RJ RUSADY W
Bagaimana Mayor Tobing bisa terluka? Konon suatu malam anggota Detasemen Pelopor membuat rencana untuk meledakkan LP Sukamiskin. Lalu mereka mempelajari bagaimana caranya menggunakan dinamit atau bom dan memeriksa cara kerja detonator atau sumbu listrik. Saat pengujian menggunakan sebuah accu, tiba-tiba detonator itu meledak, walaupun tidak terlalu keras namun akibatnya melukai Mayor Tobing, Sumitro, dan beberapa anggota staf lainnya.
Lalu pada saat pelaksanaan peledakan LP Sukamiskin menggunakan tiga buah bom pesawat. Detonator sudah terpasang bersama kawat-kawatnya, dan anggota pasukan petugas peledakan sudah berlindung di seberang jalan dan mengorekkan kawat ke accu, ternyata tidak terjadi reaksi apa-apa. Saat harus memeriksa apa yang terjadi, ternyata tidak seorang pun berani dan mau memeriksa ke lokasi bom. Akhirnya Rusady sebagai pemimpin yang akan memeriksa, namun sebelum sampai ke lokasi, ternyata rekan-rekannya tidak sabar atau tidak sengaja mengorekkan kawat ke accu, dan kali ini justru berhasil. Untunglah ledakannya tidak besar, sehingga Rusady tidak terluka.
Sebagai Kepala Bagian Penyelidikan yang merangkap Kepala Perhubungan, Rusady lebih banyak berkeliling di lapangan. Urusannya tidak hanya antarkesatuan atau tempat yang berdekatan, tapi juga sampai ke Yogya dan Surabaya. Rusady biasanya ditemani oleh Lukito sebagai wakil, dengan anggota Sumbodho, Sugandi, Sumbhono, dan EM Achir yang merupakan anggota termuda. Saat bergabung dengan Detasemen Pelopor, EM Achir masih duduk di kelas satu SMP. Ketika tentara Inggris menyerang markas Polisi Tentara di Jalan Waringin, EM Achir dan Cik Yan bertahan di belakang barikade Gang Simcong. Mereka diberondong tembakan tentara Gurkha. Cik Yan tertembak kepalanya sewaktu melempar granat ke kendaraan panser musuh. EM Achir berhasil membawa Cik Yan yang terluka mundur ke belakang.
KAPTEN UKAS PADMANEGARA
Malam sebelum 30 Juli 1946 Mayor Tobing dan para perwira staf mengadakan rapat koordinasi bersama para pemimpin pasukan dan membuat rencana untuk mengadakan serangan umum ke Bandung. Kapten Ukas Padmanegara dan pasukannya memilih rute jalan melalui Bihbul. Hari itu, 30 Juli 1946, Ukas berpakaian putih dan menunggang seekor kuda putih, penampilannya seperti Pangeran Diponegoro. Ternyata rute yang diambil oleh Ukas berpapasan dengan rute jalan yang diambil oleh pasukan Belanda yang berjalan memutar demi menghindari pertahanan Pelopor di Ujungberung, sehingga pertempuran pun tak dapat dihindarkan.
Pertempuran rupanya berlangsung intense. Kapten Ukas tertembak dan terluka parah, bahkan markas Batalyon Pelopor yang berada di Rancaekek terkena tembakan artileri musuh dan jatuh korban, menyebabkan Letnan Samaun kehilangan tangan kirinya. Mendengar Kapten Ukas tertembak, Rusady segera menuju Ujungberung. Lalu dengan bekal senapan mesin Hotskis dan serangkai ban peluru, dan dengan ditemani Sumitro, berlari menuju Bihbul. Tiba di posisi seberang musuh, Rusady dan Sumitro masih sempat menembaki musuh yang mengira pertempuran telah usai.
Pertempuran di Bihbul telah menyebabkan korban 12 orang luka ringan dan berat, dan 4 orang gugur yaitu Kapten Ukas, Sersan Anda, Prajurit Ganda, dan Prajurit Rochman. Semua korban diangkut ke Rancaekek, ke dapur batalyon tempat Sujoko dan PMI berada. Para perawat bergerak secepatnya. Tubuh Prajurit Rochman, dari Pasukan Pengintai Depan (Seko), yang ditemukan di pinggir jalan Sindanglaya memperlihatkan bekas siksaan sebelum akhirnya dibunuh. Mereka yang gugur dimakamkan di bawah pohon-pohon bambu di Rancaekek, pada sisi kanan jalur jalan menuju Majalaya. Setelah wafatnya Kapten Ukas, pemimpin Kompi I dipegang oleh Kapten Rusady.
Kapten Ukas cukup ganteng dan mudah bergaul dengan gadis-gadis di Jalan Raden Dewi. Ia sebenarnya memiliki kekasih bernama Sri Dewati yang sedang berada di Pangalengan. Di Rancaekek ia berpacaran dengan Zus Onnah anggota Palang Merah KRIS. Onnah yang sangat mencintainya menangis tersedu-sedu ketika melayat ke RS Cicalengka.
Kemudian menjadi masalah juga, siapa yang akan mengabarkan berita ini kepada Sri Dewati, pacarnya di Pangalengan? Pilihan kembali kepada jatuh kepada Rusady yang kebetulan juga mengenalnya. Berangkatlah mereka dengan Black Spider ke Pangalengan dan tiba di rumah Sri setelah hari mulai malam. Sambutan Sri yang awalnya begitu gembira melihat para pejuang, berubah menjadi tangisan keras setelah mendapatkan jawaban tentang kabar Ukas.
Ayah Sri keluar dari dalam dengan penuh kecurigaan mencari tahu apa yang terjadi. Di luar hujan tak juga berhenti, angin dingin Pangalengan sangat menusuk. Malam itu mereka hanya tidur di lantai ruang depan dengan pakaian basa kuyup. Tak ada minuman hangat ditawarkan, hanya sikap dingin ayah Sri saja yang mereka terima.
WEHRKREISE III
Menghadapi Agresi Militer I Belanda pada bulan Juli-Agustus 1947, militer Indonesia membentuk kantong-kantong pertahanan gerilya yang disebut Wehrkreise, termasuk wilayah Jawa Barat yang dibagi ke dalam tiga Wehrkreise. Batalyon 33 pimpinan Simon Tobing , sekaligus menjadi Komandan sektor Jakarta Timur-Tengah, yang sebelumnya bertugas mempertahankan jalur Tambun-Bekasi sempat bergabung dengan Wehrkreise III pimpinan Sutoko dengan wilayah operasional di daerah Tasikmalaya-Ciamis.
Pasukan-pasukan ini tak punya kesempatan istirahat setelah menempuh perjalanan dari pinggiran Jakarta melalui gunung-gunung menyelinap di antara patroli tentara Belanda sampai ke ujung tenggara Jawa Barat. Simon Tobing langsung memimpin pasukan untuk mengamankan jalur Tasikmalaya-Singaparna, sementara Sutoko fokus di antara Tasikmalaya-Banjar. Saat itu musuh berhasil merebut Jembatan Cirahong antara Manonjaya-Ciamis dan hampir saja diledakkan oleh pasukan kita andai memiliki bahan peledak yang memadai.
DI/TII
Pembentukan Wehrkreise III di Priangan Timur dipimpin oleh Letkol Sutoko sebagai komandannya. Proses ini melibatkan juga Mayor Utara sebagai Pewira Teritorial Brigade XIV atau Brigade C yang sebelumnya sudah menjadi Komandan Resimen Perjuangan. Sebagai upaya koordinasi dengan seluruh potensi perjuangan di wilayah tersebut, Mayor Utarya juga berusaha menemui kelompok DI/TII.
Dengan kawalan Kompi Kadar Solihat, Mayor Utarya berangkat dari Kampung Cijurai, Ciamis Selatan, menuju lokasi keberadaan pemimpin DI/TII, Kartosuwiryo, di Tasikmalaya. Mula-mula mereka ke Kampung Cibungur dan menginap di situ. Keesokan harinya mereka tiba di Cipanganten dan menemui kenyataan bahwa sudah banyak anggota Bataljon Achmad Wiranatakusumah ditawan di sana. Di sini mereka menemui Adah Jaelani untuk mendapatkan info lokasi kediaman Kartosuwiryo. Selanjutnya dengan ditemani Panglima Diivisi DI/TII, Adah Jaelani Tirtapraja, mereka menuju Cidugaleun dan Cisampang. Perjalanan sampai Cisampang ini ditempuh dalam waktu empat hari lamanya.
Di Cisampang Mayor Utarya berhasil bertemu Kartosuwiryo dan mengadakan pembicaraan yang ternyata tidak menghasilkan kesepakatan. Mayor Utarya dan pengawalnya dilucuti dan ditawan, dan sejak itu kelompok pengawal yang lain tidak pernah lagi melihat Mayor Utarya. Seminggu kemudian, salah satu anggota kelompok pengawal itu melihat peci, kacamata, dan sepatu Mayor Utarya dipakai oleh dua orang prajurit DI/TII . Dari merekalah kelompok pengawal mengetahui tentang nasib Mayor Utarya.
Mayor Utarya ditawan di sebuah rumah dalam keadaan tanpa pakaian, selain celana dalam. Setelah dua hari dua malam, Komandan Kompi I Batalyon I DI/TII. Abdul Hamid, menemui Mayor Utarya dan memerintahkan prajuritnya, Eman dan Komar, untuk membunuhnya. Semua permintaan terakhir Mayor Utarya, termasuk untuk salat tahajud, ditolak oleh Abdul Hamid. Mayor Utarya tewas dengan cara dibacok kuduknya oleh Eman dan Komar di depan lubang yang teelah disediakan sebelumnya.
Kisah ini disampaikan di sini karena berlanjut kepada Mayor Simon Lumban Tobing. Dalam perjalanan menuju basis Brigade XII di daerah Cianjur, Mayor Simon Tobing menemui kenyataan bahwa daerah Priangan Timur sudah menjadi daerah pusat DI/TII. Saat beristirahat di Cidugaleun, Adah Jaelani menemui rombongan dan meminta mereka untuk bergabung dengan DI/TII yang ditolak oleh Simon Tobing.
Kelompok Simon Tobing segera melanjutkan perjalanan dengan tujuan jalan raya utama Singaparna-Garut, kemudian menyebrang ke Kampung Cigalugur, dan bermalam di situ. Lewat tengah malam tiba-tiba terdengar ada teriakan, “Belanda!” “Belanda!” yang membuat rombongan ini buyar dan terpencar menyelamatkan diri. Diketahui Mayor Simon Tobing malam itu keluar melalui pintu depan bersama dua orang pengawalnya. Saat anggota rombongan dapat berkumpul kembali pada siang harinya, ternyata Mayor Simon Tobing tidak ada … Bahkan sampai rombongan tiba di Cianjur, juga lama setelahnya, masih belum ada kabar tentang keberadaan Mayor Simon Tobing.
Pada akhir 1950, ketika dilakukan pencarian kembali oleh mantan komandan-komandan bawahan Mayor Tobing, mereka bertemu seseorang yang mengatakan mengetahui di mana Mayor Tobing bersama dua pengawalnya, Iskandar dan Ujang, dikuburkan dalam satu lubang. Saat lubang itu digali untuk dimakamkan kembali di Kota Bandung, ternyata ketiga jenazah itu tidak berkepala.
Buku Siliwangi dari Masa ke Masa tidak menyebutkan di mana lokasi lubang tempat Mayor Tobing dikuburkan itu, sedangkan buku Tiada Berita dari Bandung Timur menyebutkan bahwa Mayor Simon Lumban Tobing gugur di Cigalontang, Tasikmalaya, saat menghadapi DI/TII. Pemakaman kembali jenazah Simon Lumban Tobing dan para pengawalnya itu dilakukan di Taman Makam Pahlwan Cikutra. ***
Leave a Reply