Oleh Komunitas Aleut

Salah satu terbitan koran yang memuat berita kasus pembunuhan Nji Eroem oleh suaminya, Darta, di Desa Regol. De Preanger-bode 21-01-1922.

Mula-mula kami tertarik pada sebuah berita peristiwa pembunuhan yang terjadi di Perkebunan Meluwung di Banjar. Pembunuhan yang sepertinya berlatar belakang perampokan ini terjadi pada bulan Januari tahun 1954, korbannya adalah seorang pegawai bernama C. Groenestein yang baru berusia 33 tahun. Jenazah Groenestein sudah dibawa ke Bandung dan rencananya akan dimakamkan di Permakaman Pandu.

Saat mencari informasi tambahan tentang kasus inilah kami menemukan sebuah berita kecil yang malah mengalihkan perhatian. Isi berita dalam koran De Express tanggal 16 November 1922 ini singkat saja, yaitu bahwa Landraad telah menjatuhkan hukuman dua puluh tahun penjara kepada seseorang bernama Darta yang telah membunuh istrinya.

 Ada beberapa berita lain mengenai kasus tersebut yang kami temukan, namun yang menarik perhatian adalah sebuah berita dari De Preanger-bode tanggal 25 Januari 1922 yang menyebutkan bahwa sebuah peristiwa bunuh diri telah terjadi di Desa Regol, daerah yang menjadi lokasi kantor atau sekretariat Komunitas Aleut dalam beberapa tahun belakangan ini. Tentu saja pada kami langsung timbul bayangan-bayangan di sebelah mana kira-kira peristiwa pembunuhan tersebut terjadi.

Koran terakhir itu juga mengatakan bahwa minggu lalu sudah memberitakan peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh seorang perempuan pribumi bernama Nji Roem, pada hari Selasa sore, yang bila dihitung mundur dari tanggal pemberitaannya, maka kejadiannya berlangsung pada tanggal 17 Januari 1922. Diceritakan bahwa beberapa hari setelah peristiwa tersebut, polisi menangkap suami Nji Roem, seorang tukang cukur bernama Darta, yang dicurigai telah membunuh istrinya. Sebelumnya, Darta melaporkan kepada kepolisian bahwa istrinya telah bunuh diri.

Pemeriksaan Darta tidak berhasil menemukan bukti-bukti sehingga kepolisian pun membebaskannya. Namun, karena kasus ini menarik perhatian, penangannya pun dialihkan dari kepolisian umum (Algemeene Politie) ke kepolisian pemerintah (Bestuur Politie), sehingga Darta kembali ditahan dan dilakukan pemeriksaan ulang.

Seorang saksi, pembantu Darta yang bernama Halimah, memberikan pernyataan yang memberatkan, yaitu bahwa pada pagi jam 9 hari Selasa minggu lalu itu Darta menyuruhnya untuk pergi ke Alun-alun dan menyampaikan pesan kepada Nji Roem yang berjualan lotek di sana agar segera pulang ke rumah. Halimah juga diminta menggantikan Nji Roem berjualan lotek sementara istrinya pulang. Saat itu, Darta mengatakan bahwa ia merasa tidak enak badan dan akan tinggal di rumah saja.

Dua jam kemudian, sekitar pukul 11, Darta mendatangi Halimah di Alun-alun untuk mengumpulkan uang hasil penjualan loteknya sambil mengatakan bahwa ia telah menyimpan harta milik istrinya di sebuah lemari untuk persiapan bila ia menikah lagi. Halimah diminta untuk terus melanjutkan jualan loteknya selama istrinya tidak ada. Saat itu diketahui bahwa Darta mengenakan celana berwarna khaki.

Pukul setengah dua, Halimah mendatangi rumah pasangan Darta dan Nji Roem, namun ternyata rumah itu tertutup. Ia melihat Darta ada di teras depan rumah tetangga, yaitu rumah Nji Iti, dan sedang minum sesuatu di sana. Darta hanya berkata pelan kepada Halimah agar tidak masuk ke rumahnya.

Untuk melanjutkan cerita ini, kami tambahkan berita dari Preanger-bode tanggal 26 Januari 1923, dua bulan setelah Darta dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh Landraad Bandoeng. Dalam berita ini ada sedikit perubahan nama, dari Nji Roem menjadi Nji Eroem.

Mula-mula pembaca diingatkan pada vonis Landraad terhadap Darta karena telah membunuh istrinya, Nji Eroem. Darta mengajukan banding dan Dewan Pengadilan (Raad van Justitie) yang membuka kembali kasus tersebut. Diperlukan juga saksi-saksi tambahan yang pemeriksaannya mulai dilakukan pada 24 Desember 1922.

Sebelum memberikan laporannya, penulis berita ini merasa ada perlunya menyampaikan rincian kasus pembunuhan yang dianggapnya aneh dan sangat sensasional.

Tanggal 17 Januari 1922 itu, Darta kembali ke rumahnya pukul lima sore dan menemukan pintunya terkunci. Kemudian ia meminta bantuan polisi untuk mendobrak pintu rumahnya. Setelah berhasil masuk rumah, Darta dan polisi itu menemukan Nji Eroem terbaring di atas tikar sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Ada luka menganga di leher Nji Eroem, dan di bawah kaki kanannya tergeletak sebuah golok berlumuran darah. Darta pingsan karena terkejut.

Setelah itu ia mengatakan bahwa istrinya pasti bunuh diri karena ia telah mengetahui perselingkuhan istrinya itu dengan seorang pria bernama Karta. Ia juga mengancam akan menceraikan istrinya. Selanjutnya, Darta juga mengatakan bahwa bila kematian istrinya bukan karena bunuh diri, pastilah itu akibat dibunuh oleh Karta. Polisi Pengawas (Opziener-politie), Lapre, yang tiba di tempat kejadian bersama dengan Asisten Wedana dari Bandung Barat, segera melakukan pemeriksaan keadaan yang memberatkan Darta, sehingga malam itu juga Darta ditangkap.

Dari penyelidikan, ditemukan fakta-fakta berikut:

  1. bahwa leher korban digores hingga ke tulang belakang, yang menurut dua orang dokter polisi tidak mungkin dilakukan sendiri oleh korban, terutama tidak dengan golok tumpul yang ditemukan tergeletak di samping mayat.
  2. bahwa golok yang tergeletak di bawah kaki kanan korban tidak mungkin ditaruh di sana oleh korban sendiri setelah kematiannya.
  3. bahwa di dinding dekat mayat tergantung celana panjang berwarna khaki, yang menurut pemeriksaan polisi milik Darta. Celana ini berlumuran darah, tetapi bukan di bagian yang menghadap ke mayat, melainkan di bagian yang menghadap ke dinding!
  4. bahwa ditemukan  lubang kecil di dinding bambu di sebelah pintu belakang rumah Darta, tempat jarinya bisa dengan mudah masuk dan bisa membuka gerendel dari luar. Tampaknya sangat mencurigakan bahwa terdakwa, yang merupakan penghuni rumah, tidak menyadari keadaan ini, dan ketika menemukan rumahnya terkunci, dia tidak mencoba masuk melalui pintu belakang ini. Ini memberi kesan bahwa Darta sengaja langsung melapor ke polisi untuk mengalihkan kecurigaan dari dirinya.

Penyelidikan lebih lanjut juga mengungkapkan fakta-fakta memberatkan lainnya. Saksi kunci, Darta, mengaku sakit pada pagi hari kejadian dan berada di rumah sampai jam dua siang. Darta juga menyangkal memakai celana khaki yang disebutkan di atas pada hari itu. Namun, beberapa saksi mata mengaku melihatnya di Alun-alun sekitar pukul 11 pagi mengenakan celana tersebut. Celana ini kemudian diidentifikasi secara khusus oleh pelayan Darta, Nji Halimah, yang bertugas mencuci dan memperbaiki pakaian terdakwa, sebagai celana yang sama yang dikenakan Darta pada pagi hari itu.

Setelah penyelidikan awal yang cermat, Darta diadili di Pengadilan Negeri pada tanggal 12 Oktober dan 15 November 1923.

Terdakwa menyangkal semua tuduhan terhadapnya dan kemudian memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana dia menghabiskan hari kejadian. Dia mengakui golok dan celana berdarah yang dihadirkan di pengadilan sebagai miliknya, tetapi menyatakan tidak tahu bagaimana celananya bisa berlumuran darah.

Sepuluh saksi kemudian diperiksa. Selaku saksi pertama dan kedua, Polisi Pengawas Lapré dan Asisten Wedana Bandung Barat menyatakan hal yang sudah disampaikan di atas dan menambahkan bahwa mereka mendapat kesan tegas bahwa Nj Eroem dibunuh dalam tidurnya, di dalam kamar, tempat ditemukannya jenazah. Tidak ditemukan bekas darah, kecuali pada kasur tempat jenazah dibaringkan, dan pada celana yang ada didekatnya, dan tidak terlihat adanya bekas perlawanan baik pada jenazah maupun pada ruangan.

Kedua saksi juga menilai tidak mungkin menggorok leher seseorang yang melakukan perlawanan radikal seperti yang terjadi di sini. Menurut Asisten Wedana, pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang sama seperti penyembelihan sapi di kalangan Pribumi, yakni dengan terlebih dahulu memberikan pukulan dan kemudian menarik kembali pedangnya ke arah yang berlawanan!

Saksi dan ahli ketiga kemudian diperiksa oleh Dr. Samjoedoprawiro (Samjoedo Prawiro) yang meninggal sesaat setelah mengetahui pembunuhan tersebut. Ia pun menilai tidak mungkin Nji Eroem bunuh diri. Bahkan dengan pisau cukur sekalipun sangatlah sulit untuk memotong massa yang membentuk jaringan tenggorokan, apalagi dilakukan sendiri dan hanya dengan golok biasa, tentunya tidak mungkin.

Nji Halimah, pembantu Darta, adalah saksi keempat. Inti kisahnya bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Darta yang sebelumnya mengaku sakit atau tidak enak badan dan hanya berbaring saja di tempat tidur sampai pukul 2 siang itu. Padahal menurut Halimah ia tidak sedang sakit apapun dan terlihat sedang duduk di beranda rumah depan untuk waktu cukup lama. Pagi harinya terdakwa menyuruhnya ke Alun-alun dan menggantikan tugas Nji Eroem. Setelah itu ia tidak pernah lagi melihat Nji Eroem dalam keadaan hidup. Sudah dikonfirmasi pula bahwa pada sekitar pukul 11 Darta mendatanginya ke Alun-alun untuk meminta uang hasil penjualan lotek. Jadi, tidak betul Darta hanya berbaring saja karena sakit sampai pukul 2 siang.

Ada tambahan keterangan dari Halimah, bahwa ketika ia kembali ke rumah Darta pada pukul setengah tiga itu, Darta yang sedang duduk di rumah depan melarangnya masuk ke dalam rumah. Ternyata setelah itu Darta masih mengatakan sesuatu, yaitu bahwa bila ada polisi menanyainya, ia harus mengaku tidak ada di rumah sejak pukul 7 pagi hingga 7 malam. Ketika Halimah menanyakan apa maksud ucapan Darta itu, dijawab bahwa “Nji Eroem telah dibunuh.” Halimah merasa sangat terkejut dan sama sekali tidak berani menceritakannya lagi. Selanjutnya, Halimah juga menyatakan bahwa celana yang berdarah itu ia kenali sebagai celana yang sama yang dikenakan Darta saat ia pergi ke Alun-alun pagi hari, dan ketika dia bertemu di sore hari.

Terdakwa kemudian menyatakan bahwa Nji Halimah berbohong tentang segala hal dan bahwa dia menolak kebenaran tersebut. Kebohongan itu dikemukakan karena ia sering memarahinya di masa lalu!

Nji Ijem yang punya warung di Alun-alun bersebelahan dengan Nji Eroem, adalah saksi kelima. Ia menyatakan bahwa yang bersangkutan (Darta) sekitar pukul 11.00 mendatangi Nji Halimah yang duduk di sebelahnya, dengan mengenakan celana panjang khaki. Menanggapi pertanyaan Nji Ijem ini, terdakwa Darta berkata “Itu bukan urusanmu; Anda akan mendengar sesuatu yang istimewa sore ini.”

Sebagai saksi keenam, Nji Entjih, tetangga terdakwa, mengaku mendengarkan keluhan dari Nji Halimah: “Nji Eroem ada di rumah, tapi kamu jangan masuk. Kalau polisi datang, katakan bahwa kamu berada di Alun-alun dari pukul 7 pagi hingga 7 malam.” Malam itu juga Nji Entjih mendapatkan pengakuan dari terdakwa bahwa Nji Eroem telah terbunuh dan pelakunya adalah Karta.

Adik korban pembunuhan, Nji Iti, yang diperiksa sebagai saksi ketujuh, sama seperti saksi sebelumnya, mengatakan bahwa terdakwa Darta telah mengadu kepadanya bahwa istrinya dibunuh dan pelakunya adalah Karta yang telah berselingkuh dengan istrinya. Namun tentang hal ini, saksi mengatakan hal yang sama dengan semua saksi lainnya, tidak mengetahui adanya perselingkuhan Nji Eroem dengan Karta, bahkan tidak mungkin Nji Eroem dapat berselingkuh, karena ia sering bercerita betapa ia sangat mencintai suaminya itu.

Lagi-lagi terdakwa tidak mengakui telah menceritakan soal pembunuhan tersebut kepada para saksi, dan menuduh mereka semua telah berbohong. Darta mengatakan bahwa istrinya sendirilah yang sudah mengakui bahwa ia telah berselingkuh dengan Karta. Darta pun sudah mengetahuinya lewat mimpinya.

Karta, pria yang diduga melakukan perselingkuhan dengan istri pelapor, hadir sebagai saksi kedelapan. Ia dengan keras membantah hal tersebut. Tidak pernah ada hubungan tercela antara Nji Eroem dengan dirinya, bahkan tidak sekalipun ia pernah ke rumah Nji Eroem saat terdakwa tidak ada di rumah.

Mengenai pernyataan saksi Karta, Darta menyebutkan bahwa penyangkalan perselingkuhan itu hanya untuk mengalihkan kecurigaan!

Saksi kesembilan yang didengarkan adalah Haji Enoh. Ia sempat melewati rumah terdakwa pada sore hari kejadian. Terdakwa menghentikannya dan bertanya bagaimana dia dapat menceraikan istrinya. Saksi kemudian bertanya: “Istrimu di mana?” Terdakwa menjawab, “Dia ada di dalam rumah, tetapi saya sudah mengambil semua pakaiannya.” Saksi kemudian memanggil nama Nji Eroem, namun tidak mendapat jawaban. Belakangan, saat terdakwa berada di dalam penjara, ia menulis surat kepada Haji Enoh yang isinya meminta agar mengatakan bahwa ketika ia memanggil nama Nji Eroem, ia mendapatkan sahutan dari dalam. Surat ini kemudian diserahkan oleh Haji Enoh kepada pengadilan dan sudah dikumpulkan sebagai dokumen.

Terdakwa Darta mengatakan bahwa ia menyurati Haji Enoh karena menginginkan adanya saksi yang dapat memastikan istrinya masih hidup pada pukul empat sore.

Ketika terdakwa diberitahu bahwa menurut keterangan medis diketahui istrinya telah meninggal beberapa jam pada waktu itu, terdakwa Darta menjawab: “Dokter juga bisa saja salah.”

Sebagai saksi terakhir yang didengarkan pengakuannya adalah Nji Namah yang pada pagi hari kejadian melihat Nji Eroem berjalan di jalan desa Regol dan mengenali celana khaki yang dihadirkan di persidangan.

Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas, juga ditambah dengan pemeriksaan ulang terhadap Polisi Pengawas Lapre, Asisten Wedana, dan juga Karta, guna memastikan kemungkinan perselingkuhannya, ternyata tidak didapatkan fakta-fakta lain yang dapat meringankan terdakwa Darta.

Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan dan kesaksian para saksi, pengadilan akhirnya memutuskan Darta bersalah atas pembunuhan istrinya, dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. ***