Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Minggu, 9 April 2023. Komunitas Aleut mengadakan kegiatan Momotoran, kegiatan ini masih dalam rangkaian bahasan panjang seputar peristiwa Bandung Lautan Api di Komunitas Aleut.

Gedong Peteng tertutup tanah dan alang-alang. Foto: Aditya Wijaya

Gedong Peteng, Nagreg

Tujuan pertama Momotoran ini adalah sebuah benteng Belanda yang berada di atas bukit (Bukit Citiis, Kampung Paslon) di kawasan Nagreg. Masyarakat sekitar menamai benteng ini Gedong Peteng tetapi sebenarnya Gedong Peteng hanyalah sebuah bagian dari beberapa bangunan benteng yang ada di sana. Bangunan lain saat ini sudah tidak tersisa hanya terlihat bekas-bekas pondasi dan reruntuhan batu-batu besar.

Menurut masyarakat Gedong Peteng merupakan bangunan yang dahulu berfungsi sebagai penjara. Peteng menurut masyarakat memiliki arti gelap. Saat ini hanya Gedong Peteng yang masih tersisa dan kondisinya relatif masih utuh meskipun ketika kami ke sana setengah bangunannya sudah tertimbun tanah.

Kang Reza mencoba membersihkan jalur. Foto: Aditya Wijaya

Jalur menuju Gedong Peteng sulit untuk dilewati. Jalan menanjak dan adanya banyak persimpangan. Kami ketika itu ditemani oleh salah satu warga lokal bernama Kang Reza. Sebenarnya Kang Reza dan Ayahnya tidak yakin kami bisa untuk menuju ke atas (Gedong Peteng) karena mungkin melihat dan menilai dari pakaian dan alas kaki yang kami kenakan yang memang seperti buat piknik biasa dan bukan untuk asruk-asrukan di tempat antah berantah.

Sebelum menuju Gedong Peteng, kami berbincang dengan Kang Reza. Kami menanyakan informasi seputar kawasan Nagreg dan sekitarnya. Tak disangka ternyata di kawasan Nagreg ini ada beberapa cerita yang menarik.

Selain benteng ada juga jalur jeep zaman Belanda. Jalur ini menurut Kang Reza berada di sekitar jalur kereta api. Jalur ini digunakan tentara Belanda untuk transportasi dan berpatroli di sekitar benteng. Di kaki bukit juga ada beberapa makam tua dengan informasi tahun 1920an. Mungkin dahulu di sini terdapat permakaman milik masyarakat tapi sayang saat ini kondisinya sudah tidak terurus.

Batu Kendan. Foto: Aditya Wijaya

Peninggalan sejarah yang paling khas di kawasan ini adalah batu obsidian atau di sini disebut batu kendan. Batu Kendan dapat kita temukan di sekitar Nagreg. Batu ini memiliki beragam warna dari mulai hijau, hitam, perpaduan keduanya, dll. Sebelum pulang Kang Reza memberikan kami oleh-oleh batu kendan berwarna hijau, kecil-kecil, namun cukup tajam. Cerita terakhir yang kami dapatkan dari Kang Reza adalah adanya sebuah makam tua. Menurutnya makam ini milik seorang bangsawan yang hendak menuju ke arah Garut dengan mengendarai kereta kuda. Ketika dia dan rombongan sampai di tikungan Nagreg, terjadi sebuah kecelakaan dan menewaskan seluruh rombongan. Akhirnya hanya kudanya yang berhasil selamat dan tiba di Garut. Berdasarkan cerita Kang Reza di makam tersebut juga terdapat patung kuda sebagai bagian dari makam.

Benteng Peteng, Cicalengka

Benteng Peteng kondisinya tidak terawat. Foto: Aditya Wijaya

Lokasi selanjutnya berada di Cicalengka, letaknya tak begitu jauh seperti Gedong Peteng, Nagreg. Untuk mencapai lokasi kita bisa menggunakan motor lalu parkir di pinggir jalan dekat benteng. Di sekitar lokasi benteng juga terdapat beberapa permakaman umum milik warga.

Tak banyak informasi yang kami dapatkan di sini. Bangunan benteng hanya tinggal tersisa dua, itu pun bangunan satunya sudah rusak parah. Ada kemiripan penamaan benteng dengan kata “Peteng”.

Monumen Kapten Sangun

Selanjutnya kami meneruskan perjalanan pulang ke arah Bandung dengan mampir mengunjungi permakaman di Jl. Kapten Sangun. Di sini kami mencoba mencari makam Kapten Sangun, setelah bertanya dengan salah satu pengurus makam katanya di sini tidak ada makam Kapten Sangun, hanya kebetulan penamaan jalan saja yang menggunakan nama-nama pahlawan lokal.

Katanya coba cari di Taman Makam Pahlawan, Cikuya. Kami mencoba mencari ke sana tapi nihil hasilnya. Hanya ada belasan makam pahlawan dan yang lainnya tidak diketahui namanya.

Kemudian kami lanjutkan perjalanan menuju Monumen Kapten Sangun di Desa Sangiang, Rancaekek. Untuk cerita lengkap mengenai Kapten Sangun, Komunitas Aleut telah membuat dua tulisan mengenai Kapten Sangun yang dapat dibaca di website Komunitas Aleut.

Permakaman Cijawura

Makam K.H. R Moch Burhan. Foto: Aditya Wijaya

Dari Monumen Kapten Sangun kami melanjutkan perjalanan menuju Permakaman Cijawura. Di lokasi ini kami mengunjungi makam milik pendiri Pondok Pesantren Cijawura yaitu K.H. R Moch Burhan.

Beberapa waktu sebenarnya kami sudah sempat mendatangi Pondok Pesantren ini untuk membuat foto sebuah monumen, namun karena terlalu sore, kami tidak mampir ke kompleks makamnya. Kali ini kami berkeliling dan membuat dokumentasi lebih banyak untuk kebutuhan arsip.

Di Pondok Pesantren Cijawura dahulu pernah terjadi suatu peristiwa revolusi melawan Belanda. Untuk cerita lengkapnya, Komunitas Aleut juga sudah membuat tulisan mengenai peristiwa ini. Itulah serba sedikit cuplikan cerita perjalanan Komunitas Aleut ke daerah Nagreg dan Cicalengka beberapa waktu lalu, semoga dapat bertemu di tulisan lainnya. Salam. ***