Oleh: Aditya Wijaya

Perkenalan saya dengan Aernout bermula saat mencari materi mengenai salah satu tokoh yang dimakamkan di Makam Pandu. Alkisah tokoh tersebut memiliki kaitan dengan seseorang yang bernama Aernout. Tulisan berikut ini banyak mengambil dari buku “De Zaak Aernout” yang ditulis oleh Peter Schumacher.

Buku “De Zaak Aernout” (Peter Schumacher)

Robert Carel Leo Aernout lahir pada tanggal 18 April 1911 di Den Haag. Awalnya ia mempelajari mengenai pertanian tropis. Pada tahun 1939 ia berangkat ke perusahaan teh pamannya di Jawa untuk mendapatkan pengalaman bekerja. Tiga bulan kemudian ia mendapat pekerjaan di perusahaan teh lain tidak jauh dari tempat pamannya.

Tak lama kemudian, tunangannya datang menyusul dari Belanda dan mereka menikah. Saat pecahnya perang dengan Jepang, Aernout dimobilisasi. Pada bulan Maret 1942 ia menjadi tawanan perang Jepang dan masuk ke berbagai kamp di Jawa. Istri dan dua anaknya yang lahir tak lama sebelum perang diinternir di berbagai kamp perempuan selama pendudukan Jepang. Pada tahun 1946, keluarganya menetap di Bandung.

Usai masa perang, Aernout bertugas sebagai pengemudi di Brigade V KNIL. Setelah dipromosikan dengan pangkat perwira terendah pada akhir tahun 1946, ia bekerja di Departemen Koordinasi Transportasi Militer (CMV). Tugasnya adalah mengatur sarana transportasi yang memadai untuk mengangkut barang, tentara, dan terkadang ternak melalui jalan darat, kereta api, dan pesawat. Aernout juga harus memastikan bahwa segala sesuatu di sepanjang rute yang dilalui berjalan dengan aman. Untuk itu, ia rutin menghubungi petugas dan bintara yang mengetahui situasi di lokasi. Ia juga rutin berkonsultasi dengan petugas keamanan, termasuk Letnan Otto Muller von Czernicki yang bekerja di bandara Andir.

Pembunuhan Rob Aernout

Awalnya kisah pembunuhan Aernout hanya menarik sedikit perhatian, mungkin karena alasan yang agak sinis, bahwa setelah Perang Dunia Kedua di Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan, tentara Belanda sering menjadi korban para pejuang kemerdekaan atau geng-geng yang berniat menggerebek dan menjarah rumah-rumah orang Belanda (rampok).

Kemudian diketahui bahwa selain sebagai petugas transportasi, Aernout juga bekerja mengumpulkan informasi tentang kejanggalan atau skandal yang ditemukannya di bagian transportasi militer. Tak lama kemudian beredarlah rumor di Bandung bahwa Aernout kemungkinan dibunuh oleh seseorang atau atas nama orang yang ingin membuatnya diam.

Pembunuhan Aernout terjadi pada tanggal 28 Februari 1948. Pembunuhan ini bermula saat ia berkunjung ke rumah milik Muller, temannya yang bekerja di Bandara Andir. Rumah tersebut bernama Evertshoeve (rumah pedesaan) yang berlokasi di Jayagiri. Alkisah pada pukul setengah sepuluh malam Muller dan Aernout mendengar suara gonggongan keras. Mereka berjalan menyusuri jalan utama Junghuhnweg. Mereka berdua buang air kecil sebentar di jalan lalu tiba-tiba terdengar suara tembakan dan Aernout pun tewas.

Foto studio Aernout 1947, setahun sebelum kematiannya (De Zaak Aernout).

Muller langsung ingin membalas tembakan, namun senjatanya memantul. Penembakan berlanjut. Ia berjongkok dan berlari zig-zag untuk menghindari peluru, Muller bergegas kembali ke rumahnya untuk memperbaiki senjatanya. Kemudian tembakan juga dilepaskan dari kuburan di belakang rumah di Evertshoeve. Muller berhasil memulihkan senjatanya dan melepaskan tembakan dari pintu samping ke arah kuburan. Peluru menyerempet pintu yang terbuka. Dia menembak untuk membela diri, tetapi terlebih lagi dengan harapan bunyi tembakan tersebut akan diketahui oleh kantor polisi terdekat, karena dia tidak memiliki telepon di Evertshoeve.

Situasi sekitar rumah Muller (De Zaak Aernout)
Rumah Muller, Evertshoeve. Foto rumah dahulu (De Zaak Aernout)
Lokasi pembunuhan Aernout, tepat di pinggir jalan (De Zaak Aernout)

Jejak Aernout di Jayagiri

Bulan Agustus 2023 lalu kami berkunjung ke bekas rumah pedesaan milik Muller di Jayagiri, Lembang. Rumah tersebut saat ini dimiliki oleh satu keluarga Batak yang sudah lama tinggal di sana.  Saat itu kami disambut langsung oleh pemilik rumah, yaitu Pak Purba.

Pak Purba menjelaskan apa-apa yang ia ketahui terkait rumah yang sudah lama ditempati oleh keluarganya. Ia bercerita saat kecil banyak sekali buku-buku Belanda mengenai pesawat terbang di rumah itu. Dugaan saya, ini merupakan sisa buku-buku milik Muller yang memang bekerja di Bandara Andir). Bagian depan rumah saat ini sudah berubah, tetapi bagian samping sampai belakang masih seperti dulu. 

Pak Purba mengajak kami untuk melihat ke bagian ruang tamu rumahnya. Ia menjelaskan bahwa dahulu terdapat cerobong asap atau tungku pembakaran khas rumah-rumah pedesaan. Ia juga memberitahu bahwa tegel atau lantai rumahnya masih asli seperti dahulu.

Beberapa tahun lalu ada orang Belanda yang berkunjung ke rumah, ujar Pak Purba. Kunjungan itu dimaksud untuk membahas mengenai rumah tersebut (saya rasa merupakan kunjungan dari pembuat buku “De Zaak Aernout”). Orang Belanda tersebut membawa arsip-arsip terkait rumah, seperti foto-foto rumah tempo dulu. Di halaman depan rumah dahulu terdapat kolam renang dan di bagian barat rumah terdapat kebun-kebun.

Kami mencoba berkeliling area sekitar rumah, mengamati dan membayangkan peristiwa yang dahulu pernah terjadi di sini. Setelah itu kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan.

Rumah Pak Purba 2023 (Aditya Wijaya)
Rumah bagian belakang (Aditya Wijaya)

Itulah sedikit gambaran mengenai peristiwa Aernout di Jayagiri. Rasanya sulit untuk menggambarkan peristiwa ini dalam satu tulisan pendek, lebih baik jika rekan-rekan bisa membaca “De Zaak Aernout” yang ditulis oleh Peter Schumacher. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Salam. ***