Oleh : Fauzan (@BandungTraveler)

“Aku tak pernah melihat laut tertawa, Biarpun kesejukkan bersama tariannya” (Cerita Tentang Gunung dan Laut – Payung Teduh).

Ujung Genteng, nama itu saya ingat beberapa tahun yang lalu. Seorang teman seprofesi, pencari dan penulis berita tim Persib Bandung mengajak teman lainnya untuk mengunjungi tempat yang berada di barat daya Provinsi Jawa Barat ini. Mempunyai jarak yang cukup jauh dari Bandung, melewati jalan hening di sela kawasan tengah perkampungan, perkebunan, dan perhutanan menjadi alasan mengapa saat melewati jalur ini, kita membutuhkan teman.

Saat itu, saya membayangkan Ujung Genteng yang seperti pantai-pantai selatan Jawa Barat lainnya, semisal Pangandaran atau Pelabuhan Ratu. Tapi hari itu tidak, padahal kami datang di Malam Minggu. Kami hanya mendapatkan kesepian yang seolah setia menunggu.


Kesempatan untuk mengunjungi pantai di Kabupaten Sukabumi sebelah selatan ini saya dapatkan bersama Komunitas Aleut (@KomunitasAleut). Ujung Genteng adalah salah satu titik tujuan ‘momotoran’ kami, di samping Kawasan Ciletuh yang menjadi tujuan utama.

Bagi saya, kunjungan ke Pantai Ujung Genteng adalah semacam pentasbihan diri sebagai penelusur pantai-pantai di selatan Jawa Barat. Karena tinggal pantai inilah yang belum pernah saya kunjungi, di antara Pantai Karapyak, Pangandaran, dan pantai Cisolok di Pelabuhan ratu.

Sebelum memasuki kawasan pantai, kami disambut hujan dan penjaga tiket yang memberhentikan motor-motor kami. Sementara itu, sebuah sedan berplat nomor kota jauh di utara, hanya cukup membunyikan klaksonnya sebagai alat pembayaran. Kami pun memasuki kawasan pantai yang didominasi pohon-pohon kelapa. Sementara, hidung kerap disergap semerbak harum cairan kelapa yang dimasak di dalam gubuk-gubuk bilik tua, pikiran dan mata tertuju ke jalan, di mana bolong-bolong menjadi semacam jeda.

Di atas pohon kelapa, kita akan melihat wadah-wadah plastik sebagai penampung cairan nira yang dikeluarkan oleh batang bunga kelapa. Batang bunga tersebut sengaja dipotong, diikat, dan ujungnya diarahkan ke wadah-wadah plastik tadi. Setiap hari, seorang pencari nira kelapa bisa memanjat puluhan sampai ratusan pohon kelapa. Cerita ini saya dapatkan di Pangandaran, sebagai tempat lain penghasil gula kelapa di selatan Jawa Barat. Pencarian nira kelapa memang sesuatu yang beresiko cukup tinggi. Tak jarang, mereka terjatuh dan akhirnya meninggal saat memasang wadah-wadah plastik itu atau mengumpulkannya, baik pagi maupun sore hari.


Dengan bersusah basah kami mencapai pantai Ujung Genteng di sore itu. Bayangan saya akan sebuah pantai yang ramai di kala week end, lenyap seketika. Kami mendapatkan sebuah pantai sepi, seperti kota mati. Sesekali, beberapa pasang mata manusia memperhatikan laju motor kami atau menawarkan pemondokan. Deburan ombak menjadi suara latar, saat kami berpayah menemukan penginapan di sana. Et voila!! akhirnya kami menemukan penginapan kayu dengan tulisan disewakan dan kosong.

Menurut sahabat saya, Ujung Genteng di masa lalu adalah pantai yang ramai. Namun kali ini, entah mengapa Ujung Genteng menjadi pantai yang dapat dikatakan mati, meninggalkan jalan lenggang berlubang, dan penginapan-penginapan yang minta segera diisi. Mungkin pantai ini terlalu jauh dari jalan utama atau masalah keamanan yang juga kerap membayangi. Yang jelas, pantai hanya ramai ketika hari raya, pergantian tahun baru, dan ketika banyak ikan tangkapan yang berenang sekitar pantai. Selebihnya, seperti perasaan yang tiba-tiba ditinggalkan di tengah hujan.

Sungguh senang rasanya melihat wajah-wajah “Urang Bandung” saat menemukan pantai. Sebagian melakukan foto-foto dan selfie, sebagian melamun mentafakuri kebesara Ilahi, dan sebagain lagi, mencari kerang dan pasir pantai sebagai bahan oleh-oleh yang akan dibawa kembali ke rumah. Terang saja mereka senang, karena pantai adalah satu-satunya hal yang tidak lagi dimiliki Kota Bandung, sejak danau Bandung Purba surut beberapa ratus ribu tahun yang lalu.

Seperti kebanyakan pantai selatan di Jawa Barat lainnya, pantai Ujung Genteng terlarang untuk aktifitas berenang. Di sana, pengunjung disuguhi keindahan alam. Setidaknya di belakang tempat kami menginap, pantainya cukup bagus dengan gradasi warna antara pasir, air laut, dan langit yang aduhai. Belum lagi, seburan ombak tertahan barisan karang, dan arus air laut mengalir ke timur seperti arus sungai yang jernih. Selain itu, pantai ini menyuguhi atraksi aktifitas dari para nelayan, dan juga penangkaran penyu.

https://www.instagram.com/p/Bem8SRvAqjs/?taken-by=nurulf90
Cuaca saat kami menginap di sana memang tidak menyenangkan. Langit sedang muram, sehingga dengan seenaknya meludahkan hujan, dan meniupkan angin yang mampu menyiutkan nyali Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dengan segera mematikan pasokan listrik mereka. Lengkaplah sudah pemandangan Ujung Genteng saat itu. Berangin besar yang sesekali diselingi hujan, gelap, dan sepi luar dan dalam.

Esoknya, cuaca sedang keras kepala karena tidak mau berubah. Sesekali cerah, sesekali pula angin dan hujan seakan sedang mencari muka. Hanya ada beberapa orang yang meramaikan pantai yang muram, seolah tidak mengenal senyum dan tawa itu.

Hanya sebentar saja kami menikmati pantai di pagi hari, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Menjelang siang itu, kami lalu meninggalkan penginapan, karena ada jarak jauh yang harus kami tempuh menuju Bandung. Seperti hari sebelumnya, angin dan hujan tak henti mencumbu bumi bergantian. Keadaan itu membuat kami memakai jas hujan sebagai pelindung tubuh kami dari basah dan dingin. Gas pertama kami tarik, dengan tekad menggapai tujuan terakhir, Kota Bandung.

Tautan asli http://bandungtraveler.id/menyemai-ramai-di-ujung-genteng/