Jam 8 pagi saya terbangun karena suara berisik orang-orang sedang ngobrol di balik
dinding kamar saya. Di samping saya Audya masih terlelap. Puteri dan Rani entah ke
mana. Nampaknya sedari subuh mereka sudah bangun. Continue reading
Tag: Aleut! (Page 1 of 2)

Rombongan Aleut ngaleut Rancabali. Photo Mariana Putri
Oleh: Mariana Putri (@marianaaputri)
Hari minggu kemaren aku mengisi waktu bareng Komunitas Aleut dalam kegiatan ngaleut. Judul ngaleut kali ini adalah ‘Ngaleut Rancabali”. Kami mengunjungi Kampung Rancabali dan kompleks perkebunan teh yang erat kaitan dengan Max I. Salhuteru, salah satu tokoh yang berjasa dalam nasionalisasi perkebunan teh Sperata dan Sinumbra di Ciwidey, tahun 1957. Di Rancabali pula, Max I. Salhuteru dimakamkan.
Selain mengunjungi makam Max I. Salhuteru, kami pun mengunjungi sebuah patung dada Max I. Salhuteru yang berada di Ciwidey. Kondisi patung sudah tak terlalu terawat. Continue reading
RASIA BANDOENG
atawa
Satu percinta-an yang melanggar peradatan “Bangsa Tiong Hoa” satu cerita yang benar terjadi di kota Bandung dan berakhir pada tahon 1917.
Diceritaken oleh Chabanneau *******
Diterbitkan pertama kali oleh Gouw Kim Liong, tahun 1918
Dicetak oleh Drukkerij Kho Tjeng Bie & Co., Batavia
Diterbitkan ulang dengan penambahan oleh Ultimus
Disalin dan diberi catatan oleh Komunitas Aleut!
Disunting oleh Ridwan Hutagalung
Rancangan sampul oleh Ridwan Hutagalung
Novel Rasia Bandoeng pertama kali terbit pada tahun 1918 secara bersambung dan seluruhnya terdiri dari tiga jilid.
Novel ini memang sempat heboh pada masanya karena isinya yang mengungkap sebuah kisah nyata hubungan cinta terlarang sesama marga Tionghoa di Bandung tempo dulu.
Sudah lama isi novel Rasia Bandoeng menjadi perhatian Komunitas Aleut, tidak melulu karena isi ceritanya tetapi juga karena banyaknya nama tempat yang disebutkan di situ. Di awal tahun 2016 ini Komunitas Aleut mengemas novel Rasia Bandoeng dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti Ngaleut Rasia Bandoeng, Tjerita Boekoe, dan terakhir, menerbitkan ulang novel lama itu dalam bentuk yang Anda terima sekarang ini.
Untuk penerbitan ulang novel Rasia Bandoeng ini, ketiga jilid yang semula terpisah sekarang digabung menjadi satu buku saja. Pada isi naskah dilakukan sedikit perubahan ejaan lama ke dalam ejaan baru, selebihnya disalin sesuai dengan aslinya. Selain itu ada tambahan catatan kaki untuk berbagai istilah yang sudah tidak umum sekarang, serta lampiran artikel investigatif oleh Lina Nursanty Rasia Bandoeng yang pernah dimuat secara serial di HU Pikiran Rakyat.
Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Jun 2016
Pengarang: Chabanneau *******
Halaman : 296
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-75-3
Harga umum 85,000
Pemesanan: 0859-7490-5769
Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu,
Bandung 40264
Harga di Kedai Preanger 75,000
Pernik KAA 2015; Serba-serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika 1955.
Catatan Liputan Komunitas Aleut!
Penyunting: Ridwan Hutagalung
Nugent dalam bukunya Creative History (1967) menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mempelajari sejarah dari dua segi, yaitu bagaimana sejarah itu dapat menolong kita untuk hidup dan bagaimana sejarah itu dapat menolong kita menjadi pribadi yang lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Nugent mengatakan dengan tegas bahwa “Know other peoples, know yourself”.
Sejarah sebagai pengalaman manusia memberikan berbagai alternatif untuk memilih begitu banyak cara hidup (a multitude of ways). Setiap orang adalah produk masyarakat dan masyarakat adalah produk masa lampau, produk sejarah. Dengan mempelajari sejarah kita akan mampu menghindari berbagai kesalahan dan kekurangan masyarakat masa lampau untuk kemudian memperbaiki masa depan.
Sejarah juga selalu melahirkan panggung bagi orang-orang besar. Namun demikian, tak banyak yang mencatat peran orang-orang di balik layar panggung sejarah. Ada banyak peristiwa kecil di balik panggung sejarah. Peristiwa-peristiwa itu terangkai menuju pada peristiwa besar. Peristiwa kecil menentukan kesuksesan aktor di panggung sejarah.
Di balik hingar bingar Peringatan ke-60 Tahun KAA Tahun 2015 ada banyak peristiwa sejarah. Ribuan warga Kota Bandung, mulai dari usia dini, remaja, hingga lanjut usia bergemuruh mengumandangkan gema Dasasila Bandung. Setiap warga mempunyai caranya tersendiri untuk menghormati lahirnya Nilai-nilai Luhur Dasasia Bandung.
Buku ini telah merekam dengan baik semua peristiwa di balik layar itu. Tak hanya mengabadikan peristiwa sejarah, namun lebih dari itu Komunitas Aleut! telah melestarikan ruh gotong royong warga Kota Bandung yang masih terus menyala-nyala. Gotong royong adalah ruh kreatif Konferensi Asia Afrika.
Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Mei 2016
Penulis: Ridwan Hutagalung (ed.)
Halaman : 222
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-73-9
Harga Rp.65.000
Pemesanan: 0859-7490-5769
Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu
Bandung 40264
Oleh: Novan Herfiyana (@novanherfiyana)
Siang itu, Waktu Indonesia bagian Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung sudah menunjukkan pukul satu. Hitungan menitnya lebih sedikitlah tanpa tawar-menawar ala penjual dan pembeli di pasar tradisional. Dalam suasana siang itu, kami, pegiat Aleut di Komunitas Aleut, sudah menuntaskan acara #NgaleutTransportasi.
Di luar kawasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung yang berada di Jalan Belitung No. 1 Kota Bandung, ada pegiat Aleut yang hendak pulang menuju kawasan Alun-alun Bandung yang berada di Jalan Asia Afrika. Mereka mempertimbangkan antara naik angkot atau berjalan kaki sebagaimana sejak awal acara yang ngaleut. Soalnya, motornya diparkirkan di kawasan Alun-alun Bandung.
Ada juga pegiat Aleut yang tinggal naik motor karena motornya sudah diparkirkan di tempat parkir di kawasan Taman Lalu Lintas. Pegiat Aleut yang “semacam” ini sudah mencermati lokasi akhir tempat acara. (Bandingkan dengan kesempatan lain ketika lokasi akhir tempat acara yang direncanakan di kawasan Gasibu, ternyata “terpaksa” berakhir di salah satu halaman minimarket di Jalan Banda karena hujan deras). Jangan lupakan pula pegiat Aleut yang tinggal memboseh sepeda karena sepeda yang dimilikinya diajak ngaleut.
Bagaimana dengan penulis sendiri? Saya sendiri tinggal memilih angkot yang berada di kawasan Taman Lalu Lintas. Malah ada beberapa alternatif trayek angkot yang menuju tempat tinggal saya. Dalam ngaleut kali ini, saya memang lebih memilih naik angkot daripada naik kendaraan (motor) sendiri yang mesti diparkirkan di lokasi awal acara (Monumen Km Bandung 0 + 00). Alasannya, kalau membawa motor, saya mesti balik lagi menuju lokasi awal acara sebagaimana sebagian pegiat Aleut tadi. (Sebetulnya mah “pilih-pilih” untuk parkir). Continue reading
Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)
“Kotamu nanti bakal mekar menjadi plaza raksasa
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita,
dan kita tak punya waktu untuk berduka.”
(Joko Pinurbo)
***
Seseorang datang ke kantor Pemkot Bandung hendak melihat dokumentasi catatan sejarah tentang kota tempat lahirnya, namun sayang sejarah yang dia cari hanya tersaji pada tiga lembar kertas folio. Tiga lembar saja! Dia adalah Haryoto Kunto (alm). Berangkat dari kekecewaan itulah akhirnya beliau menulis beberapa buku tentang Bandung yang sangat lengkap, di antaranya adalah Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak Bunga di Bandung Raya, tak lama kemudian beliau ditasbihkan sebagai Kuncen Bandung.
Kelahiran Komunitas Aleut sedikit banyak dipengaruhi oleh buku-buku Sang Kuncen Bandung itu. Komunitas ini, satu dari beberapa komunitas lain yang—seperti sepenggal puisi Joko Pinurbo yang saya kutip di awal tulisan—merasakan kegelisahan terhadap kondisi kota yang semakin hari kian berubah. Pembangunan merangsek di segala penjuru, yang celakanya kadang kurang memperhatikan unsur sejarah yang menjadi ingatan kolektif warga kota.
Cikal bakal komunitas ini diawali ketika Direktur Program Radio Mestika FM Bandung, yaitu Ridwan Hutagalung, membuat satu program di radionya yang bernama “Afternoon Coffee”. Acara ini sepekan sekali disajikan untuk membahas sejarah Kota Bandung yang sumbernya sebagian besar diambil dari buku-buku Haryoto Kunto.
Ridwan–di tengah tahun 2005, kemudian dilibatkan oleh panitia ospek mahasiswa baru Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran untuk ikut dalam acara yang relatif segar, yaitu ospek tanpa kekerasan, dan sebagai gantinya adalah mengunjungi situs-situs bersejarah di Kota Bandung. Gagasan ini ternyata mendapatkan respon yang positif dari para peserta ospek. Dari situlah kemudian muncul ide untuk mendirikan sebuah komunitas yang fokus utamanya pada apresiasi sejarah kota. Maka pada tahun 2006 resmilah didirikan Komunitas Aleut. Continue reading
Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
“Omat ulah ulin di ranjěng, aya jurig samak!”
Aya wěh kolot baheula mah, nyaram barudakna těh jeung mamawa lelembut sagala. Tapi da ari budak mah nya langsung ngabuligirkeun maneh tinggal salěmpak pas nempo ranjěng těh. Paduli teuing rěk diculik ku jurig samak ge, nu penting mah bisa guyang jeung munding.
Ah asa resep ngabayangkeun pas masih lehoan keneh těh, kasusah hirup sigana ngan ukur pelajaran Matěmatika. Masih bisa ngalaman ulin jarambah sapertos nu dicaritakeun Us Tiarsa dina “Basa Bandung Halimun”. Pedah ari kuring mah ulin jarambahna di lembur, lain orang Kota. Kuring jadi mikir ari barudak zaman kiwari masih ngalaman teu nya? Continue reading
Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)
Untuk enam jam pesta akbar di kota kami ini, dana yang dikeluarkan miliyunan. Pasukan pengamanan ribuan. Pedagang mengungsi, papan baca sebuah koran ditumbangkan dulu, untuk kedepannya direkonstruksi kembali, seperti nasib yang terjadi pada tiang-tiang bendera.
Kekuatan pengamanan di pusat kegiatan ribuan orang setara ratusan peleton. Sedangkan kami hanya berkekuatan sapta orang, setara satu peleton pun tidak. Hanya setengah lusin personil lebih satu orang dengan senjata utama kartu pengenal yang kami rebut dari Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA).
Kami milisi dari komunitas non-subsidi yang cinta mati pada kota ini. Doktrin kami belajar bersama dan berbagi ilmu. Mungkin kami tanpa pelatihan khusus tapi semangat belajar adalah nafas yang menjadi modal kami untuk terus bergerilya memberikan berita yang tak biasa. Continue reading
Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)
Hari Minggu tanggal 20 Oktober 2013, Komunitas Aleut berkesempatan untuk menelusuri beberapa taman yang ada di Kota Bandung. Kegiatan ini merupakan kegiatan kedua Komunitas Aleut di pekan ke-3 bulan Oktober. Kegiatan pertama berlangsung pada tanggal 19, yaitu kegiatan Ngaleut Kampung Adat Cirendeu.
Sebagai titik awal penelusuran, kami memilih boulevard yang berada di depan Masjid Istiqamah. Boulevard di Kota Bandung belakangan ini cukup sulit ditemui setelah boulevard yang menjadi ikon Bandung di Jalan Pasteur hilang akibat pembangunan jalan layang Pasupati. Kondisi boulevard di depan Masjid Istiqamah cukup terawat, hanya sedikit sampah yang terlihat di lokasi ini. Sayangnya di lokasi ini saya tidak sempat mengambil gambar, sehingga cukup sulit untuk membuktikan persepsi saya mengenai boulevard di sini.
Masih dari boulevard ini, saya beserta Hani menjelaskan Tjitaroemplein. Di atas lahan Tjitaroemplein pernah berdiri sebuah monumen untuk memperingati percakapan pertama melalui radio telepon antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Belanda pada tanggal 3 Juni 1927, di stasiun pemancar Malabar.
Bentuk monumen berupa bola besar yang mengibaratkan bumi dan dua patung lelaki berhadap-hadapan tanpa busana di kedua sisinya. Ekspresi sebuah patung tampak sedang berteriak dan yang lainnya menempelkan telapak tangan di telinga. Monumen ini melambangkan jarak bumi menjadi tidak berarti lagi melalui komunikasi radio telepon.

Pada tahun 1950-an, monumen ini diruntuhkan karena dianggap melanggar norma kesusilaan. Setelah monumen diruntuhkan, kemudian dibangunlah sebuah masjid di atas lahan Tjitaroemplein. Nama masjid tersebut adalah… Masjid Istiqamah.
Kemudian sebagai titik kedua penelusuran, kami mendatangi Taman Lansia. Taman ini dahulu bernama Tjilakiplein. Taman ini memiliki aliran air yang berasal dari Sungai Cikapayang. Aliran ini berada di tengah-tengah taman. Taman Lansia sendiri terbagi menjadi 2 segmen. Segmen pertama membentang dari tepi Jalan Diponegoro hingga persimpangan Jalan Cisangkuy dan Jalan Cimandiri, sedangkan segmen berikutnya membentang hingga simpang Jalan Citarum.
Di segmen pertama, terlihat terjadi banyak aktivitas. Hal ini wajar, mengingat perjalanan kami dilaksanakan pada hari Minggu yang bertepatan dengan pasar kaget mingguan. Sayangnya, pada segmen ini taman digunakan juga untuk berjualan oleh beberapa pedagang pasar kaget, sehingga kurang nyaman bagi para pejalan kaki. Bahkan di foto kedua, terlihat adanya tumpukan sampah di dekat kanal air. Cukup disayangkan.
Di segmen kedua, kondisi taman lebih kondusif dibandingkan segmen pertama. Terlihat beberapa orang bersantai di segmen ini. Selain itu, di segmen ini juga terlihat beberapa orang yang berolahraga jalan santai, mengingat aktivitas di segmen ini tidak seramai segmen pertama.
Dari Taman Lansia, kami bergerak menuju Taman Cibeunying. Taman ini diresmikan pada tanggal 6 September 1986 dengan nama “Taman PKK Cibeunying”, merupakan hasil kerja sama antara Tim Penggerak PKK Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dengan Dharma Wanita Unit Perumtel (sekarang Telkom) Pusat. Sempat beralih fungsi menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina, pada awal tahun 2013 oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman fungsinya dikembalikan lagi menjadi taman.
Taman ini cukup luas. Saat kami mendatangi taman ini, terjadi banyak aktivitas. Saya melihat ada beberapa orang membawa anjing peliharaan mereka, ada yang duduk bersantai di gazebo, ada juga anak-anak yang sedang berlarian. Kondisi taman ini terbilang bersih, walapun di beberapa titik terlihat ada sampah gelas air mineral.
Luas Taman Cibeunying tidak hanya hingga tulisan “Cibeunying Park” pada foto di atas. Di belakang tulisan ini, masih terdapat taman yang juga bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.
Menurut Kabid Taman Dinas Pertanaman dan Pemakaman (Distankam) Kota Bandung, Dadang Darmawan, pihaknya sedang menjajaki kemungkinan pemasangan wi-fi di Taman Cibeunying. Beberapa provider telekomunikasi sudah melakukan pengajuan, namun pihak Distankam masih mempelajari dan menyeleksi terlebih dahulu. Sebagai fakir koneksi wi-fi, saya sangat mengharapkan adanya koneksi internet di taman ini, hehehe.
Dari Taman Cibeunying, kami beranjak menuju Taman Cilaki. Sesuai dengan namanya, taman ini terletak di Jalan Cilaki. Mudah untuk menemui taman ini, karena taman ini terletak dekat dari SD Ciujung dan SD Priangan.
Kondisi taman cukup terawat dan terhitung bersih, karena tidak terlihat adanya sampah yang berserakan. Dari gambar di atas, terlihat jelas bahwa Taman Cilaki digunakan sebagai tempat berolahraga karena di tengah taman terdapat lantai beton dan terdapat tiang yang posisinya berseberangan. Umumnya, tiang seperti ini digunakan sebagai tempat menggantungkan jaring, baik itu untuk bulutangkis ataupun bola voli.
Taman ini juga memiliki sebuah bale di sudut yang dekat dengan Jalan Jamuju.
Bale ini cukup nyaman untuk berteduh dari sinar matahari, mengingat Taman Cilaki tidak terlalu rindang. Jika tertarik berkegiatan di taman ini, saya menyarankan untuk menggunakan krim tabir surya jika tidak ingin kulit menghitam.
Kemudian kami bergerak menuju Lapangan Supratman, yang terletak hanya beberapa puluh meter saja dari Taman Cilaki. Lapangan ini sudah ada sejak pembangunan ruas Jalan Supratman di jaman penjajahan Belanda.
Serupa dengan Taman Cilaki, lapanganini juga berfungsi sebagai tempat berolahraga. Namun, jika kita lihat lebih seksama, taman ini lebih difungsikan sebagai lapangan sepakbola karena di kedua ujung lapangan terdapat dua buah gawang.
Pada tahun 2010, lapangan ini pernah dijadikan lokasi syuting film Obama Anak Menteng. Menurut Damien Dematra, penulis skenario dan co-sutradara film Obama Anak Menteng, lokasi ini dipilih karena dinilai memiliki kesamaan dengan Jalan Matraman, tempat Obama dulu tinggal.
Walikota Bandung saat ini, Ridwan Kamil, berencana mengubah lapangan ini menjadi sebuah lapangan sekaligus Taman Persib. Kombinasi lapangan dan taman ini akan dibuat nyaman. Taman sebagai tempat nongkrong akan difasilitasi dengan wifi. Sedangkan lapangan, selain untuk bermain bola, suatu saat pun bisa dijadikan tempat untuk menggelar nonton bareng pertandingan. Rumput di Lapangan Supratman yang terkesan tak terurus ini juga sudah direncanakan Ridwan Kamil untuk diperbaiki.
Dari Lapangan Supratman, kami beranjak menuju Taman Anggrek. Taman yang berlokasi di Jalan Anggrek ini dahulu bernama Wilhelminaplein. Taman Anggrek sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.
Pada saat kami berkunjung ke taman ini, kondisi taman berbeda dengan apa yang saya lihat 4 bulan yang lalu. Taman terlihat bersih dan bebas dari tuna wisma. Taman dicat warna oranye karena taman ini diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon. Taman ini merupakan taman bertema fotografi. Kondisi taman terhitung bersih, sampah hanya terdapat di beberapa bagian taman dalam jumlah kecil. Taman ini kini semakin nyaman digunakan anak-anak untuk bermain, seperti yang terabadikan di foto di atas.
Dari Taman Anggrek, kami bergerak menuju Taman Salam. Taman yang terletak di Jalan Salam ini tidak terlalu banyak diketahui warga Kota Bandung. Hal tersebut tercermin dari mayoritas pegiat yang baru kali itu berkunjung ke Taman Salam.
Kondisi Taman Salam sangat terawat dan sangat rindang. Kondisi taman yang terawat ini menurut saya karena taman ini terletak di wilayah perumahan, sehingga ada anggaran dari setiap penghuni rumah untuk merawat taman. Taman ini juga representatif untuk digunakan sebagai ruang beraktivitas selama tidak membuat kegaduhan. Saran saya jika berkunjung ke taman ini, gunakanlah lotion anti-nyamuk karena serangan nyamuk di taman ini cukup ganas.
Masih di sekitar Jalan Salam, kami menemukan bekas menara listrik di jaman kolonial.
Hal yang membuat saya cukup yakin bahwa bangunan ini adalah bekas menara listrik adalah karena saya dan Ayan (@SadnessSystem) menemukan plakat kecil yang bertuliskan GEBEO. GEBEO adalah perusahan listrik di jaman kolonial.
Setelah dari menara listrik Jalan Salam, kami bergerak menuju titik terakhir perjalanan, yaitu Taman Cempaka.
Sama seperti Taman Anggrek, taman ini juga diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon dan merupakan taman dengan tema fotografi. Taman ini sudah ada sejak jaman kolonial, dengan nama Nassauplein.
Kondisi taman dalam keadaan baik, karena baru satu bulan diperbaiki. Namun disayangkan, taman ini tidak bersih karena sampah berserakan dimana-mana, belum lagi jumlah tempat sampah kurang dan tempat sampah yang adapun penuh.
Meskipun demikian, Taman Cempaka sangat representatif untuk digunakan sebahai tempat berkegiatan. Taman ini cukup luas, rindang, dan juga dilengkapi arena bermain anak, sehingga cocok juga untuk dijadikan tempat berekreasi keluarga.
Seperti biasa kami mengakhiri kegiatan dengan berfoto bersama.
Ditulis juga di http://aryawasho.wordpress.com/2013/10/20/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-1/ dan http://aryawasho.wordpress.com/2013/11/06/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-2/
Oleh: Mentari Alwasilah (@mentariqorina)
Saya menemukan hal menarik di komunitas ini. Saya mendapatkan sambutan hangat, teman baru, ilmu baru. Saya banyak belajar, tidak hanya sejarah bandung yang awalnya sama sekali tidak saya ketahui, saya juga belajar bagaimana bersikap, mendengarkan, berbicara, berbagi pengalaman, bertukar pikiran. Saya senang sekali bertemu orang-orang baru dengan latar belakang yang berbeda, pikiran berbeda, sudut pandang dan di akhir perjalanan setiap minggu kami selalu berdiskusi, saling berbagi dan membuka pikiran.
Itu hanyalah sekilas rasa yang saya dapatkan, saya ingin teman-teman merasakan hal ini, mendapatkan hal menarik bersama. Kami tunggu di Komunitas Aleut :’)
Original Post http://mentarii.tumblr.com/post/60609845510/komunitasaleut-saya-menemukan-hal-menarik-di diunggah 8 September 2013
Oleh: Intan Zariska Daniyanti (@daniyaintan)
Awalnya masih mikir sejuta kali untuk share cerita sama catatan perjalanan ini. (Lebay dikit, emang.)
Minggu, 30 Desember 2012
“Ngaleut kawasan Husein, meeting point di Stasion Bandung jam 07.30 okay!” yang terlintas dipikiran saya ketika saya bangun pagi. Saya berangkat sekitar pukul 07.00 dari rumah dengan diantar oleh ayah. Karena saya kurang tahu dimana tempat meeting point itu berada. (bukannya manja ya! Tapi daripada nyasar mending diantar kan?)
Sesampainya di stasion saya celingak-celinguk mencari Aleutian yang lainnya beruntung saya menemukan beberapa orang yang memakai kaos Aleut! Dan di sekitarnya sudah ada beberapa orang sedang berkumpul. Nah! Ini pasti tak lain dan tak bukan ya Komunitas Aleut! Jujur saja saya masih kurang hafal dengan orang-orangnya, karena ini baru kali ke-2 saya di aleut.
Meetingpun dimulai dan tradisi aleut seperti biasa perkenalan antar anggota baik yang baru maupun yang sudah terdahulu ngaleut. Dilanjut dengan masuk sedikit ke parkiran stasion dan bang Ridwan bercerita tentang sejarah stasion, jalan Kebon Kawung dan awal pembangunan Transportasi serta jalur kereta api pada masa itu.
Kami menyusuri Jalan Kebon Kawung sambung ke Jalan Ksatriaan lalu berhenti di Institut Ksatriaan atau sekarang SMP Negeri 1 Bandung. Sekolah dimana Bapak Proklamator kita mengajar dan daerah dimana Beliau mengenal Ibu Inggit Garnasih it’s so kya! :3 setelah cukup berkeliling-keliling dan melihat-lihat.
(Ada beberapa destinasi yang di skip: Pemakaman Keluarga Pedagang Pasar Baru, Taman Kresna, SMK seberang jalan Baladewa dan perumahan dinas Kereta Api kalau tidak salah)
Kami kembali menyusuri jalan-jalan dan beberapa gang kecil yang saya kurang tahu detailnya dan tiba di sebuah Pemakaman Kuno. “Wah, keren banget gak nyangka ada tempat kayak gini! Perasaan tadi cuman nyusurin gang terus lanjut perumahan,” ujar saya dalam hati. Ini namanya ‘Makam dan gereja Pandu’ kak Reza menceritakan tempat yang akan kami jelajahi. Saya masih terpukau oleh hamparan pemandangan ‘Welcome to Pandu’ hari terik kala itu beberapa Aleutian mengeluh capek dan panas bahkan ada beberapa Aleutian yang sudah berinisiatif memakai payung sebelum memasuki makam. Saya tidak menghiraukannya mata saya masih sibuk berbelanja menyelidiki beberapa makam. Ada makam kuno Cina, Belanda, Kristen katholik bahkan saya sempat mengernyitkan dahi ketika melihat makam laci yang berjajar di tembok. Makam laci?
Di hari yang terik itu kami tetap berjalan mengitari makam dan kamipun tiba di makam Fam Ursone yang ceritanya: ini adalah sebuah makam keluarga pengusaha peternakan terkemuka di masa itu. Dari yang saya lihat makam yang ini memang yang paling berbeda. “Paling jreng diantara yang lain kayak di luar negeri lah!” seru saya dalam hati. Sayapun masuk penasaran karena melihat beberapa Aleutian sudah berada di dalam makam tersebut dingin dan gelap, aneh padahal diluar panas.
Next: makam berdampingan pilot dan co-pilot yang meninggal karena pesawat yang beliau kendarai mengalami kecelakaan dan terjatuh di daerah Padalarang-Cililin sekitar tahun 1930-an.
Dan ada lagi yang menarik perhatian saya. Yap Ereveld mungkin sejenis Taman Makam Pahlawan Belanda kali ya. Sayangnya kita kalau mau masuk kesana harus menggunakan passport. “Yaelah masih di Indonesia juga gitu we’re still in Bandung oh come on! Tau gitu tadi saya bawa passpor!” (eh nggak gitu juga kali ya hehe) saya berbicara dalam hati.
Siangnya waktu Dzuhur, kami sudah tiba di Mesjid Habiburahman (Mesjid Habibie-Ainun) beberapa Aleutian terlihat langsung duduk merebah melepas lelah dan mengobrol sedikit sambil beristirahat. Entah kenapa saya mendadak religi saat itu hahaha saya memutuskan untuk mengambil air wudhu dan menyegerakan shalat, karena memang sudah waktunya kan? Seberesnya saya shalat dan berdo’a saya sempat melihat ke sekitar masjid dan ke atas bangunan fondasi masjid Subhanallah indah banget. Mana mesjid ini diresmiin sama Bu Ainun sama Pak Habibie ah romantis banget deh! <3 (efek nonton Habibie-Ainun)
Lamunan saya dipecahkan oleh kak Ala yang meminjam mukena. Setelah kami berdua selesai shalat saya mengeluh pusing ke kak Ala. (gak ada tujuannya sih cuman FYI aja) tapi siapa yang sangka kak Ala bilang: ‘Kamu tadi gak diikat rambutnya waktu pas di Pandu ya dan?’ sayapun menjawab: “Enggak kak memangnya kenapa?” Kak Ala melanjutkan menjawab sambil melipat mukena: ‘Biasanya sih yang kayak gitu suka ikut nempel di rambut..’ “Hah?” (if you know what I mean) “Kak Ala kenapa bilang gitu? -_-“ tanya saya dalam hati. Tapi kak Ala melanjutkan: ‘Yaudah gapapa kok mungkin tadi kamu kecapekan dan.’ Lalu kak Dea nimbrung: ‘Eh dan, kamu tadi ngerasa gak sih ada suara kayak yang ngetuk-ngetuk tembok pas di Ursone?’ Tanya kak Dea. “Ya Tuhan ini apa lagi..” saya tidak menghiraukan kak Dea dan menjawab: “Enggak kak emang apaan?” ‘Masa sih dan kamu gak denger? Kita kan yang paling dalem pas di Ursone’
Sesi sharing sehabis ngaleutpun tiba, semua Aleutian berbagi pengalaman selama perjalanan yang tadi kami tempuh dari sudut pandang masing-masing. Ini bagian yang saya suka karena saya suka mendengar orang bercerita hehe. Sayapun berpamitan pulang duluan karena sudah dijemput dan tidak ikut makan bersama.
Sesampainya dirumah saya langsung rebahan sebentar lalu makan siang. (makan siang? Late lunch sih tepatnya. Saya sampai rumah sekitar pukul 3 sore) lalu saya mandi dan tidur sehabis shalat ashar. Waktu maghrib tiba saya bangun dan bersiap shalat. Saya merasa ada yang aneh perasaan tadi jalan kaki jauh tapi kenapa yang sakit malah pundak. Saya tidak menghiraukannya dan melanjutkan kegiatan seperti biasa. Well saya terbangun lagi dan berharap sakit saya sudah hilang karena saya pikir saya sudah cukup istirahat untuk menggantikan energi saya yang cukup terkuras tadi siang. Well kondisi semakin memburuk saya tidak menceritakannya pada kedua orang tua saya lalu saya memutuskan untuk bbm kak Reza dan menanyakan sesuatu. Saya juga sempat tersirat perkataan kak Ala dan kak Dea tadi siang, but I’m still positive thinking. For pessimist I’m pretty optimistic kok. (apa banget!) Setelah menunggu beberapa saat kak Reza pun membalas dan yah baiklah mungkin saya memang kecapekan. Keesokan harinya keadaan semakin memburuk dan oke baiklah yang ini saya agak takut dan sedih karena jujur pundak saya malah semakin berat dan kepala rasanya pusing. For God sake saya nangis pun percuma saya tetap berdo’a dan mencoba untuk tidak berpikiran yang macam-macam. Saya menceritakan kepada sahabat saya tentang kejadian ini lalu teman saya menyarankan saya untuk kembali lagi ke Makam Pandu. “Ya kali saya harus kesana lagi? Sendirian? Ngapain?” teman saya tidak menjawab dan hanya membujuk saya agar saya menuruti perkataannya. Saya tidak menuruti perkataan teman saya tersebut karena ya saya tetap berusaha untuk berpikiran sewajarnya dan logika. Pundak saya semakin sakit dan berat terutama sebelah kiri. Tapi yasudahlah saya melanjutkan kegiatan tahun baru bersama keluarga.
Selepas malam tahun baru saya bangun di esok hari dan saya teringat bermimpi bermain bersama seorang anak kecil keturunan tionghoa dan jalan-jalan di suatu tempat yang saya gak tahu tempatnya apa agak menyenangkan dan seram tapi setelah terbangun dari mimpi itu rasa sakit di pundak saya hilang dengan sendirinya. Jadi sebenernya apa sih yang terjadi? No I’m not saya juga bahkan gak tau apa yang terjadi.
For God sake hanya Tuhan yang tau…
Well, tapi kejadian ini gak bikin saya kapok buat ngaleut loh! 😀
(dan FYI: pas nulis ini juga sempet mati lampu 4x lebay gak sih sedih gak sih percaya gak sih? I’m telling the truth.)
Oleh: Nia Janiar (@janiar_)
Pemanfaatan Cikapundung menjadi tema ngaleut Minggu (20/1) yang cerah itu. Berkumpul di Jl. Sumur Bandung, kami berjalan melewati Babakan Siliwangi yang kini sedang terancam keberadaannya sebagai hutan kota yang akan hilang karena rencana komersialisasi lahan. Awalnya, Babakan Siliwangi disebut Lebak Gede (“lebak” artinya lembah) yang daerahnya membentang hingga kampus UNPAD di Jl. Dipatiukur. Di arah utara dari Lebak Gede, terdapat Villa Mei Ling yang merupakan saksi sejarah karena beberapa kali pernah diadakan rapat penyerahan dari Belanda ke Jepang di sana.
Nama Babakan Siliwangi mulai muncul di tahun 1950-an karena munculnya sanggar-sanggar film dan teater. Dari sanggar teater tersebut, terdapat sebuah sosok yang fenomenal yaitu Nurnaningsih karena ia merupakan artis Indonesia yang telanjang di depan kamera. Jika kalian penasaran, filmnya berjudul “Harimau Tjampa”. Kembali kasih.
Di bawah pohon Ki Hujan, Bang Ridwan menjelaskan bahwa Ratu Juliana, ratu Belanda kala itu, ingin membuat tempat peristirahatan di sebelah selatan Lebak Gede pada tahun 1929 namun pembangunan tempat peristirahatan itu tidak pernah terjadi. Alih-alih tempat peristirahatan, mereka membangun sebuah taman bernama Jubileum Park. Mengacu pada konsep Jawa, nama taman ini diubah menjadi Taman Sari atau Kebun Binatang yang dibangun tahun 1930.
Tidak jauh dari Sabuga, terdapat pintu air Lebak Gede yang merupakan saksi sejarah dimana Bupati Bandung kala itu, Martanegara, membuat pintu air dan kanal untuk membagi air ke beberapa daerah di Bandung dan aliran barunya disebut sungai Cikapayang. Pada mulanya kanal-kanal ini berguna untuk mendistribusikan air sungai Cikapundung untuk taman-taman yang ada di Merdeka, Cilaki, dan Taman Ganesha. Pendistribusian air sungai yang terbentuk dari aliran lava Gunung Tangkuban Perahu ini membuat air tidak menumpuk di satu sungai dan meluap. Sayangnya, jalan menuju kanal yang ada di Lebak Gede ini tertutup sampah sehingga aliran airnya tidak terlalu besar.

Cikapundung sempat dijadikan tempat wisata bule-bule berpose di atas badan sungai Cikapundung tahun 1930an
Dari seberang sungai, kami ditunjukkan sebuah air terjun kecil yang konon dulu tingginya mencapai 20 meter. Pembabatan pohon-pohon di daerah hulu membuat tanah atau lumpur terbawa air hujan dan ikut aliran sungai yang kini kecoklatan dan membikin sungai Cikapundung mengalami pendangkalan. Bisa dilihat air terjun di bawah ini mencapai hanya sekitar 10 meter saja. Pendangkalan sungai ini bisa menjadi salah satu penyebab banjir.
Kami melanjutkan perjalanan dengan melintasi pemukiman padat Cihampelas yang berdesak-desakkan. Saking penuhnya, rumah-rumah berdempetan. Tidak hanya sisi kanan dan kiri, tetapi juga depan dan belakang–hanya menyisakan ruang satu meter untuk berjalan. Bahkan, ada jalan yang di atasnya terdapat rumah warga sehingga kami layaknya masuk ke sebuah gua. Sungguh menyesakkan.
Kondisi tanah yang seperti lembah ini membuat jalan di pemukiman ini memiliki tanjakan dan turunan yang curam. Di bawah pemukiman, bersisian dengan sungai Cikapundung, tanah dibenteng dengan semen dan bebatuan. Di sela batu diberikan pipa-pipa untuk mengalirkan air tanah ke sungai. Jika tidak ada pipa, tentu saja pemukiman Cihampelas ini tinggal menunggu ajal longsor karena tentunya benteng tidak dapat menahan desakkan air tanah.
Saya memiliki kecurigaan tentang rumah-rumah yang bertingkat. Alih-alih pindah, sepertinya mereka memilih membuat tingkatan baru untuk diisi dengan keluarga baru. Jadi, mungkin satu rumah bisa diisi beberapa keluarga.
Keluar dari pemukiman padat, kami menemukan sebuah rusun atau apartment yang menjulang di atas tanah tempat Pemandian Tjihampelas yang dibangun tahun 1902 sebagai kolam renang nomer satu di Hindia-Belanda. Sayangnya tempat yang bersejarah dan membanggakan ini harus dihancurkan untuk sesuatu yang tidak meninggalkan apa-apa selain penyedotan air tanah besar-besaran. Sementara itu, di belakang apartment, terdapat beberapa warga yang sedang mencuci. Menurut Bang Ridwan, dulu warga sering mencuci dengan air bekas Pemandian Tjihampelas.
Rupanya, di sisi selatan eks Pemandian Tjihampelas terdapat sebuah jalan kecil yang dulunya merupakan Jl. Cihampelas yang sebenarnya karena banyaknya pohon hampelas yang daunnya bertekstur kasar dan tepinya bergerigi.
Setelah dari sana, kami meneruskan berjalan ke Merdeka Lio yang terletak di antara Jl. Wastukencana dan Jl. Pajajaran. Dulunya ini merupakan perkampungan kuli bangunan yang membuat genteng atau keramik (lio) untuk mengganti atap rumbia. Mereka dibebaskan (atau dimerdekakan) dari pajak. Menurut Reza, koordinator Aleut, “merdeka” juga berasal dari “mardijker” (kaum tentara pribumi bayaran atau Belanda hitam) diambil dari bahasa Sanskerta “mahardika” yang disingkat menjadi “mardika” atau “merdeka”, jadi tidak ada hubungannya dengan kemerdekaan.
Setelah melalui berbagai pemukiman, perjalanan terhenti di Cicendo karena saat itu saya harus pulang duluan namun teman-teman lainnya tetap melanjutkan perjalanan. Sementara teman-teman Aleut! berkumpul di Gedung Indonesia Menggugat, mobil travel membawa saya 147 kilometer menuju barat laut. Jakarta: dengan polemik sungai dan pemukiman yang tak kalah rumit.