Tag: Ciwidey (Page 3 of 3)

Ngaleut Citambur: Ketika Semuanya Terasa Pas

Oleh: Angie Rengganis (@angiesputed)

“Lihat banyak banget air terjunnya,” sahut Farhan menunjuk kearah pegunungan. Ada sekitar tiga air terjun ditemui di kawasan Desa Cipelah. “Tau gak film Point Break, itu loh yang tentang extreme sports, pas si Bodhi nya lompat jatuh dari air terjun Angel Falls di Venezuela,” tambah saya mengingat-ingat film yang pernah saya tonton. Ternyata Cianjur juga punya banyak air terjun yang gak kalah menarik untuk dijelajahi. Memasuki salah satu jalan di daerah Rawaeceng, kami harus dihadapkan dengan jembatan darurat yang dibuat dari kayu karena jalan tersebut sedang dalam perbaikan.

Beberapa motor sukses melewati jembatan. Sialnya saya dan Farhan terjatuh dari motor karena permukaan jembatan yang tidak rata dan licin. Motor TRX yang kami naiki jatuh menimpa salah satu kaki saya dan otomatis badan saya juga menimpa Farhan yang posisi jatuhnya diujung bibir jembatan. Dengan responsif, Farhan langsung berpegangan ke gagang jembatan dan segera menetralkan motor. Saya sedikit-sedikit berusaha mengeluarkan kaki yang tertimpa motor. Sebelum saya mengeluarkan kaki, beberapa teman dan warga setempat bergegas membantu kami berdiri. Bobot motor TRX terbilang ringan dan fleksibel digunakan di medan ekstrim, jadi kondisi jatuh tidak terlalu jadi masalah untuk motor tersebut. Tapi untuk kami, kecelakaan kecil tadi cukup mengagetkan. Continue reading

Bayah dan Perjalanan Seru Lainnya

Oleh: Mey Saprida Yanti (@meysaprida)

Aku ikut Susur Pantai Selatan Jilid II bersama Komunitas Aleut dan Tim Djeladjah Priangan. Susur pantai pertama sangat menyenangkan, total perjalanannya sekitar 400 km dengan rute Bandung – Pangalengan – Cisewu – Rancabuaya – Pameungpeuk – Karang Tawulan – Cikatomas – Singaparna – Garut – Bandung.

Sementara kali ini kami menyusuri Pantai Selatan Jawa Barat ke arah Barat: dari Cianjur, Sukabumi sampai Bayah di Banten Selatan. Meskipun aku pernah ke Bayah, tepatnya ke Pantai Sawarna, tapi aku ingin merasakan kebersamaan bersama teman-teman Aleut lagi. Seperti mimpi, perjalanan ini tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Awalnya tidak terlalu berniat, hanya ingin melakukan perjalanan saja.

Jum’at malam (24 Maret 2017), kami berkumpul di Kedai Preanger, Jalan Solontongan No. 20-D, Buahbatu. Sekitar pukul 20.00 WIB kami makan malam terlebih dahulu untuk mengisi tenaga. Setelah makan dan semua teman telah berkumpul, kamipun briefing. Tujuan pertama adalah Ciwidey via Bojongsoang. Ya, kami akan mencari penginapan di dataran tinggi Bandung Selatan.

Agar keuangan perjalanan terjamin, kami patungan 100 ribu per orang sebagai kas perjalanan. Dana terkumpul 1,7 juta dengan total yang melakukan perjalanan 18 orang dan 10 motor. Dua orang teman tidak punya pasangan dalam perjalanannya, yang satu tidak ikut rombongan dari awal, kami akan bertemu di Cidaun.

Ciwidey

Ciwidey Valley, kami tiba di sana sekitar pukul 22.00. Tapi kami tidak menginap di Ciwidey Valley melainkan penginapan yang ada di depannya. Kami menyewa satu kamar dengan empat tempat tidur, satu tempat tidur bisa cukup 4 sampai 5 orang. Sebagian teman tidak bisa tidur karena suhu udara yang cukup dingin, ada yang lebih memilih berbincang sehingga mengundang teman lain yang juga susah tidur untuk bergabung.

Sebelumnya telah diperingatkan kepada teman-teman semua agar istirahat yang cukup, karena esok harinya akan melanjutkan perjalanan panjang. Di luar rencana awal, esoknya kami tidak akan berhenti di Sukabumi, melainkan langsung ke Bayah. Keputusan ini diambil karena ada sebagian teman yang akan pulang duluan di hari Minggu: pekerjaannya sudah menanti, maka diupayakan agar semua bisa sampai di Bayah.

Sabtu pagi, perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai. Karena cuaca dingin, sebagian teman memilih untuk tidak mandi, walaupun begitu tapi tetap semangat untuk melakukan perjalanan. Continue reading

Catatan Perjalanan: 4 Hari Untuk Selamanya

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Dalam nirsinar saya celangak-celinguk sedangkan film telah usai beberapa menit yang lalu. Film tersebut memberikan efek agar segera menyulut rokok untuk kemudian bergaya seperti Yusuf, tokoh dalam film itu. Saya tak kuasa untuk menghisap dalam-dalam lalu menyemburkan asapnya hingga berlarian. Tapi apa daya, tak sebatang rokok pun saya miliki. Namun manusia memang memiliki akal. Saya mencarinya ke lantai bawah, dan tak menemukannya. Saya kembali naik ke lantai atas, mencari di sekitar, dan akhirnya menemui bungkus rokok berwarna hitam berisi 4 batang rokok milik seorang kawan. Saya mengambilnya, lebih tepatnya, saya mencurinya. Bermodal korek, saya nyalakan rokok lalu menikmati setiap hisapan. Dan setelah hisapan pertama itu saya mulai menulis catatan perjalanan ini.

***

Perjalanan saya bersama Komunitas Aleut dan Tim Djeladjah Priangan untuk menyusuri Pantai Selatan dengan rute Bandung – Cidaun (Cianjur Selatan ) – Pelabuhan Ratu (Sukabumi) – Bayah pada Jumat, 24 Maret 2017 sangat memorable. Ini adalah perjalanan kami yang kedua setelah sebelumnya kami menyusuri Pantai Selatan dengan rute Bandung – Rancabuaya – Cikalong – Tasikmalaya.

Dari segi perjalanan, susur Pantai Selatan kali ini hampir sama dengan susur Pantai sebelumnya. Hanya berbeda sedikit bumbu, namun dengan rasa yang tak kalah sedap. Bagi saya, jalur yang kami lewati merupakan jalur baru. Biasanya, jika akan menuju Sukabumi, saya kerap melalui jalur perkotaan. Tapi kali ini saya melewati jalur perdesaan, berteman dengan pantai dan perbukitan.

Karena si Kuya (nama motor kesayangan saya) tidak memungkinkan untuk ikut, saya menunggangi motor seorang kawan bernama Angie. Namun sayang, bukan dia yang saya bonceng melainkan seorang fans garis keras JKT 48 bernama Ajay. Ada yang saya sesali saat saya membonceng Ajay. Apalagi kalau bukan penyesalan karena tak mengorek jauh seluk beluk tentang Kinal dkk. Padahal perjalanan kami cukup panjang, seharusnya saya dapat oleh-oleh lain dari perjalanan ini dengan mengetahui sejarah JKT48 dan perkembangannya sampai saat ini. Hahaha…

Berangkat dari markas yang berada di Jalan Solontongan 20-D sekitar pukul 21.00 WIB, kami merangsek menembus gerimis menuju jalur Ciwidey. Sesampainya di daerah Ciwidey, kami berniat menginap untuk melanjutkan perjalanan pada esok pagi. Gelapnya jalanan dan dinginnya udara malam itu membuat kami menginap di Pondok Gembyang. Penginapan yang cukup luas dengan tarif yang relatif murah. Bayangkan saja, belasan orang bisa masuk dan dapat tidur nyenyak di ruangan yang cukup luas dengan jumlah kasur yang juga cukup banyak. Bahkan, saya bisa lari-lari di atas kasur saking empuknya dan ber-smack down bersama Arif, salah seorang kawan saya. Penginapan yang recommended untuk kamu yang akan menginap dengan jumlah orang yang banyak. Continue reading

Berziarah ke Makam RE Kerkhoven

Oleh: Hevi Fauzan (@hevifauzan)

Rabu, 1 Maret 2017, untuk pertama kali, saya berkesempatan berziarah ke makan Kerkhoven di Gambung. Di sana, terdapat 3 makam, yaitu makam Rudolph Eduard Kerkhoven, Jenny, dan satu makam lagi yang kemungkinan sebagai tempat peristirahat pengasuh anak-anak mereka. Perjalanan ini terwujud bersama rekan-rekan dari Komunitas Aleut.

Perkebunan teh Gambung berada di Desa Cisondari, Kecamatan Pasir Jambu. Dari Bandung, tempat ini bisa diakses melalu jalan raya yang menghubungkan Soreang dan Ciwidey. Dari SPBU Pasirjambu, kita harus berbelok ke kiri, menuju Gunung Tilu.

Sempat dihentikan hujan dan berteduh di warung yang juga sebuah tempat penggilingan biji kopi, kami berempat masuk ke kompleks pusat penelitian teh dan kina. Setelah melewati pintu utama dan beberapa pos satpam, kami harus berhenti di dekat pabrik dan memarkirkan kendaraan di sana. Ternyata, untuk masuk ke makam, pengunjung harus membayar sekian rupiah. Pihak perkebunan memberikan list fasilitas apa saja yang bisa digunakan oleh pengunjung, termasuk list harga didalamnya. Untuk masuk ke kompleks makam Keluarga Kerkhoven yang letaknya terpencil di belakang, pengunjung harus membayar Rp 15.000 rupiah/orang bagi WNI dan 50.000/orang bagi non-WNI.

Sosok R.E. Kerkhoven bagi saya, menepiskan sosok para penjajah yang selalu digambarkan datang untuk mengeksploitasi alam Nusantara dan manusianya. Continue reading

Kordon adalah Kita

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

DSCN4834

Seorang perempuan muda turun dari angkot jurusan Buahbatu-Kalapa di Jl. Gurame. Saya kira dia masih usia kuliah, dari wajah yang tak boros saya menebaknya. “Ti Kordon,” ucapnya sambil memberikan ongkos ke sopir angkot. Kordon? Ya, semenjak berdomisili di Buahbatu, saya sering mendengar kata itu.

Kata berikutnya yang begitu lekat dengan Kordon adalah Pasar, maka menempellah Pasar Kordon di lereng ingatan, dan apa yang mengendap di benak saya dari sebuah pasar? ; jorok dan bau tentu saja. Pasar Kordon dari jalan raya, selalu terlihat deretan pisang yang menggantung menunggu pinangan calon pembeli, dan lorong agak gelap ke dalam. Kalau saja minat pada sejarah dan kehidupan sosial tidak membibit, barangkali saya tidak akan pernah nyukcruk ke dalam pasar itu. Maka Ahad kemarin (10 mei 2015) minat itu mengejawantah; saya mencoba menyigi Kordon. Continue reading

Cibuni, Kampung di Tengah Kawah

Repost

SONY DSC

Cerita unik tentang kawasan di sekitar Bandung memang seperti tak akan pernah habis. Ada kompleks-kompleks pemakamaman kuno dengan ciri-ciri kebudayaan Hindu di sekitar perbukitan Bandung utara dan timur. Peninggalan kebudayaan megalitik yang masih dapat disaksikan in situ juga tersebar di banyak tempat di seputaran Bandung seperti di Gunung Padang, Soreang, di Pasir Panyandakan, Ujungberung, Cililin, dll.

Selain objek wisata alam atau sejarah, berbagai keunikan objek lainnya di Bandung masih dapat terus ditemui dan digali, seperti  kebiasaan-kebiasaan dan pola hidup masyarakat yang mungkin bagi sebagian orang terasa tidak biasa. Misalnya saja kelompok masyarakat penambang urat emas di Cibaliung, Pangalengan, daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Cianjur. Kelompok masyarakat yang sebagian besar memiliki pertalian keluarga ini tinggal di dasar lembah vertikal yang sempit. Puluhan keluarga membangun rumah kayu dan bilik mereka di tepi aliran sungai Ci Baliung secara vertikal mengikuti kontur bukit yang curam. Dari sisi jalan perkebunan Cukul, perlu waktu berjalan kaki menuruni lembah sekitar satu jam untuk dapat mencapai perkampungan ini dan tentunya lebih lama lagi untuk naik dan kembali ke jalan utama perkebunan. Dari Situ Cileunca, Pangalengan, dengan memakai kendaraan off-road perlu waktu satu jam menempuh jalan perkebunan yang berbatu menuju bibir lembah Kampung Cibaliung.

Warga Cibaliung membangun turbin-turbin untuk pembangkit listrik secara sederhana sebagai sarana penerangan rumah masing-masing. Selain itu di setiap jeram dibangun pula turbin yang membantu mereka dalam proses pengolahan biji emas yang berhasil didapatkan dari perut bukit yang mereka gali hingga berpuluh-puluh meter panjangnya. Kelompok masyarakat ini tinggal di keterpencilan lembah Cibaliung selama bertahun-tahun dan hanya sesekali saja keluar kawasan untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Cibuni, Rancabali
Sebuah kampung unik lain yang tak kalah menarik untuk dikunjungi terdapat di kawasan Perkebunan Rancabali, afdeeling Rancabali II. Daerah ini juga disebut Cibuni karena berada di dalam kawasan Perkebunan Teh Cibuni, Ciwidey. Jaraknya dari Bandung sekitar 50 kilometer dan terletak tidak jauh dari kompleks Cagar Alam Talaga Patengan. Perkampungan pegawai perkebunan dengan rumah-rumah berwarna biru cerah memberikan pemandangan yang segar di tengah hamparan perkebunan teh yang hijau. Ada beberapa kelompok perkampungan seperti ini di tengah luasnya kompleks perkebunan Cibuni.

Yang cukup menarik, di kawasan perkebunan ini terdapat beberapa kawah aktif yang dapat dikunjungi. Kawah-kawah ini terletak cukup terpencil sehingga sering luput dari perhatian para pengguna jalur jalan Ciwidey-Cianjur, walaupun ada beberapa papan petunjuk menuju kawah yang terpasang di sisi jalan. Yang paling unik dari semua kawah ini adalah kawah Cibuni yang berada sekitar satu kilometer dari jalan raya atau Jembatan Ciorok. Untuk menuju kawah, pengunjung harus mendaki jalan setapak yang sudah pernah diperlebar hingga tiga meter sepanjang kurang lebih satu kilometer.

Kondisi kawah di perkebunan ini secara umum mirip dengan Kawah Domas di Tangkuban Parahu atau Kawah Sikidang dan Kawah Sileri di daerah Dieng. Kita dapat melihat kepulan asap tebal yang keluar dari sela-sela bebatuan yang tersebar di area ini. Selain puluhan sumber asap tebal, puluhan mata air panas berbelerang juga mudah ditemukan tersebar di sekitar kawasan ini. Uniknya di atas area kawah ini dibangun beberapa rumah tinggal yang juga berfungsi sebagai warung dan sebuah musholla yang terbuat dari kayu dan bilik. Rumah-rumah ini juga biasa diinapi oleh para pengunjung yang bermalam di sini. Untuk menginap tidak dikenakan biaya tertentu, para pemilik rumah ikhlas menerima seadanya saja dari para pemakai jasa rumahnya.

Kebanyakan pengunjung yang datang menginap bertujuan untuk melalukan pengobatan dengan memanfaatkan aliran sungai berair panas. Di sebuah kolam kecil tampak sejumlah orang sedang berendam dan mandi di pancuran bambu air panas. Seorang bapak berusia sekitar 70 tahun mengakui sudah dua kali mengunjungi tempat itu. Kedatangannya adalah untuk mengobati penyakit rematik yang sudah cukup lama dideritanya. Bapak ini berencana tinggal beberapa hari di Kampung Kawah Cibuni. Dalam kunjungan pertamanya sekitar 10 tahun lalu, bapak yang berasal dari Naringgul ini mengakui berhasil sembuh dari penyakit rematiknya, namun kambuh lagi dalam dua minggu terakhir ini. Serombongan pengunjung yang terdiri dari dua keluarga juga memilih berbagai tempat untuk bersantai berendam menikmati air panas yang mengalir.

Hingga sekitar setahun lalu, kawah di Cibuni ini lebih dikenal dengan nama Kawah Cibuni saja, namun belakangan sehubungan dengan rencana pengelolaan area menjadi Kawasan Wisata Agro dari Kebun Rancabali, PTP Nusantara VIII, nama kawah diubah menjadi Kawah Rengganis. Sebuah plang penunjuk didirikan di jalan masuknya, di sisi jalan raya Ciwidey-Cianjur. Namun sayang, entah sebab apa, rupanya rencana ini batal diwujudkan.

Sekarang kawasan wisata agro yang direncanakan terlihat agak terbengkalai tanpa pengelolaan yang cukup baik. Menurut warga setempat kunjungan wisatawan ke lokasi tersebut juga tidak terlalu banyak walaupun setiap harinya ada saja yang datang. Turis asing pun cukup sering mengunjungi tempat ini walaupun dalam kelompok-kelompok kecil atau perseorangan saja. Pada hari Minggu dan hari-hari libur saja biasanya jumlah pengunjung agak meningkat. Selain sekadar berjalan-jalan saja, kebanyakan pengunjung bermaksud melakukan pengobatan berbagai penyakit dengan memanfaatkan aliran air panas di sana. Atau yang juga cukup sering ditemui adalah kelompok pengunjung dengan tujuan berziarah ke sebuah makam tua di dekat kawah.

Abah Jaka Lalana
Pada umumnya warga tidak dapat bercerita banyak tentang masa lalu Kampung Kawah Cibuni. Kebanyakan mereka sendiri adalah keluarga pendatang dari wilayah di sekitarnya. Namun konon perkampungan di kawah ini sudah ada sejak zaman Hindia Belanda dan biasa dikunjungi oleh para pegawai perkebunan di sekitarnya. Pak Maman, salah satu warga sekitar yang berasal dari Rancasuni hanya dapat mengatakan bahwa dahulu kawasan ini dibuka oleh seorang yang sekarang dikenal dengan nama Abah Jaka Lalana. Makam tokoh perintis inilah yang kemudian hari banyak diziarahi orang. Keluarga penerus Abah Jaka Lalana juga tidak banyak menyimpan cerita masa lalu sehingga tidak banyak informasi sejarah yang dapat digali lebih jauh dari warga Kampung Cibuni.

Di kompleks kawah ini terdapat tujuh keluarga yang tinggal dan mendirikan rumah-rumah mereka di area kawah dan di bibir tebing di sisi kawah. Hampir semua keluarga ini menghidupi diri dengan bertani palawija. Mereka membuka dan mengelola lahan tidur di sekitar kampung dan di sisi hutan menjadi ladang-ladang. Usaha warung hanya dijalankan oleh dua keluarga saja. Untuk sarana penerangan, setiap keluarga membangung turbin-turbin penggerak dinamo di aliran sungai Ci Buni. Ada empat buah turbin berkekuatan masing-masing sekitar 70 watt yang memenuhi kebutuhan listrik tujuh keluarga kampung.

Objek lainnya
Dari Kawah Cibuni atau sekarang Kawah Rengganis, wisatawan dapat juga bertualang mendaki bukit dan menempuh hutan menuju puncak Gunung Patuha. Diperlukan waktu sekitar tiga jam untuk mencapai puncaknya. Bila berminat bertualang seperti ini sebaiknya menyertakan seorang warga sekitar sebagai pemandu agar tidak tersesat karena hutan di sekitar ini masih cukup lebat dan tidak memiliki jalan setapak. Di ketinggian bukit, juga terdapat kawah lain yang dinamakan Kawah Saat. Di dekat Kawah Saat juga terdapat sebuah makam tua lainnya yang biasa didatangi para peziarah. Bila dapat mencapai Kawah Saat maka tidak diperlukan waktu terlalu lama untuk dapat mengunjungi sebuah kawah lain yang lebih populer, yaitu Kawah Putih. Kawah lain dengan nama Kawah Saat juga terdapat di kawasan lain di Cibuni, yaitu di Kampung Pangisikan. Di kampung ini mengalir sungai Ci Pangisikan yang berair jernih.

Bertualang dengan berjalan kaki atau bersepeda dapat juga dilakukan di kawasan Cagar Alam Talaga Patengan dengan menyusuri jalur perkebunan teh yang terhampar dengan indahnya, atau menerobos hutan hingga mencapai Situ Patengan melalui jalan aspal yang cukup baik. Bila memiliki cukup banyak waktu dan energi, menyusuri jalan raya penghubung Ciwidey-Cianjur adalah alternatif yang sangat menarik karena sepanjang perjalanan akan menemui kompleks-kompleks perkebunan yang memanjakan mata serta kampung-kampung kecil yang asri yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Sekadar minum kopi atau teh di pinggir jalan raya yang tidak ramai ini pasti akan memberikan suasana segar yang tidak akan Anda dapatkan di perkotaan.

DSC07444B

IMG_5107

DSC07635B

DSC07516B

DSC07424B

DSC07427B

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑