Ditulis Oleh: Aditya Wijaya

Pak Rastani sedang menampilkan cerita pantun “Ciung Wanara”. Foto: Aditya Wijaya

Pagi itu saya tak sengaja melihat ajakan untuk menonton “Kecapi Pantun Sejarah” di Dayeuhluhur, Kab. Ciamis. Hanya berbekal sebuah alamat saya nekat menempuh perjalanan dengan total kurang lebih 200 km. Sebuah kesempatan langka yang sayang untuk dilewatkan, pikir saya dalam hati.

Kecapi Pantun Sejarah adalah tradisi turun temurun penyampaian sejarah secara lisan dengan berpantun dan diiringi oleh kecapi. Biasanya cerita sejarah yang disajikan adalah babad dan cerita-cerita rakyat seperti Prabu Kian Santang, Ciung Wanara dsb. Cerita Pantun ini sudah sulit untuk kita temui, konon hanya tinggal dua orang yang masih dapat menampilkan kesenian ini di Jawa Barat.

Saya sampai di lokasi pukul delapan malam setelah disesatkan oleh peta digital. Untungnya tak jauh hanya harus memutar sejauh 5 km karena berbeda kecamatan. Ada hal menarik ketika saya tersesat, saya menuju Jl. Randegan (Rajadesa) di Kecamatan Jatinagara. Jika membaca di internet mengenai sejarah Rajadesa maka akan keluar nama Randegan (Randeg artinya berhenti) sebagai lokasi awal utusan kerajaan Pajajaran ketika mendirikan kampung di sana. Lumayan nyasar-nyasar bermanfaat meskipun takut juga karena sangat sepi, haha.

Ketika sampai di lokasi, saya disambut ramah oleh panitia acara dan Bapak Rastani. Saya tak menyangka bahwa yang menyambut saya adalah Pak Rastani karena belum pernah bertemu dan di internet pun minim informasi. Saya mengobrol dengan Pak Rastani, beliau bercerita pengalamannya menjadi dalang pantun. Pak Rastani adalah generasi ke-6 yang secara turun temurun mewarisi kesenian pantun. Semua keturunan keluarganya yang mewarisi pantun adalah buta huruf. Ada cerita jika Pak Rastani belajar membaca, beliau akan dihukum oleh ayahnya dengan dilemparkan ke kolam ikan.

Cerita Pantun dibawakan oleh Pak Rastani biasanya untuk keperluan ruwatan dan hiburan. Menurut Pak Rastani jika ia sedang meruwat orang, muncul sekilas memori tentang kisah hidup orang tersebut.

Seluruh peserta dan penonton cerita pantun. Foto: Aditya Wijaya

Pantun Rajah Gentra Pusaka Panca Tunggal, sebuah group pantun yang dipimpin oleh Bapak Rastani dari Kecamatan Greged, Kab. Cirebon. Group ini diundang untuk tampil dalam acara peresmian Sanggar Pesambangan Jati dari Cirebon dan kerja sama program dengan Kemendikbud. Acara dimulai pukul sembilan malam, Pak Rastani dan dua rekan lainnya segera berganti pakaian menggunakan seragam yang sudah disiapkan. Penampilan pantun disajikan oleh tiga orang, Pak Rastani bertugas sebagai pencerita sementara dua rekan lainnya membantu mengisi suara dan bermain kecrek. Hanya dua alat yang diperlukan untuk menampilkan cerita pantun yaitu kecapi dan kecrek.

.

Penampilan dibuka dengan sambutan dari Ketua Yayasan Pasembangan Jati. Tak lama kemudian giliran Pak Rastani menjelaskan bahwa akan menampilkan cerita pantun dengan susunan yang pertama Kidung Rajah, Kidung Rahayu Sunan Kali, dan terakhir, Cerita Ciung Wanara. Kidung Rajah adalah pembuka penampilan dengan doa-doa untuk seluruh alam, sementara Kidung Rahyu Sunan Kali adalah petuah-petuah dari Kanjeng Sunan Kalijaga.

Pak Rastani paling kiri dan dua rekannya yang menampilkan cerita pantun. Foto: Aditya Wijaya

Cerita pantun ini menurut Pak Rastani menggunakan Bahasa Sunda Kasar. Saya sebagai orang yang hidup di Bandung merasa sangat asing dengan tutur bahasanya, bahkan bisa dibilang tidak mengerti. Cerita pantun juga tidak terus menerus bercerita kisah sejarah tapi diselingi oleh lagu-lagu seperti “Lagu Tonggeret,” sehingga ada jeda juga untuk Pak Rastani beristirahat.

Penampilan selesai pada pukul dua belas malam. Cerita mengenai “Ciung Wanara” belum selesai karena keterbatasan waktu. Pak Rastani bercerita bahwa dia bisa menampilkan cerita pantun selama dua hari tanpa berhenti untuk cerita “Babad”. Oo ya Pak Rastani bisa bercerita kurang lebih tiga puluh judul cerita berbeda, tak terbayangkan bagaimana cara beliau menghafalkan seluruh cerita tersebut.

Saya pun pamit meninggalkan lokasi setelah selesainya acara, masih ada perjalanan panjang menunggu untuk dilalui. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk teman-teman pembaca semua. Salam.