Tag: Kerajaan Kendan

Kaburnya Candi Bojongemas

Oleh Komunitas Aleut

Hari Minggu kemarin, untuk ke sekian kalinya, kami mampir lagi ke lokasi puing-puing Candi Bojongemas yang terletak di tepi Jalan Babakan Patrol, Desa Bojongemas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Dari foto-foto kunjungan selama ini terlihat kondisi saat candi belum berpagar, kemudian diberi pagar, dan sekarang pagarnya hilang. Plang yang terpasang di depan pun kondisinya mengenaskan, semua bidang mukanya habis oleh karat. Harus mau bersusah payah untuk coba membacanya.

Sudah sedari awal pun sebenarnya kami tahu soal ketiadaan informasi mengenai keberadaan candi ini, tapi ya tidak membuat situs ini jadi harus diskip dari perhatian. Dari pengalaman selama ini, bila kebetulan lewat jalan ini, ya pasti berhenti mampir sebentar, melihat-lihat lagi, walaupun pasti tidak akan ada informasi tambahan yang akan kami dapat. Jadi yang dimaksud dengan kabur pada judul di atas adalah ya informasinya.

Dua foto di atas adalah kondisi Candi Bojongemas pada saat kami berkunjung, 10 Maret 2024. Foto Komunitas Aleut. Pada cuplikan peta di bawahnya tertera nama Bodjongomas. Sialnya, pada saat memotong bagian yang diperlukan malah terlupa menyalin judul petanya. Nanti bila sudah ketemu akan kami cantumkan sumbernya.

Pulang dari perjalanan momotoran ini, iseng lagi browsing sana-sini tentang Candi Bojongemas, paling tidak, niatnya hanya ingin mengumpulkan atau mencatat ulang apa yang pernah ditulis orang dan dipublikasikan, baik di internet ataupun di buku-buku. Anggap saja bagian dari kerja pengumpulan data awal, ya walaupun hanya sekadar.

Dari internet, masih ketemu berita yang itu-itu juga, seputar kondisinya yang semakin memprihatinkan dan kekurangtanggapan pihak terkait untuk mengurusnya. Dugaan yang pernah diajukan mengenai latar belakang keberadaan candi ini dimention juga sedikit-sedikit, walaupun tidak banyak berarti. Misalnya soal periodenya yang mungkin semasa dengan Kerajaan Tarumanagara, atau kemungkinan keterhubungannya dengan Kerajaan Kendan dan Candi Bojongmenje di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Mengenai penemuannya, tidak ada catatan angka tahun yang cukup jelas, namun dari cerita yang banyak diulang, disebutkan ditemukan di dalam sungai Ci Tarum pada saat pengerjaan pelurusan sungai itu, bisa jadi penemuannya berlangsung pada awal tahun 2000-an. Wartawan Kompas, Cornelius Helmy, yang menulis artikel dengan judul “Sungai Cikapundung; Rumah bagi Tiga Peradaban,” dan muncul pada HU Kompas edisi 9 Oktober 2010, menyebutkan: Jawa Barat ternyata juga memiliki tinggalan percandian. Pada 1984, ditemukan sejumlah candi di Jabar, seperti Batujaya dan Cibuaya di Karawang. Bojongmenje dan Bojongemas di Kabupaten Bandung menyusul pada 2002. Batujaya dikatakan sebagai yang tertua di Jawa dan Candi Bojongmenje dan Bojongemas diyakini berasal dari zaman yang sama dengan candi tua di kompleks Dieng.

Pada bagian lain tulisan itu: Buktinya adalah penemuan Candi Bojongmenje di Cicalengka dan Bojongemas di Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Candi ini sebagian ahli memperkirakan dari abad ke-7 M. Ada juga penemuan arca di sekitar Kebun Binatang Bandung, diduga dari era yang sama.

Ada juga yang mengatakan bahwa keberadaan candi itu sudah diketahui oleh masyarakat pada sekitar tahun 1980-an, seperti yang ditulis di Tribun Jabar ini. Repot juga sih, penemuannya yang baru berselang beberapa tahun ke belakang saja begitu sulit mendapatkan informasinya, apalagi soal kapan didirikannya dan bagaimana keberlangsungannya hingga akhirnya berada di tengah aliran Ci Tarum sebagaimana yang juga disampaikan di Tribun Jabar di atas.

Dulu ada warga lokal bernama Pak Adam yang mengetahui banyak soal penemuan dan hal-hal yang berhubungan dengan batuan candi, termasuk proses pemindahannya dari dalam sungai ke tepi jalan, namun beliau telah wafat beberapa tahun lalu dan tak ada yang menyimpan ingatan tentang cerita-cerita yang diketahui oleh Pak Adam. Hanya seorang warga lokal lain yang masih ingat sedikit-sedikit, misal bentuk awal susunan batuan candi tersebut seperti yang disampaikannya kepada Kompas.

Plang candi yang sudah lama mulai menunjukkan karat, akhirnya habis juga semua permukaannya. Tulisan di atasnya semakin kabur, semakin sukar dibaca, membuat pemandangan situs ini semakin aneh: tumpukan batuan yang entah apa ceritanya dan plang atau papan informasi yang entah apa isi tulisannya.

Dari arsip foto lama yang kami punya, kami salinkan saja di sini tulisan utamanya:

Sejarah: Candi Bojongemas yang selama ini dikenal masyarakat, sebenarnya dahulunya merupakan bangunan Pasaduan yaitu tempat yang dianggap suci dan sangat disakralkan oleh pemeluk ajaran Kandaan penganut mayoritas masyarakat Sunda, ada pun tokoh ajaran Kandaan adalah Rajaresiguru Manikmaya seorang Waisnawa (penganut agama Syiwa). Sebagai bukti telah ditemukannya arca Durga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Sedikit informasi lain kami dapatkan dari buku Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat; Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Edisi Revisi). Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011. Pada bagian yang khusus membahas tentang Candi Bojongmenje sebanyak tiga setengah halaman, paragraf terakhirnya ternyata mengenai Candi Bojongemas, namun hanya begini bunyinya: Runtuhan bangunan candi juga ditemukan di Kampung Sukapada, Kelurahan Bojongemas, Kecamatan Solokan Jaya. Lokasi ini berada di tepi barat Sungai Citarum Lama. Batu-batu candi ini dipindahkan karena di lokasi tersebut dilakukan pelurusan sungai. Bagian candi yang masih tersisa adalah pipi tangga, ambang pintu, dan balok-balok batu yang kemungkinan merupakan bagian tubuh candi. Ya segitu saja.

Dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Endang Widyastuti (Balai Arkeologi Bandung) dengan judul “Di Situs Indihiang Kota Tasikmalaya” dan dimuat dalam majalah Purbawidya Vol. 6, No.1, Juni 2017, disebut nama Candi Bojongemas satu kali, demikian … “Beberapa tinggalan yang telah diyakini sebagai bangunan suci atau candi yang telah tercatat adalah kompleks percandian Batujaya, Cibuaya, Cangkuang, Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, dan Bojongemas. Bangunan-bangunan suci tersebut selain kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang diyakini berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara, kemungkinan berasal dari masa Kerajaan Sunda.” Jadi ada dugaan periodenya dari masa Kerajaan Sunda, namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang ini.

Masih dari Endang Widyastuti, kali ini dalam sebuah hasil penelitian berjudul “Bentuk dan Pola Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat Bagian Timur” yang dimuat dalam Ringkasan Hasil Penelitian Balai Arkeologi Jawa Barat Tahun 2019. Demikian kutipannya: Lokasi-lokasi yang ditengarai menyimpan tinggalan berupa bangunan suci tersebut diantaranya Candi Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, Bojongemas, dan Lingga yoni Indihiyang. Bangunan-bangunan tersebut diyakini sebagai bangunan suci meskipun ditemukan dalam kondisi yang sudah runtuh berdasarkan adanya temuan berupa arca nandi, lingga, yoni, atau gabungan dari arca-arca tersebut serta beberapa bongkah batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan. Adanya arca-arca tersebut mengindikasikan adanya bangunan suci di lokasi tersebut, meskipun secara untuh bentuk bangunan belum terungkap. Ada penjelasan tambahan untuk Candi Bojongemas, yakni sebagai sebuah bangunan suci, mungkin sama maksudnya dengan istilah Pasaduan seperti yang tercantum pada plang Situs Candi Bojongemas.

Untuk menambah ketidakjelasan, di plang itu ada tertulis ditemukannya arca Durga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Kami coba cari informasi tentang arca ini, tapi tidak ada yang cukup meyakinkan, yang jelas ejaan umum untuk nama itu adalah Durga Mahisasuramardini dan bukan Nahesasuramardini. Ya mungkin salah ketik saja.

Website wikipedia mempunyai satu halaman sendiri tentang arca Durga yang pernah ditemukan, tapi dari daftar yang ada, tidak ada yang dari sekitar Bandung. Di situs KITLV ada foto sebuah arca Durga dengan keterangan dari Bandung dan sudah dipindahkan ke Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia (sekarang Museum Nasional), namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang nama lokasi yang lebih spesifik. Foto ini dibuat oleh Isidore van Kinsbergen sebelum tahun 1900. Dari keterangan yang ditulis oleh Junghuhn (1844), sepertinya patung Durga ini adalah yang ditemukannya di daerah pergunungan utara Bandung, di suatu tempat bernama Pamoyanan, tidak jauh dari Cipanjalu.

Arca Durga dari Pamoyanan, dekat Cipanjalu. KITLV 87628. Foto oleh Isidore van Kinsbergen, sebelum 1900. Caption asli: Beeld van Doerga afkomstig uit Bandoeng, overgebracht naar het Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia.
Arca Durga yang disebut berasal dari Tenjolaya, Cicalengka. Caption asli: Beeld uit Tendjolaja bij Tjitjalengka bij Bandoeng. KITLV 162754. Circa 1890.

Masih dari situs KITLV, ada satu foto arca Durga lainnya yang diberi keterangan “dari Tjitjalengka.” Foto ini sudah sering kami lihat dalam buku karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986) dan disebutkan berasal dari Desa Tenjolaya, Cicalengka. Tentang arca ini tercatat juga dalam laporan N.J. Krom, pada nomor 115 dan 116.

Pada nomor 115 dari Cicalengka, disebutkan: Di halaman tempat kediaman kontrolir (dahulu) sebuah patung batu Polynesis kasar batu, mungkin berasal dari Tenjolaya. Sedangkan nomor 116 dari Tenjolaya dengan informasi awal dari katalog Verbeek nomor 58: Bekas-bekas tangga dan terras dari tanah, pada bagian teratas terdapat tiga alas kaki dan patung-patung. Salah satu dari patung-patung tersebut kini terdapat di Cicalengka (no 115). Dari desa ini terdapat juga sebuah kala dari batu, kini disimpan di Museum Pusat Jakarta; dari koleksi penggalian purbakala yang dikirim kesana itu terdapat patung Durga dari batu, tasbih, cincin mas, kalung, pecahan mas, senjata-senjata dari besi, kepingan arca batu dari sebuah bangunan, tempat penemuannya disebut “Warung Peuteuy”. Dari tempat tersebut ditemukan juga sisa-sisa bangunan diduga dari tempat yang sama ialah bukit Pamuruyan; dimana terdapat juga sebuah patung dan sebuah cincin.

Dari situs wikimedia commons, ada satu foto arca Durga dengan caption: Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, National Museum, Jakarta, Java (By Photo Dharma from Sadao, Thailand – 091P1010349 Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, CC BY 2.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=50791558). Dari hasil penelusuran internet, ditemukan foto arca yang sama  dengan keterangan asal dari Damping, sebuah nama tempat di Losari, Cirebon.    Dari catatan-catatan di atas, tidak ada informasi tentang arca Durga dari Bojongemas. Mungkin satu saat nanti perlu mencari dan melihat langsung ke Museum Nasional.

Yang menarik, saat menelusuri informasi arca ini malah ketemu satu artikel dari situs Pemerintah Kabupaten Bandung yang menyebutkan keberadaan batu prasasti Candi Bojongemas. Disebutkan bahwa prasasti itu ditemukan di dasar sungai Ci Tarum, dengan kondisi tulisan yang sudah tidak terbaca. Saat ini prasasti disimpan oleh salah seorang warga Kampung Sapan. Informasi mengenai batu prasasti ini, ya lebih gelap lagi. ***

Continue reading

Catatan Perjalanan: Kendan, Nagreg, dan Candi Bojong Menje (Part 1)

Oleh: Chika Aldila (@chikaldila)

Kendan berasal dari kata ‘kenan’, yaitu sejenis batuan cadas, berongga, dan di dalamnya mengandung kaca (batu beling) berwarna hitam, yang biasa kita sebut dengan nama batu Obsidian. Hanya di bukit Kendan ini kita dapat menemukan bebatuan yang sangat indah ini.”

Membaca kutipan mengenai Kendan di atas membuat aku teringat akan pengalamanku saat pertama kali melihat wujud asli batu obsidian di situs penggalian bukit Kendan (31/01/2016). Indah, bercahaya, berwarna hitam legam, membuat ‘pecinta’ batu ingin membawanya sebanyak mungkin ke rumah dan memolesnya bersih. Aku dan beberapa teman dari Komunitas Aleut sampai terpana melihat betapa cantiknya batu hitam legam ini; kami bawa batunya pulang, tidak banyak. Ya, tidak banyak.

Batunya berbentuk hati. Cantik tenan…

Di bukit itu pula aku melihat saksi sejarah kejayaan kerajaan lama di Tatar Sunda dengan Nagreg sebagai puseur dayeuh (ibu kota)-nya. Siapa sangka di Nagreg ada sebuah kerajaan? Di daerah Kabupaten Bandung ini, yang ternyata dulunya merupakan sebuah kerajaan besar dengan Resiguru Manikmaya (sudah Resi, Guru pula!) sebagai rajanya. Ya, mungkin hanya aku saja yang ketinggalan info, baru belajar mengapresiasi sejarah di umur-umur yang telat ini. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑