Oleh: Komunitas Aleut
CIBATU
Mashudi dilahirkan di Cibatu, Garut, pada 11 September 1919, sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara. Orang tuanya, pasangan Otjin Karnesih dan Masdan Nataatmadja berasal dari Tasikmalaya yang datang ke Cibatu untuk berdagang. Bila diurut ke atas lagi, kakek dari ayah dan ibunya adalah adik-kakak, putra dari Uyut Sar’an. Saudagar batik dari Pekalongan yang menjadi pengusaha sukses di Tasikmalaya. Kerabat dari orang tuanya banyak yang tinggal di Kota Garut, umumnya menjadi pedagang yang cukup berhasil, seperti Haji Abdullah dan Haji Djamhari.
Dengan bantuan seorang kontroleur Van den Berg, Mashudi dan saudara-saudaranya dapat bersekolah di Christeijke Hollandsch Inlandsche School di Kota Garut. Perjalanan bersekolah dari Cibatu ke Garut setiap hari ditempuh pergi pulang dengan menggunakan kereta api.

HIS DAN MULO DI TASIKMALAYA
Ketika sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP) milik Paguyuban Pasundan dibuka di Tasikmalaya tahun 1927, orang tua Mashudi memutuskan pindah ke Tasikmalaya agar anak-anaknya dapat bersekolah di sana. Mashudi yang masih di tingkat dasar pindah ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Jalan Kebontiwu, tak jauh dari rumah besar keluarganya di Jalan Gunungladu (sekarang Jalan Yudanegara). Rumah mereka berhadapan dengan kolam renang Gunung Singa.
Ayah Mashudi melanjutkan usaha di bidang perikanan dan pertanian, sedangkan ibunya, yang biasa dipanggil Eneh, membantu dengan berdagang batik dan perhiasan buatan toko De Concurrent di Jalan Braga, Bandung.
Orang tuanya memiliki sepasang sapi perah yang susunya dikonsumsi oleh keluarga, dan bila berlebih, dijual ke apotek atau toko di Jalan Cihideung. Mashudi yang kebagian tugas untuk menggembalakan sapi dan mengantarkan penjualan susu ke toko.
Mashudi mulai mengenal semangat kebangsaan sejak masih sekolah HIS. Seorang gurunya yang kemudian menjadi kepala sekolah, Meneer Atmodipuro, merintis berdirinya KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), yang menggunakan lambang bendera merah putih. Mereka biasa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu KBI yang digubah oleh WR Supratman.
Dalam setiap upacara, mereka menaikkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mashudi aktif dalam kepanduan, dan selalu menjadi pemimpin regu. Seringkali mereka berlatih sambil di kemping di Gunung Galunggung atau Gunung Sawal.
Lulus HIS, Mashudi masuk ke MULO Pasundan yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumah. Kelak, banyak alumnus sekolah ini yang namanya dikenal secara nasional, seperti Thoyib Hadiwijaya yang menjadi menteri selama 13 tahun, Edi Martadinata (KSAL), Umar Wirahadikusumah (Wapres RI), Solihin GP (Gubernur Jabar), dan Dody Tisna Amidjaja (Dirjen Perguruan Tinggi).
Lulus dari MULO, Mashudi melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Yogyakarta. Minat pendidikan dan literasi dalam keluarga ini memang cukup kuat. Ketika di Cibatu mereka berlangganan surat kabar Bintang Timur yang dikelola oleh Parada Harahap dan De Comentaren yang dikelola oleh Sam Ratulangi. Di Tasikmalaya, ditambah lagi dengan langganann koran AID (Algemeene Indische Dagblad). Kakaknya, Bandi, berlangganan Popular Mechanic, terbitan Amerika.

AMS DI YOGYAKARTA
Mashudi pun berangkat bersama beberapa rekannya, termasuk Sugondo, yang akan melanjutkan pendidikan ke AMS. Di Yogya mereka tinggal di rumah kakak Sugondo, Mimi Wijanarko, di Jalan Sosrowijayan 80. Ibu Mimi masih keturunan menak Pasundan, kakaknya adalah Wedana Tegallega, Bendung, sehingga mereka mudah akrab. Di rumah itu, Mashudi bersama Saleh Sutisna Senjaya dan Hanafi, menempati garasi yang diubah menjadi kamar. Bila musim libur panjang, anak-anak Sunda ngumbara dari Yogyakarta biasa pulang naik kereta api, lalu satu per satu turun di kotanya, mulai dari Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Bandung, bahkan Jakarta.
THS DAN GANG SITIMUNIGAR, BANDUNG
Lulus AMS tahun 1941, Mashudi melanjutkan pendidikan tingginya di THS (ITB) Bandung. Ia tinggal bersama kakaknya, Bandi, yang sudah punya rumah sendiri di Jalan Siti Munigar. Kakaknya adalah seorang aanemer yang hidupnya sudah berkecukupan. Ia yang memborong pembangunan rumah-rumah di daerah Cihaurgeulis. Kang Udi, kakaknya satu lagi yang juga tinggal bersama, adalah pegawai Dinas Koperasi Bandung.

Di THS Mashudi aktif dalam organisasi USI yang menjadi wadah untuk memperluas wawasan dan membangun semangat nasionalisme anggotanya. Sesepuh organisasi ini antara lain, Oto Iskandar di Nata (tokoh Paguyuban Pasundan), Gondokusumo (kelak menjadi mertua AH Nasution), dan Dr. Erwin. Salah satu anggota kebanggaan organisasi ini adalah Djatikusumo, anak Susuhunan Keraton Solo. Setiap Sabtu malam mereka berkumpul di Gedung Mardiharjo di Jalan Pangeran Sumedang (sekarang Jalan Oto Iskandar di Nata).
Kegiatan tambahan lainnya adalah dengan mengikuti perkumpulan bola keranjang Trisula yang menjadi bagian dari JOP (Jeugd Organisatie Pasoendan). Kadang-kadang ada pertandingan di Kebonkalapa. Kang Bandi dan Kang Udi biasa bermain tenis di Gang Asmi. Untuk kegiatan berenang, biasa dilakukan di kolam renang Cihampelas.
INHEEMSCHE MILITIE
Menjelang kedatangan Jepang, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan Inheemsche Militie, yaitu kewajiban bela negara bagi kalangan asli Hindia Belanda atau pribumi. Di Bandung didirikan KMA (Koninklijke Militaire Academie), lalu ada CORO (Corps Opleiding voor Reserve Officieren). Keduanya untuk tenaga-tenaga lulusan sekolah menengah atas dan mahasiswa. Ada pula LBD (Lucht Bescherming Dienst), lembaga pembantu bidang pertahanan yang dipimpin oleh Oto Iskandar di Nata dengan kantor menumpang di kantor koran Sipatahoenan di Jalan Dalem Kaum. Mashudi masuk kelompok yang terakhir ini dan mengikuti latihan-latihan pertahanan serta memadamkan kebakaran dan menolong korban.
ZAMAN JEPANG
Kedatangan Jepang sudah tak terbendung dan akhirnya menduduki wilayah Hindia Belanda. Pesawat radio untuk umum dipasang di mana-mana, dan selalu terdengar propaganda: Asia untuk Asia, Amerika disetrika, Inggris dilinggis, dan seterusnya. Kampus THS ditutup sementara waktu. Banyak mahasiswa yang kembali ke daerahnya masing-masing. Ketika kemudian THS dibuka lagi, ternyata mahasiswa lama tidak diterima kembali. Sebagian dari mereka berusaha survive dengan menjalankan usaha, seperti yang dilakukan di Jalan Kebon Cau I.
Mashudi membuka warung JOP di Jalan Pungkur sambil membuat sabun untuk dijual di rumah Jalan Siti Munigar. Rekan-rekan lainnya ada yang berjualan buku dan membuat rokok dengan merek Gayanti. Usaha di Kebon Cau kemudian memanfaatkan peluang berjualan kayu bakar dengan mengelola para pengusaha kayu bakar yang ada. Saat itu kebutuhan kayu bakar cukup tinggi, misalnya untuk kebutuhan di kamp interniran di Cihapit yang menampung 20-30 ribu orang, atau untuk pembakaran kapur dan bata.
Untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar, Mashudi yang sudah memimpin usaha di Kebon Cau, harus mondar mandir Sasaksaat, Maswati, Plered, Cianjur, Cibeber, Gombong, bahkan sampai ke Bogor. Ke arah timur, bisa sampai ke Banjar. Dalam satu hari bisa diangkut 10-15 gerbong bahan kayu bakar yang didapat dari bongkaran kebun-kebun karet, teh, atau jenis kayu gunung lainnya. Bongkar muatan biasa dilakukan di Stasiun Ciroyom.

SEINENDAN ASTANAANYAR
Jepang kemudian mengaktifkan para pemuda, salah satunya dalam organisasi semi militer yang disebut Seinendan (Barisan Pemuda) yang baru dibentuk pada 29 April 1943. Pada tanggal yang sama dibentuk pula Keibodan (Organisasi Kemanan) di bawah kendali departemen kepolisian, jadi berbeda dengan Seinendan yang lebih mirip kepanduan dan berada di bawah kendali Kantor Pengajaran Departemen Dalam Negeri. Salah satu instruktur untuk Seinendan dan Keibodan ini adalah Nasution yang kelak mengatakan bahwa latihan dalam kedua organisasi ini lebih berat dibanding latihan militer pada zaman Belanda.
Mashudi pun harus masuk Seinendan, dan kemudian bertugas menjadi pemimpin Seinendan Desa Astanaanyar yang sering berlatih di lapangan Tegallega. Selain Mashudi, ada Sarbini yang memimpin Seinendan di Regol, Syafrudin Prawiranegara di Lengkong, SM Thaher di Andir, Suwahyo dan Suprayogi di Cicendo, Sudiani di Bandung Kulon, Enjoh dan Kadma di Cibeunying, dst.
Semakin hari keadaan rakyat makin susah. Tenaga diperas untuk berbagai tugas wajib, bahkan mereka yang punya harta diwajibkan memberikan perhiasan atau emasnya kepada Jepang dengan dalih untuk kepentingan perang suci Asia Timur Raya. Banyak gadis pribumi yang diseret paksa ke sarang-sarang pelacuran dan menjadi penghibur tentara Jepang. Di Bandung, banyak rumah-rumah hiburan seperti itu, seperti di daerah Wastukancana, ada rumah-rumah bordil dengan pagar bambu setinggi dua meteran.
Dengan dalih cinta tanah air, melalui Gatot Mangkupraja dan Oto Iskandar di Nata, pemerintah Jepang membentuk PETA (tentara Pembela Tanah Air). Untuk komandan batalyonnya dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat. Bagi Mashudi, pembentukan PETA ini hanya siasat Jepang saja untuk mengelabui bangsa Indonesia. Rencananya, para prajurit PETA ini akan digunakan Jepang untuk membantu mereka menghadapi musuh-musuhnya. Segi positifnya, banyak prajurit PETA yang memanfaatkan kesempatan bergabungnya untuk melatih kemampuan diri sendiri.
KABAR PROKLAMASI
Tanggal 16 Agustus 1945, Mashudi sedang berada di Jakarta untuk suatu urusan. Keesokan siangnya ia mendengar kabar tentang proklamasi kemerdekaan. Sorenya Mashudi pergi ke asrama mahasiswa Ika Daigaku di Prapatan untuk memastikan berita itu, lalu malamnya kembali ke Bandung. Keesokan harinya Mashudi menghubungi rekan-rekan sekelompok Kebon Cau, lalu mengadakan pertemuan di rumah Nasution di Gedung Bumi Putera di Jalan Lengkong Besar. Hasil pertemuan itu di antaranya, usulan kepada pemerintah untuk membentuk Front Nasional dan Tentara Nasional.
Setelah sahur bersama, Mashudi dan Nasution bersepeda menuju rumah Daindacho (Komandan Batalyon) Aruji Kartawinata di Cimahi. Tetapi rupanya Aruji berbeda pendapat dan mengatakan bahwa siang itu juga daidan akan dilengkapi persenjataannya. Setelah tidak berhasil meyakinkan Aruji, mereka pergi ke Daidancho Ilyas di Jalan Pasirkaliki. Ternyata di sini daidan sedang dilucuti. Putuslah harapan untuk mempunyai kekuatan bersenjata.
Ketika bertemu dengan Cudancho Sukanda Bratamanggala yang cudannya ditempatkan di Lembang, mereka menyampaikan gagasan yang sama, dan mendapatkan kesepakatan. Sebagai langkah awal, menyusun gerakan pemuda kantoran dalam bentuk Persatuan Pemuda Kantoran dan Pelajar. Lalu diadakan pertemuan di Gedong Setan (Loji St. Jan) di Wastukancana dan di kantor Asia Raya di Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Lembong) yang dipimpin oleh Suprapto yang menyediakan beberapa ruangan untuk mereka gunakan.
Tanggal 19 Agustus 1945, Mashudi dan beberapa rekannya mendatangi studio radio Hosokyoku di Tegallega dan merebut acara siaran dari orang Jepang. Ketika akan memutar lagu Indonesia Raya, ternyata piringan hitamnya tidak dapat ditemukan. Lalu dikumpulkanlah siswa-siswa sekolah di sekitar Tegallega dan diminta menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan corong radio sambil membawa bambu runcing.
Selanjutnya mereka mengerahkan mahasiswa dan mereka yang bisa berbahasa Inggris, antara lain, Artati Sudirjo, Imran, Tike, Mutirah, dan Ilen, untuk menyiarkan proklamasi ke seluruh dunia melalui siaran internasional yang pemancarnya terletak di Oude Hospitaalweg.
SITUASI DI BANDUNG
Pada pertengahan Oktober 1945, datanglah pasukan Inggris dari Brigade MacDonald, Divisi India ke-23, yang di dalamnya ada pula pasukan India dan Gurkha. Mereka menempuh rute Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Bandung. Dalam perjalanannya banyak pengadangan dilakukan oleh pamuda Indonesia yang tergabung dalam laskar-laskar, sehingga terjadi beberapa pertempuran seperti di Sukabumi. Kedatangan pasukan Inggris itu ternyata disusupi oleh pasukan NICA Belanda.
Situasi di kota Bandung berkembang menjadi intense. Tindakan kekerasan dan keganasan tentara Jepang di bawah komando Sekutu semakin memperburuk situasi. Pasukan-pasukan BKR bersembunyi di sana-sini, sementar rakyat membantu dengan menyediakan dapur-dapur umum, termasuk di rumah kakak Mashudi di Siti Munigar. Kakak tertuanya, Ceu Apipah, mengatur kelompok puteri untuk memasak makanan dan kemudian dibagikan ke anggota pasukan perjuangan yang tersebar di sektarnya, seperti di markas Kebon Cau dan di Regentsweg (Jalan Dewi Sartika).
Mashudi yang banyak bergerak dalam organisasi kepemudaan kemudian menjadi pemimpin Persatuan Pemuda Kantoran dan Pelajar yang berubah namanya menjadi Pemuda Republik Indonesia dengan kantornya di gedung Chiyoda di Groote Postweg. Ketika Wikana menginisiasi berdirinya organisasi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), PRI ikut bergabung dengan pandangan bahwa gerakannya akan meningkat ke tahap nasional.
Musyawarah nasional Pesindo yang pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada awal bulan November 1945. Mashudi menghadirinya sebagai wakil Bandung. Saat acara masih berlangsung, di Surabaya terjadi peristiwa 10 November yang menambah semangat para pemuda untuk melakukan perjuangan melawan Sekutu.
Setelah kembali ke Bandung, Pesindo membentuk dua batalyon, masing-masing dengan kekuatan 300-400 orang. Batalyon Tobing bermarkas di Regentsweg dan Batalyon Sudarman bermarkas di Sukamiskin. Pesindo Bandung diketuai oleh Sutoko dengan wakil Mashudi dan Soedjono. Dalam jajaran kepemimpinan ada Maskun, Memed, Suhendro, Hadidjah, Safiun, Sugeng, dan Soerjono (Pak Kasur).
Di Bandung ada banyak sekali organisasi perjuangan, termasuk Hizbullah, Pasukan Istimewa, API, Barisan Merah Putih, Barisan Banteng, Barisan Pelopor, KRIS, dll. Tidak semua organisasi itu dapat berkoordinasi dengan baik. Misalnya pasukan API yang kekiri-kirian dan bersikap ekstrim. Mereka pernah menutup wilayahnya, termasuk bagi tentara. Setelah terjadinya peristiwa Pertempuran Lengkong yang menyerbu dan menduduki markas API, organisasi ini pun dibubarkan. Selain itu ada Polisi Tentara di bawah pimpinan Rukana yang seolah punya kewenangan sendiri dan tidak ada koordinasi dengan tentara. Mereka itu semestinya menjadi polisi, tetapi akhirnya menjadi pasukan tempur.
Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok perjuangan ini bekerja sama melalui Majelis Dewan Perjuangan Priangan yang dipimpin oleh Kolonel Sutoko.Setiap kelompok menjadi batalyon, jadi ada Batalyon Tobing dan Batalyon Sudarman di bawah Pesindo, lalu ada Batalyon Hisbullah, Batalyon Pelupessy, Batalyon Pemberontak, Batalyon KRIS, Batalyon Pim, Batalyon Merah Putih, dan Batalyon Banteng, yang semuanya berkoordinasi dengan Divisi Siliwangi di bawah pimpinan Mayjen A. H. Nasution.
KE MAJALAYA
Setelah terjadi pertempuran 10 November di Surabaya, keadaan di Kota Bandung mengalami banyak perubahan, terutama dengan banyaknya terjadi pertempuran antara pejuang dengan tentara Sekutu dan NICA. Pada 27 November Sekutu mengeluarkan ultimatum agar daerah Bandung Utara dikosongkan, penduduknya harus menyingkir jauh ke utara atau selatan, dan disusul dengan pembuatan garis demarkasi mengikuti jalur kereta api yang memisahkan wilayah Bandung Utara dan Selatan.
Kantor pemerintahan pun ikut menyingkir, Kantor Keresidenan pindah ke Garut, sedangkan Kantor Gubernuran pindah ke Tasikmalaya. Rumah dan gedung di daerah yang sudah kosong ini banyak dijarah oleh pihak NICA dan KNIL yang baru keluar dari interniran. Sementara itu, kekuatan Sekutu pun bertambah kuat dengan kedatangan pasukan Divisi 7 December yang terdiri dari satu brigade dengan angkatan udara.
Menjalang akhir ultimatum, pihak perjuangan di Bandung mengambil keputusan untuk meninggalkan Kota Bandung sambil melakukan bumi hangus dengan tujuan dapat mengisolasi pihak Sekutu. Pada tanggal 24 Maret 1946, berbondong-bondong rakyat pergi ke luar kota Bandung. Dalam buku biografinya, Mashudi menyebutkan bahwa pada mulanya penduduk keturunan asing yang jumlahnya sekitar 20 ribu orang bersedia ikut mengungsi, namun mungkin karena pertimbangan tertentu, mereka kemudian memilih tetap tinggal di Bandung.
Markas dan dapur umum di Keboncau I dan Gang Siti Munigar ikut diungsikan ke Manggahang, Ciparay, dan Majalaya. Mashudi menyiapkan bekal satu tas pakaian, kemudian dengan truk pinjaman dari kakaknya, Kang Bandi, bersama beberapa anggota pasukan Pesindo berangkat ke Rancaekek untuk mengamankan stasiun pemancar dan pada tengah malam sudah berhasil mengangkut peralatan utamanya ke Ciparay, lalu diserahkan kepada Djumhana yang ketika itu menjabat Kepala Penerangan Jawa Barat. Tak lama kemudian RRI sudah dapat mengudara kembali.
Di Majalaya, Mashudi menempati pabrik tenun yang sudah kosong. Sementara Pak Sudjono, Ketua Pesindo, bermarkas di salah satu gedung PTG di kota Garut. Di Majalaya, Mashudi, Pak Kasur, dll, bertugas melayani kebutuhan organisasi dan mengurus para pengungsi serta tim Palang Merah. Warga Majalaya, seperti Keluarga Amongpraja, turut membantu dengan menyediakan kebutuhan makanan.
PENDIRIAN BNI 46
Sebagai anggota KNI Priangan, Mashudi mendapat kepercayaan menjadi anggota Dewan Pertahanan Daerah (DPD) untuk bidang ekonomi, dan karena itu jadi sering bolak-balik ke Garut dan menginap di rumah neneknya, Ma Emin, di Ciwalen. Paman Mashudi di Garut, Rachmat Effendi, juga aktif dalam pergerakan, di antaranya di Syarikat Islam bersama Abdul Muis.
Dewan Pertahanan Daerah ini diketuai oleh Residen Ardiwinangun dengan wakil Hidayat Martaatmaja. Sebagai sekretaris adalah Djerman Prawiradinata dan anggotanya, Kartosuwiryo, Datuk Pamuncak, serta Mashudi. Sesuai dengan bidang yang ditanganinya, Mashudi mengusahakan agar pemerintah RI memiliki uang sendiri menggantikan uang Jepang. Mashudi membantu dengan mengirimkan hasil tambang emas Cikotok, kertas Padalarang, dan persediaan cat ke Yogyakarta.
Suatu waktu, Margono Djojohadikusumo datang ke Garut dan membicarakan kemungkinan pembukaan cabang Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi RI. Mashudi diminta untuk melakukan persiapan sekaligus ditunjuk sebagai pemimpin cabang BNI untuk daerah Priangan.
Setelah pada bulan Juli 1946 kantor Pesindo di gedung milik PTG dijadikan gedung Bank Negara Indonesia (kemudian jadi BNI 46) maka tugas pertamanya adalah mengambil uang rupiah pertama dari Yogyakarta. Uang dalam peti-peti sederhana sebanyak satu gerbong dibawa dan tiba dengan selamat di Garut. Dalam waktu dua hari dilakukan penukaran uang Jepang dengan uang ORI melalui bank, kantor pos, dan kantor pegadaian. Uang-uang Jepang yang terkumpul kemudian dihancurkan.
Selain uang ORI, di beberapa daerah lain beredar juga uang yang berbeda, karena ada daerah yang sudah mengedarkan uang mereka sendiri, seperti di Banten dan beberapa provinsi di Sumatra. Setelah KMB di Den Haag, yang berlaku hanya uang merah yang dikeluarkan oleh Javasche Bank.
MENJADI BAGIAN DIVISI SILIWANGI
Pada masa ini Mashudi yang aktif dalam berbagai organisasi, berusaha membagi-bagi tugasnya, seperti pengurusan BNI yang dipercayakan kepada tiga orang stafnya, sementara ia harus mengikuti Batalyon Sudarman yang menyingkir ke daerah perkebunan Banjarwangi, dekat Cikajang. Perjalanannya ditempuh dari Bojongloa, melewati Gunung Cikuray. Saat itu Panglima Siliwangi, A. H. Nasution dengan stafnya sedang berada di Banjarwangi menyusun strategi. Ketika itulah Mashudi diminta untuk mewakili Suprayogi mengadakan hubungan dengan pasukan Kolonel Hidayat yang berkedudukan di Cigorowong, Ciawi. Mashudi diberi pangkat kapten dan sejak itu resmi pula menjadi anggota staf Divisi Siliwangi.
Tugas lain sebagai anggota KNI dan DPD tetap dijalankan dengan melakukan koordinasi pemerintahan dengan Sanusi Harjadinata di Cinta, Gunung Talagabodas, dan Residen Ardiwinangun di Ciamis. Salah satu tugas keliling yang dijalankan Mashudi adalah mendatangi pemimpin Recomba (Regeringscommissaris voor Bestuursaangelegenheden, pemerintahan darurat bentukan Van Mook), Hilman Djajadiningrat, dan membujuknya untuk memihak kepada RI. Mashudi memasuki Bandung bersama seorang kawannya yang masih punya hubungan keluarga dengan Alketeri yang tetap berada di Bandung dan memihak Belanda. Hilman tetap pada pendiriannya dan yakin akan kebenaran pihak Belanda. Malam itu juga Mashudi kembali ke pangkalannya dengan menempuh jalan Majalaya, Cijapati, Leles, sampai Cinta.
Perjanjian Renville yang berlangsung antara 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas kapal USS Renville memutuskan, antara lain, pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wilayah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra, pemisahan wilayah RIS dan Belanda dengan garis demarkasi (garis Van Mook), serta penarikan mundur TNI dari Jawa Barat dan TImur ke Yogyakarta.

Menghadapi keputusan itu, pemerintahan Jawa Barat mengadakan pertemuan di Tawangbanteng, Tasikmalaya, untuk membahas nasib pegawai sipil yang jumlahnya mencapai 60 ribu orang. Diputuskan juga untuk mengadakan perundingan dengan pihak Recomba. Sebuah delegasi dibentuk, terdiri dari Residen Ardiwinangun, Sekretaris Gubernur R. Enoch, Walikota Bandung Ukar Bratakusumah, Bupati Tasikmalaya R. Sunarya, dan Mashudi mewakili KNI Priangan dan DPD.
Delegasi ini berangkat ke Bandung menggunakan pesawat Dakota yang disiapkan Belanda dari lapangan terbang Cibeureum. Setiba di Bandung, delegasi ditempatkan di Verlof Centrum. Keesokan harinya mereka diterima oleh Residen Priangan versi Belanda, yaitu Van der Harst, yang ternyata meminta agar seluruh aparat mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda, atau dengan kata lain, menyerah. Merasa gagal di Bandung, sebagian anggota delegasi, yaitu Ukar, Enoch, dan Mashudi berangkat ke Jakarta untuk menemui delegasi Indonesia. Ukar dan Enoch naik kereta api, sedangkan Mashudi menggunakan kendaraan umum.
Setiba di Jakarta, Mashudi yang terpisah bertemu dengan Kolonel Hidayat mendapat informasi bahwa Ukar dan Enoch ditangkap di stasiun Manggarai dan ditahan di Tangerang. Di Bandung, Residen Ardiwinangun juga ditangkap dan dibawa ke Tangerang. R. Sunarya tidak ditangkap karena bersedia bekerja sama dengan Belanda dan diangkat sebagai bupati versi Recomba.
Selain itu, Kolonel Sutoko, Mayor Soegih Arto dan Mayor Djoehro, juga ditangkap dan ditahan di Kebonwaru. Mashudi sementara bertahan di rumah kakek anak buahnya, Hasan Basri, di Gang Kingkit. Ketika keberadaan Mashudi di Gang Kingkit mulai tercium Belanda, ia memutuskan pergi ke Yogyakarta menggunakan kereta api sampai Purwokerto, dilanjut dengan kendaraan temannya sampai Wonosobo. Setelah itu, dengan bantuan Batalyon Sudarman, berhasil sampai ke Yogyakarta.
LONG MARCH KEMBALI KE JAWA BARAT
Pada pagi hari 19 Desember 1948, Belanda melakukan serangan blitzkrieg yang sering disebut dengan banyak nama: Agresi Militer II, Aksi Polisionil II, atau Operasi Kraai, terhadap ibu kota di Yogyakarta. Pasukan Belanda dengan cepat menduduki lapangan terbang Maguwo dan langsung bergerak menuju Istana Negara. Presiden mengirim telegram kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan melanjutkan pemerintahan. Sukarno, Sjahrir, Agus Salim, diasingkan ke Brastagi, Sumatra Utara. Sementara Hatta, Soerjadarma, Assaat, Ali Sastroamidjojo, Mohammad Roem, dan Pringgodigdo diasingkan ke Bukit Menumbing, Muntok, Bangka.
Sudirman yang memutuskan untuk tetap bergerilya menyusun strategi Wehrkreise. Serentak tiga brigade dan 14 batalyon beserta seluruh keluarganya bergerak kembali menuju Jawa Barat, menembus perbatasan yang dijaga oleh pasukan Belanda, sementara di Jawa Barat, sudah berdiri Negara Pasundan dan NII yang dibentuk oleh Kartosuwiryo bersama pasukan DI/TII-nya.
Mashudi yang kembali ke Jawa Barat bersama Harlan Bekti menggunakan pesawat ke Semarang, lalu dengan kereta api ke Bandung, kemudian bergabung dengan pasukan Siliwangi di Buahdua, Sumedang. Ketika markas Siliwangi kembali ke Bandung, Mashudi pun ikut kembali ke Gang Siti Munigar, sementara saudara-saudaranya masih bertahan di Tasikmalaya dengan mengontrak rumah karena rumah milik mereka telah diduduki oleh tentara Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan RIS sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar, rumah keluarga Mashudi di Tasikmalaya diambil alih oleh Korps Perhubungan TNI. Setelah itu keadaan tidak lantas menjadi aman, karena ada gerakan Angkatan Perang Ratu Adil pimpinan Raymond Westerling yang ingin menggulingkan pemerintahan RIS.
Ketika pasukan Westerling menyerbu Kota Bandung dengan kekuatan tiga kompi, Mashudi bersama dengan Letkol Sutoko dan Mayor Ben Saragih sedang berada di Staf Kwartir Siliwangi di Oude Hospitaalweg.Terjadi baku tembak di Staf Kwartir dan mengakibatkan beberapa anggota TNI tertembak, termasuk Letkol Lembong yang akan bertamu ke Siliwangi. Karena kekuatan tidak berimbang, Mashudi berinisiatif mengundurkan diri lewat tembok belakang, diiukuti Sutoko dan Ben Saragih.
Mashudi memasuki sebuah rumah yang dihuni oleh orang Tionghoa, meminjam pakaian sipil untuk mengganti seragamnya, dan beranjak keluar. Ia masih melihat Westerling sedang mengendarai panser di Simpang Lima. Mashudi lalu memutuskan langsung pergi ke Cirebon untuk meminta bantuan pasukan Komandan KMDI Letkol Rukman. Malam itu juga diputuskan Kompi Machmud Pahsya yang akan bergerak. Keesokan harinya, Mashudi dan Kompi Pahsya berangkat ke Wanayasa untuk melapor kepada Kolonel Sadikin. Diusulkan pula untuk mengultimatum Panglima Divisi 7 December, Jendral Engels, agar tidak tentara Belanda tidak ikut campur dalam persoalan dalam negeri RI, atau tidak ada jaminan keselamatan bagi warga Belanda yang tinggal di Kota Bandung yang jumlahnya hampir 20 ribu orang. Untuk memperkuat tuntutan itu, pemerintah pusat mengirimkan kompi-kompi dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya, Jawa Timur, melalui udara.
Sepasukan APRA yang berangkat dari Cililin menuju Jakarta dapat dicegat dan dihancurkan oleh Batayon Soetojo di Cianjur. Namun dengan bantuan Belanda, Westerling berhasil kabur ke Singapura, dan selanjutnya ke Belanda. Setelah itu, Jawa Barat kembali menjadi provinsi Republik Indonesia dengan gubernurnya, Sewaka. Ketika Sewaka diangkat menjadi Mentri Pertahanan pada 1953, penggantinya adalah Sanusi Hardjadinata, yang kemudian menjadi Mentri Dalam Negri pada 1956, dan jabatan gubernur Jawa Barat dijalankan oleh Ipik Gandamana.
Sekian dulu kisah tentang Mashudi. ***
0 Comments
1 Pingback