kawan datang semua dan telah dapat partner untuk mengarungi perjalanan kali ini, maka bersiaplah petualangan akan dimulai. Saya pun mendapat partner Teteh dari Gagak yang datang sedikit terlambat karena menunggu mamang Gojek. Total 20 motor yang ikut momotoran kali ini dengan massa sejumlah 38 orang.

Continue reading

Berziarah ke Makam RE Kerkhoven

Oleh: Hevi Fauzan (@hevifauzan)

Rabu, 1 Maret 2017, untuk pertama kali, saya berkesempatan berziarah ke makan Kerkhoven di Gambung. Di sana, terdapat 3 makam, yaitu makam Rudolph Eduard Kerkhoven, Jenny, dan satu makam lagi yang kemungkinan sebagai tempat peristirahat pengasuh anak-anak mereka. Perjalanan ini terwujud bersama rekan-rekan dari Komunitas Aleut.

Perkebunan teh Gambung berada di Desa Cisondari, Kecamatan Pasir Jambu. Dari Bandung, tempat ini bisa diakses melalu jalan raya yang menghubungkan Soreang dan Ciwidey. Dari SPBU Pasirjambu, kita harus berbelok ke kiri, menuju Gunung Tilu.

Sempat dihentikan hujan dan berteduh di warung yang juga sebuah tempat penggilingan biji kopi, kami berempat masuk ke kompleks pusat penelitian teh dan kina. Setelah melewati pintu utama dan beberapa pos satpam, kami harus berhenti di dekat pabrik dan memarkirkan kendaraan di sana. Ternyata, untuk masuk ke makam, pengunjung harus membayar sekian rupiah. Pihak perkebunan memberikan list fasilitas apa saja yang bisa digunakan oleh pengunjung, termasuk list harga didalamnya. Untuk masuk ke kompleks makam Keluarga Kerkhoven yang letaknya terpencil di belakang, pengunjung harus membayar Rp 15.000 rupiah/orang bagi WNI dan 50.000/orang bagi non-WNI.

Sosok R.E. Kerkhoven bagi saya, menepiskan sosok para penjajah yang selalu digambarkan datang untuk mengeksploitasi alam Nusantara dan manusianya. Continue reading

Jalan-jalan ke Gunung Lalakon (Soreang) dan Gunung Sadahurip (Garut)

Daripada hilang di rimba facebook, baik juga catatan ini dihadirkan lagi di sini buat panduan yang ingin jalan-jalan ngabuburit atau cari jodoh 🙂

Nama pasangan Hans Berekoven dan Rozeline Berekoven, mulai mencuat saat diselenggarakannya Konferensi Internasional Alam, Falsafah, dan Budaya Sunda Kuno di Hotel Salak, Bogor, pada 25-27 Oktober 2011 lalu. Kehadiran pasangan berkebangsaan Australia ini dalam konferensi tersebut tentu saja mempunyai alasan. Beberapa tahun lalu, Hans & Roz memboyong keluarganya berlayar dari Fremantle ke Bali dengan membawa mimpi besar, menguak sejarah purba peradaban Nusantara melalui sebuah ekspedisi kelautan.

Hans menyimpan sebuah dugaan besar tentang masa lalu, terutama pada Zaman Es. Pada puncak zaman itu sebagian besar Eropa Utara tertutup lapisan es tebal, sebagian di antaranya mencapai ketebalan hingga 2000 meter. Level air di dunia saat itu berada hingga 150 meter lebih rendah daripada keadaan sekarang. Artinya, wilayah Laut Cina Selatan dan Laut Jawa pada masa itu terekspos menjadi lahan kering yang datar dan luas. Pada saat itu terjadi migrasi manusia yang sebelumnya meninggali Benua Asia menuju Zona Tropis di bagian selatan, yaitu di wilayah Indonesia sekarang.

Hans beranggapan, saat itu, wilayah Paparan Sunda merupakan permukiman terbaik yang ada di dunia. Dengan begitu, sekaligus juga merupakan lokasi utama bagi akar peradaban. Walaupun Hans tidak menolak kepercayaan umum bahwa budaya pertanian dan peternakan dimulai sekitar 8000-10,000 tahun yang lalu, namun dia juga mengajukan pertimbangan bahwa bisa saja hal itu sudah terjadi 6000 tahun sebelumnya. Para pengumpul dan pemburu yang bermigrasi ke wilayah selatan memicu tumbuhnya budaya pertanian dan peternakan di sini. Sekarang memang sulit untuk mendapatkan buktinya, tapi hans memiliki alasan, katanya, “Kita tidak menemukan buktinya karena kita hanya mencari buktinya di daratan. Padahal bukti itu kini berada di bawah air.”

Hans yakin bahwa pencarian jejak-jejak peradaban kuno mesti dilakukan di lembah-lembah dan delta-delta sungai kuno yang kini terkubur di bawah lapisan lumpur di kedalaman 40 sampai 60 meter di Laut Jawa. Untuk mencarinya diperlukan pemindai sonar dan kapal selam mini yang dapat dioperasikan dengan remote control, dan tentunya peralatan selam. Hans yakin di bawah sana akan ada gundukan-gundukan yang tidak alamiah sisa peradaban purba tersebut.

Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-1    Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-2

Hans adalah seorang mantan kapten kapal survey kelautan di Australia. Ia bersama istrinya memiliki sebuah properti seluas 1200 hektare bernama Kangaroo Camp di Bombala. Di sini mereka membangun rumah tinggal dan kompleks perkebunan anggur tertinggi di Australia. Produksi wol halus mereka termasuk yang terbaik di Australia. Hingga 2005 pasangan ini telah mendapatkan 3 buah penghargaan untuk keunggulan di bidang pariwisata.

Namun demi mewujudkan mimpi mereka, semua properti itu mereka sewakan kepada pihak lain, serta menjual 2000 wol halus agar dapat membeli kapal laut kecil berukuran panjang 19 meter yang dinamai Southern Sun. Biaya ini juga mereka perlukan untuk mengawali ekspedisi arkeologi kelautan Paparan Sunda yang sudah memenuhi benak mereka. Maka pada tahun 2005 berangkatlah keluarga ini menuju Bali sebagai basecamp pertama mereka.

Selanjutnya adalah mengurus perizinan penelitian kelautan kepada pemerintah Indonesia. Upaya ini rupanya tidak berjalan mulus. Proses perizinan berlangsung hingga dua tahun dan tampaknya jalan sukar sudah di depan mata, pemerintah Indonesia menerapkan persyaratan yang terlalu besar untuk dapat mereka biayai, sehingga akhirnya ekspedisi ini mereka tangguhkan dulu untuk sementara.

Sementara itu, Hans & Roz sudah membawa Southern Sun untuk bermarkas di Miri, Sarawak. Di sini mereka menggunakan sebagian besar waktu untuk mencari sejumlah sisa kapal perang yang tenggelam saat Perang Dunia II. Di lepas pantai Kalimantan mereka menemukan kembali kapal penghancur Sagiri, milik Jepang, yang tenggelam karena kecelakaan di dekat kota Kuching. Dengan pemindai sonar, mereka mengenali bentuk kapal ini. Hans menyelam dan menemukan bangkai kapal lengkap dengan torpedonya dalam tabung.

Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-3

Gunung Lalakon
Dua hari penuh (13-14 November 2011) bersama pasangan Hans & Roz, saya tidak terlalu banyak mendengarkan perbincangan mereka tentang Atlantis. Hanya sesekali saja Roz terdengar mengucapkan sesuatu tentang Atlantis atau Lemuria. Dua hari ini, melalui permintaan seorang teman, saya bertugas menemani Hans & Roz untuk kunjungan ke Gunung Lalakon di Soreang, dan Gunung Sadahurip di Wanaraja, Garut. Kedua gunung ini, terutama Gunung Lalakon, belakangan ini memang santer diberitakan berkait dengan dugaan sementara orang tentang kemungkinan hubungannya dengan Atlantis.

Awalnya adalah kelompok peminat peradaban kuno, Turangga Seta, yang membuat dugaan ini. Entah bagaimana kelompok ini bisa menemukan kedua gunung tersebut, namun tim dari kelompok ini sempat mengadakan penelitian ilmiah ke Gunung Lalakon dan melakukan uji geolistrik dibantu beberapa ilmuwan dari LIPI dan BPPT. Dari hasil uji itu, mereka lalu mengadakan penggalian dan menemukan struktur bebatuan yang tersusun rapi dengan kemiringan 30 derajat di kedalaman 1-4 meter. Bebatuan membrojong ini dianggap sebagai bagian dari piramida yang sekarang sudah terkubur menjadi gunung.

Penemuan Gunung Lalakon dengan cerita Atlantisnya memang menimbulkan kontroversi cukup hangat di media massa maupun jaringan dunia maya atau internet. Tak kurang dari HU Pikiran Rakyat hingga VIVANews turut memberitakannya. Berdasarkan pengalaman saya mencari tahu fenomena ini melalui internet, ternyata lebih banyak tulisan yang lebih bersifat mendukung daripada membantah fenomena piramida di Gunung Lalakon. Tentu saja fakta ini tidak lantas menjadi ukuran kebenaran bagi salah satu pihak, namun paling tidak, bagi saya, dapat menunjukkan kecenderungan tertentu yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.

Hans dan Roz yang awalnya lebih tertarik pada fenomena bawah air, akhirnya merasa tidak ada salahnya juga untuk turut melihat dan memeriksa kontroversi piramida di balik Gunung Lalakon dan Sadahurip secara langsung. Pergeseran minat ini disebabkan juga oleh ketidakpastian kelanjutan ekspedisi kelautannya yang terus tertunda karena ketiadaan biaya. Karena itulah dalam kunjungan singkatnya ke Indonesia kali ini mereka meluangkan waktu untuk mendatangi langsung gunung-gunung tersebut.

Sejak mula berada di lokasi Gunung Lalakon, Hans sudah meragukan kaitan piramida dengan gunung ini. Kesuburan daerah yang mengelilingi gunung ini membuatnya mengambil kesimpulan bahwa Gunung Lalakon adalah gunung alami dan tidak menyimpan karya manusia di dalamnya. Kesuburan tanah di sekeliling gunung sangat berhubungan dengan gunung itu sendiri, sebuah gunungapi yang sudah sangat lama mati. Pengambilan kesimpulan seperti ini akan sangat jelas saat mengunjungi Gunung Sadahurip di Wanaraja keesokan harinya. Wilayah di sekitar Gunung Sadahurip memang sangat subur dan karena itu sepanjang mata memandangi wilayah ini, kita hanya akan lihat ladang-ladang saja.

Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-4

Gunung Sadahurip
 Kunjungan ke Sadahurip sudah dimulai sejak pagi sekali. Jam 8 pagi kami sudah berada di dekat Limbangan untuk menikmati secangkir kopi. Hans memilih air kelapa muda, langsung dari butirnya. Melalui Pak Oman Abdurahman, kami mendapatkan kontak di Wanaraja, seorang teman yang bernama Euis Keukeu Maryam, yang akan mengantarkan kami ke Sadahurip. Sepanjang perjalanan ini nyata sekali pasangan Hans & Roz menikmati seluruh pemandangan yang hadir di depan mereka, tak terkecuali jajaran delman yang memenuhi jalur jalan Karangpawitan hingga Wanaraja. Roz sedapatnya merekam kereta-kereta kuda itu dengan handycamnya untuk oleh-oleh bagi anaknya.

Tidak sulit menemukan rumah Ibu Keukeu, namun untuk menyingkat waktu, pertemuan kami langsungkan di sebuah rumah makan sekalian menyiapkan energi untuk pendakian. Sayang, karena pekerjaan rumahnya, Ibu Keukeu tidak dapat serta dan sebagai gantinya adalah suaminya yang akan mengantarkan kami ke puncak Sadahurip. Usai makan, kami berlima langsung menuju lokasi gunung melalui jalur-jalur jalan sempit di sepanjang Kecamatan Pangatikan. Sejak meninggalkan jalan raya Pangatikan, sepanjang beberapa kilometer jalur jalan terus menanjak landai.

Banyak pemandangan menarik dalam perjalanan ini. Kelompok gunung-gunung di sekitar kami tidak ada habisnya. Susahnya, tidak ada warga yang dapat mengenal baik nama-nama pegunungan yang kami lewati. Mungkin karena letaknya yang memang cukup jauh juga, sehingga tidak menjadi keseharian mereka. Namun dalam peta, dapat saya lihat kemungkinan nama beberapa gunung ini, di antaranya Gn. Cakrabuana, Gn. Karacak, Gn. Talagabodas, dan Gn. Sadakeling. Gunung-gunung yang lebih dekat kami tanyakan kepada para petani, namun jawabannya tidak terlalu meyakinkan, di antaranya, Gn. Kaboh, Gn. Karaha, Gn. Gerosi, dan Gn. Putri.

Setelah melalui jalan kaki yang panjang di antara ladang yang terus menanjak, kami tiba di lereng Sadahurip dan menemukan sebuah pemandangan spektakuler (bagi saya), yaitu sebuah cekungan mirip bekas kepundan gunungapi seperti yang saya lihat di Sumur Jalatunda, Dieng. Namun saya tidak dapat melihat dasarnya karena jauhnya. Di depan cekungan ini adalah lembah sempit yang memanjang dan terdengar cukup keras suara aliran sungai di bawahnya. Tampak dua tebing tinggi dengan bagian puncak yang mengingatkan saya pada Gunung Batu di Lembang. Dari warga kami dengar bahwa pada tahun 1980-an sebuah pesawat kecil pernah terjatuh di wilayah ini. Hingga beberapa lama bangkai pesawat masih terserak di situ.

Kondisi lingkungan selama perjalanan dan pendakian Gunung Sadahurip ternyata telah membuat Hans meragukan kisah piramida di balik gunung itu. Menurutnya semua yang ada di wilayah ini adalah hasil kerja alam karena keberadaan gunungapi. Kesuburan tanah akibat debu vulkanik, jalur-jalur aliran lava, dan beberapa amatan lain telah membuatnya mengambil kesimpulan bahwa Gunung Sadahurip adalah murni karya alam, sebuah gunungapi yang telah lama mati. Selewatan saya mendengarkan obrolan mereka, Roz yang mengatakan bahwa Hans adalah seorang pesimistis, dan sangkalan Hans yang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang skeptis dan bukan pesimis. Sepanjang jalan pasangan ini mendiskusikan amatan mereka masing-masing. Saya tidak terlalu mengikuti obrolan serius ini, mencatat kesimpulan yang akhirnya diambil oleh Hans, baik Lalakon maupun Sadahurip, keduanya adalah murni karya alam dan samasekali tidak menyimpan campur tangan manusia di baliknya.

Walaupun merasa gagal menemukan piramida, namun Hans dan Roz samasekali tidak menyesali perjalanan mereka ke dua lokasi gunung ini. Pertama, karena mereka memang tidak menginginkan apa pun kecuali memuaskan rasa kepenasaran mereka tentang peradaban kuno yang hilang, dan kedua, mereka menemukan gantinya yang tak tertandingi dan di luar bayangan mereka sendiri, yaitu pemandangan luar biasa sepanjang perjalanan antara Bandung – Soreang – Garut. Pengalaman mereka dengan Pulau Jawa selama ini hanyalah Jakarta – Bogor, dan sungguh tidak menyangka bahwa di wilayah yang lebih ke dalam dapat menemukan pemandangan pegunungan hijau yang spektakuler. Sepanjang jalan menemani pasangan ini, itulah yang saya dengar; spectacular, amazing, wonderful, what an adventure, dan seterusnya dan seterusnya.

Bagi saya sendiri yang tidak terlampau terlibat dengan misteri peradaban kuno dengan segala kontroversinya, mendengarkan decak kagum tak henti dari pasangan petualang ini sudahlah cukup membahagiakan, mungkin rasanya seperti menemukan piramida itu sendiri.

Bandung, 18 November 2011

Nb. Sumber informasi utama untuk data-data di atas adalah buku “Peradaban Atlantis Nusantara” (Ufuk, 2011) suntingan Ahmad Y. Samantho & Oman Abdurahman.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑