Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh : Wildan Aji
‘t Oude moedertje zat bevend
Op het telegraafkantoor
Vriend’lijk sprak de ambt’naar
Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor
Trillend op haar stramme benen
Greep zij naar de microfoon
En toen hoorde zij, o wonder
Zacht de stem van hare zoon
(Potongan lirik lagu “Hallo Bandoeng” – Wieteke van Dort)
Sebelum mengikuti kegiatan momotoran ke kawasan perkebunan teh di Pangalengan pada hari Sabtu pagi lalu, saya mendengarkan sebuah lagu berjudul “Hallo Bandoeng” yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Lagu ini rasanya cocok sekali untuk menemani perjalananku kali ini bersama rombongan Komunitas Aleut. Rasanya seperti akan kembali melihat masa lalu Bandung dan kawasan sekitarnya.
Anggota rombongan yang berangkat ada 14 orang menggunakan 8 motor yang berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Pasirluyu Hilir, Buah Batu. Ketika waktu menunjukkan pukul 11.30, kami tiba di kawasan Perkebunan Teh Malabar, setelah sebelumnya mampir dulu ke bekas perkebunan kina di Cinyuruan, Kertamanah, dan ke Pusat Penelitian Teh & Kina di Chinchona, Cibeureum.
Perkebunanan Teh Malabar tentunya sudah tidak asing lagi sebagai tempat wisata. Perkebunan ini bisa dibilang paling terkenal dan merupakan salah satu penghasil teh terbesar di dunia pada masanya dengan kapasitas produksi mencapai 1.200.000 kg/tahun. Sejak era Hindia Belanda produksi teh dari Perkebunan Malabar sangat terkenal dan produksinya dijual di pasar Eropa. Produksi teh hitam menggunakan metode orthodox dan hanya memakai tiga pucuk terbaik. Dengan metode ini proses pengolahan teh tidak dicacah namun digiling sehingga dapat menghasilkan citarasa teh yang lebih nikmat mengalahkan kualitas teh dari Tiongkok dan Srilanka yang saat itu juga menguasai pasar Eropa. Hingga saat ini Perkebunan Teh Malabar masih beroperasi dan konsisten menghasilkan teh dengan kualitas ekspor. Untuk proses pemasarannya, 90% produksi perkebunan teh ini untuk ekspor dan hanya 10% yang dipasarkan di dalam negeri.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah
Oke, jadi ngebolang kali ini aku lakukan bersama dengan komunitas Aleut dengan judul Momotoran.
Perjalanan kami dimulai dari Alun-Alun Banjaran sebagai titik pertemuan aku dengan teman-teman lain yang berangkat dari Rumah Aleut di Pasirluyu Hilir, Bandung. Mungkin teman-teman lain sudah menulis catatan bahwa kegiatan momotoran ini adalah bagian dari Kelas Menulis untuk para peserta Aleut Program Development (APD) 2020. Dalam kegiatan momotoran ini semua peserta mendapatkan tugas untuk membuat tulisan dengan tema yang berbeda-beda. Tugas saya menulis apa? Nah, simak saja ceritanya.
Gerbang Perkebunan Malabar. Foto: Aleut.
Singkat cerita, kami tiba di pintu gerbang Perkebunan Teh Malabar yang kini dikelola oleh PTP Nusantara VIII. Sebelumnya, kami sempat mampir dulu ke warung nasi terdekat untuk membeli bekal makan siang yang akan dimakan nanti dalam perjalanan.
Menurut artikel yang pernah aku baca, Perkebunan Teh Malabar adalah perkebunan terbesar ketiga di dunia. Setiap harinya perkebunan ini dapat menghasilkan hingga 60.000 kilogram pucuk teh dan hampir 90% dari hasil produksinya menjadi komoditas ekspor. Perkebunan ini dibuka oleh seorang Preangerplanter bernama Kerkhoven, yang kemudian mengangkat sepupunya, yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha untuk menjadi administratur dan mengelola perkebunan tersebut. Beliau menjabat sebagai administratur selama 32 tahun sebelum wafat akibat tetanus setelah terjatuh dari kuda yang ditungganginya.
Tidak jauh dari pintu gerbang, kita bisa melihat pohon-pohon tinggi menjulang dengan batang yang terlihat sudah sangat tua. Pepohonan itu tampak mencolok di antara hamparan tanaman teh sekitarnya. Tempat itu disebut leuleweungan,yang dalam bahasa Indonesia berarti hutan-hutanan, karena memang tempat ini terlihat seperti hutan kecil dengan berbagai vegetasinya. Di sinilah tempat peristirahatan terakhir K.A.R. Bosscha. Pusara Bosscha berbentuk pilar-pilar melingkar yang terbuat dari marmer dan tiang tinggi serta kubah yang menaungi makam di bawahnya. Menurut cerita, pada masa hidupnya, Ru Bosscha senang menghabiskan waktu untuk bersantai di tempat ini, dan beliau pernah berpesan agar dimakamkan di tempat ini bila wafat nanti.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Deuis Raniarti.
Karel Albert Rudolf Bosscha datang ke Pulau Jawa pada tahun 1887. Awalnya ia datang untuk membantu pamannya, Kerkhoven, mengelola perkebunan Sinagar, namun pada akhirnya ia mengelola perkebunan miliknya sendiri di Pangalengan. Setelah menuai kesuksesan, Bosscha dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Berbagai sumbangannya terus dikenang dan manfaatnya bisa dirasakan hingga sekarang. Salah satu jasanya dalam bidang pendidikan adalah pendirian Vervoloog Malabar, yaitu sekolah untuk kaum pribumi, khususnya anak para pekerja perkebunan Malabar. Sekolah ini didirikan di tengah Perkebunan Teh Malabar pada tahun 1901.
(Vervoloog Malabar. Sumber: Tropenmuseum)
Pada hari Sabtu lalu, 24 Oktober 2020, saya dan beberapa kawan dari Komunitas Aleut momotoran ke Pangalengan hingga Ciwidey, momotoran ini adalah kelanjutan dari kegiatan “Belajar Menulis”. Seluruh peserta diberi tugas membuat catatan dan liputan tentang berbagai hal yang ditemui dalam perjalanan, seperti sejarah kina dan Kebun Cinyiruan, Kebun Teh di Malabar dan Pasirmalang, tokoh-tokoh seperti KAR Bosscha atau FW Junghuhn, sampai ke pengenalan kawasan-kawasan perkebunan di sekitar Pangalengan-Ciwidey. Dalam tulisan ini saya akan menceritakan pengalaman saya ketika berkunjung ke Vervoloog Malabar.
Lensa teleskop Carl zeiss Observatorium Bosscha. tirto.id/Irfan Teguh Pribadi
Polusi cahaya di Lembang kini menjadi tantangan terbesar bagi Observatorium Bosscha yang selesai dibangun 1928 atau 90 tahun lalu.
Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)
Carl Zeiss lahir di Weimar, Jerman, pada 11 September 1816. Ia adalah pakar optik yang pada 1846 mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang sistem optik di Kota Jena. Perusahaan inilah yang pada 1921, dikunjungi oleh Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang juragan perkebunan teh di Malabar, Bandung, Jawa Barat.
Bersama koleganya, J. Voute, Bosscha memesan sebuah teleskop fotografik dengan diameter 60 cm dan panjang fokus sekitar 11 meter, untuk digunakan di observatorium yang hendak dibangun di daerah Lembang, Bandung Utara. Teleskop tersebut diyakini merupakan instrumen yang tepat untuk melakukan pengamatan paralaks bintang.
Atas permintaan J. Voute, sebuah teleskop visual yang identik ditambahkan sehingga menghasilkan dua buah teleskop yang dapat bekerja mandiri dalam satu buah tabung. Kelak, teleskop refraktor ganda yang dipesan ini dikenal dengan sebutan Teleskop Zeiss.
Rencana pembuatan observatorium diputuskan pada rapat pertama Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging atau Perhimpunan Astronom Hindia Belanda. Pada pertemuan tersebut, Bosscha bersedia menjadi penyandang dana utama. Observatorium yang mulai dibangun pada 1923 itu berdiri di sebidang tanah yang disumbangkan oleh keluarga Ursone, pemilik perusahaan susu bernama Baroe Adjak.
Warsa 1928, atau tujuh tahun sejak pemesanan, Teleskop Zeiss yang dibawa oleh kapal Kertosono milik Rotterdamsche Llyod, akhirnya tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal itu membawa 27 peti berisi bagian-bagian dari teleskop besar. Peti-peti seberat 30 ton dilayarkan secara gratis dari Belanda yang selanjutnya dibawa ke Bandung dengan menggunakan kereta api.
Dari Bandung, perjalanan dilanjutkan ke Lembang dengan menggunakan sejumlah kendaraan milik pasukan Zeni. Bagian Konstruksi dan Bangunan Jembatan Jawatan Kereta Api (Staatspoorwagen) bertugas menyetel teleskop di dalam bangunan kubah besar yang telah disiapkan.
Pemasangan teleskop menghabiskan waktu beberapa bulan. Setelah selesai dipasang, pada 7 Juni 1928 diselenggarakan acara peresmian Teropong Kubah Besar Zeiss. Acara tersebut dihadiri oleh Gubernur Jenderal Belanda, Andries Cornelis Dirk de Graef, yang kemudian memberikan bintang kehormatan kepada Bosscha.
Pengamatan Bintang Ganda
Dalam rilis tertulis yang dipublikasikan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB) selaku pengelola Observatorium Bosscha, disebutkan bahwa salah satu fungsi Teleskop Zeiss adalah untuk mengamati bintang ganda.Program yang telah dimulai sejak 1924 ini merupakan program prioritas sejalan dengan laju perkembangan ilmu fisika bintang saat itu. Mula-mula pengamatan bintang ganda di Observatorium Bosscha dilakukan secara visual menggunakan mata telanjang. Para astronom melihat langsung posisi bintang ganda dari teleskop, lalu menentukan posisi dan jarak pisahnya dengan bantuan mikrometer.
Mulai 1946 Teleskop Zeiss dilengkapi dengan plate holder yang dapat menyangga plat fotografi di bidang fokus teleskop. Sejak itu, pengamatan fotografi dimulai hingga pengujung 1999, saat plat fotografi tak lagi diproduksi dan pengamatan beralih menggunakan kamera digital.
Hasil pengukuran posisi bintang ganda tersebut dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dan dimuat dalam katalog bintang ganda, di antaranya di Washington Double Star Catalog, dan Database of Visual Double Star Observed at Bosscha Observatory.
Dalam mini museum yang berada di kompleks Observatorium Bosscha dijelaskan bahwa bintang ganda adalah pasangan bintang yang bergerak di sekitar pusat massa sistem di bawah tarikan gravitasi bersama. Pada banyak kasus, bintang-bintang itu bergerak dalam bentuk orbit elips yang dijelaskan dalam hukum Kepler.
Pengamatan bintang ganda sangat penting bagi astronomi karena informasi tentang gerak sistem hasil interaksi kedua komponen bintang, memungkinkan perhitungan massa bintang. Pengamatan ini memungkinkan penghitungan orbit untuk penentuan massa bintang. Selanjutnya, pengetahuan ini dapat dipakai untuk pengujian teori evolusi bintang.
Mahasena Putra, Lektor Kepala di FMIPA ITB dan mantan Direktur Observatorium Bosscha menjelaskan teori evolusi bintang salah satunya untuk menentukan massa bintang, yang selanjutnya dipakai untuk meramal masa depan bintang.
Jika massa sebuah bintang diketahui, maka keberakhirannya dapat dihitung. Semakin besar massa bintang ketika dilahirkan, maka umurnya akan semakin pendek karena reaksi nuklir di dalamnya akan semakin kencang, yang menyebabkan bintang tersebut cepat meledak dan mati.
Bintang terbentuk dari awan yang bertebaran di alam semesta—bukan awan yang barada di dalam atmosfer bumi—yang mengandung hidrogen, helium dan lain-lain. Mereka akan berkumpul, berputar, dan semakin padat, lalu terbentuklah bintang. Bintang yang lahir atau terbentuk ini mempunyai massa yang berbeda-beda. Seperti halnya makhluk hidup, bintang mengalami kelahiran, bertambah tua dan mati.
Sebagai contoh, imbuh Mahasena Putra, matahari yang merupakan bintang dilahirkan 4,5 miliar tahun yang lalu, dan kini memasuki tengah umur. Ia diperkirakan akan mati 4,5 miliar tahun yang akan datang.
“Bintang seperti matahari [yang massanya ketika dilahirkan kecil] umurnya bisa sampai 9-10 miliar tahun. Kalau bintang yang massanya besar bisa hanya 10 juta tahun, [reaksi nuklirnya] boros, 10 juta tahun akan mati, meledak,” ucapnya.
Perawatan si Zeiss
Teleskop Zeiss merupakan teleskop paling besar dan tertua di Observatorium Bosscha. Meski begitu, performanya masih prima dan masih dapat terus diandalkan. Hal ini tidak terlepas dari perawatan yang dilakukan secara telaten.
Mochamad Irfan, Staf Sains dan Pendukung di Observatorium Bosscha yang bertanggungjawab merawat teleskop tersebut menjelaskan bahwa secara garis besar perawatan ditujukan pada tiga hal, yakni sistem mekanik, sistem kelistrikan, dan sistem optik.
“Secara prinsip sih sederhana, tapi karena ukurannya masif maka pengerjaan [perawatannya] biasanya memakan waktu berhari-hari,” ujarnya.
Teleskop Zeiss yang berada pada bangunan berkubah rancangan Charles Prosper Wolff Schoemaker—yang juga merancang Masjid Cipaganti, Hotel Preanger, Villa Isola, dll—yang sangat ikonik, dilengkapi dengan lantai yang dapat bergerak naik turun. Lantai ini biasanya dinaikkan sampai batas maksimal untuk membersihkan Teleskop Zeiss yang posisinya ditidurkan.
Selain ukurannya yang besar, udara Lembang yang lembab pun menjadi tantangan tersendiri bagi para staf dalam melakukan perawatan teleskop.
Dalam keseharian, setelah dipakai para pengamat bintang, para staf juga selalu memastikan semua benda terletak pada tempatnya dan berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini, imbuh Irfan, dilakukan karena lupa atau lalai bisa menimpa siapa saja, termasuk para pengamat bintang yang memakai ruangan tersebut.
Dalam beberapa peristiwa gempa, meski tidak pernah terjadi kerusakan, para staf di Observatorum Bosscha selalu memeriksa sejumlah bagian di ruangan tempat Teleskop Zeiss berada, untuk memastikan tidak ada kerusakan atau pergeseran sistem mekanik yang bisa membahayakan.
Belakangan, di lantai pertama ruangan berbentuk lingkaran itu dilengkapi dengan peredam suara. Menurut Irfan, agar percakapan di satu sisi tidak terdengar terlalu nyaring di sisi lainnya. Hal ini terbukti saat saya naik ke lantai berikutnya yang tidak dilapisi peredam suara. Percakapan di sisi yang berseberangan dengan posisi saya berdiri, meski dilakukan secara pelan, terdengar sangat jelas.
Perawatan teleskop di kompleks Observatorium Bosscha tidak hanya dilakukan di dalam ruangan, di bagian luar pun rutin dilakukan pembersihan, pengecatan, dan penambalan jika ada atap yang bocor. Saat saya berkunjung, tembok luar bangunan berkubah tempat Teleskop Zeiss berada terlihat cerah karena belum lama dilakukan pengecatan ulang.
“Sekarang [pengecatan tembok] pakai cat yang mahal, karena jika pakai cat murah biasanya hanya bertahan lima tahun,” pungkasnya.
Tantangan Polusi Cahaya
Kondisi pencahayaan, khususnya di sekitar observatorium sangat berpengaruh terhadap hasil pengamatan. Langit yang bersih diperlukan agar pengamatan optimal. Jika pencahayaan lampu tidak ditata dengan baik, maka akan menyebabkan polusi cahaya yang akan mengganggu proses pengamatan astronomi.
Lembang yang dulu merupakan daerah yang sepi, sebagaimana daerah-daerah lain di Bandung Raya, mengalami perkembangan permukiman yang signifikan yang akhirnya menimbulkan polusi cahaya. Hal ini membuat Observatorium Bosscha mendapat tantangan yang tak mudah demi menjaga keberlangsungan perkembangan sains di Indonesia.
Untuk menjawab tantangan ini, ITB selalu pengelola Observatorium Bosscha menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah Jawa Barat, instansi-instansi terkait, dan masyarakat untuk menjamin perlindungan terhadap kawasan ini melalui pelbagai aturan dan imbauan.
Perlindungan terhadap Observatorium Bosscha, secara fisik maupun—secara implisit—pengaturan tata cahaya di sekitarnya, juga tercantum dalam Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung.
Pada pasal 61 ayat 2 menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang dilindungi. Sementara pasal 99 tentang arahan peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, poin (e) menyebutkan ketentuan untuk kawasan Observatorium Bosscha, yakni (1) ditetapkan dengan radius 2,5 kilometer dari Observatorium Bosscha, (2) ketentuan teknis lain lebih lanjut diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Namun sayang, Perpres yang terdiri dari 121 pasal tersebut tidak secara gamblang menyebut soal pengaturan tata cahaya di sekitar Observatorium Bosscha. Aturan ini hanya disebut dalam pasal 99 poin (e) bagian 2 dengan redaksional “ketentuan teknis lain lebih lanjut diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”, yang barangkali bisa ditafsirkan meliputi soal aturan tata cahaya.
Ikhtiar lain yang dilakukan oleh Observatorium Bosscha untuk mengurangi cahaya lampu adalah dengan membagikan tudung lampu kepada masyarakat sekitar yang fungsinya agar pijar cahaya tidak mengarah ke atas yang dapat mengganggu kejernihan langit.
Tahun 2015, saat Direktur Observatorium Bosscha dijabat oleh Mahasena Putra, saya bersama kawan-kawan dari Komunitas Sahabat Bosscha sempat ikut membagikan tudung lampu itu kepada masyarakat.
Di sebuah lapangan tak jauh dari SD Negeri Merdeka yang beralamat di Jalan Peneropongan Bintang, di sela pembagian dan pemasangan tudung lampu, seorang kawan berujar, “[Pembagian tudung lampu] ini seperti menabur garam di laut ya.”
Ungkapannya tentu saja pesimistis, tapi barangkali itulah cara dia merespons polusi cahaya yang sudah sangat masif, dan menentukan nasib keberadaan observatorium. Bisa jadi lokasi observatorium Bosscha Lembang akan digantikan di lokasi observatorium baru skala nasional yang kini sedang disiapkan di Kupang, NTT.
Pertama kali dimuat di Tirto.id pada 3 Desember 2018
Saya termasuk orang yang suka dengan bangunan heritage. Apapun jenis maupun nilai yang dimiliki oleh bangunan tersebut. Saat tour mengenang K.A.R Bosccha tanggal 25 November 2017 lalu bersama mooi Bandung, saya berkesempatan untuk mengunjungi rumah Bosscha, salah seorang preanger planters yang paling berpengaruh di tanah priangan.
Rumah bergaya arsitektur eropa
Rumah ini terletak di tengah perkebunan teh Malabar, kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kenapa disebut rumah Bosscha? Karena rumah ini merupakan kediaman dari Karel Albert Rudolf Bosscha selama ia memimpin perkebunan teh Malabar selama 30 tahun lebih.
Dari kejauhan terlihat bangunan paling mencolok diantara bangunan lain sekitarnya. Sebuah rumah bergaya arsitektur Eropa dengan cerobong menjulang dan pilar persegi serta kolom jendela melengkung. Bagian atap berbentuk segitiga mengadaptasi atap rumah tradisional. Batuan alam warna hitam pada dinding luar diberikan agar tidak terlihat kotor saat terkena debu atau cipratan tanah saat hujan. Dinding rumah yang terpasang kaca di hampir semua bagiannya, membuat cahaya bebas masuk ke dalam rumah. Continue reading
Nama Bosscha sangat lekat dengan sebuah tempat peneropongan bintang di kawasan Lembang. Nama tersebut diambil dari nama sang inisiator yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha. Selain membangun observatorium, Bosscha juga mengelola Perkebunan Teh Malabar di daerah Pangalengan, Bandung. Di Perkebunan Teh Malabar inilah Bosscha banyak menghabiskan masa hidupnya. Saat pendidikan belum menyentuh masyarakat, ia bangun sebuah sekolah. Saat Perkampungan masih gelap gulita, ia buat listrik menerangi setiap rumah. Saat penduduk sekitar tak memiliki penghasilan, ia kembangkan perkebunan teh yang dikelolanya hingga produk tehnya kini menjadi salah satu komoditas ekspor di Jawa Barat. Beberapa waktu lalu, team dari YourBandung mencoba menyusuri jejak yang ditinggalkan oleh Bosscha di Perkebunan Teh Malabar Bandung melalui sebuah tour wisata “one day trip to heart of the tea Pangalengan” yang diselenggarakan oleh Mooi Bandoeng.
Rabu, 1 Maret 2017, untuk pertama kali, saya berkesempatan berziarah ke makan Kerkhoven di Gambung. Di sana, terdapat 3 makam, yaitu makam Rudolph Eduard Kerkhoven, Jenny, dan satu makam lagi yang kemungkinan sebagai tempat peristirahat pengasuh anak-anak mereka. Perjalanan ini terwujud bersama rekan-rekan dari Komunitas Aleut.
Perkebunan teh Gambung berada di Desa Cisondari, Kecamatan Pasir Jambu. Dari Bandung, tempat ini bisa diakses melalu jalan raya yang menghubungkan Soreang dan Ciwidey. Dari SPBU Pasirjambu, kita harus berbelok ke kiri, menuju Gunung Tilu.
Sempat dihentikan hujan dan berteduh di warung yang juga sebuah tempat penggilingan biji kopi, kami berempat masuk ke kompleks pusat penelitian teh dan kina. Setelah melewati pintu utama dan beberapa pos satpam, kami harus berhenti di dekat pabrik dan memarkirkan kendaraan di sana. Ternyata, untuk masuk ke makam, pengunjung harus membayar sekian rupiah. Pihak perkebunan memberikan list fasilitas apa saja yang bisa digunakan oleh pengunjung, termasuk list harga didalamnya. Untuk masuk ke kompleks makam Keluarga Kerkhoven yang letaknya terpencil di belakang, pengunjung harus membayar Rp 15.000 rupiah/orang bagi WNI dan 50.000/orang bagi non-WNI.
Sosok R.E. Kerkhoven bagi saya, menepiskan sosok para penjajah yang selalu digambarkan datang untuk mengeksploitasi alam Nusantara dan manusianya. Continue reading
Pembangkit listrik tua di Malabar, angka tahunnya sebelum 1900, letaknya agak di perdalaman yang harus ditempuh melewati punggungan gunung dan hutan. Secara jarak sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah tinggal pendirinya, KAR Bosscha, tapi akses jalan yang sulit membuatnya terkesan sangat terpencil, apalagi letaknya di dasar sebuah lembah yang sempit.
Yang sehari2 tinggal menjaga di sini ada tiga orang pegawai, secara bergantian setiap pagi salah satu dari mereka pergi ke kampung terdekat untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari. Tidak ada hari libur bersama untuk ketiga pegawai karena setiap hari harus ada yang memantau kerja mesin2 di dalam bangunan itu.
Dalam waktu dekat, @mooibandoeng akan mengajak Anda berkunjung ke tempat ini.
Artikel di koran PR tentang dua kegiatan @sahabatbosscha dan @mooibandoeng pada akhir pekan lalu. Masing-masing, Sabtu 16 Januari 2016, Bedah Buku Preangerplanters di Institut Francais Indonesia Bandung, Jl. Purnawarman No.32, dan Minggu 17 Januari 2016, Tour Preangerplanters ke Cimurah, Garut dan Pabrik Teh Cisaruni, Cikajang.
Kedua kegiatan sudah terlaksana dengan lancar dan menyenangkan.
Gunung Cikuray, 2.812 mdpl, di Kabupaten Garut. Di sekeliling lerengnya berdiri perusahaan2 perkebunan sejak masa Hindia Belanda, salah satunya merupakan milik Karel Frederik Holle yang sebelumnya menjadi administratur Perkebunan Teh Cikajang.
Kegiatan KF Holle di Cikuray tidak hanya berhubungan dengan teh, tapi juga dengan naskah2 Sunda kuno dan sebuah peta kuno yang dibicarakannya dalam tulisan “De Kaart van Tjiela of Timbanganten”. Peta kuno ini tergambar pada sehelai kain boeh dan diperkirakan berasal dari akhir abad ke-16. Isinya menggambarkan nama2 tempat, sungai, dan gunung di Jawa Barat yang ditulis dalam aksara Sunda.
Nama pada lokasi Jakarta sekarang disebut dengan Nusa Kalapa dan di sebelah selatannya terletak kota Pajajaran, di antara Ciliwung dan Cisadane.
Untunglah Holle sempat menyalin isi peta asli dan menambahkan beberapa keterangan lain, juga dengan huruf Sunda, karena ternyata pada tahun 1975 peta aslinya diketahui telah hilang. Yang masih tersisa sekarang ini hanyalah salinan oleh Holle itu saja.
Dua tahun lalu, @komunitasaleut mengadakan perjalanan panjang bermotor dengan judul “Jejak Teh Priangan” yang berlangsung 3 hari 2 malam.
Perjalanan dimulai dengan jalur yang tidak umum, lewat Ibun, Majalaya, lalu ke Cibeureum, Samarang, Garut, Bayongbong, sampai Cikajang. Sebelum Cikajang, suasana perkebunan teh sudah sangat terasa. Hamparan pohonan yang luas dalam kabut dan gerimis bergantian. Lalu Leuweung Gelap, sampai Cisompet dan Pameungpeuk, melewati kebun2 karet.
Berikutnya adalah jalur pantai selatan Jawa bagian barat. Lebih dari 10 lokasi pantai wisata yang cantik semuanya tampak kesepian, shelter2 yang ditinggalkan dan nelayan yang yang sibuk tidak pedulikan rombongan yang lewat. Pantai paling barat adalah Rancabuaya.
Dari sini perjalanan berbelok mengutara menuju Pakenjeng-Bungbulang dan selanjutnya Cisewu. Lagi2 kebun-kebun teh yang luas, dan mungkin ratusan air terjun tanpa pengunjung berjajar di tebing2 pergunungan. Cukul, Pasirmalang, Malabar, sudah serupa kampung halaman yang saban waktu didatangi, entah untuk beristirahat sebentaran atau membawa kelompok wisatawan dari sana-sini.
Lagi-lagi perkebunan teh menjadi hasrat utama perjalanan. Sebelum dan sesudah perjalanan panjang ini, kebun-kebun teh memang selalu menjadi pemikat perjalanan panjang, termasuk ketika membuat rute panjang lainnya mulai dari Ciwidey, Cianjur, pantai selatan, lalu mengutara lewat Cikajang.
Satu cuplikan pemandangan dan pengalaman ini akan dibagikan oleh @mooibandoeng dalam kegiatan “Mengenal Riwayat Preangerplanters” pada hari Minggu, 17 Januari 2016 ini. Sepotong kebun yang menyimpan jejak Preangerplanters, KF Holle dan KAR Bosscha. Info dan pendaftaran: 0896-8095-4394 Biaya kesertaan Rp.250rb.
Buku ini menceritakan perjuangan seorang petani teh, Rudolf Eduard Kerkhoven, yang berhasil membuka lahan di Gambung, sebuah daerah di sebelah selatan kota Bandung. Mula-mula terbit tahun 1992.
Dalam bahasa Belanda, buku ini diberi judul “Heren Van de Thee”. Buku biografi ini disusun berdasarkan surat-surat koresponden sekitar pelaku utama, keluarga, dan para pemodal perkebunan. Walaupun berdasarkan fakta sejarah, namun uraian di buku ini mampu menghidupkan tokoh-tokohnya karena penuturannya lebih mendekati pada novel. Mungkin kita bisa menyebutkan buku ini sebagai novel sejarah non-fiksi.
Latar waktu peristiwa terjadi di sekitar akhir abad 19, ketika Priangan sedang beristirahat dari sistem Preanger Stelsel yang berlangsung selama 150 tahun. Di tahun 1870, UU Agraria yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda membuat para pengusaha partikelir mulai memasuki Hindia, termasuk kawasan Priangan.
Priangan adalah daerah yang sangat cantik dan juga subur. Keadaan ini membuat Martinus Antonius Weselinus Brouwer mengatakan bahwa “Bumi Pasundan (Priangan) lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Bagaimana tidak? Bagi Negeri Belanda, Priangan adalah anugerah. Sebelum menerapkan system tanam paksa (Cultuur Stelsel), VOC dan pemerintah Belanda terlebih dahulu mengeksploitasi Priangan lewat tanaman kopi dari tahun 1720.
Dalam buku disertasinya yang berjudul “Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Jan Breman menjelaskan bahwa keuntungan pemerintah Belanda dari tanam paksa di Jawa termasuk Priangan dari tahun 1831 sampai 1866 mencapai 500 juta Gulden, suatu jumlah yang mampu melunasi hutang sekaligus membuat Belanda mampu melakukan modernisasi dengan lebih leluasa.
Karena sangat mencintai Priangan dan daerah sekitarnya, pemerintah Hindia Belanda sangat memanjakan daerah ini. Misalnya saja, daerah ini merupakan daerah non-Pantai Utara yang dilalui Jalan Raya Pos Besar. Bandung, ibukota karesidenan Priangan dicalonkan sebagai bakal ibu kota Hindia menggantikan Batavia walaupun rencana ini kemudian gagal.
Bukti lainnya, provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibuat pemerintah dibandingkan provinsi lainnya, terutama yang ada di Jawa, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jawa Barat dibentuk pada tahun 1926, sedangkan Jawa Timur di tahun 1929, dan Jawa Tengah tahun 1930. Priangan pun menjadi daerah yang dikuasai Belanda pasca perjanjian Renville (1948) yang membuat pasukan Siliwangi harus hijrah ke barat.
Kembali ke buku “Sang Juragan Teh”, Hella S. Haase—sang penyusun, merupakan penulis Belanda yang lahir di Batavia. Bukunya yang semula berbahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dicetak oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama di tahun 2015, dan mempunyai ketebalan 430 halaman. Sampulnya menggambarkan seorang pria dengan gagah berkuda melewati perkebunan teh, didominasi warna hijau dan coklat, dua kombinasi warna pepohonan dan tanah.
Perjalanan hidup Rudolf Eduard Kerkhoven setelah dia mendarat di Jawa, yaitu membuka perkebunan, membina keluarga dan mengurus anak-anaknya, sampai terakhir dia meninggalkan Gambung diceritakan dengan cukup baik dan informatif. Gaya penerjemahan buku ini pun sangat baik sehingga saya tidak mendapatkan kesulitan ketika membaca buku ini dalam edisi bahasa Indonesia.
Buku ini memupuskan bayangan saya bahwa orang Belanda yang datang ke Nusantara tinggal menikmati hasil alamnya, tanpa harus bekerja keras, terus berfoya menikmati harta hasil eksploitasi mereka. Bayangan ini pupus setelah membaca kehidupan pria yang lahir di Avereest, Belanda , 25 April 1847 itu, yang disusun penulis sebagai suami, ayah, dan pengusaha yang baik. Dia digambarkan sebagai sosok idealis yang menjauhi sifat hura-hura.
Selain itu, buku ini menggambarkan bagaimana sistem modal berjalan di perusahaan-perusahaan teh Priangan. Diceritakan, bahwa Rudolf Eduard Kerkhoven membangun perkebunan tehnya dengan tanaman modal dari rekan dan keluarganya, sehingga untuk melakukan perubahan struktur keuangan misalnya, suami dari Jenny Elisabeth Henriete Roosgaarde Bisschop–salah satu cicit Gubernur jendral Daendels ini, harus berusaha keras memperoleh ijin dari para pemodal.
Kehidupan masyarakat Sunda, terutama etos kerja mereka disinggung sedikit di buku ini, juga pemandangan alam sekitar Gambung. Buku ini juga bercerita bagaimana transportasi sebelum masuknya jalur kereta api di Priangan. Perjalanan dari Gambung ke Bogor dan Batavia harus dilalui dengan menggunakan kereta kuda menyusuri Jalan Raya Pos dalam waktu yang lama. Dalam buku ini diceritakan bagaimana jalur Bandung-Cianjur memakai kereta kuda menghabiskan waktu 16 jam perjalanan.
Buku ini cocok bagi pecinta sejarah, utamanya bagi pembaca yang mencari biografi seorang pengusaha teh di Hindia Belanda karena menceritakan perkembangan awal perkebunan teh. Selain itu, kisah ini layak untuk dijadikan bahan dalam mempelajari kehidupan sosial, ekonomi, bahkan transportasi Hindia Belanda sebelum masuknya jalur kereta api ke Priangan.
Di atas itu semua, buku “Sang Juragan Teh” kiranya bisa dinikmati oleh siapa saja; untuk sekadar mengusir kesepian, sambil menikmati secangkir teh, di malam yang berhiaskan rintik dan rintih hujan. [ ]
Hevi Fauzan lebih senang memposisikan dirinya sebagai Bobotoh Persib. Berminat pada dunia per-keretaapi-an, dan bergiat di Komunitas Aleut.
Lengkapnya sebetulnya ada 4 mata acara, 2 kali Ngaleut Jejak Preangerplanters di Bandung yang sudah terlaksana pada hari Minggu tanggal 3 dan 10 Januari 2016 yang lalu dan 2 kegiatan lain pada akhir pekan ini.
Masing-masing adalah:
1) hari Sabtu tanggal 16 Januari 2016 berupa Bedah Buku Preangerplanters yang diadakan di Institut Francais Indonesie (IFI), Jl. Pirnawarman No.32, Bandung. Kegiatan mulai pukul 09.00 sampai 14.00. Sebagai selingan akan ada pemutaran fil dokumenter The Story of Tea (1937) yang meliput berbagai kegiatan perkebunan teh di Malabar. Akan hadir pula sebagai pembicara Bpk. H. Kuswandi Md, SH, Bpk. Eka Budianta, dan Ridwan Hutagalung.
Sudah konfirmasi untuk ikut memberikan materi dan pandangan adalah Bpk. Kurnadi Syarif-Iskandar, sesepuh perkebunan mantan Direktur PTP XIII yang menjadi administratur pribumi pertama di Malabar dan Bpk. ir. Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Teh Java Preanger.
Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.
2) Kunjungan ke Rumah Bambu yang dirintis oleh Bpk. H. Kuswandi di Cimurah, Garut. Di sini para peserta akan diajak mengenal sejarah perkebunan Priangan secara visual, menyaksikan beberapa artefak yang berhubungan dengan perkebunan teh Priangan, melalui cerita dan foto akan berkenalan dengan silsilah besar dan rumit keluarga-keluarga perkebunan Priangan pada masa Hindia Belanda.
Di Rumah bambu yang nyaman ini para peserta juga akan diajak mengenal kembali tradisi lama yang sudah nyaris punah, yaitu nyaneut, bersama-sama dengan Asgar Muda dan Moka Garut. Akan ikut hadir di Rumah Bambu adalah seorang pengamat sejarah Garut, Dedi Effendi dan Darpan, seorang sastrawan.
Dari Rumah Bambu, peserta akan beranjak menuju perkebunan teh di kawasan Cikajang. Di sini para peserta dapat melihat langsung kehidupan sehari-hari para pekerja perkebunan teh di rumah-rumah tinggalnya masing-masing yang masih berbentuk rumah bilik tradisional. Di tengah perkebunan juga terdapat sebuah patung salah satu Preangerplanters yang cukup terkenal dan ikut berperan dalam pengembangan Kota Bandung. Bagi yang jeli, tentu dapat mengetahui bahwa patung yang serupa pernah juga berdiri di Alun-alun Kota Garut pada masa sebelum kemerdekaan. Holle malah seringkali juga disebut bila membicarakan sejarah kontemporer Sunda. Kenapa? Tunggu saja cerita-ceritanya.
Kian hari penduduk Indonesia teruslah meningkat, tentu saja ada korelasinya dengan kebutuhan ekonomi dan pemukiman yang meningkat. Dunia seakan semakin sempit dan penuh sesak yang bisa juga disebut heurin ku tangtung. Bumi yang semakin hari semakin tua mulai menghadapi berbagai macam permasalahan akibat peningkatan laju penduduk dan ekonomi. Salah satu masalah yang dihadapi dunia adalah polusi cahaya. Polusi ini tidak bisa dielakkan dari kehidupan ini karena pengaruh teknologi yang digunakan masyarakat.
Polusi cahaya ini berpengaruh terhadap pengamatan benda-benda langit di Observatorium Bosscha. Dahulu dengan mudah benda langit dapat diamati di Observatorium Bosscha, tapi sekarang begitu sulit untuk mengamatinya. Maka dari itu, pihak Observatorium memulai aksinya untuk mengurangi polusi cahaya agar Observatorium Bosscha tetap bisa dijadikan obyek pengamatan benda langit. Aksinya berupa pembagian tudung lampu kepada setiap rumah-rumah penduduk sekitar Observatorium Bosscha.
Saat membuat tudung lampu
Pihak Observatorium Bosscha telah membagikan 300 tudung lampu ke setiap rumah sekitar Observatorium Bosscha pada Februari lalu. Dalam pembuatan tudung lampu ini, dananya berasal dari pengunjung Observatorium Bosscha. Biaya pembuatan per tudung lampu terbilang murah, hanya dengan Rp. 10.000,00 saja. Pembuatan tudung lampu cukup sederhana dan mudah, tinggal mengetahui petunjuknya.
Mun seug dibandingkeun jeung kota-kota nu aya di basisir kayaning Jakarta, Cirebon, Semarang jeung Surabaya, Bandung mah kaasup kota nu kaitung anyar kěněh. Tapi angger wě sok sanajan kitu, ari nu ngaranna kota mah pasti miboga sejarah. Kiwari di Bandung aya sababaraha komunitas nu sok nalumtik ajěn inajěn sejarah Bandung ku cara nu leuwih popilěr. Salahsahijina nyaěta Komunitas Aleut.
Naon ari Komunitas Aleut těh? Kumaha kagiatanna? Continue reading