Catatan Kelas Literasi Komunitas Aleut. Oleh Fikri M Pamungkas
Komunitas Aleut minggu ini, 10 Desember 2023, mengadakan Kelas Literasi bersama Bapak Mumun Partasuwanda. Beliau adalah anak angkat dalang terkenal di Jawa Barat, yaitu R. Umar Partasuwanda. Tempat kami mengobrol pun berlokasi di rumah peninggalan alm. Umar Partasuwanda di Jalan Inhoftank – tak jauh dari Museum Sri Baduga – yang sekarang ditempati oleh Pak Mumun.
Dari Obrolan yang mengalir santai itu, banyak sekali cerita yang disampaikan oleh Bapak Mumun Partasuwanda yang sempat menemani perjalanan Umar Partasuwanda dalang tersohor di Jawa Barat. Pak Mumun menjadi supir kepercayaan yang selalu menemani saat pergi keluar kota untuk pergelaran wayang golek. “Hampir seluruh Jawa Barat sudah ia kunjungi untuk menggelar wayang, apalagi pada bulan Agustus, banyak sekali perusahaan perkebunan di Priangan yang mengundang beliau. Itu bulan paling padat mendapatkan undangan untuk mengisi acara pergelaran wayang golek,“ tutur Mumun Partasuwanda.
AWAL KEMUNCULAN WAYANG DI JAWA BARAT
Sebetulnya tidak banyak sumber yang menceritakan bagaimana sejarah munculnya wayang di Jawa Barat, namun dari beberapa sumber yang ada, disebutkan bahwa awal munculnya wayang di Jawa Barat terjadi pada masa Bupati Bandung Adipati Wiranatakusumah II (memerintah 1794-1829) yang mengundang dalang Dipaguna Permana dari Tegal. Sekelompok kecil dalang yang berasal dari Tegal seringkali diundang oleh para bangsawan Sunda untuk menghibur.
Tercatat juga Bupati Bandung Adipati Wiranatakusumah III (memerintah 1829-1846) mengundang tiga seniman berasal dari Tegal, di antaranya, Ki Darman (pembuat wayang), Ki Rumiang (dalang), dan Ki Surasungging (pembuat alat musik). Menariknya, workshop Ki Darman yang kemudian tinggal di Cibiru, Ujungberung, sampai sekarang masih terkenal sebagai salah satu tempat pembuatan wayang golek yang berkualitas.
Murid Ki Rumiang yang bernama Anting, adalah dalang yang pertama kali menggunakan bahasa Sunda untuk pertunjukan wayang goleknya. Wiranatakusumah III juga menganjurkan agar masyarakat mempelajari wayang dari Jawa dan meminta agar pertunjukan wayang digelar pada siang hari. Jika pergelaran wayang kulit digelar siang hari, maka kulit tipis perlu diubah penampilannya menjadi tiga dimensi supaya dapat terlihat jelas oleh penonton.
Berbicara mengenai wayang golek, khususnya di Jawa Barat, menarik untuk dilakukan kajian lebih mendalam, karena dalam perkembangannya bentuk kesenian ini terus eksis, bahkan sampai sekarang masih banyak warga masyarakat yang menaruh minat besar terhadap pergelaran wayang golek.
Saya menjadi teringat dengan pemikiran Oswald Spengler yang melihat kebudayaan memiliki siklus hidup yang berproses melalui tahapan-tahapan biologis mahluk hidup, yaitu lahir, masa kanak-kanak, masa dewasa, tua, dan mati. Ringkasnya, kebudayaan mengalami proses “lahir”, “berkembang”, dan “mati”.
Mungkin sampai saat ini wayang golek di Jawa Barat sedang berada pada tahapan perkembangannya. Mula-mula dibawa oleh seniman dari Tegal, melahirkan bentuk baru di Jawa Barat, lalu berkembang, dan seperti yang pernah dilakukan oleh dalang Umar Partasuwanda, lahir bentuk baru lagi yang disebut wayang golek modern.
Siapakah Umar Partasuwanda, apa itu wayang golek modern, dan bagaimana kisahnya menjadi dalang tersohor di Jawa Barat ?
R. U. PARTASUWANDA
R. U. Partasuwanda atau Umar Partasuwanda, lahir di Bandung pada 1904. Ayahnya, Muhammad Sair atau kadang disebut Madsair, berasal dari Sukapura, Tasikmalaya. Ibunya bernama Emeh, dan sementara ini tidak ada informasi lain tentangnya. Pasangan suami istri Madsair dan Emeh dikaruniai lima orang anak; Narsiah, Djamhari, R. Atmaja, R. U. Partasuwanda, dan yang terakhir, Partasoekayat. Jadi R. U. Partasuwanda adalah anak ke-empat dari lima bersaudara tersebut.
Dari kecil Umar sudah memiliki ketertarikan terhadap wayang, ia gemar menggunakan anyaman tangkai daun singkong untuk dijadikan mainan wayang-wayangan. Umar menjalani pendidikan dasar mulai tahun 1913 di Sekolah Angka Dua, Ciroyom, Bandung. Walaupun cerdas dalam mengikuti pelajaran, namun ia sering sakit dan tidak masuk sekolah, karena malam harinya digunakan untuk menyaksikan pertunjukan wayang golek sampai pagi. Malah saat kelulusan pun Umar mengalami sakit, sehingga gurunya yang mengantarkan ijazahnya ke rumahnya.
Setelah tamat sekolah, Umar sering mengajar membaca dan menulis kepada anak-anak Gang Dalekdok, di Citepus, dekat tempat tinggal keluarga mereka saat itu. Keluarganya menganggap Umar berbakat untuk jadi guru, sehingga dimasukkan untuk magang Calon Guru Bantu. Pada masa itu Umar juga seringkali mengunjungi rumah dalang Ai di Kampung Sukamanah, untuk belajar mendalang. Namun desakan ekonomi keluarga membuat Umar harus mencari kerja agar mendapatkan nafkah.
Pada tahun 1932 Umar bekerja di perusahaan film milik Mr. Wong (perusahaan film pertama di Bandung) dan berkesempatan main sebagai pemeran pembantu (bijrol) dalam film “Si Pitung” “Lari ke Arab”. Pada saat ini, Umar menimbang kembali keinginan lamanya untuk belajar mendalang. Ia lalu berguru kepada Dalang Bintang (Mama Kayat), lalu dilanjutkan kepada dalang yang sedang terkenal di Bandung saat itu, Dalang Sukatma. Saat itu Dalang Sukatma telah memiliki dua siswa dalang, yaitu Nana dan Suhaya. Umar diterima sebagai siswa ketiga, namun setelah Nana wafat, Umar pun menjadi siswa kedua. Umar dapat belajar dengan cepat sehingga terdorong untuk belajar pula kepada Dalang Aksan dan Dalang Djuhari, ayahnya Dalang Sunarya.

Setelah memiliki wawasan dan keterampilan yang memadai, Umar mulai sering diikutsertakan dalam rombongan pergelaran wayang golek, bahkan akhirnya sampai pandai pula menabuh gamelan. Kadang untuk pergelaran panjang sehari-semalam, Umar ditunjuk Dalang Sukatma untuk mewakilinya pada pertunjukan siang hari. Namanya pun mulai dikenal sebagai Dalang Umar. Kepopulerannya saat itu terutama dalam memainkan wayang golek kera serta menirukan suaranya.
Sekitar tahun 1938, Dalang Umar pernah diminta memainkan wayang di acara Siaran Wayang Golek di NIROM (Nederlands-Indische Radio Omroep Maatschappij) di Tegallega, Bandung. Walaupun acaranya mendapat sambutan baik dari pendengar, namun saat pihak NIROM mengetahui bahwa Umar aktif dalam perjuangan kemerdekaan, ia tidak diperbolehkan lagi tampil siaran di NIROM. Setelah ada pergantian pemimpin siaran oleh R. Enung Purawinata, barulah Dalang Umar dapat tampil lagi dengan menggunakan nama Partasuwanda. Dengan nama inilah Dalang Umar kemudian melanglang dan terkenal ke seluruh wilayah Jawa Barat. Nama ini pula yang seterusnya melekat pada diri Umar hingga akhir hayatnya. Pada masa ini Dalang Partasuwanda menikah dengan Arnesah (1941-1953) yang kemudian diikutsertakan dalam kelompok kesenian untuk menjadi pesinden. Kelompok keseniannya mulai teratur dan diberi nama Pamager Sari. Pengorganisasian ini dimaksudkan agar mutu seni pedalangan kelompoknya dapat terjaga dengan baik.

WAYANG GOLEK MODERN
Pada zaman revolusi kemerdekaan, Partasuwanda ikut mengungsi ke Wanaraja (1947). Tahun berikutnya, ia memimpin rombongan kesenian yang dibentuk oleh Ikatan Organisasi Perjuangan ke Bandung (1948). Semasa di pengungsian di Wanaraja, ia mencoba membentuk wayang golek modern, tapi baru bisa diwujudkan pada 1949 atas bantuan teman-temannya, a.l. Apek Gunawijaya, Adis Sudarma, Partasukayat, serta istrinya, Arnesah.
Ada beberapa hal yang berbeda dalam wayang golek modern: Pertunjukan wayang dilakukan di atas pentas yang dilengkapi dengan dekorasi, sehingga terasa lebih hidup dan lebih indah dipandang. Di panggung juga dipasang tirai, sehingga tidak terlihat dalangnya.
Tentang hal ini, Mumun Partasuwanda menerangkan bahwa salah satu pemicu lahirnya gaya baru ini adalah bahwa saat itu Dalang Partasuwanda sudah tidak lagi muda, sehingga bila harus pentas semalam suntuk, banyak hambatannya, seperti keperluan untuk buang air kecil, atau keperluan lain yang membuat dalang harus meninggalkan tempatnya.
Pertunjukan yang disebut oleh Partasuwanda sebagai Wayang Golek Modern Pamager Sari ini dimainkan oleh empat orang dalang dengan Partasuwanda sebagai dalang utamanya. Adapun dalang lainnya adalah dalang kasepuhan yang sebelumnya merupakan pemain wayang wong: Adi Sudarma, Apek Gunawijaya, dan Partasukayat. Ditambah dengan pesinden Arnesah.

Pertunjukan perdana wayang golek modern berlangsung di Gedung Merdeka (Societeit Concordia) pada tahun 1951. Dengan bantuan teman-temannya, terutama R. Gaos Hardjasumantri, wayang golek modern menjadi populer juga di Jakarta, bahkan sampai tampil di Istana Negara atas undangan Presiden Sukarno. Pertunjukan di istana ini dibuat film dan kemudian diputar di gedung-gedung bioskop sebagai voor-film. Di luar Jawa Barat, Wayang Golek Modern Pamager Sari pernah tampil di Yogyakarta dan Surakarta. Selain mendalang, Paratasuwanda juga menciptakan kawih dan menulis buku-buku seputar pedalangan dan cerita wayang dibantu oleh budayawan U. Katidjo Wiropramudjo yang ketika itu adalah anggota Konstituante.


Foto Nji Imas (kiri) dari koleksi keluarga Partasuwanda) dan Nji Oersih alias Nji Arnesah (kanan) dari Djaja Swara Soenda, 1949, yang dimuat dalam Pasinden; Awal Kehadirannya dalam Pertunjukan Wayang Golek karya Tarjo Sudarsono).
KISAH MUMUN PARTASUWANDA MENEMANI R.U PARTASUWANDA
Partasuwanda menikah pertama kali dengan Nji Imas tahun 1927. Pada tahun 1941, ia menikahi pula Arnesah yang kemudian dijadikan pesinden dalam kelompok wayangnya, tapi kemudian bercerai pada 1953 Dari dua pernikahan ini Partasuwanda tidak mendapatkan keturunan. Namun sebuah dokumen berangka tahun 1968 dari Kotamadya Bandung menyebutkan bahwa Partasuwanda memiliki dua anak angkat, yaitu Mumun dan Isbar.
Mumun lahir tahun 1939 dari ibu bernama Titi dan ayah bernama Idang Karna, dan merupakan cucu pertama dari R. Atmadja, kakaknya Umar Partasuwanda. Awalnya nama Mumun adalah Mamur, dari Umarsyah, lalu berubah menjadi Mumun Partasuwanda setelah diangkat anak oleh Umar Partasuwanda sejak usia 40 hari karena ibunya meninggal.
Mumun mengalami masa revolusi kemerdekaan ketika usianya masih belia. Ia mengikuti Umar saat itu menjadi salah satu pemimpin laskar Hizbullah dan sering berpindah-pindah tempat. Suatu saat ketika harus berpindah tempat, Mumun yang masih berusia 10 tahun, harus kembali ke rumah untuk mengambil senjata yang tertinggal, sementara rombongan pengungsi yang lain sudah berada di Bojong Citepus. Perjalanan pengungsian itu menempuh rute Bojong Citepus, Bojong Malaka, Dayeuhkolot, Banjaran, sampai Arjasari. Ketika Arjasari dikabarkan akan diserang oleh tentara sekutu, rombongan Umar berpindah lagi ke Garut, dan tinggal sementara waktu di Gedung BPRI yang dipakai markas tentara. Mumun pun ikut tinggal bersama rombongan, lalu ke Wanaraja, dan setelah situasi aman, Mumun kembali ke Bandung lebih dulu dan diikuti oleh Umar dan rombongan.
Mumun kecil adalah anak yang aktif dan juga bandel. Kesukaannya main motor-motoran atau mobil-mobilan, bahkan ketika bersekolah pun suka kabur untuk motor-motoran. Mungkin itulah sebabnya Umar menjadikan Mumun sebagai supir kepercayaannya, ke mana pun ia pergi. Apalagi mobil zaman dahulu lebih susah dikendalikan, berbeda dengan mobil-mobil sekarang.
Sejak tahun 1951, Mumun mulai menemani rombongan Dalang Partasuwanda memenuhi undangan pertunjukan ke berbagai tempat. Sejak menjadi sopir Umar, Mumun ikut menemani ke hampir seluruh pelosok wilayah Jawa Barat. Apalagi pada bulan Agustus, undangan dari daerah-daerah perkebunan begitu padat. Suatu waktu Mumun harus menyopiri rombongan berangkat menggunakan mobil Chevrolet Tambi dengan isi antara 22-25 orang. Di dalamnya berdesakan dalang-dalang, sinden, pengiring musik, dan petugas pertunjukan lainnya.
Kepiawaian Umar Partasuwanda dalam mendalang ternyata tidak turun kepada Mumun. Sekali waktu Umar mengatakan, “Kieu euy, geus wae ieu mah nepi ka dewek weh ngadalang mah, tong hayang ngadalang, beurat!” Mungkin beurat yang dimaksud Umar adalah bahwa menjadi dalang itu banyak godaan dan rintangannya, seperti yang telah dialami Umar sendiri.
Umar Partasuwanda mewariskan ilmu pedalangannya lewat buku yang ia tulis. Buku-buku tersebut berjudul: Pustaka Raja Purwa, Sejarah Para Dewa, Windu Krama, dan Pelajaran Mendalang yang penah dipraktikkan oleh Ujang Enjuh dari Bojong Citepus Parunghalang, dan berhasil menjadi Dalang. Ujang Enjuh sempat memakai nama belakang Partasuwanda atas ijin Umar, tetapi karena suatu hal sebelum Umar wafat beliau minta agar Ujang Enjuh tidak memakai nama belakang Partasuwanda lagi
Sementara itu sisa dari wayang-wayang yang ia gunakan sudah tidak ada lagi. Umar Partasuwanda wafat pada 1966 dan dimakamkan di Komplek Muarasari. Sebelum wafatnya, Umar Partasuwanda sempat mendirikan Yayasan Pamagersari yang menyantuni Fakir Miskin dan Anak Yatim pada tahun 1964-1966. Banyak penghargaan yang di anugrahkan kepada beliau, salah satunya Penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia dengan dibuatnya patung setengah badan R. Umar Partasuwanda yang disimpan di Museum Penerangan Taman Mini Indonesia Indah.


Demikianlah cerita ringkas seputar Umar Partasuwanda yang saya dapatkan dari Kelas Literasi Komunitas Aleut yang diselenggarakan di rumah almarhum di Inhoftank yang sekarang ditempati oleh anak angkatnya, Mumun Partasuwanda. Pengalaman yang seru ini sedikit banyak sudah menambahkan pengetahuan dan wawasan seputar dunia perwayangan dan perdalangan dari yang selama ini saya ketahui.
***
0 Comments
1 Pingback