Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Suara keyboard terdengar renyah saat saya mengetikkankan “Donovan’s Greatest Hits” di kolom pencarian Youtube. Rangkaian lagu dari Donovan ini akan menemani saya menulis kisah ini dan mungkin lagu-lagu lainnya yang akan menemani para pembaca.

Ini adalah catatan perjalanan momotoran Aleut yang kali ini terasa berbeda, pasalnya tema Momotoran Malangbong-Cibugel-Margawindu amat saya nantikan. Obrolan, diskusi, dan bacaan, menjadi bekal penting agar saat berkunjung ke suatu tempat bisa menjiwai, memaknai, dan membayangkan apa yang sudah terjadi di masa lalu, dan dampaknya di masa depan.

Tepat pukul delapan pagi di Hari Minggu dari Sekretariat Komunitas Aleut di Sri Elok, lima sepeda motor memacu kendaraannya ke arah timur. Langit biru dengan sedikit awan serta panas sinar matahari menemani perjalanan ini. Keadaan jalanan penuh debu dan sesekali kerikil kecil masuk ke mata, menyelusup melewati helm dan kaca mata.

Saat itu jalanan provinsi yang kami lewati sangat lengang. Beberapa perubahan kondisi lingkungan sangat terasa, khususnya di sekitar Cileunyi-Cicalengka. Maklum, ada jalur tol baru ke arah Sumedang yang nantinya akan dibangun juga jalur tol ke arah selatan. Jalanan ini sudah sering saya lalui, dari kecil saya terbiasa melakukan perjalanan dari Bandung ke arah selatan untuk berkunjung ke kampungnya Bapak. Jadi saya dapat merasakan perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.

Nagreg-Limbangan-Lewo dilalui dengan was-was. Di jalur ini masih ada beberapa truk-truk besar yang jalannya lambat dan memaksa saya harus segera mendahului. Jika terus bermotor di belakang truk tersebut seringkali dikentuti dengan kepulan asap berbau solar dan suara bising tidak menyenangkan. Menyalip di jalur ini butuh konsentrasi penuh karena di sisi berlawanan banyak bis-bis cepat serta jalur yang berkelok-kelok dan lumayan menanjak.

Ada dua tempat yang sering saya dan keluarga jadikan tempat beristirahat. Pertama, Rumah Makan Tahu Sumedang sebelum Limbangan dan kedua, Pom Bensin yang ada air panasnya di Ciawi. Tetapi dengan Aleut ada satu tempat lain, yaitu warung di Lewo, rekomendasi seorang rekan dan sekarang dijadikan tempat langganan untuk beristirahat. Kami beristirahat di warung ini, lumayan untuk mengganjal perut kosong. Ada gorengan dengan bermacam variasi ditambah leupeut jika tidak kesiangan datangnya. Jika ingin makan berat juga ada beberapa menu makan seperti ayam goreng, timbel, dan lainnya.

Foto: @DeuisRaniarti

Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Malangbong, persisnya ke Kampung Bojong. Tak jauh dari warung tempat istirahat tadi, kami belok ke arah Desa Cibunar. Jalanan ke arah desa sedikit rusak tapi bisa dilalui dengan mudah. Di kiri-kanan jalan sawah-sawah yang telah panen terlihat berwarna putih, sangat kering, sementara batang-batang bambu pun tak mau kalah menampakkan kekeringan dan gersang.

Dari kejauhan terlihat banyak nampan jemuran, seperti menjemur kerupuk. Setelah dekat muncul aroma yang asing untuk saya, baru pertama saya mencium aroma seperti ini. Setelah bertanya pada rekan-rekan, ternyata itu adalah proses menjemur pati bubur singkong untuk proses produksi tepung tapioka. Pati tersebut ada yang berwarna putih dan pink, mungkin perbedaan warna ini disebabkan perbedaan dari bahan bakunya.

Foto: @KomunitasAleut

Setelah beberapa saat bermotor, kami sudah mengarah lurus ke gugusan Gunung Cakra Buana. Gunung tersebut tampak gagah dari kejauhan dengan beberapa puncakan terjal. Ini adalah tanda bahwa sesaat lagi kami akan sampai di Kampung Bojong. Kampung ini merupakan kampung halaman yang sering sekali bahasannya ditemui di pelosok Jawa Barat bahkan di Komunitas Aleut sendiri.

Di Kampung Bojong kami mengunjungi beberapa lokasi penting di masa lalu, termasuk sebuah kompleks makam tua di tengah lingkungan khas pedesaan. Letaknya dikelilingi oleh sawah dengan terasering pendek-pendek yang telah selesai di panen. Makam di kampung ini menggunakan batu kali sebagai penanda, di beberapa makam terdapat batu-batu panjang berbentuk seperti lingga yang berfungis sebagai padung. Tak banyak makam yang mencantumkan informasi, rata-rata hanya susunan batu kali saja tanpa tulisan apapun.

Foto: @KomunitasAleut

Dari Kampung Bojong kami meneruskan perjalanan menuju Cibugel lewat Wado, Kabupaten Sumedang. Lingkungan jalan berganti menjadi berkelok-kelok dengan tebing jurang di sisi kiri jalan. Kontur jalan menanjak dan menurun, panas matahari seperti yang tak mau kalah eksis, rasa panasnya membuat kulit seperti terbakar di siang hari. Panas ini disebabkan kawasan Bandung seminggu yang lalu sedang memasuki suhu tertinggi dengan matahari tepat di atas kepala, orang-orang menyebutnya sebagai hari tanpa bayangan.

Rekan yang berada di paling depan tiba-tiba menyalakan sennya ke arah kanan, terlihat sebuah warung sederhana dan tampak sepi. Ini adalah kode untuk kami beristirahat. Rekan tersebut bercerita bahwa warung ini merupakan langganan Aleut bila momotoran di kawasan ini. Tempatnya romantis sih, pinggir jembatan panjang dengan aliran sungai yang tak deras berhias banyak sekali batu kali. Di depannya terlihat beberapa bukit-bukit kecil berwarna kecoklatan karena kekeringan, angin menghembus sepoi-sepoi menggoyangkan pohon-pohon pisang.

Foto: @KomunitasAleut

Dengan gesit beberapa rekan memesan minuman, beberapa rekan lainnya mencoba menarik nafas, mengistirahatkan badan. Obrolan bergulir membahas pengalaman yang baru saja dilalui saat ke Kampung Bojong. Namun saat angin berhembus cukup kencang, obrolan terhenti, semuanya menikmati momen munculnya angin, biasanya disebut angin sepoi-sepoi.

Perjalanan berlanjut ke Cibugel melewati jalan menanjak Cipasang-Cisurat. Ada satu pemandangan yang jarang saya lihat, pemandangan berupa satu masjid berwarna putih yang terletak di ketinggian. Di bawah masjid tersebut terhampar terasering sawah-sawah menghijau dalam sorotan sinar matahari yang membuat warnanya menjadi keemasan. Pemandangan ini terasa spektakuler, seperti di iklan-iklan adzan magrib.

Jalur jalan Cipasang-Cisurat melewati beberapa tanjakan yang sisi kiri-kanannya adalah hutan lebat. Jalannya mulus tetapi di beberapa titik masih terdapat lubang-lubang yang membuat motor terpaksa sedikit direm. Dari sini dapat terlihat Bendungan Jatigede di kejauhan. Sepanjang jalan ke Cibugel melewati beberapa kampung kecil dengan berbagai macam garapan kebun. Sesaat sebelum masuk Cibugel terdapat jalan dengan nama Jl. Kebon Kopi. Menurut rekan Aleut, kawasan ini termasuk Perkebunan Kopi tua di Priangan, sudah ada sejak awal abad 19.

Kami pun sampai di Cibugel. Sebenarnya lokasi ini bukanlah lokasi asli Cibugel. Letak asli Cibugel lebih ke arah selatan dari lokasi ini. Lokasi yang kami kunjungi biasa disebut Juru Tilu, Cibugel. Seorang rekan sempat menanyakan cerita lokasi ini kepada pedagang yang sedang mangkal. Pedagang tersebut bercerita bahwa lokasi tersebut biasa disebut Kampung Kontrak, dan menurut seorang rekan ini mengacu kepada penamaan tempat tinggal para pegawai perkebunan. Di lokasi ini juga terdapat kisah menyedihkan terkait masa-masa awal setelah kemerdekaan.

Foto: @KomunitasAleut

Dari Cibugel perjalanan diteruskan menuju Cisoka-Citengah-Kota Sumedang, melalui Perkebunan Margawindu. Jalur ini sempat dilalui oleh rekan-rekan Komunitas Aleut pada tahun 2019 dari arah sebaliknya, yaitu Sumedang, namun tidak sampai tembus. Para pendahulu itu terhenti di satu tanjakan terakhir di Cisoka.

Cerita ini menjadi melegenda dalam obrolan di Komunitas Aleut, para pendahulu itu bercerita bahwa salah satu motor terhenti tidak bisa dinyalakan. Dari dalam mesinnya keluar semburan timah-timah korban tanjakan jahanam tersebut. Akhirnya motor tersebut distep cukup jauh sampai ke Baginda. Jalur ini sangat sulit karena berupa bebatuan tajam yang tidak melekat ke permukaan tanah. Saat motor digas rasanya seperti selalu tidak seimbang dan terasa tergelincir. Bayangkan harus menanjak dan menurun dengan kondisi seperti itu menggunakan motor matic.

Foto: @KomunitasAleut

Saat kami berjuang melewati turunan curam di puncak tertinggi Cisoka, seorang rekan Aleut terjatuh hingga dua kali saking tidak kuat menahan beban motor saat menuruni tanjakan. Setelah hampir setengah jam berjuang di jalur turunan berat itu, syukurlah, semua selamat sampai akhirnya menemukan jalan mulus kembali. Tak lama kemudian, kami sudah melihat beberapa muda-mudi sedang menikmati masanya, duduk di pinggir jalan melihat lembah-lembah Cisoka yang ditumbuhi daun-daun teh berwarna hijau. Udara di Cisoka tidak seperti di perkebunan Selatan Bandung atau Priangan yang cenderung dingin. Di Cisoka udara terasa tidak seperti sedang di kebun teh, panas euy.

Foto: @KomunitasAleut

Rekan yang sedang berada di depan barisan pun membuat kode untuk berhenti beristirahat makan siang. Warung yang telah dikunjungi di tahun 2019 menjadi tempat makan siang kami. Menunya sederhana, tahu-tempe ikan asin, nasi putih dan sambel, maklum ini merupakan permintaan mendadak kami ke pemilik warung untuk memasak bahan-bahan yang ada. Tahu dan tempe pun kami dapat dari warung di seberang, karena hanya ikan asin, nasi, dan sambel yang tersedia di warung ini.

Foto: @KomunitasAleut

Makan siang menjelang sore ini terasa nikmat sekali. Setelah dihadapkan pada jalanan brutal yang menyiksa, sekarang dihadapkan dengan makanan rumahan masakan ibu warung. Lokasi warung ini berada di tengah-tengah kebun teh Margawindu letaknya persis di kaki sebuah bukit kecil, masih di sekitar Cisoka.

Setelah perut terisi kami melanjutkan perjalanan untuk pulang kembali ke Kota Bandung tercinta. Saat mencapai Baginda kami berhenti sejenak untuk memotret Tugu 11 April. Dari Baginda sampai Kota Sumedang, kami ditemani matahari bulat penuh berwarna oranye keemasan yang perlahan turun di arah barat, memasuki pasir-pasir di sekitar Sumedang. Orang-orang menyebut keadaan ini sebagai sunset.

Foto: @DeuisRaniarti

Foto: @FikriMPamungkas

Memasuki Cadas Pangeran, perjalanan sangat lancar, hanya terlihat beberapa truk-truk besar, mungkin efek dibukanya Tol Cisumdawu satu tahun terakhir ini. Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya ketika Cadas Pangeran sering sekali macet. Sesaat masuk Tanjung Sari lalu Jatinangor rasanya sudah kembali ke hiruk pikuk kota, padat dan macet di mana-mana. Suram, semrawut, dan bising dirasakan. Keadaan ini menandakan perjalanan kali ini telah berakhir. Semoga pengalaman ini terus membekas dalam ingatan saya dan memberikan sesuatu bagi para pembaca tulisan ini. Tak terasa lagu di Youtube sudah berganti menjadi Himiko Kikuchi – A Seagull & Clouds. Sampai bertemu di lain tulisan dan lain perjalanan. Salam. ***

Foto-foto: @KomunitasAleut @DeuisRaniarti @FikriMPamungkas