Tag: Bandoeng (Page 2 of 3)

Tan Sim Tjong (3)

Bagian ketiga:

Pencarian Makam Tan Sim Tjong

SEMASA hidupnya, Tan Sim Tjong dikenal sebagai saudagar kaya yang memiliki tanah luas yang tersebar di antara Cibadak, Jalan Raya Barat (Jenderal Sudirman sekarang, RED), dan sekitar Kali Citepus. Selain sebuah rumah gedong besar, keluarga Tan Sim Tjong juga memiliki kebun yang ditanami pohon bambu Cina dan pohon jeruk. Saking luasnya kebun jeruk itu, isteri Tan Sim Tjong disebut warga sekitar dengan sebutan Nyonya Kebon Jeruk. Kini, area tersebut dinamai Kelurahan Kebon Jeruk.

Selain di wilayah itu, tanah Tan Sim Tjong juga ada di ujung Jalan Raya Barat, tepatnya di wilayah Elang. Pada saat itu, Elang masih merupakan area hutan dan pesawahan. Di area itulah Sim Tjong memilih lahan sebagai makam dirinya. Karena adanya makam orang Tionghoa, sampai sekarang kampung tersebut dinamakan Sentiong.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Continue reading

Tan Sim Tjong (2)

Bagian kedua:

Gang Simcong dan SD Simcong

DI dalam roman Rasia Bandoeng, Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiauw, untuk menjalin hubungan asmara dengan Tan Gong Nio. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga (she) adalah hal tabu dan terlarang. Tan Shio Tjhie tahu benar soal itu, namun ia berbesar hati mengantar anaknya itu untuk melamar sang pujaan hati.

Sosok Tan Shio Tjhie diyakini tak lain adalah Tan Sim Tjong oleh cucu cicitnya. Bagi sosok saudagar seperti Tan Sim Tjong, hubungan asmara anaknya dengan Tan Gong Nio adalah tantangan yang sangat berat karena itu artinya harus melawan adat. “Rupanya dia punya gebrakan pada masanya, contohnya mendukung perkawinan satu marga. Itu saya anggap sebagai sesuatu sosok yang progresif, menyayangi anak, dan memberi keleluasaan bergerak,” ujar cicit Tan Sim Tjong, Bambang Tjahjadi. Continue reading

Tan Sim Tjong (1)

Berikut ini serial penelusuran tokoh Tan Sim Tjong yang ditulis oleh rekan saya dan sudah dimuat bersambung di HU Pikiran Rakyat

Bagian Pertama:

Telusur Silsilah Melalui Roman

MENJELANG Imlek lalu, Pikiran Rakyat mengulas sebuah roman Tionghoa yang menceritakan perkawinan satu marga (she) di Bandung pada tahun 1917. Roman berjudul Rasia Bandoeng yang ditulis oleh Chabbaneau itu mengisahkan drama percintaan antara Tan Tjin Hiauw dan Tan Gong Nio. Satu abad berlalu, roman tersebut ternyata menyisakan sebuah cerita nyata bagi turunan keluarga Tan Sim Tjong.

Adalah Charles Subrata, Bambang Tjahjadi, Wishnu Tjahyadi, Adji Dharmadji, dan dr. Benjamin J. Tanuwihardja, SpP, FCCP yang kemudian berkumpul di Kantor Redaksi Pikiran Rakyat pada Jumat (3/4/2015). Mereka adalah cucu dan cicit Tan Sim Tjong yang telah puluhan tahun tinggal berpencar. Charles bermukim di Belanda, Bambang di Jerman, Adji di Jakarta, Wishnu di Bekasi, dan Benjamin di Bandung. Turut pula Tjandra Suherman sebagai penerjemah Bahasa Tionghoa. Atas bantuan Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa, Sugiri Kustedja, mereka berkumpul mengonfirmasi cerita demi penelusuran silsilah keluarga. Continue reading

#PojokKAA2015: Gedung Swarha

Oleh: Mooibandoeng (@mooibandoeng)

Sumber foto: kitlv.nl

Sumber foto: kitlv.nl         

Foto ini menggambarkan suasana keramaian di Bandung saat merayakan Jubileum Ratu Wilhelmina pada tahun 1923. Foto diambil di sudut barat daya Alun-alun, di depan sebuah toko pakaian dan kelontong, Toko Tokyo. Pada gambar dapat dilihat plang nama Toko Tokyo di atas pintu gedung di sebelah kanan.

Toko Tokyo dibangun tahun 1914 dan hancur pada tahun 1940-an, kemungkinan pada sekitar peristiwa Bandung Lautan Api. Angka tahun pembangunan didapatkan dari angka yang tercetak besar pada atap gedung sebelah kanan. Dari sebuah foto udara yang dibuat oleh ML-KNIL tahun 1946 dan dimuat dalam buku karya RPGA Voskuil, “Bandung; Citra Sebuah Kota”, tampak lahan Toko Tokyo kosong dan belum ada bangunan penggantinya. Continue reading

Monteiro

Oleh: Mooibandoeng (@mooibandoeng)

Kalau melintas di jalan raya Bandung-Tangkubanparahu, mata ini sering melirik ke sebuah bangunan unik bertembok hitam dengan arsitektur yang tampak kuno. Di dinding bagian depan terdapat tulisan yang cukup jelas untuk dibaca dari jauh, “ Dolce Far Niente”, lalu di bawahnya, “Monteiro”. Sebenarnya saya cukup sering berada di dekat bangunan ini, terutama saat salah seorang paman saya mengelola hotel besar yang berada di dekatnya. Pagi-pagi berjalan kaki dari hotel sering melintas dekat bangunan hitam ini, tapi tidak juga ada keinginan untuk mampir. Yang saya tahu, sejak dulu di rumah itu diproduksi selai yang konon sempat populer di kota Bandung.

Tapi pagi ini ada pengalaman lain yang membuat saya mendatangi rumah hitam ini. Suasana sekitar bangunan tampak sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang sedang parkir. Semua pintu dan jendela rumah tertutup, begitu juga garasi yang berwarna merah di sebelahnya. Tak jauh dari rumah utama ada seorang ibu. Saya hampiri dan menyampaikan maksud ingin bertemu penghuni rumah hitam itu. Ibu ini mengantar saya ke sebuah rumah lain di belakang rumah hitam.

IMG-20150406-WA0025_1Di rumah belakang saya diterima oleh seorang ibu muda bernama Herni Monteiro. Saya langsung menangkap, Monteiro yang dikenal sebagai nama produk selai ini ternyata berasal dari nama kelurga. Ibu yang ramah ini mengajak masuk. Di dalam rumah saya lihat ada beberapa puluh botol selai di atas meja. Saya kira saya akan ngobrol soal selai saja sebagai pembuka perkenalan. Ibu yang baik ini menyerahkan beberapa lembar kertas fotokopian sambil menunjukkan botol-botol selai dan bungkus-bungkus dodol produksi keluarganya, YH Dodol Strawberry Milk. Ternyata cerita-cerita berloncatan dengan cepat dan tiba juga pada nama itu, Monteiro.

 

Adolph Bernard Monteiro, menilik namanya saja dia bukanlah orang Indonesia. Tapi Beni, begitu nama kecilnya, tak pernah melihat negeri lain selain Indonesia selama hidupnya. Beni dilahirkan di Manado pada tahun 1917 dari ayah kelahiran Blitar bernama Herman Christian Monteiro dan ibu kelahiran Cirebon, Eugenie Geerath.

 

Dari garis ayahnya, Beni mendapatkan darah Portugis, sementara dari ibunya darah Belanda. Konon kakeknya datang dari Portugis ke Indonesia bersama dua orang saudaranya untuk berkelana. Mungkin mencari penghidupan di negeri yang sempat berada dalam kekuasaan Portugis ini.  Kakeknya wafat dan dimakamkan di Banyuwangi, sementara kedua saudara kakeknya tak ada kabar berita. Makam kakeknya masih ada di Banyuwangi, namun Beni tak pernah melihatnya langsung.

 

Masa kecil dan remaja Beni dihabiskan di Pekalongan. Karena kenakalannya, sekolahnya berantakan. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD saja. Saat itu ia lebih senang blusukan ke kampung untuk mengadu ayam atau jangkrik daripada bersekolah. Untunglah ia masih sempat belajar membaca dan menulis. Bekal kecil ini membuatnya gemar mengoleksi dan membaca buku2 filsafat di kemudian hari, terutama karya2 MAW Brouwer.

 

Pada tahun 1941 terjadi Perang Dunia II. Saat itu usia Beni 24 tahun dan ia bekerja bertani membantu ayahnya yang ahli pertanian. Namun perang menyeretnya untuk ikut mobilisasi massa dan masuk ketentaraan KNIL. Tahun 1942 Beni menjadi tawanan Jepang dan dipekerjakan secara paksa untuk membangun sebuah lapangan terbang di Pulau Amahai, Ambon. Seluruh keluarganya tercerai berai tak tentu rimba. Selama menjadi tawanan Jepang, Beni mengalami banyak kekerasan yang membuatnya trauma hingga kini. Pekerjaan yang terlalu berat bahkan membuatnya mengidap pembengkakan jantung. Kelaparan sudah menjadi pengalamannya sehari-hari.

 

Beni bertahan hingga Indonesia mencapai kemerdekaan di tahun 1945.  Beni yang bebas segera berjuang keras untuk mendapatkan pekerjaan. Nasibnya sedang mujur, ia diterima bekerja di Amacap, suatu lembaga yang bergerak di bidang sosial. Pengalamannya dengan dunia pertanian membuatnya dipekerjakan untuk mengolah suatu lahan pertanian di Lembang. Hasil tani ini dipakai oleh rumah sakit rumah sakit yang berada di Bandung.

 

Sekitar tahun 1948, Beni dan kawan2nya keluar dari Amacap dan mendirikan sebuah kelompok tani. Mereka menyewa tanah dan menanam arbei serta sayur2an. Ketika itu produksi arbei dari Lembang sedang sangat bagus. Dalam satu hari, Beni bisa memetik arbei sampai seberat 1 kuintal.

Organisasi bentukan Beni tidak bertahan lama, bahkan kemudian terjadi boikot terhadap warga Belanda dan Eropa. Beni kemudian berusaha sendiri dengan berbagai keterbatasan. Sampai sini persoalannya belum selesai karena strawberry miliknya tidak diterima lagi oleh pabrik-pabrik yang melihatnya sebagai seorang Belanda. Saat itu semangat nasionalisme di Indonesia sedang tinggi dan di mana-mana terjadi gerakan anti-asing.

 

Beni tidak menyerah, sebuah ide lain segera muncul. Ia berpikir mungkin tumpukan strawberry di gudangnya bisa diolah menjadi selai. Setelah membuat beberapa eksperimen, Beni menemukan olahan yang dianggapnya pas tanpa menggunakan campuran apapun. Selai ini dipasarkannya sendiri ke masyarakat sekitar dengan merek Monteiro & Sons. Banyak orang asing yang tinggal di sana menggemarinya, terutama karena rasanya yang khas dan pembuatannya yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia.

IMG-20150406-WA0026B

Usaha yang tidak besar ini dikelolanya sendiri dibantu istrinya, mojang asli Lembang, dan anak-anaknya. Ia juga mempekerjakan 10 orang pegawai untuk membantunya. Usaha ini tidak selalu berjalan mulus. Walaupun selai buatannya yang diberi merek Monteiro & Sons itu sudah cukup dikenal luas, tetapi bahan baku buah arbei tidak selalu tersedia dari kebunnya sehingga kadang-kadang ia harus mendatangkannya dari tempat lain seperti Sukabumi. Lalu pengemasannya pun punya masalah sendiri, untuk pengemasan selainya Monteiro mendapatkan botol-botol ini dari pedagang botol bekas yang ia bersihkan sendiri.

 

Semua itu cerita dulu. Usaha ini berkembang naik-turun hingga akhir tahun 1980-an. Produk selai Monteiro memang tak pernah menjadi industri yang besar, namun namanya cukup dikenal warga Bandung baheula. Monteiro mengelola usaha ini hingga akhir hayatnya di tahun 1987, setelah itu dilanjutkan oleh istrinya, Atikah, dan anak-anaknya. Saat ini minat terhadap selai Monteiro sudah tidak seramai dulu, namanya tersamarkan di tengah produk-produk modern yang sangat beragam.

 

Sampai beberapa tahun lalu selai Monteiro & Sons masih dapat ditemukan di Toko Setiabudhi atau di Roti Gempol yang memang selalu menggunakan selai ini sebagai salah satu pelapis rotinya yang terkenal itu. Bagi generasi sekarang yang mungkin ingin mencicipi selai Monteiro, dapat mencoba mencari di kedua tempat itu atau langsung berkunjung ke rumah Monteiro di Lembang. Dari arah Bandung, letaknya di sebelah kanan setelah Hotel Putri Gunung, lihat sebuah rumah bertembok hitam dengan tulisan “Dolce Far Niente”.

0299f47bbd87e0c5_w300

Foto: http://indischekwestie.nl/

Adolph Bernard Monteiro
1917 Manado
1989 Lembang

Foto-foto: Vecco Suryahadi @veccosuryahadi & Ridwan Hutagalung @pamanridwan

http://indischekwestie.nl/

Update, 11/04/2015

Senang sekali hari ini mendapatkan email dari seseorang bernama Tony yang ternyata keponakannya Ben(i). Ibu Tony beradik-kakak dengan Ben, tetapi sayang sudah wafat juga. Tony juga bercerita bahwa bibit strawberry yang diolah oleh Oom Ben – begitu Tony memanggilnya – dikirimkan oleh ayahnya pada masa-masa sulitnya Oom Ben. Tony dan keluarganya berencana akan berkunjung ke Bandung, semoga kami dapat berjumpa..

Terima kasih sudah mampir, Tony.

Salam.

 

Tautan asli: https://mooibandoeng.wordpress.com/2015/04/07/monteiro/

Gedung Swarha

Sumber foto: kitlv.nl

          Sumber foto: kitlv.nl

Foto ini menggambarkan suasana keramaian di Bandung saat merayakan Jubileum Ratu Wilhelmina pada tahun 1923. Foto diambil di sudut barat daya Alun-alun, di depan sebuah toko pakaian dan kelontong, Toko Tokyo. Pada gambar dapat dilihat plang nama Toko Tokyo di atas pintu gedung di sebelah kanan.

Toko Tokyo dibangun tahun 1914 dan hancur pada tahun 1940-an, kemungkinan pada sekitar peristiwa Bandung Lautan Api. Angka tahun pembangunan didapatkan dari angka yang tercetak besar pada atap gedung sebelah kanan. Dari sebuah foto udara yang dibuat oleh ML-KNIL tahun 1946 dan dimuat dalam buku karya RPGA Voskuil, “Bandung; Citra Sebuah Kota”, tampak lahan Toko Tokyo kosong dan belum ada bangunan penggantinya. Continue reading

Monteiro

Kalau melintas di jalan raya Bandung-Tangkubanparahu, mata ini sering melirik ke sebuah bangunan unik bertembok hitam dengan arsitektur yang tampak kuno. Di dinding bagian depan terdapat tulisan yang cukup jelas untuk dibaca dari jauh, “ Dolce Far Niente”, lalu di bawahnya, “Monteiro”. Sebenarnya saya cukup sering berada di dekat bangunan ini, terutama saat salah seorang paman saya mengelola hotel besar yang berada di dekatnya. Pagi-pagi berjalan kaki dari hotel sering melintas dekat bangunan hitam ini, tapi tidak juga ada keinginan untuk mampir. Yang saya tahu, sejak dulu di rumah itu diproduksi selai yang konon sempat populer di kota Bandung.

Tapi pagi ini ada pengalaman lain yang membuat saya mendatangi rumah hitam ini. Suasana sekitar bangunan tampak sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang sedang parkir. Semua pintu dan jendela rumah tertutup, begitu juga garasi yang berwarna merah di sebelahnya. Tak jauh dari rumah utama ada seorang ibu. Saya hampiri dan menyampaikan maksud ingin bertemu penghuni rumah hitam itu. Ibu ini mengantar saya ke sebuah rumah lain di belakang rumah hitam.

 

IMG-20150406-WA0025_1

Masa kecil dan remaja Beni dihabiskan di Pekalongan. Karena kenakalannya, sekolahnya berantakan. Ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas 3 SD saja. Saat itu ia lebih senang blusukan ke kampung untuk mengadu ayam atau jangkrik daripada bersekolah. Untunglah ia masih sempat belajar membaca dan menulis. Bekal kecil ini membuatnya gemar mengoleksi dan membaca buku2 filsafat di kemudian hari, terutama karya2 MAW Brouwer.

Continue reading

Siapakah Chabanneau? – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Siapakah Chabanneau?

Ada informasi yang cukup mengejutkan ketika menelusuri jejak literatur yang menyinggung nama Chabanneau ini. Seorang antropolog, James T Siegel, menguak kabar bahwa ternyata sang penulis roman sesungguhnya adalah seorang pemeras.

Roman (3) 18 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 3) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015.

Dalam buku Siegel berjudul Fetish, Recognition, and Revolution, Chabanneau diidentifikasi sebagai seorang laki-laki. Siegel berkali-kali menyematkan kata ganti dalam bahasa Inggris “his” atau “him” kepada Chabanneau yang menunjukkan bahwa subjek yang sedang diceritakan adalah seorang laki-laki.

Menurut Siegel, cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda (yang diduga adalah nama samaran Hermine) kepada seorang pria bernama Lie Tok Sim. Continue reading

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota

Membaca roman Rasia Bandoeng karya Chabanneau dapat membawa kita melancong ke pusat Kota Bandung pada periode awal 1916 dengan deskripsi yang cukup detail. Tampak kuat sekali kesan bahwa mobilitas orang-orang Tionghoa saat itu berada di pusat-pusat kota. Misalnya kediaman tokoh utama roman, yaitu Tan Djia Goan yang berlokasi di Kebonjati.

Dalam roman itu digambarkan bahwa rumah milik Tan Djia Goan adalah sebuah rumah gedong yang cukup megah di Kebonjati. Letaknya berada di samping Rumah Sakit Padri, tepat di depan rumah sakit tersebut ada Hotel Express. Jika disesuaikan dengan konteks Bandung saat ini, agak sulit memastikan letak rumah Tan Djia Goan itu.

Roman (2) 17 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 2) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 24 Februari 2015.

Mengikuti alur cerita tan Djia Goan dan keluarganya membimbing kita memahami suasana pusat Kota Bandung saat itu. Kehidupan kaum pedagang di Pasar Baru dan sekitar Pecinan, aktivitas pelacuran di kawasan Tegallega dan Suria Ijan, hingga kebiasaan tayub bangsa bumiputra yang juga dilakukan orang Tionghoa dalam kenduri yang mereka selenggarakan.

Latar atau setting kejadian dalam cerita roman berkisar di wilayah Pasar Baru, Cibadak, Pecinan, Suniaraja, Banceuy, Kosambi, Groote Postweg, dan paling jauh ke arah selatan, yaitu di Tegallega. Berikut ini adalah contoh deskripsi atas Gang Kapitan di Kampung Cibadak, kediaman Tan Tjin Hiauw. “Di depan gardu, ada satu gang yang biasa disebut Gang Kapitan, karena mulut gang yang sebelah kaler, ada dekat sekali sama rumahnya Tuan Tan Joen Liong, letnan dari bangsa Tiong Hoa di Bandung”. Continue reading

Kawin Semarga di Bandung Baheula – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Berikut ini saya muatkan artikel bersambung tulisan rekan saya, Lina Nursanty, yang membahas sebuah roman baheula dengan latar cerita Kota Bandung di awal abad ke-20.
Selamat membaca!

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Kawin Semarga di Bandung Baheula

Pengantar:
Roman lahir untuk melukiskan perbuatan, watak, dan isi jiwa sang tokoh yang lebih banyak membawa sifat-sifat zaman. “Rasia Bandoeng” yang ditulis Chabanneau pada 1917 memotret kehidupan masyarakat Tionghoa di Bandung awal abad ke-20. Memperingati Tahun Baru Imlek 2566, wartawati Pikiran Rakyat, Lina Nursanty, membahas roman yang hampir satu abad itu. Selamat membaca.

Capture-1
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 1) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015. Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 3

KARYA-KARYA ARSITEKTUR SUKARNO DI BANDUNG

Setelah lulus sebagai Insinyur Sipil dari Technische Hoogeschool (THS), Sukarno dan kawan-kawan membentuk Algemeene Studie Club mencontoh yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo di Surabaya. Organisasi Indonesische Studie Club yang didirikan oleh Dr. Sutomo aktif membangkitkan kesadaraan sosial dan politik masyarakat. Sukarno sangat hormat pada apa yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk mendirikan organisasi serupa di Bandung. Sukarno ingin kelompok yang akan didirikannya bersama kawan-kawan dapat berperan lebih jauh lagi, lebih meluas, dan lebih progresif.

Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.

Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.

Sukarno kemudian terpilih untuk mengetuai Algemeene Studie Club dengan didampingi oleh Anwari dan Iskaq. Saat itu Sukarno sudah membayangkan bahwa organisasi yang baru mereka bentuk ini akan menuju pada pembentukan suatu partai dengan dasar kebangsaan yang luas. Tak lama, Studie Club ini telah berkembang ke daerah-daerah dan mengambil peran penting dalam mengembangkan gerakan-gerakan kebangsaan.

Dari sedikit buku yang membahas sisi Sukarno sebagai arsitek itu pun tidak ada yang memiliki daftar lengkap karya-karya arsitektur Sukarno di Bandung.

Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 2

TAPAK TILAS SUKARNO DI BANDUNG

Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Bandung pada tahun 1921 hingga pembuangannya ke Ende, Flores, pada tahun 1934, maka paling sedikit Sukarno melewatkan waktu sekitar 14 tahun di Bandung. Nah, bila sekarang ada yang bertanya di mana saja Sukarno pernah tinggal, atau ke mana saja beliau suka pergi selama di Bandung, maka jawabnya tidak akan mudah. Tidak ada rekaman jejak yang rinci tentang hal itu. Mungkin yang akan paling mudah teringat adalah kampus ITB di Jl. Ganesha, tempat Sukarno menjalani pendidikan hingga lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1926. Atau sebagian akan mengenang Gedung Merdeka sebagai perekam jejak inisiatif Presiden Sukarno untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia-Afrika.

IMG_8490

Tapi tentu saja dua tempat itu tidak cukup mewakili perjalanan panjang seorang pemuda pribumi yang telah menghabiskan masa mudanya ikut berjuang merintis kemerdekaan Republik Indonesia, pemuda yang kemudian menjadi pemimpin pertama negara merdeka ini sejak 1945 hingga 1967. Ada banyak lokasi ataupun gedung yang sebetulnya merekam jejak Sukarno di Bandung, tetapi rupanya hal ini belum menjadi perhatian utama baik dari pemerintah ataupun masyarakat kita.

Hampir semua tokoh utama perjuangan saat itu pernah datang ke rumah panggung ini untuk bertukar pandangan dan merancang berbagai gerakan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Rumah panggung ini merekam jejak kehadiran Agus Salim, Abdul Muis, K.H. Mas Mansur, Moh. Hatta, M.H. Thamrin, Moh. Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr. Soetomo, Asmara Hadi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 1

Sukarno Muda Tiba di Bandung

Ketika aku pindah dari Djawa Timur kedaerah Djawa Barat ini, Pak Tjokro telah mengusahakan tempatkumenginap dirumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihatlihatkota, rumah mana jang akan mendjadi tempat tinggal kami selama empat tahun, begitulahmenurutperkiraanku diwaktu itu. Aku merasa hawanja dingin dan wanitanja tjantik-tjantik. Kota Bandungdan aku dapat saling menarik dalam waktu jang singkat.

Pertama kali Sukarno menjejakkan kakinya di Kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke Technische Hooge School (THS), ia langsung jatuh cinta pada kota ini. “Kota yang menyenangkan hati,” begitu tutur Sukarno dalam buku karangan Cindy Adams, “Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Hari itu, pada akhir bulan Juni 1921, adalah awal perjalanan pemuda Sukarno di Bandung, sebuah perjalanan panjang yang kelak akan membawa bangsanya menuju kemerdekaan.

Saling menarik antara Bandung dengan Sukarno akan berlangsung paling tidak selama empat belas tahun ke depan. Di kota berhawa dingin ini Sukarno melahirkan pemikiran-pemikiran pentingnya. Bandung, seperti ditulis oleh Peter Kasenda dalam “Sukarno Muda; Biografi Pemikiran 1926-1933”, adalah pusat alam pemikiran nasionalis sekuler. Di Bandung telah berkembang pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh untuk tanah air Indonesia. Ke dalam pusat pergerakan inilah Sukarno muda menerjunkan dirinya.

Kehidupan Sukarno di Bandung dimulai dengan tinggal indekost di rumah Haji Sanusi. Seperti telah diketahui, Sukarno pernah tinggal selama hampir lima tahun di rumah Cokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam di Surabaya. Cokroaminoto juga yang telah mengatur bakal tempat tinggal Sukarno selama menjalani pendidikan di Bandung, yaitu di rumah Haji Sanusi yang terletak di Javaveemweg. Haji Sanusi adalah seorang anggota Sarekat Islam yang berkawan baik dengan Cokroaminoto. Di rumah ini pula Sukarno berjumpa dengan Inggit Garnasih yang saat itu masih berstatus sebagai istri Haji Sanusi.

Untuk sementara pasangan Sukarno-Inggit tinggal di rumah orang tua Inggit di Javaveemweg. Setelah itu mereka berpindah-pindah tempat tinggal ke beberapa lokasi di dalam kota Bandung. Awalnya ke Gg. Djaksa di sebelah selatan Regentsweg (sekarang Jl. Dewi Sartika), lalu ke Gedong Dalapan di Poengkoerweg (Jl. Pungkur), kemudian ke Regentsweg 22, sebelum akhirnya menetap di sebuah rumah panggung di Astanaanjarweg.

Continue reading

Hjalmar Bodom, Kunst Atelier di Naripanweg 3

200949
Foto sebuah keluarga Belanda di Bandung.
Fotografi: Hjalmar Bodom, 1930-an.
Foto ini sekarang menjadi koleksi National Gallery of Australia.

200951
Foto dua orang anak Belanda di Bandung.
Fotografi: Hjalmar Bodom, 1930-an.
Foto ini sekarang menjadi koleksi National Gallery of Australia.

200950
Foto seorang perempuan Belanda di Bandung.
Fotografi: Hjalmar Bodom, 1930-an.
Foto ini sekarang menjadi koleksi National Gallery of Australia.

Continue reading

Bandoeng 1918 – Bagian 2

Bagaimana pertanyaan ini: Dimanakah Insitut Teknik Negri harus dibangun? Dapat dijawab selain: di Bandoeng. Disamping pertanyaan ini, pendapat Tillema, ahli kesehatan di pesisir Jawa yang kenal betul kota Bandoeng juga penting. Tillema: “Tiap orang yang pernah tinggal dan bekerja di kota-kota pesisir yang sangat panas dan tidak sehat itu pasti tahu bahwa bekerja di tempat sejuk dengan sedikit nyamuk lebih menarik! Setiap kepala bagian juga tahu bagaimana pegawainya banyak yang sakit tiap tahun. Jumlah pegawai yang sakit tiap hari di pesisir itu banyak. Depresi, malaria dan epidemi lainnya membawa pengaruh buruk kinerja perusahaan dan membuat para manager putus asa.”

“Desain Institut Teknik itu harus di tempat yang dosen dan mahasiswanya dapat bekerja dan belajar dengan nyaman.”

Foto 12

Vergelijkende temperatuurschaal  Batavia – Bandoeng.

Vergelijkende temperatuurschaal Batavia – Bandoeng.

“Di Hindia Belanda hanya ada sedikit kota yang memenuhi persyaratan diatas. Batavia dan Surabaya bisa langsung dicoret sebagai pilihan. Tempat tinggal saya yang lama, Semarang juga menarik untuk tempat tinggal dengan gunungnya tetapi tidak memenuhi syarat lainnya seperti Bandoeng. Dengan berat hati dan sejujurnya, saya ini yang merasa seperti orang Semarang asli, tidak dapat mengusulkan Semarang menjadi lokasi insitut ini. Hanya Bandoeng, dan Bandoeng saja, yang memenuhi syarat dan kebutuhan untuk kesehatan dan lingkungan.”

Continue reading

« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑